Oleh : Andika Al Maidany
Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertangungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Allah berfirman tentang Nabi Nuh ketika dia meminta agar anaknya diselamatkan:
“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan temasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46)
Allah berfirman ketika mencela ahli kitab:
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui. Maka mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Ali-Imran: 66)
Dalam ayat pertama, Allah memberikan pengarahan kepada Nabi-Nya dengan etika yang sangat agung. Yaitu, tidak bole mengatakan sesuatu tanpa ilmu dan tidak memperdalamnya (tanpa ilmu). Dalam ayat kedua, Allah melarang Nabi Nuh meminta sesuatu yang tidak ia ketahui. Dalam ayat ketiga, Allah mengingkari ahli kitab yang berargumentasi pada sesuatu yang tidak mereka ketahui. Hal itu dianggap sebagai kebodohan mereka. Kewajiban bagi orang yang tidak mengetahui adalah menahan diri untuk tidak berbicara mengenai hal itu secara dalam. Hendaklah ia tahu bahwa sikap seperti itu temasuk kebaikan dan bukan aib.
Para ulama salaf hingga sekarang menetapkan bahaya berbicara tanpa ilmu. Berikut beberapa perkataan mereka:
Ibnu Jamaah berkata, “Jika dia mengatakan tentang apa yang tidak ia ketahui, maka ia berkata, ‘Aku tidak tahu.’ Sebagian mereka berkata, “Aku tidak tahu adalah setengah dari ilmu.”
Ibnu Abbas berkata, “Jika seorang alim salah (dengan tidak menagtakan) ‘tidak tahu,’ maka ia telah tertimpa bencana.”
Hendaknya seorang alim mewariskan “tidak tahu” kepada murid-muridnya, karena banyaknya apa yang ia ucapkan.
Jawaban orang yang ditanya “tidak tahu” sama sekali tidak merendahkan kedudukannya. Tidak seperti diperkirakan oleh sebagian orang bodoh. Bahkan hal itu mengangkat derajatnya. Karena itu, adalah bukti akan keagungan kedudukannya, kekuatan agamanya, ketakwaan kepada Rabb-nya, kesucian hatinya, kesempurnaan pengetahuannya dan keteguhannya yang baik.
Diriwayatkan dari kaum salaf, orang yang enggan mengatakan “tidak tahu” hanyalah orang yang lemah agamanya dan sedikit wawasannya. Karena dia takut jika harga dirinya jatuh dihadapan orang yang hadir. Ini adalah kebodohan dan ketipisan agama.
Bahkan kesalahannya itu tersebar di tengah masyarakat. Maka ia pun tejatuh ke dalam jurang yang sebelumnya ia jauhi. Ia akan mendapatkan label buruk yang selalu ia hindari.
Allah telah memberikan arahan kepada para ulama melalui kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir, ketika Nabi Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah ketika ia di tanya: “Apakah di bumi ini ada seseorang yang lebih alim dari anda?”
Syaikh as-sa’di berkata, “Di antara kewajiban paling besar pada para guru adalah mengatakan: ‘Allah lebih mengetahui terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui.’ Ini sama sekali tidak mengurangi derajat kedudukan mereka, bahkan mengangkat derajat mereka. Ia juga merupakan dalil akan kesempurnaan agama dan usaha mereka untuk mencari kebenaran.
Ada banyak pelajaran dalam sikap diam tehadap sesuatu yang tidak diketahui:
* Inilah kewajiban yang harus dilakukan
* Jika dia tidak berkomentar dan mengatakan “Hanya Allah yang lebih tahu,” maka secepat mungkin ia akan mendapatkan ilmu tesebut dengan menelaah atau penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Karena ketika seorang murid melihat gurunya tidak menjawab, maka ia akan berusaha keras untuk menghadiahkan hal itu pada sang guru. Sungguh indah!
* Jika ia diam tehadap apa-apa yang tida diketahui maka hal itu merupakan dalil bahwa ia tepercaya dan keteguhannya tehadap masalah-masalah yang ia yakini. Orang yang dikenal berani berbicara tehadap apa-apa yang tidak diketahui, maka hal itu factor yang menyebabkan keraguan terhadap apa yang ia katakana. Walaupun dalam masalah yang sudah jelas.
