Benarkah Mubtadi’ Ditolak Taubatnya
Oleh : Suyuthi Abdullah
Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Sesungguhnya Allah menghalangi (atau beliau mengatakan : Allah menutup) taubat dari setiap ahli bid’ah’.”
Takhrij hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah. Syaikh Al Albani mengatakan : [ Hadits ini shahih. Sanadnya sangat lemah karena Muhammad bin Abdi Rahman (salah seorang perawinya adalah seorang Al Qusyairi Al Kufi dari negeri Kufah). Ibnu ‘Adi berkata : “Ia munkarul hadits (haditsnya diingkari).” Ad Daruquthni berkata : “Ia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).” Akan tetapi hadits tersebut didukung oleh hadits Abu Hamzah dari Humaid. Abu Hamzah bernama Anas bin ‘Iyadl Al Laits Al Madani, seorang yang tsiqat dan termasuk perawi (rijal) As Syaikhain (Bukhari-Muslim). Hadits ini dikeluarkan pula oleh ulama lain dan aku (Al Albani) sebutkan hal itu di dalam Ash Shahihah halaman 1620. ]
Oleh : Suyuthi Abdullah
Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Sesungguhnya Allah menghalangi (atau beliau mengatakan : Allah menutup) taubat dari setiap ahli bid’ah’.”
Takhrij hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah. Syaikh Al Albani mengatakan : [ Hadits ini shahih. Sanadnya sangat lemah karena Muhammad bin Abdi Rahman (salah seorang perawinya adalah seorang Al Qusyairi Al Kufi dari negeri Kufah). Ibnu ‘Adi berkata : “Ia munkarul hadits (haditsnya diingkari).” Ad Daruquthni berkata : “Ia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).” Akan tetapi hadits tersebut didukung oleh hadits Abu Hamzah dari Humaid. Abu Hamzah bernama Anas bin ‘Iyadl Al Laits Al Madani, seorang yang tsiqat dan termasuk perawi (rijal) As Syaikhain (Bukhari-Muslim). Hadits ini dikeluarkan pula oleh ulama lain dan aku (Al Albani) sebutkan hal itu di dalam Ash Shahihah halaman 1620. ]
Syaikh Al Albani juga menyebutkan keshahihan hadits ini di dalam Shahih At Targhib wat Tarhib juz I halaman 97.
Mubtadi’ Tidak Diterima Taubatnya?
Sebagian kita mungkin mengira demikian dengan melihat dhahir hadits di atas bahwa ahlul bid’ah itu tidak diterima taubatnya. Bahkan hadits-hadits yang lain pun menunjukkan hal yang hampir sama. seperti hadits tentang Khawarij, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan mereka sebagai “kaum yang keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya yang sekali-kali tidak akan kembali” (HR. Muslim). Hadits kedua ini terlihat lebih tegas daripada yang pertama.
Tidak hanya itu, atsar Salafus Shalih pun memperkuat hal tersebut. Ibnu Wadlah dalam kitab beliau Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha meriwayatkan dari Ayub bahwa dia berkata : “Ada seseorang (bernama ‘Amr bin Ubaid) berpendapat bid’ah. Lalu dia rujuk dari pemikiran itu. Kemudian aku mendatangi Muhammad bin Sirrin dalam keadaan bergembira dengan hal itu. Aku kabarkan kepadanya dan aku katakan : “Bagaimana perasaanmu tentang si fulan yang telah meninggalkan pendapatnya yang dulu (pendapat bid’ah). Maka beliau menjawab : “Lihatlah kepada pendapat apa dia berpindah? Sesungguhnya akhir ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam lebih parah daripada awalnya (yaitu mereka keluar dari Islam dan tidak akan kembali).”
Al Hasan bin Abil Hasan rahimahullah mengatakan : “Allah Tabaraka wa Ta’ala enggan mengijinkan ahlul ahwa’ untuk bertaubat” (Lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah halaman 141). Serupa dengan ucapan beliau ini dinyatakan pula oleh Abu ‘Amr Asy Syaibani rahimahullah dalam Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha halaman 54 bahwasanya : “Allah enggan menerima taubat ahlul bid’ah. Dan tidaklah berpindah pendapat ahli bid’ah itu kecuali kepada yang lebih jelek daripada sebelumnya.” (Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’ halaman 216)
Yahya bin Al Yaman berkata : “Saya mendengar Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : ‘Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat, karena pelaku maksiat masih diharapkan taubatnya sedangkan pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya.” (Lihat Syarah Ushul halaman 132)
Para ulama muta’akhirin pun mengatakan hal yang sama. Imam As Syathibi contohnya, dalam kitab beliau Al I’tisham halaman 141 menegaskan : “Ketahuilah sesungguhnya bersama kebid’ahan itu tidak akan diterima suatu ibadah, baik itu shalat, puasa, sedekah, atau pendekatan diri lainnya … dan tidak ada bagi bid’ah itu taubat.”
