Kalau suami MELARANG istri bekerja keluar rumah, maka istri wajib mentaati.
Kalau suami MEMERINTAHKAN istri untuk berjilbab syar'i, maka istri wajib mentaati.
Ketidaktaatan istri kepada suami dalam perkara yang ma'ruf, termasuk bentuk kedurhakaan kepada suami yang dapat mengakibatkan tidak diterimanya shalat istri, hingga ia kembali taat kepada suami.
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ: الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتىَّ يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ
"Ada tiga golongan yang SHALAT MEREKA TIDAK MELEWATI TELINGA-TELINGA MEREKA, yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya sampai ia kembali kepada tuannya, ISTRI YANG MELEWATI MALAM DALAM KEADAAN SUAMINYA MARAH KEPADANYA, dan seseorang yang mengimami suatu kaum sementara mereka tidak suka kepadanya."
[HR. At-Tirmidzi (no. 360), dihasankan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat (no. 1122) dan Shahihul Jami’ (no. 3057)]
Imam Suyuthi rahimahullah berkata dalam Qutun Al-Mughtadzi:
"Maksudnya, shalat mereka tidak diangkat ke langit (tidak diterima oleh Allah), sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
لاَ نَرْفَعُ صَلاَتَهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْراً
"Kami tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepala mereka walau satu jengkal."
"Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan tidak diterimanya shalat mereka." [Penjelasan Al-Mubarakfury dalam Tuhfatul Ahwadzi (2/290 – 291)]
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhum, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتىَّ يَرْجِعَ، وَامْرَأَة ٌعَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
"Ada dua golongan yang SHALAT MEREKA TIDAK MELEWATI KEPALA-KEPALA MEREKA (tidak diterima oleh Allah), yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya sampai ia kembali kepada tuannya dan ISTRI YANG DURHAKA KEPADA SUAMINYA HINGGA IA KEMBALI TAAT."
[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/191), Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (no. 3628) dan Ash-Shaghir (no. 478), dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ (no. 136) dan Ash-Shahihah (no. 288)]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Seorang perempuan jika telah menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami (dalam hal yang ma'ruf) itu lebih wajib dari pada ketaatan kepada orang tuanya." [Majmu Fatawa (32/261)].
Ketaatan kepada suami adalah dalam hal yang ma'ruf. Apabila suami memerintahkan kepada perbuatan bid'ah atau maksiat, maka tidak ada ketaatan dalam hal ini. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq."
[HR. Ahmad (1/131, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad: “Isnadnya shahih.”]
Besarnya hak seorang suami terhadap istrinya, digambarkan dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
"Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut, niscaya ia belum purna (belum dianggap cukup) menunaikan hak suaminya."
[HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah].
Sumber : Catatan Abu Muhammad Herman
https://www.facebook.com/abu.herman/posts/10202036799376595?stream_ref=1
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.