Oleh : Ustadz. Abu Usamah Abdurrahman
Ilmu dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menyertai hamba-Nya. Kasih sayang-Nya senantiasa menyelimuti kehidupan mereka dan kebijaksanaan-Nya selalu mengiringi langkah mereka. Namun kelalaianlah yang telah menjadikan manusia itu lupa akan semuanya. Bukan hanya sekadar lupa –di mana itu lebih ringan–, namun lupa diiringi dengan penentangan terhadap kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta melanggar segala perintah dan larangan-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala mereka balas dengan berbuat keji dan berbuat zhalim, padahal kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi segala sesuatu.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al A’raf: 156)
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus kepada mereka para nabi dan rasul, untuk membimbing mereka ke jalan wahyu-Nya serta mengarahkan mereka kepada jalan yang akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Membimbing mereka ke jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperingatkan dari jalan yang dimurkai-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka tidak berakhir dengan habisnya masa kenabian dan kerasulan yang ditutup dengan Nabi kita Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membangkitkan pada setiap generasi, ulama yang memiliki tugas untuk melangsungkan tugas para rasul di tengah umat ini. Termasuk dalam sederetan ulama tersebut adalah al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu.
Siapakah beliau?
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lua’i bin Ghalib, Abu Abdullah al Qurasyi asy Syafi’i al Makki.
Beliau adalah salah satu dari imam madzhab yang masyhur di kalangan kaum muslimin. Beliau lahir pada tahun 150 H, tahun meninggalnya Abu Hanifah, di daerah Gaza. Para ulama telah menulis riwayat hidup al Imam asy Syafi’i dalam bentuk karya yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang imam yang dikagumi oleh kawan dan lawan.
Pada suatu ketika al Imam Ahmad Rahimahullahu duduk bersamanya. Lalu datanglah salah seorang teman beliau mencela beliau karena meninggalkan majelis Ibnu ‘Uyainah –guru al Imam asy Syafi’i– lantas duduk bersama orang A’rabi (Arab dusun) ini. Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya, "Diam kamu. Jika luput darimu hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi) maka kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Jika luput dari hasil akal orang ini (al Imam asy Syafi’i), aku khawatir kamu tidak mendapatkannya. Aku tidak melihat seorang pun yang lebih faqih tentang kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemuda ini (al Imam asy Syafi’i).”
Beliau, al Imam Ahmad Rahimahullahu, berkata, "Kalau bukan karena asy Syafi’i -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- niscaya kita tidak akan bisa memahami hadits.”
Dalam sebuah riwayat beliau berkata, "Beliau (al Imam asy Syafi’i) adalah orang yang paling faqih tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dawud bin Ali Azh Zhahiri, seorang imam dalam Manaqib asy Syafi’i berkata, "Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku: ‘Tatkala saya pergi bersama Ahmad ke asy Syafi’i di Makkah, dan bertanya tentang banyak hal, saya dapati beliau adalah orang yang fasih dan baik akhlaknya. Tatkala kami berpisah dengannya, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir bahwasanya dia (asy Syafi’i) adalah orang yang paling mengerti tentang makna-makna al Qur’an (tafsir) pada masanya dan sungguh dia telah diberikan kefaqihan. Jika saya tahu (sebelumnya) niscaya saya akan bermulazamah (belajar khusus) kepadanya’.”
Dawud berkata, "Saya melihat beliau (Ishaq bin Rahawaih) menyesali apa yang luput dari ilmunya (asy Syafi’i).”
Bahkan penduduk Makkah menggelari beliau dengan Nashirul Hadits (pembela hadits), disebabkan kemasyhuran beliau dalam membela sunnah dan semangat beliau yang tinggi untuk mengikutinya. (Lihat Muqaddimah ar Risalah hal. 6, tahqiq Ahmad Syakir dan Manhaj al Imam asy Syafi’i fi Itsbat al Aqidah, 1/20)
Abdurrahman bin Mahdi Rahimahullahu berkata, "Saya tercengang ketika melihat kitab ar Risalah, karena saya melihat ucapan seseorang yang berakal, fasih, dan penasihat. Maka saya banyak berdoa untuknya.”
