Bismillah,
Jika saya di tahun 1980 punya hutang kepada seseorang sebear Rp. 100.000,-, yang katakanlah pada saat itu uang 100ribu tesebut dapat dibelikan emas seberat 8 gram. KEMUDIAN di tahun 2011 ini saya mau membayar hutang saya. Berapa hutang yang harus saya bayarkan? 100ribu kah? atau senilai 8 gram emas?
Mari kita simak penjelasanya berikut ini :
كيف يرد دين قد تغيرت قيمته مع مرور الزمن
Bagaimana cara membayar hutang padahal nilai uang sudah berubah seiring perkembangan zaman?
السؤال:
إذا أراد مدين أن يرد الدَّيْنَ لصاحبه علما أن الدَّيْنَ (مائة دينار) قد استلفها في السّتينيات، فكم يرد إلى صاحبه؟ وأقصد هنا قيمة المائة دينار تغيّرت رأسًا، ففي السّتينيات كانت تساوي مثلا كيسا من السميد ، أما الآن فلا يمكننا أن نشتري بها إلا كيلو واحد ورطل من السميد؟.
إذا أراد مدين أن يرد الدَّيْنَ لصاحبه علما أن الدَّيْنَ (مائة دينار) قد استلفها في السّتينيات، فكم يرد إلى صاحبه؟ وأقصد هنا قيمة المائة دينار تغيّرت رأسًا، ففي السّتينيات كانت تساوي مثلا كيسا من السميد ، أما الآن فلا يمكننا أن نشتري بها إلا كيلو واحد ورطل من السميد؟.
Pertanyaan, “Jika orang yang berhutang ingin membayar hutang senilai 100 dinar al Jazair. Uang sejumlah itu dipinjam pada tahun 1960-an. Berapakah besaran uang yang harus dikembalikan saat ini? Yang aku maksudkan, nilai dari seratus dinar itu sudah benar-benar berubah. Dulu seratus dinar itu senilai satu karung tepung. Sedangkan saat ini uang seratus dinar hanya bisa digunakan untuk membeli kurang lebih satu kilogram tepung”.
الجواب : يثبت الدَّيْنُ في ذمّة المَدِين وقت القرض، فهو مُطالبٌ بقيمة ذلك المال. وإذا تغيرت قيمة المال كثيرًا، أَوْ أُلْغِيَ التعامل به، فإن على المدين إرجاع قيمة الدَّيْن ذهبًا،
Jawaban Syaikh Abu Said al Jazairi-salah seorang ulama ahlus sunnah di al Jazair-, :
"Orang yang berhutang memiliki kewajiban membayar hutang semenjak transaksi hutang piutang dilaksanakan. Oleh karena itu, orang yang berhutang dituntut untuk mengembalikan senilai besaran hutang yang didapatkan. Jika nilai dari mata uang berubah secara mencolok atau mata uang tersebut sudah tidak lagi dipergunakan maka orang yang berhutang memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang senilai dengan emas.
وعَلَيه فإن ما جاء في السؤال: على المدين أن يَرُدَّ قيمة المائة دينار جزائري بالذّهب، يعني يَنْظُر كَمْ كانت المائة دينار في السّتينيات تُساوي من الذّهب، فيُعطيه الآن قيمة الذهب، مثاله: كانت المائة دينار تساوي عَشر غرامات من الذّهب في ذلك الوقت، فيُعطيه الآن قيمة عشر غرامات من الذّهب.
Berdasarkan penjelasan di atas, orang yang berhutang dalam kasus di atas memiliki kewajiban untuk mengembalikan nilai emas dari pinjaman uang sebesar seratus dinar Aljazair. Artinya, hendaknya dicek uang sebesar seratus dinar Aljazair pada tahun 1960-an itu senilai berapa gram emas. Berapa gram emas itulah yang dijadikan sebagai acuan pembayaran hutang pada saat ini. misalnya, seratus dinar pada tahun 1960an itu senilai dengan sepuluh gram emas maka besaran uang yang harus diserahkan kepada pemilik uang saat ini adalah uang yang bisa digunakan untuk membeli sepuluh gram emas.
