Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang mukmin bisa menderita sakit jiwa ? Apakah obatnya secara syara ? perlu diketahui bahwa pengobatan modern mengobati penyakit-penyakit ini hanya dengan obat-obatan masa kini saja ?
Jawaban
Tidak disangsikan lagi bahwa manusia bisa menderita penyakit-penyakit jiwa berupa ‘hamm’ (sakit hati) terhadap masa depan dan ‘huzn’ (duka cita) terhadap masa lalu. Penyakit-penyakit kejiwaan lebih banyak mempengaruhi tubuh daripada penyakit-penyakit anggota tubuh. Pengobatan penyakit-penyakit ini dengan perkara syar’iyah (ruqyah) lebih manjur daripada pengobatannya dengan obat-obatan yang biasa digunakan.
Di antara obat-obatan adalah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
“Tidak ada seorang mukmin yang menderita hamm, atau, ghamm, atau duka cita, lalu ia membaca, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku di tanganMu, berlaku hukum engkau padaku, qadhaMu sangat adil padaku, aku memohon kepadMu dengan segala nama yang Engkau namakan diriMu dengannya, atau Engkau beritahuk kepada seseorang makhlukMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau hanya Engkau yang mengetaguinya dalam ilmu ghaib di sisiMu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penerang duka citaku, dan hilangnya hamm (sakit hati)ku. Melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan darinya” [Hadits Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 3704-, 4306]
Siapa yang menginginkan tambahan lagi, rujuklah (bacalah) kepada kitab yang ditulis para ulama dalam bab dzikir, seperti Al-Wabil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim, Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Al-Adzkar oleh An-Nawawi, demikian pula Zad Al-Ma’ad karya Ibnul Qayyim.
Tetapi manakala iman lemah, nicaya lemahlah penerimaan jiwa terhadap obat-obatan syar’iyah. Sekarang manusia lebih banyak berpegang kepada obat-obatan nyata daripada berpegang mereka terhadap obat-obatan syar’iyah. Dan manakala iman kuat, niscaya obat-obatan syar’iyah memberikan implikasi secara sempurna, bahkan impilkasinya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan biasa. Sangat jelas bagi kita semua cerita seseorang yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan (sariyah). Lalu mereka singgah di suatu kaum bangsa Arab. Tetapi kaum/suku yang mereka singgahi tidak memberikan jamuan kepada para sahabat. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki pemimpin kaum tersebut digigit ular. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Pergilah kepada mereka yang telah singgah/mampir, mungkin saja kalian mendapatkan ahli ruqyah di sisi mereka””. Para sahabat berkata, “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian, kecuali kalau kalian memberikan kepada kami kambing sebanyak begini dan begini”. Mereka menjawab, “Tidak mengapa”. Lalu salah seorang sahabat pergi membacakan surah Al-Fatihah. Orang yang digigit ular tadi langsung berdiri, seolah-olah berlepas dari ikatan. Seperti inilah, bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh atas laki-laki ini, karena ia muncul dari hati yang penuh iman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah mereka kembali kepada beliau” Tahukan engkau bahwa ia adalah ruqyah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Ath-Thibb 5749, Muslim, kitab As-Salam 2201]
Namun di zaman kita sekarang ini, iman dan agama telah lemah. Manusia berpegang atas perkara-perkara yang terasa dan nampak. Sebenarnya mereka diuji padanya. Akan tetapi di hadapan mereka terdapat para ahli sulap dan mempermainkan akal, kemampuan, dan harta manusia. Mereka meyakini sebagai qurra (pembaca Al-Qur’an) yang bersih, namun mereka sebenarnya adalah pemakan harta dengan cara batil. Manusia berada diantara dua sisi yang kontardiktif, di antara mereka ada yang bersikap ekstrim dan tidak melihat adanya implikasi secara absolute terhadap bacaan. Ada pula yang bersikap ekstrim dan bermain dengan akal manusia dengan bacaan bohong serta menipu. Ada pula yang berada di tengah.
[Fatawa Al-Ilaj bil Qur’an wa Sunnah – Ar-Ruqa wa ma ya’taallaqu biha, karya Syaikh bin Baz, Ibn Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da’imah, hal. 25-27]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1851/slash/0
_______________________
BAGAIMANA MERUQYAH YANG BENAR?
Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali ditanya:
Yang mulia, guru dan orang tua kami, Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzakumullah! Di tengah kami ada seorang peruqyah memerintahkan wanita yang kerasukan agar meletakkan minyak wangi misik di kemaluan, dubur, kedua puting payudara, dan dua bibir. Dia berpandangan bahwa tata cara ini bisa mencegah dari persetubuhan jin yang sedang merasukinya. Menurutnya, hal ini telah teruji dengan pengalaman. Apakah perbuatannya ini benar? Berilah kami penjelasan, semoga Allah memberkahi anda.
Jawab:
Dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Segala puji bagi Allah, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan atas Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja yang mengambil hidayah dengan petunjuknya.
Berobat adalah perkara yang disyariatkan dan diperbolehkan.
“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan Allah menurunkan pula obatnya. Mengetahuinya siapa yang bisa mengetahuinya dan tidak mengetahuinya siapa yang tidak bisa mengetahuinya.”
Ruqyah disyariatkan dengan menggunakan Al Qur`an. Al Qur`an adalah penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al Qur`an tidak memberi manfaat pada orang-orang yang zhalim melainkan kerugian. Tak ada obat yang lebih ampuh daripada ruqyah dengan menggunakan Al Qur`an dan As Sunnah, tetapi dengan beberapa syarat:
• Keikhlasan peruqyah dan yang diruqyah, semoga Allah memberkahi anda. Selain itu, penyandaran diri yang benar kepada Allah. Bila dua belah pihak ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya tak ada obat yang lebih ampuh dibanding ruqyah dengan Al Qur`an maupun As Sunnah. Ini perkara yang dikenal di kalangan para ulama, mereka sendiri yang mengatakan dan menukilkannya.
Al ‘ain merupakan perkara yang dikenal. Al ‘ain adalah menimpakan sesuatu melalui proses sorotan mata pelaku. Bisa jadi pelaku Al ‘ain adalah orang yang jahat. Dari sorot kedua matanya yang jahat, bahaya dapat menimpa seorang yang didengki sehingga mencelakainya. Al ’ain itu terjadi namun dengan seizin Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa Al ‘ain memiliki pengaruh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Al ‘ain adalah benar (adanya).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sihir adalah perkara nyata, tetapi tidak membahayakan kecuali dengan seizin Allah. Pengobatan yang paling ampuh untuk sihir, Al ‘ain, Al humah (panas yang dahsyat akibat tersengat binatang berbisa, pent.), dan yang serupanya, yaitu ruqyah syar’iyyah dengan menggunakan Al Qur`an dan As Sunnah, jika terpenuhi syarat keikhlasan dan kejujuran. Sebab, bisa saja seorang tidak punya kepercayaan atau malah buruk sangka kepada Allah atau si peruqyah adalah seorang dajjal yang pendusta, sehingga dia tidak mau menggunakan Al Qur`an dan justru bersandar kepada tipu daya-tipu daya lainnya.
Banyak manusia yang suka mengorbitkan diri untuk meruqyah. Dia unjuk diri serta mempublikasikan dan menyebarluaskan berbagai iklan bahwa dirinya adalah peruqyah yang maasyaa Allah (hebat). Perbuatan ini merupakan kelicikan, kedustaan, penonjolan diri, serta perampasan harta manusia tanpa kebenaran. Mereka sedikitpun tidak menguntungkan manusia.
Acapkali, mereka menggunakan tipu daya. Ini merupakan metode yang hampa. Orang ini mengatakan bahwa dirinya didatangi oleh seorang wanita bahkan dua atau tiga orang wanita, lalu dia mengajaknya berbicara dengan tata cara rendahan, (yaitu ucapan), “Oleskan pada kemaluanmu.. oleskan pada duburmu…” Ini adalah orang yang buruk akhlaq lagi rendah.
Saya menasehatkannya agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan profesi meruqyah. Ruqyah bisa dilakukan oleh setiap muslim yang ikhlas, jujur, dan dikenal dengan ketakwaan serta keshalihan. Tidak perlu dia mengorbitkan diri dan mengiklankan kepada manusia bahwa dirinya seorang peruqyah, sehingga para lelaki dan wanita berdatangan kepadanya dari berbagai tempat, baik dari jarak jauh maupun dekat. Hal ini sama sekali tidak disyariatkan.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengorbitkan dirinya seperti itu. Dahulu beliau meruqyah dirinya atau orang lain bila manusia membutuhkan. Adapun seorang yang mengorbitkan dan meletakkan dirinya pada posisi ruqyah laksana jabatan berfatwa merupakan kekeliruan, terlebih lagi bila dia bersandar kepada cara-cara yang mengandung petunjuk akan keinginan dan tujuan yang rendah, serta kedunguan.