Aqidah al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu
al Imam asy Syafi’i dalam menetapkan aqidah berjalan di atas jalan as salafush shalih dari umat ini. Hal ini terlihat dalam beberapa kaidah di bawah ini.
1. Konsekuen dengan al Qur’an dan as Sunnah serta mendahulukan keduanya daripada akal.
Mengambil apa yang datang di dalam al Kitab dan as Sunnah merupakan prinsip beliau. Ini merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah, karena keduanya merupakan sumber pengambilan aqidah Islamiyyah. Tentunya, seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan adat-istiadat, ajaran nenek moyang, tahayul, khurafat, hasil olah akal, perasaan, siyasah (politik), istihsan (anggapan baik), atau lebih mendahulukan taqlid daripada keduanya. Tidak ada petunjuk dan kemaslahatan melainkan dengan berpegang teguh pada keduanya. Inilah sesungguhnya sikap orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an Nisa’: 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al Ahzab: 36)
Di atas prinsip inilah, salaf (pendahulu) umat ini berjalan. Mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta segala apa yang datang dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berbicara dengan kemampuan mereka tentang apa yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berbicara. Mereka pun diam pada perkara yang mereka tidak sanggup dan tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu termasuk dari sederetan imam-imam salaf umat ini. Ucapan beliau yang masyhur adalah:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُولِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ
“Saya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/2 dan 6/354)
2. Menetapkan aqidah dengan hadits-hadits ahad
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi setelah mereka dari kalangan tabi’in dan salaf umat ini telah bersepakat tentang wajibnya beramal dengan hadits ahad, baik mereka mengatakan hadits ahad memberikan manfaat ilmu atau zhan (praduga). Tidak ada yang menyelisihi mereka dalam masalah ini kecuali sebagian kelompok yang tidak teranggap, seperti Mu’tazilah atau Rafidhah. (lihat al Ihkam karya al Amidi 2/64, Irsyadul Fuhul hal. 48-49)
al Khathib al Baghdadi Rahimahullahu berkata, "Beramal dengan hadits ahad merupakan pendapat seluruh tabi’in dan ulama fiqih generasi setelah mereka, di seluruh negeri kaum muslimin, pada setiap masa. Tidak ada satu pun riwayat adanya pengingkaran dan penentangan dari mereka.” (Lihat al Kifayah 72)
al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu telah membela madzhab salaf dalam hal wajibnya beramal dengan hadits-hadits ahad dalam seluruh perkara agama, termasuk di dalamnya aqidah. Tidak pernah ada riwayat bahwa al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu membedakan antara permasalahan aqidah dengan selainnya.
Bahkan diriwayatkan dari beliau, ketika disampaikan hadits tentang kaum mukminin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, beliau ditanya oleh Sa’id bin Asad, "Apa yang engkau katakan tentang hadits ru’yah (melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala)?” Beliau berkata kepadaku, "Wahai Ibnu Asad, coba putuskan, aku ini orang hidup atau telah mati? Setiap hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku akan mengatakannya, walaupun belum sampai kepadaku.” (Manaqib asy Syafi’i karya al Imam Baihaqi Rahimahullahu, 1/421)
Beliau juga telah membantah para pengingkar hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah dan beliau memaparkan dalil-dalilnya.
3. Mengagungkan pemahaman salaf (para sahabat) dan mengikuti mereka
Sungguh pemahaman sahabat di kalangan ulama salaf memiliki kedudukan yang tinggi dan agung. Para sahabat, merupakan qudwah (teladan) mereka baik dalam urusan agama ataupun dunia. Mereka seperti yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, "Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang meniti jalan, maka hendaklah dia meniti jalan orang yang telah meninggal dunia karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari godaan. Mereka adalah sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah umat yang paling utama, paling dalam ilmunya, dan paling tidak membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agamanya. Maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikuti langkah-langkah mereka. Berpeganglah semampu kalian dengan akhlak dan agama mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/97 dan Dar’ud Ta’arudh 5/69)
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata, "Wahai sekalian ahli Qur’an, luruslah kalian dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Maka, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika kalian lurus niscaya kalian telah melangkah jauh ke depan. Namun jika kalian menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka kalian telah tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu di dalam kitab Minhajus Sunnah, 5/81)
al Imam Ahmad Rahimahullahu mengatakan, "Prinsip sunnah (aqidah) di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang telah dilalui oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al Ilm 2/97 dan Minhajus Sunnah 6/81)