وقد ذهب إلى هذا القول كثير من علماء الحنابلة، منهم ابن تيمية، وابن القيّم، وهو قول الشيخ الألباني، رحمهم الله جميعا.
Pendapat ini dipilih oleh banyak ulama yang bermazhab Hanbali semisal Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh al Albani”.
_____________________
Misalnya, Pak A berutang pada Pak B sebesar 100 ribu rupiah, dengan jatuh tempo setelah tiga bulan. Pada saat berut...ang, mata uang 5 ribu rupiah senilai dengan satu dollar USA, harga emas ketika itu 50 ribu per gram. Namun, pada saat utang jatuh tempo, nilai tukar rupiah berubah: 10 ribu rupiah senilai dengan satu dollar, dan harga emas per gram adalah 100 ribu rupiah.
Ketika hendak melunasi utang, apakah Pak A harus menyesuaikannya dengan perubahan nilai tukar dollar dengan rupiah dan harga emas di pasaran, ataukah berpatokan dengan jumlah rupiah yang dahulu dia terima? Temukan jawabannya dari uraian berikut ini.
Di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, uang kertas belum dikenal. Alat pembayaran transaksi ketika itu adalah dengan menggunakan emas dan perak. Yang terbuat dari emas disebut dinar, sedangkan yang terbuat dari perak disebut dirham. Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, sedangkan 1 dirham sama dengan 2,975 gram perak.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa ketentuan syar'i yang berlaku untuk mata uang kertas itu sama persis dengan ketentuan untuk dinar dan dirham.
Majma' Fikih Islami, yang bernaung di bawah OKI, dalam keputusannya no. 9 yang merupakan hasil muktamar Majma' yang ketiga, menegaskan bahwa, "Uang kertas itu dinilai sebagai mata uang dan memiliki fungsi sebagai alat pembayaran secara semp...urna. Oleh karenanya, berlaku padanya ketentuan-ketentuan syar'i yang berlaku untuk emas dan perak, baik dalam masalah riba, zakat, transaksi salam, dan ketentuan yang lain."
Adapun terkait dengan pelunasan utang, muktamar kelima Majma' Fikih Islami yang diadakan di Kuwait pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
"Yang menjadi tolak ukur pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu dengan harga mata uang tersebut."
Penjelasan tentang dalil yang menjadi pijakan dalam masalah ini bisa kita jumpai dalam penjelasan salah seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar'i. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, "Seseorang berutang sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut naik?"
Jawaban beliau, "Dia harus membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak teranggap dalam hal ini.
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, yang sanadnya lemah tapi maknanya benar menurut mayoritas ulama, (yaitu hadits) tentang penukaran mata uang, yang makna hadits tersebut adalah, 'Tukar-menukar dinar diperbolehkan jika dengan harga saat itu (yaitu saat diambil).'"
Dari potongan hadits ini, para ulama mengambil dua kesimpulan hukum:
Kesimpulan pertama. Jika dibayar dengan mata uang yang sama dengan saat berutang, maka jumlah harus tetap demikian, tanpa menimbang bertambah dan berkurangnya nilai mata uang tersebut.
Adapun, jika seseorang berutang sebesar 100 real saudi (yang saat itu senilai dengan 200 ribu rupiah), lalu dia akan melunasi utangnya saat nilainya telah berubah, maka dia boleh membayar sebesar 100 real itu sendiri atau dengan rupiah senilai 100 real pada saat sekarang.
Dalam masalah seperti ini, sepatutnya disadari bahwa siapa saja yang membantu orang lain dengan mengutanginya, maka dia harus siap menerima risiko pemberian utang tersebut. Misalnya, terjadi perubahan nilai mata uang atau yang berutang dalam kesempitan finansial, maka orang yang mengutangi harus rela untuk memberi tempo sampai orang tersebut memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya.
Persoalan ini telah dijawab sebagaimana jawaban di atas, oleh guru kami Syekh Ubaid al-Jabiri, ketika mata uang Yaman jatuh.