* Ketika para pelajar melihat seorang guru diam tehadap apa yang tidak ia ketahui maka hal itu merupakan pengajaran dan arahan akan jalan baik ini. Mengambil teladan dengan ucapan dan amalan lebih utama daripada berteladan hanya dengan ucapan.
Ibnu Abbas berkata; “Jika seorang alim meninggalkan (kalimat) “tidak tahu” maka ia telah tetimpa bencana.”
Ibnu Umar berkata: “Ilmu itu ada tiga: kitab yang berbicara, sunnah yang telah lalu, dan tidak tahu.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Di antara keilmuan seseorang bahwa ia mengatakan “Hanya Allah yang Maha Tahu” tehadap apa yang tidak ia ketahui. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku temasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (QS. Shad:86)
Imam Ahmad berkata, “Tidak segala hal harus dibicarakan.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Ada lima hal, seandainya seseorang melakukan dengannya ke Yaman, niscaya semua itu menjadi pengganti atas perjalanannya:
1. Tidak takutnya seorang hamba kecuali kepada Rabb-nya
2. Tidak merasakan bahaya kecuali atas dosanya
3. Orang yang tidak merasa malu mengatakan “Hanya Allah yang mengetahui”, ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui
4. Orang yang tak tahu tidak merasa malu belajar
5. Kedudukan sabar dalam agama bagaikan kepala bagi jasad. Jika kepala terputus maka badan pun hancur
Al-Qasim dan Ibnu Sirin berkata, “Seseorang yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.”
Abu Hamid Al-Ghazali berkata, “Seandainya dia diam tehadap apa yang tidak ia ketahui, niscaya akan sedikit perbedaan pendapat. Barangsiapa pendek kemampuannya dan sempit pandangannya dari berbagai perkataan para ulama ummat dan penelaahannya, maka ia tidak berhak sama sekali untuk berkata dalam hal yang tidak ia ketahui dan berkecimpung dalam hal yang tidak bermanfaat baginya. Orang yang seperti ini mestinya diam.”
Imam Malik berkata, “Semestinya seseorang itu tidak berbicara kecuali dalam hal yang ia pahami.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia di Tanya oleh seorang badui, “apakah seorang bibi mendapatkan waris?”
Ibnu Umar menjawab, “Tidak tahu.”
Badui itu bertanya kembali, “Kamu tidak tahu?!”
Ibnu Umar menjawab, “Ya, pergilah kepada para ulama dan tanyakanlah pada mereka.”
Seorang lelaki bertanya kepada Amr bin Dinar tentang satu masalah, lalu ia tidak menjawabnya. Orang itu berkata, “Sesungguhnya dalam diri saya ada sedikit jawaban tentangnya.”
Lalu Amr bin Dinar berkata, “Jika dalam dirimu ada jawaban bagaikan gunung Abu Qubais, maka hal itu lebih aku sukai daripada yang ada dalam diriku hanya bagaikan seuntai rambut.”
Ibnu Mahdi berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang sesuatu. Dia terus-menerus datang dan mendesaknya. Lalu Imam Malik berkata, “Masya Allah, aku tidak menjawab kecuali dalam hal yang menurutku ada kebaikan di dalamnya. Sekarang ini, aku sama sekali tidak memahami dengan benar masalahmu.”
Muhammad bin Abdil Hakam berkata, “Aku bertanya kepada Imam Asy-Syafi’I tentang masalah nikah mut’ah: “Apakah di dalamnya ada talak, pewarisan, atau nafkah yang wajib atau persaksian?” Lalu ia menjawab, “Demi Allah aku tidak tahu.”
Ketika Imam Adz-Dzahabi berbicara tentang umur Salman Al Farisi, ia berkata: “Hematku ia tidak mencapai umur seratus tahun. Barangsiapa mengetahuinya maka kabarkanlah kepada kami. Abu al-faraj ibnul jauzi dan yang lainnya telah meriwayatkan tentang panjang usianya. Aku tidak mengetahui sedikitpun yang mengarak ke sana. Aku telah menuturkan dalam kitabku Tarikh al-kabir bahwa ia hidup selama 250 tahun! Sekarang ini aku tidak berpendapat demikian dan tidak menshahihkannya.”