4. Menjauhi pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah, dan ahli kalam serta mencela mereka.
Sikap beliau terhadap para pengekor hawa nafsu sangat jelas. Ini terbukti melalui ucapan-ucapan beliau dan amalan beliau. Beliau berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang paling suka bersaksi dusta/palsu selain Syi’ah Rafidhah.” (Adab asy Syafi’i hal. 187, al Manaqib karya al Baihaqi 1/468, dan Sunan al Kubra 10/208)
Beliau juga mengkafirkan orang yang mengatakan al Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah, red.). (al Manaqib, al Baihaqi, 1/407)
Bahkan sikapnya terlihat tatkala beliau meninggalkan Baghdad menuju Mesir, karena munculnya Mu’tazilah di sana yang kemudian menguasai undang-undang negara.
ar Rabi’ berkata, "Aku menyaksikan al Imam asy Syafi’i turun dari tangga, sementara kaum yang berada di majelis tersebut berbicara tentang ilmu kalam (filsafat). Beliau berkata: ‘Kalian duduk bersama kami dengan baik atau kalian pergi dariku’.”
Bahkan beliau mengatakan, "Hukumanku terhadap ahli kalam (filsafat) adalah dia dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, serta diletakkan di atas unta lalu dikelilingkan di kabilah-kabilah, sambil dikatakan: ‘Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan al Qur’an dan as Sunnah lalu belajar ilmu kalam’.” (al Baghawi di dalam Syarhus Sunnah 1/218 dan Ibnu Abdul Bar di dalam al Intiqa hal. 80)
Qashidah Burdah dan aqidah al Imam asy Syafi’i
Setelah kita menyelami aqidah al Imam asy Syafi’i dan prinsip beliau dalam beragama, maka segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan dalam agama, kesesatan dalam beraqidah, jelas bukan aqidah al Imam asy Syafi’i dan beliau berlepas diri dari semuanya. Mari kita melirik sejenak kepada sebuah untaian bait-bait sya’ir yang terdapat di dalam al Burdah yang dijadikan sebagai sajian bacaan yang dilantunkan dalam acara-acara “Islami”, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Di dalam burdah tersebut terdapat pujian-pujian yang berlebihan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau setara dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan dalam salah satu baitnya, beliau diangkat melebihi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan sebuah kekufuran yang nyata dan kesyirikan yang jelas, bahkan mencakup tiga jenis kesyirikan sekaligus yaitu syirik dalam uluhiyah, syirik dalam rububiyah, serta syirik dalam asma’ dan sifat. Di antara bait-bait syair yang dibawakan oleh al Bushiri di dalam al Burdah adalah:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ
سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
Wahai makhluk yang paling dermawan kepada siapakah aku berlindung
kalau bukan pada dirimu ketika terjadi malapetaka yang menyeluruh
Kalimat ini merupakan kesyirikan dalam hal tauhid uluhiyah, yaitu meminta perlindungan dari berbagai marabahaya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita telah mengetahui bahwa meminta perlindungan adalah sebuah ibadah, dan ibadah itu tidak boleh diberikan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh.” (al Falaq: 1)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (An-Nas: 1)
Apakah malapetaka yang dimaksud? Gempa, badai, angin topan, petir yang menyambar, gunung meletus, ombak yang menggunung di lautan, tanah longsor, wabah, dan sebagainya, semuanya termasuk kategori malapetaka. Akankah engkau meminta penyelesaiannya kepada Nabi kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mampukah setelah beliau meninggal untuk berbuat? Sedangkan di masa hidupnya beliau mengatakan:
لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al A’raf: 188)
إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.” (al Jin: 21)
Dalam bait lainnya:
فَإِنَّ مِنْ جُودِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُومِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
maka di antara kedermawananmu adanya dunia dan akhirat
dan di antara ilmumu adalah ilmu lauhul mahfudz dan qalam (pena penulis takdir, red.)