Kesimpulan kedua. Ketika mata uang yang digunakan selama ini tiba-tiba dicabut dari peredaran, maka negara berkewajiban untuk menetapkan nilai mata uang yang dicabut tersebut saat ini.
Dahulu, Yaman Selatan menggunakan mata uang dinar dan dirham, sedangkan Yaman Utara menggunakan mata uang real. Ketika dinar dan dirham dicabut dari peredaran secara resmi, sehingga seluruh Yaman menggunakan Real Yaman, maka orang-orang yang menanggung utang dengan dinar melunasinya dengan menggunakan Real, berdasarkan penetapan negara untuk nilai dinar yang menjadi kewajibannya. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah memiliki peranan penting untuk meniadakan sengketa di antara rakyatnya." (Bingkisan Ilmu dari Yaman, hlm. 240--242)
Hadits yang beliau maksudkan adalah hadits berikut ini.
Dari Ibnu Umar, "Aku bertanya kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, tunggu sebentar. Aku hendak bertanya. Aku menjual unta di Baqi'. Aku jual dengan dinar, namun aku ambil dengan dirham. Kadang, aku jual dengan harga dirham, namun aku ambil dalam bentuk dinar. Aku ambil ini dari itu, dan aku ambil itu dari ini.' Rasulullah bersabda, 'Tidak apa-apa jika engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama engkau tidak berpisah dengan pembeli dalam keadaan ada uang belum diserahkan.'" (Hr. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Hakim; dinilai shahih oleh Hakim. Lihat Bulughul Maram, no. 682)
Imam Hakim mengatakan, "Shahih menurut kriteria Imam Muslim." Pernyataan beliau ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Di samping itu, hadits di atas dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinilai hasan oleh as-Subki dalam Takmilah Majmu'.
Ringkasnya, Syekh Abdullah al-Bassam mengatakan, "Hadits ini berstatus hasan." (Taudhih al-Ahkam: 4/297, Maktabah Asadi)
Jadi, di samping ada yang menilai lemah terhadap hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdullah al-Mar'i di atas, tidak sedikit pula ulama yang menilai hadits tersebut sebagai hadits yang kuat, baik dengan kualitas shahih ataupu...n dengan kualitas hasan.
Terkait dengan pelunasan utang dengan mata uang yang berbeda, maka pada asalnya pelunasan utang itu dengan penggunaan mata uang yang sama dengan ketika menerima utang, karena orang yang berutang itu tidak memiliki kewajiban kecuali mata uang yang pernah dia terima.
Termasuk yang terlarang adalah adanya kesepakatan antara pemberi utang dan penerima utang agar pelunasan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dulu diterima. Terdapat keputusan Majma' Fikih Islami berkaitan dengan larangan ini, sebagaimana keputusan no. 75.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan di awal namun semata-mata kerelaan yang melunasi utang, maka tidak mengapa, asalkan dengan harga pada hari ini, sebagaimana penjelasan di atas.
Sebagai solusi, ketika dikhawatirkan bahwa nilai suatu mata uang akan jatuh, maka transaksi utang-piutang bisa dilakukan dengan menggunakan mata uang lain yang relatif lebih stabil, dengan emas atau perak, bisa juga dengan barang dagangan yang relatif tidak terpengaruh dengan inflasi. Namun, pelunasan utang disyaratkan dilakukan dengan barang semisal ketika dulu diterima.
Jadi, tidak boleh mengaitkan utang dengan berbagai faktor di luar utang, semisal harga emas atau perak, nilai mata lain, tingkat suku bunga, harga BBM, dan lain-lain. Hal ini tidak diperbolehkan, dengan dua alasan:
1. Hal tersebut menyebabkan spekulasi dan ketidakjelasan yang keterlaluan karena kedua belah pihak tidak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga salah satu syarat sahnya transaksi, yaitu kejelasan, menjadi tidak terpenuhi.
