Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



JARAK SAFAR

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Bismillah,
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah Ta'ala merahmatimu-bahwa masalah ini merupakan masalah vang dipersilisihkan oleh para ulama secara panjang sampai-sampai Ibnul Mundzir menceritakan sekitar dua puluh pendapat tentangnya.[Fat-hul Baari (3/275) Ibnu Hajar.]

Pendapat yang kuat dalam masalah ini -insya Allah-bahwa tidak ada jarak tertentu dalam safar, tetapi hal itu dikembalikan kepada 'Urf (kebiasaan) masyarakat masing-masing, apabila mereka menilainya bahwa jarak tertentu termasuk safar maka hukumnya adalah safar, dan jika tidak maka tidaklah disebut safar.

Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ

"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu)." [QS. An-Nisaa': 101]

Dalam ayat ini Allah memutlakkan kata safar dan tidak membatasinya dengan jarak tertentu.

Dalam kaidah ushul fiqih ditegaskan:
"Sesuatu yang mutlak tetap di-bawa kepada kemutlakannya hingga ada dalil yang memalingknnyannya."[Majmu' Fatawa (24/13), al-Ushul min Ilmil Ushul (hal. 44), Ibnu Utsaimin]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"setiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syari'at maka dikembalikan kepada 'urf. Karenanya jarak yang dinilai oleh manusia bahwa hal itu adalah safar maka itulah safar yang dimaksud oleh syari'at.[Majmu' Fatawa (24/ 40-41 ).]

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah juga berkata "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membatasi kepada umatnya batasan tertentu tentang jarak safar untuk menqashar shalat dan bolehnya berbuka puasa, tetapi beliau mengungkapkan kata safar secara mutlak kepada mereka, sebagaimana Allah memutlakkan tayammum pada setiap safar. Adapun riwayat yang menyebutkan batas-batas tertentu dengan sehari, dua hari, tiga hari, maka tidak ada satu pun yang shahih dari Nabi." [Zaadul Ma'ad (1/189).

Pendapat yang kami kemukakan di atas adalah pendapat yang kuat, adapun pendapat-pendapat lainnya yang memberikan batasan-batasan tertenfu maka lemah sekali ditinjau dari beberapa segi :

Pertama : Batasan-batasan tersebut menyelisihi keumuman ayat AlQur-an dan perbuatan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Kedua : Pembatasan-pembatasan tersebut tidaklah berlandaskan dalil yang kuat dan jelas, tetapi hanya berdasar pada pendapat semata.

Ketiga : Kalaulah memang safar memiliki batas tertentu, niscaya akan dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan sejelas-jelasnya karena hal itu merupakan kebutuhan ummat yang mendesak.

Keempat : Pembatasan-pembatasan tersebut mengharuskan manusia untuk mengetahui jarak jalan yang mereka lalui. Sungguh, ini merupakan beban berat bagi mayoritas manusia, terlebih pada jalan-jalan yang tidak dilalui manusia!!

Kelima : Pendapat bahwa safar tanpa batas tertentu menunjukkan kehebatan Al-Qur-an yang sesuai dengan
perubahan zaman.[Lihat al-Mughni (3/108-109) lbnu Qudamah, al-Muhalla (3/212-215) , lbnu Hazm, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (1/3307-311) al-Albani.]
Wallaahu a'lam.


[Disalin dari "Bekal Safar menurut Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam",hal 9-10, oleh Abu Abdillah bin Luqman Al Atsary, dan Abu Ubaidah bin Mukhtar As Sidawi, penerbit Salwa Press]


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.