Abu Ishaq berkata, “Telah sampai kepadak (sebuah berita) sesungguhnya seorang lelaki datang kepada Amr dan berkata, “wajib kepadaku memerdekakan di antara anak-anak Ismail.”
Lalu ia berkata, “aku tidak mengajarkannya kecuali kepada Hasan dan Husain.” Adz-Dzahabi berkata, “Aku tidak memahaminya.”
Ibnu Uyainah berkata, “Dahulu Abu al husain jika ditanya tentang satu masalah maka ia berkata, “Aku tidak memiliki ilmu tentang itu. Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
Ibnu Katsir menuturkan sebuah atsar dari Ali bin Abi Thalib dalam menafsirkan firman Allah:
“Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu.” (QS. An-Nisa:23)
Ibnu Katsir berkata, “Guruku al-hafiz Abu Abdillah Adz-Dzahabi berkata, “Sesungguhnya masalah ini ditanyakan kepada Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Lalu ia merasa kesulitan dan tidak menjawabnya. Hanya Allah jualah Yang Maha Tahu.”
Al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku pernah belajar kepada al-Bahr Ibnu Abbas. Aku pernah belajar bersama Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Lalu banyak (menimba ilmu darinya). Di sana ada (pada diri Ibnu Umar) kewara’an, ilmu yang banyak dan sikap diam atas segala hal yang tidak diketahui.”
Temasuk di dalamnya adalah pengakuan Imam Adz-Dzahabi bahwa ia tidak mengetahui (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala XIII/41 dengan catatan kakainya, XIII/158).
Yang semisal dengannya adalah yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam mukaddimah kitabnya Hajjat al-Wada’, hal. 13 dan 28.
Wallahu a'lam.
[Bimbingan Menuntut Ilmu, tulisan Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, tebitan pustaka At-Tazkia, Jakarta: Jumadil Ula 1427 H/Juni 2006 M].
Sumber : http://syabaabussunnah.wordpress.com/2008/04/07/jangan-asal-berbicara-dalam-agama/
Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertangungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Allah berfirman tentang Nabi Nuh ketika dia meminta agar anaknya diselamatkan:
“Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan temasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46)
Allah berfirman ketika mencela ahli kitab:
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui. Maka mengapa kamu bantah-membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Ali-Imran: 66)
Dalam ayat pertama, Allah memberikan pengarahan kepada Nabi-Nya dengan etika yang sangat agung. Yaitu, tidak bole mengatakan sesuatu tanpa ilmu dan tidak memperdalamnya (tanpa ilmu). Dalam ayat kedua, Allah melarang Nabi Nuh meminta sesuatu yang tidak ia ketahui. Dalam ayat ketiga, Allah mengingkari ahli kitab yang berargumentasi pada sesuatu yang tidak mereka ketahui. Hal itu dianggap sebagai kebodohan mereka. Kewajiban bagi orang yang tidak mengetahui adalah menahan diri untuk tidak berbicara mengenai hal itu secara dalam. Hendaklah ia tahu bahwa sikap seperti itu temasuk kebaikan dan bukan aib.
Para ulama salaf hingga sekarang menetapkan bahaya berbicara tanpa ilmu. Berikut beberapa perkataan mereka:
Ibnu Jamaah berkata, “Jika dia mengatakan tentang apa yang tidak ia ketahui, maka ia berkata, ‘Aku tidak tahu.’ Sebagian mereka berkata, “Aku tidak tahu adalah setengah dari ilmu.”
Ibnu Abbas berkata, “Jika seorang alim salah (dengan tidak menagtakan) ‘tidak tahu,’ maka ia telah tertimpa bencana.”
Hendaknya seorang alim mewariskan “tidak tahu” kepada murid-muridnya, karena banyaknya apa yang ia ucapkan.
Jawaban orang yang ditanya “tidak tahu” sama sekali tidak merendahkan kedudukannya. Tidak seperti diperkirakan oleh sebagian orang bodoh. Bahkan hal itu mengangkat derajatnya. Karena itu, adalah bukti akan keagungan kedudukannya, kekuatan agamanya, ketakwaan kepada Rabb-nya, kesucian hatinya, kesempurnaan pengetahuannya dan keteguhannya yang baik.