2. Jika yang menjadi kaitan utang tersebut harganya cenderung naik, maka akan terjadi ketidaksamaan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dibayarkan. Jika ini menjadi kesepakatan di awal transaksi, maka terjadilah riba.
Penulis: Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Semua Kembali Kepada Apa Yang Sebenarnya Kita Hutang Piutangkan.
Perlu diingat bahwa dalam bermuamalah, Islam Melarang empat hal, yakni :
1.Gharar (ketidak jelasan),
2. Maysir (unsur pertaruhan/perjudian),
3. Riba (tambahan nilai yg disepakati di awal)
4. dan Maksiat (jual beli barang haram)
Maka dalam melakukan hutang piutang hendaknya sejak awal disepakati antara pihak yg berutang dgn yang memiliki hutang bahwa APA SEBENARNYA YG DIJADIKAN OBJEK HUTANG PIUTANG, apakah uang, barang tertentu, atau tanah.
Hukum hutang piutang adalah SAMA DENGAN PINJAMAN.
Jika ia berupa barang, maka apa yg dahulu diterima oleh pengutang itu pula yg wajib ia kembalikan. jika yg disepakati sebagai objek utang piutang adalah nilai uang tertentu secara nominal angka yg tertera pada uang tersebut, maka apa yg dahulu diterima oleh pengutang itu pula yg wajib ia kembalikan, demikian bila yg disepakati sebagai objek utang piutang adalah daya beli uang tersebut, maka maka apa yg dahulu diterima oleh pengutang itu pula yg wajib ia kembalikan kepada pemiliknya. krna pengutang sama dgn peminjam (seseorang yg wajib mengembalikan apa yg ia pinjam)
Disinilah pentingnya KEJELASAN PADA TRANSAKSI AWAL. selama tidak ada unsur menyepakati TAMBAHAN TERTENTU, Insya Alloh ia lepas dari Riba.
Demikianlah, salah satu sebab keberkahan adalah tidak adanya gharar (ketidak-jelasan) ketika transaksi awal.
_____________________
Pertanyaan :
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah berhutang daging kepada penjual daging seharga 6 franc. Kemudian hutang tersebut berlangsung cukup lama, dimana saat itu 1 franc sama dengan 35 riyal Yam...an. Dan sekarang 1 franc sama dengan 135 riyal Yaman. Dan pedagang daging itu meminta saya supaya melunasi hutang berdasarkan pada nilai tukar terakhir. Apakah saya harus melunasi berdasarkan pada nilai tukar terdahulu atau yang terakhir? Tolong beritahu kami, mudah-mudahan Anda sekalian mendapatkan pahala.
Jawaban :
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka Anda harus membayar kepada tukang daging itu berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku pada saat pembayaran, bukan pada saat pembelian daging.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatwa Nomor 3065]
____________________________
BILA NILAI UANG BERUBAHAl-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah berhutang daging kepada penjual daging seharga 6 franc. Kemudian hutang tersebut berlangsung cukup lama, dimana saat itu 1 franc sama dengan 35 riyal Yam...an. Dan sekarang 1 franc sama dengan 135 riyal Yaman. Dan pedagang daging itu meminta saya supaya melunasi hutang berdasarkan pada nilai tukar terakhir. Apakah saya harus melunasi berdasarkan pada nilai tukar terdahulu atau yang terakhir? Tolong beritahu kami, mudah-mudahan Anda sekalian mendapatkan pahala.
Jawaban :
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka Anda harus membayar kepada tukang daging itu berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku pada saat pembayaran, bukan pada saat pembelian daging.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatwa Nomor 3065]
____________________________
Misalnya, Pak A berutang pada Pak B sebesar 100 ribu rupiah, dengan jatuh tempo setelah tiga bulan. Pada saat berut...ang, mata uang 5 ribu rupiah senilai dengan satu dollar USA, harga emas ketika itu 50 ribu per gram. Namun, pada saat utang jatuh tempo, nilai tukar rupiah berubah: 10 ribu rupiah senilai dengan satu dollar, dan harga emas per gram adalah 100 ribu rupiah.