Pada bait ini terdapat bentuk kesyirikan dalam hal tauhid rububiyah. Dikatakan bahwa dunia dan akhirat merupakan pemberian Nabi kita, padahal beliau adalah manusia biasa yang tentunya tidak akan pantas menyandang kerububiyahan.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah yang Esa’.” (al Kahfi: 110)
Jika dunia dan akhirat ada karena kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu apalagi yang disisakan oleh Bushiri untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Dan dalam bait ini juga terdapat syirik dalam masalah tauhid asma’ dan sifat, yaitu masalah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang perkara gaib yang kemudian disandangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau sendiri diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
Katakanlah, "Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (al An’am: 50)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (Ali ‘Imran: 179)
Masalah ghaib adalah ilmu yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada seorang hamba setinggi apapun derajatnya yang berhak menyandangnya.
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al An’am: 59)
Kenapa ucapan syirik seperti ini terjadi?
Itulah akibat sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama yang akan menjatuhkan pelakunya pada kebinasaan dunia dan akhirat. asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu membuat judul dalam karya beliau Kitab at Tauhid, "Bab: Sebab kekufuran bani Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah ghuluw dalam menyikapi orang shalih.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Jangan kalian menyanjungku sebagaimana orang Nasrani menyanjung putra Maryam, aku adalah seorang hamba maka katakanlah: ‘Hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya’.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ
“Berhati-hati kalian dari sikap ghuluw karena ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Telah binasa orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan.”
Wallahu alam bish shawab.
[Dikutip dari Majalah Asy Syari’ah No.55/V/1430 H/2009, hal. 37-42]
Ilmu dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menyertai hamba-Nya. Kasih sayang-Nya senantiasa menyelimuti kehidupan mereka dan kebijaksanaan-Nya selalu mengiringi langkah mereka. Namun kelalaianlah yang telah menjadikan manusia itu lupa akan semuanya. Bukan hanya sekadar lupa –di mana itu lebih ringan–, namun lupa diiringi dengan penentangan terhadap kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta melanggar segala perintah dan larangan-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala mereka balas dengan berbuat keji dan berbuat zhalim, padahal kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi segala sesuatu.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al A’raf: 156)
Salah satu bentuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus kepada mereka para nabi dan rasul, untuk membimbing mereka ke jalan wahyu-Nya serta mengarahkan mereka kepada jalan yang akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Membimbing mereka ke jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memperingatkan dari jalan yang dimurkai-Nya. Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka tidak berakhir dengan habisnya masa kenabian dan kerasulan yang ditutup dengan Nabi kita Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membangkitkan pada setiap generasi, ulama yang memiliki tugas untuk melangsungkan tugas para rasul di tengah umat ini. Termasuk dalam sederetan ulama tersebut adalah al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu.
Siapakah beliau?
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lua’i bin Ghalib, Abu Abdullah al Qurasyi asy Syafi’i al Makki.
Beliau adalah salah satu dari imam madzhab yang masyhur di kalangan kaum muslimin. Beliau lahir pada tahun 150 H, tahun meninggalnya Abu Hanifah, di daerah Gaza. Para ulama telah menulis riwayat hidup al Imam asy Syafi’i dalam bentuk karya yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang imam yang dikagumi oleh kawan dan lawan.
Pada suatu ketika al Imam Ahmad Rahimahullahu duduk bersamanya. Lalu datanglah salah seorang teman beliau mencela beliau karena meninggalkan majelis Ibnu ‘Uyainah –guru al Imam asy Syafi’i– lantas duduk bersama orang A’rabi (Arab dusun) ini. Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya, "Diam kamu. Jika luput darimu hadits dengan sanad yang ‘ali (tinggi) maka kamu akan mendapatkannya dengan sanad yang nazil (rendah). Jika luput dari hasil akal orang ini (al Imam asy Syafi’i), aku khawatir kamu tidak mendapatkannya. Aku tidak melihat seorang pun yang lebih faqih tentang kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemuda ini (al Imam asy Syafi’i).”