Wahai saudaraku! Lakukanlah pengobatan dan jangan membebani dirimu.
“Dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang membebani diri.” (Shaad: 86)
Rasulullah sudah memberitakan kepadamu bahwa ruqyah itu adalah dengan Al Qur’an dan As sunnah. Segala urusan berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla.
Laksanakanlah sebab yang telah disyariatkan dan jangan engkau bersandar kepada tipu daya-tipu daya, pengalaman-pengalaman yang jelek, dan omong kosong.
• Mengikuti Rasulullah secara benar. Maksudnya, engkau melakukan sebagaimana yang dilakukannya dan jangan engkau mengubah-ubahnya, tidak pada tata cara, bentuk, dan apapun juga. Lakukanlah sebagaimana beliau melakukannnya. Engkau shalat sebagaimana beliau shalat. Engkau haji sebagaimana beliau haji. Engkau mengikutinya dalam segala perkara, dan engkau berbuat sebagaimana beliau memperbuatnya. Adapun mengada-ada dalam bab ini, maksudnya bab ruqyah, dan segala kebutuhan ini, bukanlah perkara yang diperbolehkan.
Jika engkau meruqyah manusia dengan Al Qur`an maupun As Sunnah tidak memberi manfaat, bisa jadi karena kekurangan yang terjadi pada pihak yang diruqyah atau karena suatu perkara yang memang Allah ta’ala inginkan. Lalu kenapa engkau pergi kepada sarana-sarana lain dan mengada-ada berbagai perkara yang lain pula?
Tak ada yang membebanimu (dengan hal itu) melainkan kecintaan kepada harta, ketenaran, dan ucapan kosong. Aku sendiri tidak meruqyah seorang pun, bahkan aku tidak suka meruqyah karena perbuatan orang-orang yang mengorbitkan diri-diri mereka untuk meruqyah dalam rangka merampas harta manusia, lalu mereka bersandar kepada berbagai cara dan tipu daya yang seperti ini.
• Aku menasehatkan kepada orang ini –jika dia adalah seorang salafy- agar bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, meniggalkan keinginan untuk mencari ketenaran, maupun mengorbitkan diri untuk profesi ruqyah. Hendaklah dia meniggalkan metode tersebut.
Engkau adalah salah satu dari kaum muslimin. Bila ada yang membutuhkanmu, ruqyahlah dia dengan cara yang syar’i, dan itu cukup bagimu. Biarkan arena itu untuk yang selainmu dan janganlah engkau menumpuk-numpuk pekerjaan ruqyah. Sebab, menumpuk-numpuk pekerjaan ruqyah menunjukkan kepada tujuan yang jelek, semoga Allah memberkahi anda.
Di tengah masyarakat tentu ada orang yang lebih baik darimu. Doanya lebih dikabulkan daripada doamu. Lalu kenapa engkau menumpuk-numpuk pekerjaan ini (untuk dirimu) dan bersandar pada cara-cara itu?
Aku menasehatkan orang ini agar bertakwa kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan Al mukminin. Jangan dia menampilkan diri untuk meruqyah dan membebani diri dalam perkara-perkara itu.
Hendaknya, dia memberi kesempatan bagi orang lain. Muslim manapun yang pada dirinya terdapat kebaikan dan takwa, maka dia adalah ruang pengabulan. Jika dia berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika dia membaca Al Qur`an, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Allah pun akan menyembuhkan penyakit disebabkan dirinya, keikhlasannya, kejujurannya, dan sarana syar ’i yang telah ditempuhnya.
Semoga Allah melimpahkan bimbingan-Nya kepada kita semua, yang membawa kepada kecintaan dan keridhaan-Nya. Dan semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam-Nya kepada nabi kita Muhammad dan keluarganya.