Apakah memang demikian nasib mubtadi’ itu? Tidak diterima taubatnya? Padahal sejarah menunjukkan betapa banyak orang kafir atau musyrik masuk Islam dan diterima taubat mereka. Bahkan para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun dahulu adalah musyrikin yang amat keras pertentangannya terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Dan apakah pula tidak bertentangan dengan firman Allah :
“Jika mereka (orang Musyrikin) bertaubat, menegakkan shalat, dan membayar zakat, jadilah mereka itu saudara kalian seagama.” (QS. At Taubat : 11)
Orang musyrik saja diterima taubatnya dalam ayat itu, maka apakah tidak lebih diterima lagi taubat seorang mubtadi’?
Makna Hadits
Untuk memandang permasalahan ini dengan benar, Al Qur’an dan As Sunnah mutlak diperlukan. Tetapi untuk melihatnya perlu pemahaman Salafus Shalih karena kita tidak akan mungkin memahami Dien ini tanpa pemahaman mereka, para shahabat. Maka di sinilah peran ulama untuk menjabarkan pemahaman mereka sekaligus memberikan istinbath-nya (kesimpulannya) kepada kita.
DR. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili menerangkan dengan rinci makna hadits di atas dengan menukil keterangan para ulama. Berikut ini kami ringkaskan keterangan beliau. Beliau menyatakan : “Tahqiq (penelitian) terhadap nash-nash ini menunjukkan bahwa nash-nash tersebut mengandung dua kemungkinan makna, yaitu :
Makna Pertama menunjukkan bahwa ahli bid’ah tidak mendapat taufiq untuk bertaubat dan tidak mendapatkan kemudahan (untuk melakukannya) kecuali bila Allah menghendaki.
Makna ini benar, tidak diragukan berdasarkan nash Al Qur’an dan As Sunnah, perkataan Salaful Ummah dan kenyataan keadaan mereka.
Dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah :
“Tatkala mereka menyimpang (dari kebenaran), Allah menyimpangkan hati mereka dan Allah tidak menunjuki kaum yang fasiq.” (QS. As Shaf : 5)
“Di dalam hati mereka ada penyakit. Lalu Allah menambah penyakit pada mereka.” (QS. Al Baqarah : 10)
“Dan Kami palingkan hati dan pandangan mereka seperti belum pernah beriman dengannya (Al Qur’an) pada awalnya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya.” (QS. Al An’am : 110)
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum Mukminin, Kami palingkan ke mana dia berpaling.” (QS. An Nisa’ : 115)
“Katakanlah : ‘Barangsiapa berada dalam kesesatan maka Ar Rahman akan memanjangkan baginya (kesesatan itu) … .” (QS. Maryam : 25)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa tidak adanya taufiq (hidayah) bagi ahli bid’ah untuk bertaubat dari kebid’ahannya dan rujuk kepada Dien Allah yang kokoh dan jalan-Nya yang lurus. Dalam ayat-ayat ini tercakup sebagian sebab kehinaan karena penyelewengan dari Dien Allah yaitu berupa penyimpangan, kefasikan, penyakit hati, sikap melampaui batas, penentangan terhadap Rasul, mengikuti jalan selain jalan kaum Mukminin dan kesesatan. Dimaklumi bahwa sifat-sifat tersebut terdapat pada ahli bid’ah. Bahkan sifat-sifat tersebut termasuk sifat khusus mereka yang menunjukkan bahwa mereka berhak mendapat ancaman berupa tambahan kesesatan, penyimpangan, pelampauan batas, kesulitan bertaubat, dan susah kembali kepada Allah. Hanya orang-orang yang mendapat taufiq dan hidayah Allah saja yang mudah bertaubat. Oleh karena itu Imam Ahmad ketika ditanya tentang makna hadits yang kita bicarakan ini, menyatakan : “Ahli bid’ah tidaklah diberi taufiq dan tidak dipermudah untuk bertaubat.” (Lawami’ul Anwar juz I halaman 400)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Oleh karena itu para imam seperti Sufyan Ats Tsauri dan lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat karena pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya sedangkan pelaku maksiat diharapkan taubatnya. Makna ucapan mereka bahwa pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya karena seorang mubtadi’ yang menjadikan bid’ahnya sebagai Dien yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya telah tergambar indah baginya amal jeleknya itu sehingga ia memandangnya baik. Maka ia tidak akan bertaubat selama dia memandangnya sebagai perkara yang baik. Karena awal taubat itu adalah pengetahuan bahwa perbuatannya itu jelek sehingga dia mau bertaubat. Atau perbuatannya meninggalkan kebaikan yang diperintahkan, baik perintah wajib maupun mustahab agar dia bertaubat darinya dengan melaksanakan perintah tersebut. Selama dia memandang perbuatannya itu baik padahal jelek, maka dia tidak akan bertaubat.” (Majmu’ Fatawa juz 10 halaman 9)
Diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Al Auza’i berkata : “Iblis berkata kepada para walinya : ‘Dari sisi mana kalian mendatangi Bani Adam?’ Mereka menjawab : ‘Dari segala sisi.’ Iblis berkata pula : ‘Apakah kalian mendatangi Bani Adam dari sisi istighfar?’ Mereka menjawab : ‘Jauh kemungkinannya, karena hal itu bergandengan dengan tauhid.’ Berkata lagi iblis : ‘Aku sungguh-sungguh akan mendatangi Bani Adam pada sesuatu yang mereka tidak akan beristighfar kepada Allah.’ Ia melanjutkan ucapannya : ‘Maka tebarkanlah kepada mereka al ahwa’ (hawa nafsu dan kebid’ahan).’ ” (Lihat Mauqif halaman 321)
Adapun dalil secara kenyataan bahwa mubtadi’ itu tidak mendapatkan taufiq untuk bertaubat adalah perkara yang dapat disaksikan dan diamati. Bagi orang yang memperhatikan keadaan mereka, baik melalui pergaulan, penelitian, atau membaca perjalanan hidup mereka, maka sedikit dari mereka kembali kepada sunnah dan bertaubat dari kebid’ahannya kecuali orang yang Allah khususkan dengan rahmat-Nya.
Makna Kedua menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima taubat ahli bid’ah sekalipun mereka bertaubat. Dengan mengamati nash-nash dan ucapan para ulama dalam perkara ini akan dijumpai bahwa nash yang shahih dan sharih serta ucapan jumhur ahli ilmu dari kalangan Ahlis Sunnah menolak makna kedua ini. Mereka menegaskan bahwa pintu taubat tetap terbuka bagi siapapun yang berdosa, bagaimana pun tinggi dosanya. Allah akan tetap menerima taubat hamba-Nya jika mereka bertaubat dengan taubat yang benar dan jujur sebelum nyawa sampai di tenggorokan dan sebelum terbit matahari dari barat.
Allah berfirman :
“Katakanlah wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)
“Katakanlah wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar : 53)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : “Ayat yang mulia ini adalah seruan kepada seluruh pelaku kemaksiatan, baik dari kalangan orang-orang kafir atau yang selainnya agar bertaubat dan kembali kepada-Nya. Pemberitahuan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala mengampuni semua dosa bagi orang yang bertaubat dan rujuk darinya. Bagaimanapun keadaannya dan meskipun sebanyak buih di lautan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 71)
Di ayat lain Allah berfirman :
“Maka barangsiapa bertaubat setelah kedhalimannya dan berbuat baik, sesungguhnya Allah mengampuni dia karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah : 39)
Masih banyak ayat yang semakna dengan ayat di atas yang menunjukkan dengan jelas tentang penerimaan Allah atas taubat para hamba-Nya.
Di dalam Shahih Muslim Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
”Barangsiapa bertaubat sebelum terbit matahari dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya.”
Hadits-hadits semacam di atas juga banyak dan semua dengan jelas menunjukkan tentang penerimaan Allah atas taubat orang yang berdosa dan melakukan kesalahan baik ahli bid’ah maupun selainnya, selama nyawa belum sampai di tenggorokan dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat.