Beliau, al Imam Ahmad Rahimahullahu, berkata, "Kalau bukan karena asy Syafi’i -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- niscaya kita tidak akan bisa memahami hadits.”
Dalam sebuah riwayat beliau berkata, "Beliau (al Imam asy Syafi’i) adalah orang yang paling faqih tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dawud bin Ali Azh Zhahiri, seorang imam dalam Manaqib asy Syafi’i berkata, "Ishaq bin Rahawaih berkata kepadaku: ‘Tatkala saya pergi bersama Ahmad ke asy Syafi’i di Makkah, dan bertanya tentang banyak hal, saya dapati beliau adalah orang yang fasih dan baik akhlaknya. Tatkala kami berpisah dengannya, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir bahwasanya dia (asy Syafi’i) adalah orang yang paling mengerti tentang makna-makna al Qur’an (tafsir) pada masanya dan sungguh dia telah diberikan kefaqihan. Jika saya tahu (sebelumnya) niscaya saya akan bermulazamah (belajar khusus) kepadanya’.”
Dawud berkata, "Saya melihat beliau (Ishaq bin Rahawaih) menyesali apa yang luput dari ilmunya (asy Syafi’i).”
Bahkan penduduk Makkah menggelari beliau dengan Nashirul Hadits (pembela hadits), disebabkan kemasyhuran beliau dalam membela sunnah dan semangat beliau yang tinggi untuk mengikutinya. (Lihat Muqaddimah ar Risalah hal. 6, tahqiq Ahmad Syakir dan Manhaj al Imam asy Syafi’i fi Itsbat al Aqidah, 1/20)
Abdurrahman bin Mahdi Rahimahullahu berkata, "Saya tercengang ketika melihat kitab ar Risalah, karena saya melihat ucapan seseorang yang berakal, fasih, dan penasihat. Maka saya banyak berdoa untuknya.”
Aqidah al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu
al Imam asy Syafi’i dalam menetapkan aqidah berjalan di atas jalan as salafush shalih dari umat ini. Hal ini terlihat dalam beberapa kaidah di bawah ini.
1. Konsekuen dengan al Qur’an dan as Sunnah serta mendahulukan keduanya daripada akal.
Mengambil apa yang datang di dalam al Kitab dan as Sunnah merupakan prinsip beliau. Ini merupakan salah satu prinsip Ahlus Sunnah, karena keduanya merupakan sumber pengambilan aqidah Islamiyyah. Tentunya, seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan adat-istiadat, ajaran nenek moyang, tahayul, khurafat, hasil olah akal, perasaan, siyasah (politik), istihsan (anggapan baik), atau lebih mendahulukan taqlid daripada keduanya. Tidak ada petunjuk dan kemaslahatan melainkan dengan berpegang teguh pada keduanya. Inilah sesungguhnya sikap orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an Nisa’: 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al Ahzab: 36)
Di atas prinsip inilah, salaf (pendahulu) umat ini berjalan. Mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta segala apa yang datang dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berbicara dengan kemampuan mereka tentang apa yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berbicara. Mereka pun diam pada perkara yang mereka tidak sanggup dan tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu termasuk dari sederetan imam-imam salaf umat ini. Ucapan beliau yang masyhur adalah:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُولِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ
“Saya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya juga beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dengan segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/2 dan 6/354)
2. Menetapkan aqidah dengan hadits-hadits ahad
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi setelah mereka dari kalangan tabi’in dan salaf umat ini telah bersepakat tentang wajibnya beramal dengan hadits ahad, baik mereka mengatakan hadits ahad memberikan manfaat ilmu atau zhan (praduga). Tidak ada yang menyelisihi mereka dalam masalah ini kecuali sebagian kelompok yang tidak teranggap, seperti Mu’tazilah atau Rafidhah. (lihat al Ihkam karya al Amidi 2/64, Irsyadul Fuhul hal. 48-49)
al Khathib al Baghdadi Rahimahullahu berkata, "Beramal dengan hadits ahad merupakan pendapat seluruh tabi’in dan ulama fiqih generasi setelah mereka, di seluruh negeri kaum muslimin, pada setiap masa. Tidak ada satu pun riwayat adanya pengingkaran dan penentangan dari mereka.” (Lihat al Kifayah 72)
al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu telah membela madzhab salaf dalam hal wajibnya beramal dengan hadits-hadits ahad dalam seluruh perkara agama, termasuk di dalamnya aqidah. Tidak pernah ada riwayat bahwa al Imam asy Syafi’i Rahimahullahu membedakan antara permasalahan aqidah dengan selainnya.
