Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



PERBEDAAN ANTARA AURAT DALAM SHALAT DENGAN AURAT DALAM PANDANGAN

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : , ,

Sudah di lihat :


Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Apakah bedanya aurat dalam shalat dengan aurat dalam pandangan .?

Jawaban
Seorang wanita merdeka yang telah baligh adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya, bahkan disyari'atkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat dengan wajah terbuka, seandainya wanita shalat dengan wajah tertutup maka shalatnya adalah sah, akan tetapi dengan menutup wajahnya itu ia telah meninggalkan sesuatu yang utama jika shalat ini dilakukan seorang diri dan tanpa keberadaan pria asing. Jadi perbedaan antara aurat wanita dalam shalat dengan auratnya dalam pandangan adalah, bahwa aurat wanita dalam shalat adalah selain wajah, sedangkan pada selain shalat maka wajah merupakan bagian daripada aurat. Karena membukakan wajah adalah haram, membukakan wajah diharamkan dalam thawaf, shalat dan lain-lain. Membukakan wajah diharamkan karena dapat menimbulkan fitnah (keburukan) dan termasuk bagian keindahan-keindahan yang menggerakkan syahwat, karena di antara penggerak timbulnya syahwat adalah wajah. Walaupun memandang ke bagian tempat bersetubuh merupakan penggerak timbulnya syahwat, akan tetapi perlu diingat bahwa wajah wanita memiliki daya tarik tersendiri dalam menimbulkan syahwat. Kesimpulannya adalah bahwa mereka yang membolehkan membuka wajah pada hakekatnya mereka telah tertipu dengan membuka pintu sebesar-besarnya untuk membukakan wajah, walaupun pendapat ini telah dikemukakan oleg para imam, tapi itu berupa ijtihad, semoga mereka mendapatkan pahal dari ijtihad yang mereka lakukan dan juga mereka dapat dimaafkan atas kesalahan mereka dalam ijtihad itu, akan tetapi yang benar adalah mengikuti kebenaran dari siapapun dan bagaimanapun.

[Fatawa wa Rasa'il ASy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/153]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 120-12, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]


Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/131/slash/0


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.