Ketika hendak melunasi utang, apakah Pak A harus menyesuaikannya dengan perubahan nilai tukar dollar dengan rupiah dan harga emas di pasaran, ataukah berpatokan dengan jumlah rupiah yang dahulu dia terima? Temukan jawabannya dari uraian berikut ini.
Di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, uang kertas belum dikenal. Alat pembayaran transaksi ketika itu adalah dengan menggunakan emas dan perak. Yang terbuat dari emas disebut dinar, sedangkan yang terbuat dari perak disebut dirham. Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, sedangkan 1 dirham sama dengan 2,975 gram perak.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa ketentuan syar'i yang berlaku untuk mata uang kertas itu sama persis dengan ketentuan untuk dinar dan dirham.
Majma' Fikih Islami, yang bernaung di bawah OKI, dalam keputusannya no. 9 yang merupakan hasil muktamar Majma' yang ketiga, menegaskan bahwa, "Uang kertas itu dinilai sebagai mata uang dan memiliki fungsi sebagai alat pembayaran secara semp...urna. Oleh karenanya, berlaku padanya ketentuan-ketentuan syar'i yang berlaku untuk emas dan perak, baik dalam masalah riba, zakat, transaksi salam, dan ketentuan yang lain."
Adapun terkait dengan pelunasan utang, muktamar kelima Majma' Fikih Islami yang diadakan di Kuwait pada bulan Desember 1988 mengeluarkan keputusan yang ke-42, sebagai berikut:
"Yang menjadi tolak ukur pelunasan utang yang diterima dengan menggunakan mata uang tertentu adalah semisal jumlah uang yang diterima dengan mata uang tersebut, tidak dengan nilai mata uang itu, karena utang itu dilunasi dengan yang semisal ketika diterima. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mengaitkan utang dalam mata uang tertentu dengan harga mata uang tersebut."
Penjelasan tentang dalil yang menjadi pijakan dalam masalah ini bisa kita jumpai dalam penjelasan salah seorang ulama yang berasal dari Yaman, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar'i. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, "Seseorang berutang sejumlah uang, kemudian nilai mata uang naik, maka apakah debitur ini harus membayar dengan jumlah pertama ataukah dengan jumlah saat mata uang tersebut naik?"
Jawaban beliau, "Dia harus membayar sesuai dengan jumlah yang diambilnya, sedangkan naik atau turunnya nilai mata uang tersebut tidaklah berpengaruh pada utangnya. Misalnya ada orang yang berutang satu juta rupiah. Ketika berutang, nilai satu juta sama dengan US$ 150. Kemudian, ketika dia hendak membayar utang, nilai satu juta sama dengan US$ 100. Maka, kita katakan bahwa dia harus membayar satu juta rupiah sebagaimana yang telah diambilnya, sedangkan turunnya nilai mata uang tidak teranggap dalam hal ini.
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, yang sanadnya lemah tapi maknanya benar menurut mayoritas ulama, (yaitu hadits) tentang penukaran mata uang, yang makna hadits tersebut adalah, 'Tukar-menukar dinar diperbolehkan jika dengan harga saat itu (yaitu saat diambil).'"
Dari potongan hadits ini, para ulama mengambil dua kesimpulan hukum:
Kesimpulan pertama. Jika dibayar dengan mata uang yang sama dengan saat berutang, maka jumlah harus tetap demikian, tanpa menimbang bertambah dan berkurangnya nilai mata uang tersebut.
Adapun, jika seseorang berutang sebesar 100 real saudi (yang saat itu senilai dengan 200 ribu rupiah), lalu dia akan melunasi utangnya saat nilainya telah berubah, maka dia boleh membayar sebesar 100 real itu sendiri atau dengan rupiah senilai 100 real pada saat sekarang.
Dalam masalah seperti ini, sepatutnya disadari bahwa siapa saja yang membantu orang lain dengan mengutanginya, maka dia harus siap menerima risiko pemberian utang tersebut. Misalnya, terjadi perubahan nilai mata uang atau yang berutang dalam kesempitan finansial, maka orang yang mengutangi harus rela untuk memberi tempo sampai orang tersebut memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya.