Bahkan diriwayatkan dari beliau, ketika disampaikan hadits tentang kaum mukminin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, beliau ditanya oleh Sa’id bin Asad, "Apa yang engkau katakan tentang hadits ru’yah (melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala)?” Beliau berkata kepadaku, "Wahai Ibnu Asad, coba putuskan, aku ini orang hidup atau telah mati? Setiap hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku akan mengatakannya, walaupun belum sampai kepadaku.” (Manaqib asy Syafi’i karya al Imam Baihaqi Rahimahullahu, 1/421)
Beliau juga telah membantah para pengingkar hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah dan beliau memaparkan dalil-dalilnya.
3. Mengagungkan pemahaman salaf (para sahabat) dan mengikuti mereka
Sungguh pemahaman sahabat di kalangan ulama salaf memiliki kedudukan yang tinggi dan agung. Para sahabat, merupakan qudwah (teladan) mereka baik dalam urusan agama ataupun dunia. Mereka seperti yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, "Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang meniti jalan, maka hendaklah dia meniti jalan orang yang telah meninggal dunia karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari godaan. Mereka adalah sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah umat yang paling utama, paling dalam ilmunya, dan paling tidak membebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah pilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agamanya. Maka ketahuilah keutamaan mereka dan ikuti langkah-langkah mereka. Berpeganglah semampu kalian dengan akhlak dan agama mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/97 dan Dar’ud Ta’arudh 5/69)
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata, "Wahai sekalian ahli Qur’an, luruslah kalian dan ikutilah jalan orang-orang sebelum kalian. Maka, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika kalian lurus niscaya kalian telah melangkah jauh ke depan. Namun jika kalian menyimpang ke kanan dan ke kiri, maka kalian telah tersesat dengan kesesatan yang jauh.” (disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu di dalam kitab Minhajus Sunnah, 5/81)
al Imam Ahmad Rahimahullahu mengatakan, "Prinsip sunnah (aqidah) di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang telah dilalui oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al Ilm 2/97 dan Minhajus Sunnah 6/81)
4. Menjauhi pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah, dan ahli kalam serta mencela mereka.
Sikap beliau terhadap para pengekor hawa nafsu sangat jelas. Ini terbukti melalui ucapan-ucapan beliau dan amalan beliau. Beliau berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang paling suka bersaksi dusta/palsu selain Syi’ah Rafidhah.” (Adab asy Syafi’i hal. 187, al Manaqib karya al Baihaqi 1/468, dan Sunan al Kubra 10/208)
Beliau juga mengkafirkan orang yang mengatakan al Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah, red.). (al Manaqib, al Baihaqi, 1/407)
Bahkan sikapnya terlihat tatkala beliau meninggalkan Baghdad menuju Mesir, karena munculnya Mu’tazilah di sana yang kemudian menguasai undang-undang negara.
ar Rabi’ berkata, "Aku menyaksikan al Imam asy Syafi’i turun dari tangga, sementara kaum yang berada di majelis tersebut berbicara tentang ilmu kalam (filsafat). Beliau berkata: ‘Kalian duduk bersama kami dengan baik atau kalian pergi dariku’.”
Bahkan beliau mengatakan, "Hukumanku terhadap ahli kalam (filsafat) adalah dia dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, serta diletakkan di atas unta lalu dikelilingkan di kabilah-kabilah, sambil dikatakan: ‘Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan al Qur’an dan as Sunnah lalu belajar ilmu kalam’.” (al Baghawi di dalam Syarhus Sunnah 1/218 dan Ibnu Abdul Bar di dalam al Intiqa hal. 80)
Qashidah Burdah dan aqidah al Imam asy Syafi’i
Setelah kita menyelami aqidah al Imam asy Syafi’i dan prinsip beliau dalam beragama, maka segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan dalam agama, kesesatan dalam beraqidah, jelas bukan aqidah al Imam asy Syafi’i dan beliau berlepas diri dari semuanya. Mari kita melirik sejenak kepada sebuah untaian bait-bait sya’ir yang terdapat di dalam al Burdah yang dijadikan sebagai sajian bacaan yang dilantunkan dalam acara-acara “Islami”, sebagaimana anggapan sebagian orang.