Yang mulia, guru dan orang tua kami, Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzakumullah! Di tengah kami ada seorang peruqyah memerintahkan wanita yang kerasukan agar meletakkan minyak wangi misik di kemaluan, dubur, kedua puting payudara, dan dua bibir. Dia berpandangan bahwa tata cara ini bisa mencegah dari persetubuhan jin yang sedang merasukinya. Menurutnya, hal ini telah teruji dengan pengalaman. Apakah perbuatannya ini benar? Berilah kami penjelasan, semoga Allah memberkahi anda.
Jawab:
Dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Segala puji bagi Allah, dan semoga shalawat dan salam tercurahkan atas Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja yang mengambil hidayah dengan petunjuknya.
Berobat adalah perkara yang disyariatkan dan diperbolehkan.
“Tidaklah Allah menurunkan sebuah penyakit melainkan Allah menurunkan pula obatnya. Mengetahuinya siapa yang bisa mengetahuinya dan tidak mengetahuinya siapa yang tidak bisa mengetahuinya.”
Ruqyah disyariatkan dengan menggunakan Al Qur`an. Al Qur`an adalah penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al Qur`an tidak memberi manfaat pada orang-orang yang zhalim melainkan kerugian. Tak ada obat yang lebih ampuh daripada ruqyah dengan menggunakan Al Qur`an dan As Sunnah, tetapi dengan beberapa syarat:
• Keikhlasan peruqyah dan yang diruqyah, semoga Allah memberkahi anda. Selain itu, penyandaran diri yang benar kepada Allah. Bila dua belah pihak ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya tak ada obat yang lebih ampuh dibanding ruqyah dengan Al Qur`an maupun As Sunnah. Ini perkara yang dikenal di kalangan para ulama, mereka sendiri yang mengatakan dan menukilkannya.
Al ‘ain merupakan perkara yang dikenal. Al ‘ain adalah menimpakan sesuatu melalui proses sorotan mata pelaku. Bisa jadi pelaku Al ‘ain adalah orang yang jahat. Dari sorot kedua matanya yang jahat, bahaya dapat menimpa seorang yang didengki sehingga mencelakainya. Al ’ain itu terjadi namun dengan seizin Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa Al ‘ain memiliki pengaruh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Al ‘ain adalah benar (adanya).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sihir adalah perkara nyata, tetapi tidak membahayakan kecuali dengan seizin Allah. Pengobatan yang paling ampuh untuk sihir, Al ‘ain, Al humah (panas yang dahsyat akibat tersengat binatang berbisa, pent.), dan yang serupanya, yaitu ruqyah syar’iyyah dengan menggunakan Al Qur`an dan As Sunnah, jika terpenuhi syarat keikhlasan dan kejujuran. Sebab, bisa saja seorang tidak punya kepercayaan atau malah buruk sangka kepada Allah atau si peruqyah adalah seorang dajjal yang pendusta, sehingga dia tidak mau menggunakan Al Qur`an dan justru bersandar kepada tipu daya-tipu daya lainnya.
Banyak manusia yang suka mengorbitkan diri untuk meruqyah. Dia unjuk diri serta mempublikasikan dan menyebarluaskan berbagai iklan bahwa dirinya adalah peruqyah yang maasyaa Allah (hebat). Perbuatan ini merupakan kelicikan, kedustaan, penonjolan diri, serta perampasan harta manusia tanpa kebenaran. Mereka sedikitpun tidak menguntungkan manusia.
Acapkali, mereka menggunakan tipu daya. Ini merupakan metode yang hampa. Orang ini mengatakan bahwa dirinya didatangi oleh seorang wanita bahkan dua atau tiga orang wanita, lalu dia mengajaknya berbicara dengan tata cara rendahan, (yaitu ucapan), “Oleskan pada kemaluanmu.. oleskan pada duburmu…” Ini adalah orang yang buruk akhlaq lagi rendah.
Saya menasehatkannya agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan profesi meruqyah. Ruqyah bisa dilakukan oleh setiap muslim yang ikhlas, jujur, dan dikenal dengan ketakwaan serta keshalihan. Tidak perlu dia mengorbitkan diri dan mengiklankan kepada manusia bahwa dirinya seorang peruqyah, sehingga para lelaki dan wanita berdatangan kepadanya dari berbagai tempat, baik dari jarak jauh maupun dekat. Hal ini sama sekali tidak disyariatkan.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengorbitkan dirinya seperti itu. Dahulu beliau meruqyah dirinya atau orang lain bila manusia membutuhkan. Adapun seorang yang mengorbitkan dan meletakkan dirinya pada posisi ruqyah laksana jabatan berfatwa merupakan kekeliruan, terlebih lagi bila dia bersandar kepada cara-cara yang mengandung petunjuk akan keinginan dan tujuan yang rendah, serta kedunguan.