Persoalan ini telah dijawab sebagaimana jawaban di atas, oleh guru kami Syekh Ubaid al-Jabiri, ketika mata uang Yaman jatuh.
Kesimpulan kedua. Ketika mata uang yang digunakan selama ini tiba-tiba dicabut dari peredaran, maka negara berkewajiban untuk menetapkan nilai mata uang yang dicabut tersebut saat ini.
Dahulu, Yaman Selatan menggunakan mata uang dinar dan dirham, sedangkan Yaman Utara menggunakan mata uang real. Ketika dinar dan dirham dicabut dari peredaran secara resmi, sehingga seluruh Yaman menggunakan Real Yaman, maka orang-orang yang menanggung utang dengan dinar melunasinya dengan menggunakan Real, berdasarkan penetapan negara untuk nilai dinar yang menjadi kewajibannya. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah memiliki peranan penting untuk meniadakan sengketa di antara rakyatnya." (Bingkisan Ilmu dari Yaman, hlm. 240--242)
Hadits yang beliau maksudkan adalah hadits berikut ini.
Dari Ibnu Umar, "Aku bertanya kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, tunggu sebentar. Aku hendak bertanya. Aku menjual unta di Baqi'. Aku jual dengan dinar, namun aku ambil dengan dirham. Kadang, aku jual dengan harga dirham, namun aku ambil dalam bentuk dinar. Aku ambil ini dari itu, dan aku ambil itu dari ini.' Rasulullah bersabda, 'Tidak apa-apa jika engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama engkau tidak berpisah dengan pembeli dalam keadaan ada uang belum diserahkan.'" (Hr. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Hakim; dinilai shahih oleh Hakim. Lihat Bulughul Maram, no. 682)
Imam Hakim mengatakan, "Shahih menurut kriteria Imam Muslim." Pernyataan beliau ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Di samping itu, hadits di atas dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan dinilai hasan oleh as-Subki dalam Takmilah Majmu'.
Ringkasnya, Syekh Abdullah al-Bassam mengatakan, "Hadits ini berstatus hasan." (Taudhih al-Ahkam: 4/297, Maktabah Asadi)
Jadi, di samping ada yang menilai lemah terhadap hadits ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Abdullah al-Mar'i di atas, tidak sedikit pula ulama yang menilai hadits tersebut sebagai hadits yang kuat, baik dengan kualitas shahih ataupu...n dengan kualitas hasan.
Terkait dengan pelunasan utang dengan mata uang yang berbeda, maka pada asalnya pelunasan utang itu dengan penggunaan mata uang yang sama dengan ketika menerima utang, karena orang yang berutang itu tidak memiliki kewajiban kecuali mata uang yang pernah dia terima.
Termasuk yang terlarang adalah adanya kesepakatan antara pemberi utang dan penerima utang agar pelunasan menggunakan mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dulu diterima. Terdapat keputusan Majma' Fikih Islami berkaitan dengan larangan ini, sebagaimana keputusan no. 75.
Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan di awal namun semata-mata kerelaan yang melunasi utang, maka tidak mengapa, asalkan dengan harga pada hari ini, sebagaimana penjelasan di atas.
Sebagai solusi, ketika dikhawatirkan bahwa nilai suatu mata uang akan jatuh, maka transaksi utang-piutang bisa dilakukan dengan menggunakan mata uang lain yang relatif lebih stabil, dengan emas atau perak, bisa juga dengan barang dagangan yang relatif tidak terpengaruh dengan inflasi. Namun, pelunasan utang disyaratkan dilakukan dengan barang semisal ketika dulu diterima.
Jadi, tidak boleh mengaitkan utang dengan berbagai faktor di luar utang, semisal harga emas atau perak, nilai mata lain, tingkat suku bunga, harga BBM, dan lain-lain. Hal ini tidak diperbolehkan, dengan dua alasan:
1. Hal tersebut menyebabkan spekulasi dan ketidakjelasan yang keterlaluan karena kedua belah pihak tidak mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga salah satu syarat sahnya transaksi, yaitu kejelasan, menjadi tidak terpenuhi.