Di dalam burdah tersebut terdapat pujian-pujian yang berlebihan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mengangkat beliau setara dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan dalam salah satu baitnya, beliau diangkat melebihi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini menunjukkan sebuah kekufuran yang nyata dan kesyirikan yang jelas, bahkan mencakup tiga jenis kesyirikan sekaligus yaitu syirik dalam uluhiyah, syirik dalam rububiyah, serta syirik dalam asma’ dan sifat. Di antara bait-bait syair yang dibawakan oleh al Bushiri di dalam al Burdah adalah:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِي مَنْ أَلُوذُ بِهِ
سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
Wahai makhluk yang paling dermawan kepada siapakah aku berlindung
kalau bukan pada dirimu ketika terjadi malapetaka yang menyeluruh
Kalimat ini merupakan kesyirikan dalam hal tauhid uluhiyah, yaitu meminta perlindungan dari berbagai marabahaya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita telah mengetahui bahwa meminta perlindungan adalah sebuah ibadah, dan ibadah itu tidak boleh diberikan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh.” (al Falaq: 1)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (An-Nas: 1)
Apakah malapetaka yang dimaksud? Gempa, badai, angin topan, petir yang menyambar, gunung meletus, ombak yang menggunung di lautan, tanah longsor, wabah, dan sebagainya, semuanya termasuk kategori malapetaka. Akankah engkau meminta penyelesaiannya kepada Nabi kita Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mampukah setelah beliau meninggal untuk berbuat? Sedangkan di masa hidupnya beliau mengatakan:
لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al A’raf: 188)
إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
“Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.” (al Jin: 21)
Dalam bait lainnya:
فَإِنَّ مِنْ جُودِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُومِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
maka di antara kedermawananmu adanya dunia dan akhirat
dan di antara ilmumu adalah ilmu lauhul mahfudz dan qalam (pena penulis takdir, red.)
Pada bait ini terdapat bentuk kesyirikan dalam hal tauhid rububiyah. Dikatakan bahwa dunia dan akhirat merupakan pemberian Nabi kita, padahal beliau adalah manusia biasa yang tentunya tidak akan pantas menyandang kerububiyahan.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah yang Esa’.” (al Kahfi: 110)
Jika dunia dan akhirat ada karena kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu apalagi yang disisakan oleh Bushiri untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Dan dalam bait ini juga terdapat syirik dalam masalah tauhid asma’ dan sifat, yaitu masalah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang perkara gaib yang kemudian disandangkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau sendiri diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
Katakanlah, "Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (al An’am: 50)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (Ali ‘Imran: 179)
Masalah ghaib adalah ilmu yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada seorang hamba setinggi apapun derajatnya yang berhak menyandangnya.
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al An’am: 59)
Kenapa ucapan syirik seperti ini terjadi?
Itulah akibat sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama yang akan menjatuhkan pelakunya pada kebinasaan dunia dan akhirat. asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullahu membuat judul dalam karya beliau Kitab at Tauhid, "Bab: Sebab kekufuran bani Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah ghuluw dalam menyikapi orang shalih.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Jangan kalian menyanjungku sebagaimana orang Nasrani menyanjung putra Maryam, aku adalah seorang hamba maka katakanlah: ‘Hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya’.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ
“Berhati-hati kalian dari sikap ghuluw karena ghuluw telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Telah binasa orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan.”
Wallahu alam bish shawab.
[Dikutip dari Majalah Asy Syari’ah No.55/V/1430 H/2009, hal. 37-42]
Sumber : http://sunniy.wordpress.com/2010/02/09/al-imam-asy-syafi%E2%80%99i-dan-qashidah-al-burdah/
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.