Wahai saudaraku! Lakukanlah pengobatan dan jangan membebani dirimu.
“Dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang membebani diri.” (Shaad: 86)
Rasulullah sudah memberitakan kepadamu bahwa ruqyah itu adalah dengan Al Qur’an dan As sunnah. Segala urusan berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla.
Laksanakanlah sebab yang telah disyariatkan dan jangan engkau bersandar kepada tipu daya-tipu daya, pengalaman-pengalaman yang jelek, dan omong kosong.
• Mengikuti Rasulullah secara benar. Maksudnya, engkau melakukan sebagaimana yang dilakukannya dan jangan engkau mengubah-ubahnya, tidak pada tata cara, bentuk, dan apapun juga. Lakukanlah sebagaimana beliau melakukannnya. Engkau shalat sebagaimana beliau shalat. Engkau haji sebagaimana beliau haji. Engkau mengikutinya dalam segala perkara, dan engkau berbuat sebagaimana beliau memperbuatnya. Adapun mengada-ada dalam bab ini, maksudnya bab ruqyah, dan segala kebutuhan ini, bukanlah perkara yang diperbolehkan.
Jika engkau meruqyah manusia dengan Al Qur`an maupun As Sunnah tidak memberi manfaat, bisa jadi karena kekurangan yang terjadi pada pihak yang diruqyah atau karena suatu perkara yang memang Allah ta’ala inginkan. Lalu kenapa engkau pergi kepada sarana-sarana lain dan mengada-ada berbagai perkara yang lain pula?
Tak ada yang membebanimu (dengan hal itu) melainkan kecintaan kepada harta, ketenaran, dan ucapan kosong. Aku sendiri tidak meruqyah seorang pun, bahkan aku tidak suka meruqyah karena perbuatan orang-orang yang mengorbitkan diri-diri mereka untuk meruqyah dalam rangka merampas harta manusia, lalu mereka bersandar kepada berbagai cara dan tipu daya yang seperti ini.
• Aku menasehatkan kepada orang ini –jika dia adalah seorang salafy- agar bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, meniggalkan keinginan untuk mencari ketenaran, maupun mengorbitkan diri untuk profesi ruqyah. Hendaklah dia meniggalkan metode tersebut.
Engkau adalah salah satu dari kaum muslimin. Bila ada yang membutuhkanmu, ruqyahlah dia dengan cara yang syar’i, dan itu cukup bagimu. Biarkan arena itu untuk yang selainmu dan janganlah engkau menumpuk-numpuk pekerjaan ruqyah. Sebab, menumpuk-numpuk pekerjaan ruqyah menunjukkan kepada tujuan yang jelek, semoga Allah memberkahi anda.
Di tengah masyarakat tentu ada orang yang lebih baik darimu. Doanya lebih dikabulkan daripada doamu. Lalu kenapa engkau menumpuk-numpuk pekerjaan ini (untuk dirimu) dan bersandar pada cara-cara itu?
Aku menasehatkan orang ini agar bertakwa kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan jalan Al mukminin. Jangan dia menampilkan diri untuk meruqyah dan membebani diri dalam perkara-perkara itu.
Hendaknya, dia memberi kesempatan bagi orang lain. Muslim manapun yang pada dirinya terdapat kebaikan dan takwa, maka dia adalah ruang pengabulan. Jika dia berdoa, niscaya akan dikabulkan. Jika dia membaca Al Qur`an, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Allah pun akan menyembuhkan penyakit disebabkan dirinya, keikhlasannya, kejujurannya, dan sarana syar ’i yang telah ditempuhnya.
Semoga Allah melimpahkan bimbingan-Nya kepada kita semua, yang membawa kepada kecintaan dan keridhaan-Nya. Dan semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam-Nya kepada nabi kita Muhammad dan keluarganya.
[Disalain dari buku Menguak Misteri Ruqyah, karya Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidani, Penerbit: Al Husna, Jogjakarta)
Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/02/bagaimana-cara-meruqyah-yang-benar/
Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/02/bagaimana-cara-meruqyah-yang-benar/
________________________________
BACAAN DAN TATA CARA RUQYAH
Oleh ; Al Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Medani
Tentunya bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah mengharapkan kesembuhan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah.
Ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penyembuh dari segala jenis penyakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
Tentunya bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah mengharapkan kesembuhan hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah.
Ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penyembuh dari segala jenis penyakit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
Alam semesta ini adalah ciptaan, milik, dan aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu berhadapan dengan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para malaikat pingsan dan tersungkur sujud tatkala mendengar firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas langit sana. Sedangkan langit-langit bergemuruh dengan dahsyat karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana hal ini telah dikabarkan oleh Rasul yang jujur lagi dibenarkan ucapannya, yaitu Nabi kita Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21).
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Termasuk perkara yang dimaklumi bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan kemanfaatan yang telah teruji. Maka bagaimana kita menganggap ucapan Rabb semesta alam ini? Tentunya keutamaan ucapan-Nya atas segala ucapan yang lain seperti keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh makhluk-Nya. Ucapan-Nya merupakan penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat, cahaya yang memberi petunjuk, dan rahmat yang menyeluruh. Ucapan-Nya yang sekiranya diturunkan kepada sebuah gunung niscaya akan pecah karena keagungan dan kemuliaan-Nya.” (Lihat Zadul Ma’ad cet. Muassasah Ar-Risalah hal. 162-163)
Berobat dengan Al-Qur`an adalah penyembuhan yang mujarab. Terlebih lagi jika dibacakan oleh seorang yang memiliki kekuatan iman. Dengan demikian, pengaruh bacaan itu akan bertambah ampuh untuk pengobatan segala penyakit dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Penyembuhan dengan Al-Qur`an tak hanya bagi penyakit jiwa, bahkan juga sangat mumpuni bagi penyakit jasmani. Cukuplah sebagai bukti konkretnya peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu (lihat rubrik Hadits). Hadits tersebut menunjukkan betapa besar pengaruh Al-Qur`an bagi penyembuhan penyakit jasmani. Bila seorang muslim melakukannya dengan keyakinan penuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya akan terealisasi dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Menurut sebagian kalangan, letak ruqyah dalam surat Al-Fatihah adalah pada firman-Nya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan.”
Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Namun bukan berarti tidak ada yang lain lagi. Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih untuk meruqyah dirinya atau orang lain maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:
1. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَافِي لاَ شَافِيَ إِلاَّ أَنْتَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Dahulu bila salah seorang dari kami mengeluhkan rasa sakit maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah dengan membaca:
امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ
“Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila meruqyah beliau membaca:
بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
4. Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim).
5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ
“Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ
‘Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar).
6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan beliau membaca:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)
Cara-Cara Meruqyah
Perkara lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang peruqyah adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ruqyah adalah amal yang disyariatkan, maka hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban syariat. Berikut ini beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.
Inilah yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah at-tafal, dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita dengan meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan an-nafats dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam meruqyah. Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.
Adapun waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah, sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sedangkan yang lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
2. Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
3. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari telunjuk, lalu meletakkannya di tanah kemudian mengusapkannya pada tempat yang sakit ketika melakukan ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.
4. Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
5. Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu membacakan ruqyah yang disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya sedikit air ludah. Kemudian dimandikan atau diminumkan kepada orang yang sakit, atau diusapkan ke tempat yang sakit.
Ini berdasarkan hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 548) dan hadits Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, An-Nasa`i serta yang lainnya, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1526). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa atsar sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur Razaq.
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبِأْسَ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَفَمًا
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada penyembuh kecuali penyembuhan-Mu, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meruqyah dengan membaca:
امْسِحِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءِ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ
“Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila meruqyah beliau membaca:
بِسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيْقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيْمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
4. Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ فِيْ جَسَدِكَ وَقُلْ: بِسْمِ اللهِ ثَلاَثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:
أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim).
5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ، إِلاَّ عَافَاهُ اللهُ فِيْ ذَلِكَ
“Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُكَ اللهَ الْعَظِيْمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيْكَ
‘Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar).
6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan beliau membaca:
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)
Cara-Cara Meruqyah
Perkara lain yang demikian serius untuk diperhatikan oleh seorang peruqyah adalah tidak melakukan tatacara ruqyah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ruqyah adalah amal yang disyariatkan, maka hendaknya sesuai dengan ajaran yang mengemban syariat. Berikut ini beberapa tatacara ruqyah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit, bukan meludah.