2. Jika yang menjadi kaitan utang tersebut harganya cenderung naik, maka akan terjadi ketidaksamaan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dibayarkan. Jika ini menjadi kesepakatan di awal transaksi, maka terjadilah riba.
Penulis: Ustadz Abu 'Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Semua Kembali Kepada Apa Yang Sebenarnya Kita Hutang Piutangkan.
Perlu diingat bahwa dalam bermuamalah, Islam Melarang empat hal, yakni :
1.Gharar (ketidak jelasan),
2. Maysir (unsur pertaruhan/perjudian),
3. Riba (tambahan nilai yg disepakati di awal)
4. dan Maksiat (jual beli barang haram)
Maka dalam melakukan hutang piutang hendaknya sejak awal disepakati antara pihak yg berutang dgn yang memiliki hutang bahwa APA SEBENARNYA YG DIJADIKAN OBJEK HUTANG PIUTANG, apakah uang, barang tertentu, atau tanah.
Hukum hutang piutang adalah SAMA DENGAN PINJAMAN.
Jika ia berupa barang, maka apa yg dahulu diterima oleh pengutang itu pula yg wajib ia kembalikan. jika yg disepakati sebagai objek utang piutang adalah nilai uang tertentu secara nominal angka yg tertera pada uang tersebut, maka apa yg dahulu diterima oleh pengutang itu pula yg wajib ia kembalikan, demikian bila yg disepakati sebagai objek utang piutang adalah daya beli uang tersebut, maka maka apa yg dahulu diterima oleh pengutang itu pula yg wajib ia kembalikan kepada pemiliknya. krna pengutang sama dgn peminjam (seseorang yg wajib mengembalikan apa yg ia pinjam)
Disinilah pentingnya KEJELASAN PADA TRANSAKSI AWAL. selama tidak ada unsur menyepakati TAMBAHAN TERTENTU, Insya Alloh ia lepas dari Riba.
Demikianlah, salah satu sebab keberkahan adalah tidak adanya gharar (ketidak-jelasan) ketika transaksi awal.
Lalu bagaimana dengan faktor Inflasi (kenaikan harga barang secara umum) yg bisa mengurangi daya beli uang?
Apa korelasi antara daya beli uang dan inflasi?
Begini, bagaimana jika kita meminjam pakaian, apakah wajib bagi kita untuk menjaga agar pakaian tersebut tidak rusak?
Tentu kita menjawab ya, karna kewajiban bagi si peminjam barang adalah menjaga amanah atas barang yang ia pinjam sehingga nilainya tidak jatuh takkala dikembalikan.
Alangkah sedihnya bagi si pemilik pakaian ketika pakaiannya dikembalikan dalam keadaan jatuh nilainya akibat berdebu atau semisal noda dsb.
Dalam hal ini Inflasi ibarat noda yg bisa mengurangi nilai mata uang.
Maka jika yg disepakati sebagai objek hutang piutang adalah daya beli uang, hendaknya si peminjam mengembalikan daya beli uang tersebut persis sama dgn apa yg dahulu ia pinjam, dgn berusaha melepaskan nilai tersebut dari unsur noda yang menjadikan nilainya berkurang.
maka dalam hal ini sangat perlu kejelasan sejak awal tentang APA dan BERAPA NILAI yg disepakati sebagai OBJEK PINJAMAN.
APA DAN BERAPA YG DAHULU DIPINJAM, ITULAH YG DIKEMBALIKAN
Kesimpulannya adalah :
Kalau mau menghutangi orang.