Sedangkan perkataan jumhur para ulama tentang hukum taubat ahli bid’ah adalah diterimanya taubat mereka. Bahkan Abdullah bin Ibrahim Al ‘Ashili (salah seorang ulama Al Maghrib pada abad ketiga) rahimahullah dalam kitab beliau Al Mi’yar Al Mi’rab juz 2 halaman 339 ketika dilontarkan kepada beliau pertanyaan tentang hukum orang yang menyangka kafirnya ahli bid’ah dan memastikan kekalnya mereka dalam neraka dan mereka tidak diterima taubatnya, beliau menjawab : [ Adapun orang yang memastikan (kekalnya ahlul bid’ah dalam neraka) sebagaimana yang kamu sebutkan dan bahwasanya Allah tidak menerima taubat mubtadi’ sungguh telah menyelisihi ijma’ kaum Muslimin dan membantah Rabb alam semesta ini. Karena Allah telah berfirman :
“Dia Maha Mengampuni dosa dan Maha Menerima Taubat dan sangat keras siksa-Nya, Yang mempunyai karunia.” (QS. Ghafir : 3) ]
Sekalipun demikian memang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang diterima atau tidaknya taubat sebagian golongan ahli bid’ah. Ibnu Muflih dalam Al Adab As Syar’iyah juz 1 halaman 109 menukil dari Ibnu Hamdan dalam Ar Ri’ayah bahwasanya dia berkata : “Barangsiapa kufur karena kebid’ahannya akan diterima taubatnya menurut pendapat yang shahih (dan dikatakan) jika dia menyadari kesalahannya, kalau tidak maka tidak diterima. (Dikatakan pula) jika dia seorang da’i, maka tidak diterima taubatnya.” (Mauqif halaman 331)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam Majmu’ Fatawa beliau bahwa para ulama memiliki dua pendapat dalam masalah taubat kaum zindiq yaitu pernyataan diterimanya taubat mereka sehingga tidak diperangi dan pernyataan tetap diperangi sekalipun menampakkan taubat. Beliau menukil pula dua pendapat ahli ilmu tentang taubat golongan An Nushairiyah dan orang yang dihukumi seperti mereka dari golongan Al Qaramithah dan Al Bathiniyah. Pembicaraan ulama dalam hal ini tentang diterima atau tidaknya taubat mereka hanyalah menurut dhahir-nya berdasarkan hukum di dunia. Karena tidak diketahui kejujuran mereka dalam beragama dengan kemunafikan dan taqiyah (menyembunyikan apa yang ada di dalam batin). Mereka menampakkan kecocokan dengan Dien kaum Muslimin apa yang tidak mereka yakini. Maka tidak dipercaya kejujuran taubat mereka. Adapun jika mereka mengikhlaskan taubatnya karena Allah Ta’ala, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang sahnya taubat mereka. Hukumnya sebagaimana hukum terhadap selain mereka dari kalangan ahli maksiat dan orang-orang berdosa.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan --setelah membawakan perkataan para ulama tentang hukum diterimanya taubat golongan zindiq-- bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang diterimanya taubat mereka menurut dhahir adalah berdasarkan hukum di dunia, tidak diperangi, dan tetap ditegakkan hukum Islam pada hak mereka. Sedangkan penerimaan Allah Ta’ala atas taubat mereka dan ampunan-Nya terhadap orang yang bertaubat dan meninggalkan dosanya baik secara batin maupun lahir tidak ada perselisihan padanya. Allah Ta’ala berfirman tentang kaum munafik :
“ … kecuali orang-orang yang bertaubat, berbuat baik dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah, maka mereka bersama orang-orang Mukmin. Dan Allah akan mendatangkan kepada kaum Mukminin pahala yang besar.” (QS. An Nisa’ : 146)
Berdasarkan keterangan di atas dengan berdasarkan pada apa yang ditunjukkan oleh nash-nash yang telah lalu penyebutannya dapat kita katakan bahwa perkataan tentang tidak sahnya taubat ahlul bid’ah meskipun mereka bertaubat dan tidak diterimanya taubat mereka di sisi Allah adalah tidak benar. Karena hal itu bertentangan dengan apa yang telah tetap dalam syariat. (Lihat Mauqif halaman 317-335)
Hal di atas berkaitan dengan hukum diterimanya taubat ahli bid’ah secara batin di sisi Allah. Adapun secara dhahir hukum taubat mereka di dunia dan yang berkaitan dengannya seperti pelaksanaan hudud (hukuman) dan penerapan sanksi yang diakibatkan oleh bid’ah yang mereka perbuat maka seharusnya imam atau qadli (hakim) atau orang yang memiliki kekuasaan untuk memeriksa perkara itu. Jika si mubtadi’ yang menampakkan taubatnya itu termasuk orang yang tidak dikenal sebagai orang yang beragama dengan taqiyah dengan menyembunyikan akidahnya serta tidak dijumpai sebab yang membawa dia mencocoki Ahlus Sunnah wal Jamaah secara dhahir lalu menyelisihinya secara batin maka sesungguhnya aku (Ibrahim Ar Ruhaili) belum menjumpai dalam permasalahan ini seorang pun dari kalangan Salaf yang mengatakan tentang ditolaknya taubat mereka atau tidak diterimanya taubat mereka. (Lihat Mauqif halaman 336)
Tetapi harus dibuktikan pula sikap taubatnya itu di hadapan manusia, khususnya bila dia seorang da’i. Kalau dulunya dia seorang sufi maka dia harus membongkar kebohongan kesufiannya. Kalau dulunya dia seorang ikhwani (Ikhwanul Muslimin) maka dia harus membeberkan kepada umat kerusakan manhaj Ikhwanul Muslimin. Kalau dulu dia seorang sururi, dia harus menerangkan bahaya manhaj muwazanah (keharusan menyebutkan kebaikan seseorang tatkala dikritik keadilannya). Atau menjelaskan bahaya sikap memberontak pada penguasa Muslimin dan sikap merendahkan para ulama dan begitu seterusnya. Masing-masing harus menerangkan kebid’ahannya untuk kemudian bergabung dengan Ahlus Sunnah, tegak di atas al haq dan bersikap tegas terhadap bid’ah dan ahlul bid’ah. Karena kalau tidak demikian berarti taubatnya tidak dengan sesungguhnya atau taubat sambal belaka. Sekarang dia bertaubat dan besok kembali bermaksiat. Sekarang merasakan panasnya tekanan Ahlus Sunnah sehingga pura-pura taubat dan di lain waktu tatkala Ahlus Sunnah lemah mereka akan tampil mempropagandakan bid’ah.