Inilah yang disebut dengan an-nafats. Sedangkan di atasnya adalah at-tafal, dan di atasnya adalah al-buzaq, yang disebut dalam bahasa kita dengan meludah. Yang disyariatkan ketika meruqyah adalah melakukan an-nafats dan at-tafal. Tatacara ini telah dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini menunjukkan bolehnya melakukan an-nafats dan at-tafal dalam meruqyah. Ini adalah pendapat sekumpulan shahabat dan jumhur para ulama.
Adapun waktu pelaksanaannya, boleh dilakukan sebelum membaca ruqyah, sesudahnya, atau bersamaan. Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang sebagiannya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sedangkan yang lain hanya diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
2. Meruqyah tanpa an-nafats dan at-tafal.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan di atas. Demikian pula ruqyah yang dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
3. Meniup dengan air ludah yang sangat sedikit (an-nafats) pada jari telunjuk, lalu meletakkannya di tanah kemudian mengusapkannya pada tempat yang sakit ketika melakukan ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan Al-Imam Muslim.
4. Mengusap dengan tangan kanan pada tubuh setelah membaca ruqyah atau pada tempat yang sakit sebelum membaca ruqyah.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, dan hadits ‘Utsman bin Abil ‘Ash yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
5. Menyediakan air dalam sebuah bejana lalu membacakan ruqyah yang disyariatkan padanya, dan meniupkan padanya sedikit air ludah. Kemudian dimandikan atau diminumkan kepada orang yang sakit, atau diusapkan ke tempat yang sakit.
Ini berdasarkan hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 548) dan hadits Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, An-Nasa`i serta yang lainnya, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1526). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa atsar sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushannaf Abdur Razaq.
Demikian pula sebelum ini kami telah membawakan pengakuan Ibnul Qayyim bahwa ketika beliau sakit di Makkah pernah berobat dengan meminum air Zamzam yang dibacakan atasnya Al-Fatihah berulang kali. Selanjutnya beliau berkata: “Darinya aku memperoleh manfaat dan kekuatan yang belum pernah aku ketahui semisalnya pada berbagai obat. Bahkan bisa jadi perkaranya lebih besar daripada itu, akan tetapi sesuai dengan kekuatan iman dan kebenaran keyakinan. Wallahul Musta’an.” (Madarijus Saalikin, 1/69)
Cara yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim ini juga merupakan pendapat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz rahimahumallah. (Lihat Ahkaam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 65)
6. Menuliskan ayat-ayat Al-Qur`an pada selembar daun, atau yang sejenisnya, atau pada sebuah bejana lalu dihapus dengan air, kemudian air itu diminum atau dimandikan kepada orang yang sakit.
Cara ini diperselisihkan hukumnya di kalangan para ulama. Di antara yang membolehkannya adalah Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Qilabah, Ahmad bin Hanbal, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim. Sedangkan yang memakruhkannya adalah Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Sirin, dan Ibnul ‘Arabi rahimahumullah. Al-Lajnah Ad-Da`imah sebagai tim fatwa negara Saudi Arabia pernah ditanya tentang hal ini. Mereka menjawab bahwa hal ini tidak datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Khulafa` Ar-Rasyidun, dan para shahabat yang lainnya. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tidaklah shahih. Selanjutnya mereka menyebutkan nama-nama ulama yang membolehkan sebagaimana yang tadi telah kami singgung. Kemudian mereka berkata: “Bagaimana pun juga bahwa amalan yang seperti ini tidaklah dianggap syirik.” (Lihat Majmu’ Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah soal no. 184)
Demikianlah beberapa penjelasan tentang ruqyah syar’i yang bisa kami cantumkan dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak pembahasan tentang ruqyah syar’i yang tidak bisa kami sertakan di sini karena keterbatasan tempat. Semoga yang kami tuliskan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermanfaat bagi seluruh pembaca yang budiman. Akhirnya, kesempurnaan itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Artikel terkait dengan masalah ini, dapat di lihat pada artikel dengan judul :
TATA CARA RUQYAH YANG BENAR
Sumber :
www.asysyariah.com
http://tabayyun.wordpress.com/2008/08/14/bacaan-dan-tata-cara-ruqiyah-selesai/
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.