PERTAMA :
Niatkan ikhlas karena Allah ta'ala bahwa kita ingin membantunya/menolongnya semata2 karena ingin mengeluarkan si penghutang dari kesulitan yang menimpanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم
“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)
KEDUA :
Sebagai orang yang memberikan hutang, JANGAN PERNAH berniat untuk mengambil manfaat/keuntungan dari transaksi hutang piutang ini (sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para rentenir, yang mereka menjadikan profesi menghutangkan uang ini sebagai mata pencahariannya, dan juga bank ribawiyah)
Sebab perkara tersebut adalah haram.
Sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)
Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan.
KETIGA :
Buatlah kesepakatan awal antara yang menghutangi dengan orang yang berhutang (semacam MOU) ketika akan terjadi transaksi hutang piutang, yang mana dalam MOU itu semuanya dijelaskan, termasuk kemungkinan adanya resiko, perubahan nilai tukar dll (jika masa pinjamannya lama). INTINYA semuanya harus jelas sejak awal. Dan dalam MOU itu tidak boleh ada indikasi bahwa orang yang menghutangkan uang ingin mendapatkan keuntungan barang sedikitpun.
Wallahu a'lam
Apa korelasi antara daya beli uang dan inflasi?
Begini, bagaimana jika kita meminjam pakaian, apakah wajib bagi kita untuk menjaga agar pakaian tersebut tidak rusak?
Tentu kita menjawab ya, karna kewajiban bagi si peminjam barang adalah menjaga amanah atas barang yang ia pinjam sehingga nilainya tidak jatuh takkala dikembalikan.
Alangkah sedihnya bagi si pemilik pakaian ketika pakaiannya dikembalikan dalam keadaan jatuh nilainya akibat berdebu atau semisal noda dsb.
Dalam hal ini Inflasi ibarat noda yg bisa mengurangi nilai mata uang.
Maka jika yg disepakati sebagai objek hutang piutang adalah daya beli uang, hendaknya si peminjam mengembalikan daya beli uang tersebut persis sama dgn apa yg dahulu ia pinjam, dgn berusaha melepaskan nilai tersebut dari unsur noda yang menjadikan nilainya berkurang.
maka dalam hal ini sangat perlu kejelasan sejak awal tentang APA dan BERAPA NILAI yg disepakati sebagai OBJEK PINJAMAN.
APA DAN BERAPA YG DAHULU DIPINJAM, ITULAH YG DIKEMBALIKAN
Kesimpulannya adalah :
Kalau mau menghutangi orang.
PERTAMA :
Niatkan ikhlas karena Allah ta'ala bahwa kita ingin membantunya/menolongnya semata2 karena ingin mengeluarkan si penghutang dari kesulitan yang menimpanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم
“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)
KEDUA :
Sebagai orang yang memberikan hutang, JANGAN PERNAH berniat untuk mengambil manfaat/keuntungan dari transaksi hutang piutang ini (sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para rentenir, yang mereka menjadikan profesi menghutangkan uang ini sebagai mata pencahariannya, dan juga bank ribawiyah)
Sebab perkara tersebut adalah haram.
Sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)
Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan.
KETIGA :
Buatlah kesepakatan awal antara yang menghutangi dengan orang yang berhutang (semacam MOU) ketika akan terjadi transaksi hutang piutang, yang mana dalam MOU itu semuanya dijelaskan, termasuk kemungkinan adanya resiko, perubahan nilai tukar dll (jika masa pinjamannya lama). INTINYA semuanya harus jelas sejak awal. Dan dalam MOU itu tidak boleh ada indikasi bahwa orang yang menghutangkan uang ingin mendapatkan keuntungan barang sedikitpun.
Wallahu a'lam
Sumber :
http://ustadzaris.com/hutang-di-masa-silam
http://www.abusaid.net/index.php/fatawi-sites/194-2009-04-08-08-44-33.html
http://www.abusaid.net/index.php/fatawi-sites/194-2009-04-08-08-44-33.html
http://www.almanhaj.or.id/ content/2093/slash/0 http://pengusahamuslim.com /baca/artikel/876/bila-nil ai-uang-berubah
http://www.facebook.com/rostiyan#!/rostiyan/posts/2021244052158
http://www.facebook.com/rostiyan#!/rostiyan/posts/2021244052158
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.