Diriwayatkan dari kaum salaf, orang yang enggan mengatakan “tidak tahu” hanyalah orang yang lemah agamanya dan sedikit wawasannya. Karena dia takut jika harga dirinya jatuh dihadapan orang yang hadir. Ini adalah kebodohan dan ketipisan agama.
Bahkan kesalahannya itu tersebar di tengah masyarakat. Maka ia pun tejatuh ke dalam jurang yang sebelumnya ia jauhi. Ia akan mendapatkan label buruk yang selalu ia hindari.
Allah telah memberikan arahan kepada para ulama melalui kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir, ketika Nabi Musa tidak mengembalikan ilmu kepada Allah ketika ia di tanya: “Apakah di bumi ini ada seseorang yang lebih alim dari anda?”
Syaikh as-sa’di berkata, “Di antara kewajiban paling besar pada para guru adalah mengatakan: ‘Allah lebih mengetahui terhadap apa-apa yang tidak ia ketahui.’ Ini sama sekali tidak mengurangi derajat kedudukan mereka, bahkan mengangkat derajat mereka. Ia juga merupakan dalil akan kesempurnaan agama dan usaha mereka untuk mencari kebenaran.
Ada banyak pelajaran dalam sikap diam tehadap sesuatu yang tidak diketahui:
* Inilah kewajiban yang harus dilakukan
* Jika dia tidak berkomentar dan mengatakan “Hanya Allah yang lebih tahu,” maka secepat mungkin ia akan mendapatkan ilmu tesebut dengan menelaah atau penelitian yang dilakukan oleh orang lain. Karena ketika seorang murid melihat gurunya tidak menjawab, maka ia akan berusaha keras untuk menghadiahkan hal itu pada sang guru. Sungguh indah!
* Jika ia diam tehadap apa-apa yang tida diketahui maka hal itu merupakan dalil bahwa ia tepercaya dan keteguhannya tehadap masalah-masalah yang ia yakini. Orang yang dikenal berani berbicara tehadap apa-apa yang tidak diketahui, maka hal itu factor yang menyebabkan keraguan terhadap apa yang ia katakana. Walaupun dalam masalah yang sudah jelas.
* Ketika para pelajar melihat seorang guru diam tehadap apa yang tidak ia ketahui maka hal itu merupakan pengajaran dan arahan akan jalan baik ini. Mengambil teladan dengan ucapan dan amalan lebih utama daripada berteladan hanya dengan ucapan.
Ibnu Abbas berkata; “Jika seorang alim meninggalkan (kalimat) “tidak tahu” maka ia telah tetimpa bencana.”
Ibnu Umar berkata: “Ilmu itu ada tiga: kitab yang berbicara, sunnah yang telah lalu, dan tidak tahu.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Di antara keilmuan seseorang bahwa ia mengatakan “Hanya Allah yang Maha Tahu” tehadap apa yang tidak ia ketahui. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku temasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (QS. Shad:86)
Imam Ahmad berkata, “Tidak segala hal harus dibicarakan.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Ada lima hal, seandainya seseorang melakukan dengannya ke Yaman, niscaya semua itu menjadi pengganti atas perjalanannya:
1. Tidak takutnya seorang hamba kecuali kepada Rabb-nya
2. Tidak merasakan bahaya kecuali atas dosanya
3. Orang yang tidak merasa malu mengatakan “Hanya Allah yang mengetahui”, ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui
4. Orang yang tak tahu tidak merasa malu belajar
5. Kedudukan sabar dalam agama bagaikan kepala bagi jasad. Jika kepala terputus maka badan pun hancur
Al-Qasim dan Ibnu Sirin berkata, “Seseorang yang mati dalam keadaan bodoh itu lebih baik daripada mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.”
Abu Hamid Al-Ghazali berkata, “Seandainya dia diam tehadap apa yang tidak ia ketahui, niscaya akan sedikit perbedaan pendapat. Barangsiapa pendek kemampuannya dan sempit pandangannya dari berbagai perkataan para ulama ummat dan penelaahannya, maka ia tidak berhak sama sekali untuk berkata dalam hal yang tidak ia ketahui dan berkecimpung dalam hal yang tidak bermanfaat baginya. Orang yang seperti ini mestinya diam.”