Sejarah membuktikan bahwa Ghailan Al Qadari pernah menampakkan taubatnya pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Tetapi tatkala pemerintahan dipegang oleh Yazid bin Abdil Malik yang tidak memperhatikan pemikiran qadariyahnya, tampillah dia mendakwahkan bid’ahnya. Baru setelah pemerintahan dipegang oleh Hisyam, dia mendapat ganjaran yang pantas dengan dipotong tangan dan kakinya, dipenggal kepalanya dan akhirnya disalib (Lihat Syarah Ushul juz 4 halaman 715)
Adapun jika mubtadi’ itu termasuk orang yang dikenal sebagai orang yang beragama dengan taqiyah dan menampakkan kecocokan dengan Ahlis Sunnah padahal meyelisihinya, seperti firqah Bathiniyah, Duruz, Nushairiyah, Rafidlah dan kalangan zindiq sejenis mereka yang beragama dengan kemunafikan dan menampakkan apa yang tidak mereka yakni, maka sebagian besar ulama menyatakan tidak diterimanya taubat mereka. Hal itu karena tidak bisa dipercaya sikap yang mereka perlihatkan berupa hal yang mencocoki Ahlus Sunnah atau rujuk mereka dari kebid’ahan. Apakah taubat mereka benar ataukah hanya taqiyah dan basa-basi belaka?
Kesimpulan :
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa makna hadits yang sedang kita bicarakan ini adalah :
1.Ahli bid’ah tidak mendapatkan taufiq untuk bertaubat dan tidak mendapat kemudahan untuk melakukannya, kecuali bagi yang Allah kehendaki.
2.Allah Ta’ala akan mengampuni siapa pun yang berdosa bila dia bertaubat dengan ikhlas dan memenuhi syarat-syarat diterimanya taubat.
3.Sedangkan dilihat dari hukum yang ditegakkan di dunia.
- Bila si mubtadi’ itu tidak dikenal ber-taqiyah dalam beragama, maka bila dia bertaubat diterima taubatnya.
- Bila dia dikenal ber-taqiyah dalam beragama, maka ditolak taubatnya menurut sebagian besar para ulama. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1.Al Qur’anul Karim beserta terjemahannya.
2.Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili.
3.Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah. Imam Al Lalikai.
4.Kitabus Sunnah. Ibnu Abi ‘Ashim beserta Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
5.Shahih At Targhib wa Tarhib. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
6.Riyadlus Shalihin. Imam An Nawawi.
7.Al I’tisham. Imam As Syathibi.
8.Tafsir Ibnu Katsir.
[ Majalah SALAFY Edisi XXIV/ 1418 H/ 1998 M Rubrik Hadits ]
Sumber : http://gratis45.com/islamdownload/hadits201/mubtadi.htm
1.Al Qur’anul Karim beserta terjemahannya.
2.Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili.
3.Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah. Imam Al Lalikai.
4.Kitabus Sunnah. Ibnu Abi ‘Ashim beserta Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
5.Shahih At Targhib wa Tarhib. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
6.Riyadlus Shalihin. Imam An Nawawi.
7.Al I’tisham. Imam As Syathibi.
8.Tafsir Ibnu Katsir.
[ Majalah SALAFY Edisi XXIV/ 1418 H/ 1998 M Rubrik Hadits ]
Sumber : http://gratis45.com/islamdownload/hadits201/mubtadi.htm
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.