Imam Malik berkata, “Semestinya seseorang itu tidak berbicara kecuali dalam hal yang ia pahami.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia di Tanya oleh seorang badui, “apakah seorang bibi mendapatkan waris?”
Ibnu Umar menjawab, “Tidak tahu.”
Badui itu bertanya kembali, “Kamu tidak tahu?!”
Ibnu Umar menjawab, “Ya, pergilah kepada para ulama dan tanyakanlah pada mereka.”
Seorang lelaki bertanya kepada Amr bin Dinar tentang satu masalah, lalu ia tidak menjawabnya. Orang itu berkata, “Sesungguhnya dalam diri saya ada sedikit jawaban tentangnya.”
Lalu Amr bin Dinar berkata, “Jika dalam dirimu ada jawaban bagaikan gunung Abu Qubais, maka hal itu lebih aku sukai daripada yang ada dalam diriku hanya bagaikan seuntai rambut.”
Ibnu Mahdi berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang sesuatu. Dia terus-menerus datang dan mendesaknya. Lalu Imam Malik berkata, “Masya Allah, aku tidak menjawab kecuali dalam hal yang menurutku ada kebaikan di dalamnya. Sekarang ini, aku sama sekali tidak memahami dengan benar masalahmu.”
Muhammad bin Abdil Hakam berkata, “Aku bertanya kepada Imam Asy-Syafi’I tentang masalah nikah mut’ah: “Apakah di dalamnya ada talak, pewarisan, atau nafkah yang wajib atau persaksian?” Lalu ia menjawab, “Demi Allah aku tidak tahu.”
Ketika Imam Adz-Dzahabi berbicara tentang umur Salman Al Farisi, ia berkata: “Hematku ia tidak mencapai umur seratus tahun. Barangsiapa mengetahuinya maka kabarkanlah kepada kami. Abu al-faraj ibnul jauzi dan yang lainnya telah meriwayatkan tentang panjang usianya. Aku tidak mengetahui sedikitpun yang mengarak ke sana. Aku telah menuturkan dalam kitabku Tarikh al-kabir bahwa ia hidup selama 250 tahun! Sekarang ini aku tidak berpendapat demikian dan tidak menshahihkannya.”
Abu Ishaq berkata, “Telah sampai kepadak (sebuah berita) sesungguhnya seorang lelaki datang kepada Amr dan berkata, “wajib kepadaku memerdekakan di antara anak-anak Ismail.”
Lalu ia berkata, “aku tidak mengajarkannya kecuali kepada Hasan dan Husain.” Adz-Dzahabi berkata, “Aku tidak memahaminya.”
Ibnu Uyainah berkata, “Dahulu Abu al husain jika ditanya tentang satu masalah maka ia berkata, “Aku tidak memiliki ilmu tentang itu. Hanya Allah Yang Maha Tahu.”
Ibnu Katsir menuturkan sebuah atsar dari Ali bin Abi Thalib dalam menafsirkan firman Allah:
“Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu.” (QS. An-Nisa:23)
Ibnu Katsir berkata, “Guruku al-hafiz Abu Abdillah Adz-Dzahabi berkata, “Sesungguhnya masalah ini ditanyakan kepada Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Lalu ia merasa kesulitan dan tidak menjawabnya. Hanya Allah jualah Yang Maha Tahu.”
Al-Qasim bin Muhammad berkata, “Aku pernah belajar kepada al-Bahr Ibnu Abbas. Aku pernah belajar bersama Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Lalu banyak (menimba ilmu darinya). Di sana ada (pada diri Ibnu Umar) kewara’an, ilmu yang banyak dan sikap diam atas segala hal yang tidak diketahui.”
Temasuk di dalamnya adalah pengakuan Imam Adz-Dzahabi bahwa ia tidak mengetahui (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala XIII/41 dengan catatan kakainya, XIII/158).
Yang semisal dengannya adalah yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam mukaddimah kitabnya Hajjat al-Wada’, hal. 13 dan 28.
Wallahu a'lam.
[Bimbingan Menuntut Ilmu, tulisan Abdul Aziz bin Muhammad As-Sadhan, tebitan pustaka At-Tazkia, Jakarta: Jumadil Ula 1427 H/Juni 2006 M].
Sumber : http://syabaabussunnah.wordpress.com/2008/04/07/jangan-asal-berbicara-dalam-agama/
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.