Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



APAKAH ORANG YANG BERQURBAN WAJIB IKUT MEMAKAN DAGING QURBAN NYA?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Abu Mushlih Arie Wahyudi

Sempat beredar kabar di tengah-tengah kaum muslimin tentang larangan bagi orang yang berqurban untuk ikut memakan daging qurbannya. Maka ini adalah TIDAK BENAR, sebab nash-nash dan dalil yang shahih justru mengatakan sebaliknya. Diantaranya :

Dari Atha' bin Yasar : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari : "Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ia menjawab : "Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan memberi makan yang lain" [Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu Majah (3147) dan Al-Baihaqi (9/268) dan isnadnya hasan].

Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para sahabatnya dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada para ahli ilmu apabila kamu tidak mengetahui tentang suatu perkara.” (QS. an-Nahl: 43)

Berikut ini ringkasan dari penjelasan Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi hafizhahullah dalam kitabnya Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhahi wal ‘Iedain (hal. 491-498) mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum memakan daging kurban oleh shohibul qurban, wajib atau sunnah? 
Namun, perlu diingat sekali lagi bahwa maksud pembahasan ini bukanlah untuk meremehkan amalan sunnah (mustahab/dianjurkan, tidak wajib), akan tetapi untuk memperjelas duduk perkaranya agar kita tidak menjerumuskan diri dalam dosa. Beliau -Syaikh Abul Hasan- menjelaskan bahwa para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam menyikapinya. Sebagian berpendapat shohibul qurban wajib memakan daging kurbannya -di antaranya adalah Abul Hayan al-Andalusi, Ibnu Hazm, dan asy-Syanqithi-, sedangkan sebagian yang lain -dan mereka itu adalah Jumhur ulama- berpandangan bahwa hal itu adalah sunnah/mustahab -semoga Allah merahmati mereka yang berbeda pendapat tersebut-.

Dalil ulama yang berpendapat wajib :

Beberapa dalil yang dibawakan oleh kelompok pertama yang mewajibkannya antara lain:

1. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila lambungnya -hewan kurban itu- telah jatuh (disembelih), maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah makan dengannya kepada orang yang miskin yang tidak meminta maupun yang meminta.” (QS. al-Hajj: 36)

2. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka makanlah sebagian darinya serta berikanlah makan dengannya untuk orang yang sangat miskin.” (QS. al-Hajj: 28). Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat ini berisi perintah kepada shohibul qurban untuk memakan daging kurban. Padahal hukum asal perintah adalah wajib -sebagaimana dalam kaedah ushul-. Demikian pula hadits-hadits berikut ini semuanya berisi perintah, dan perintah ini adalah menunjukkan wajib menurut mereka.

3. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah sebagian darinya, simpanlah, dan bersedekahlah dengannya.” (HR. Muslim)

4. Hadits Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah sebagian darinya, berikan makan untuk orang lain, dan simpanlah sisanya.” (HR. Bukhari)

5. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berkurban hendaklah dia memakan sebagian dari daging hewan kurbannya itu.” (HR. Abu Syaikh dalam Kitab al-Adhahi, rijalnya dikatakan tsiqat/terpercaya, namun Abu Hatim mengatakan yang benar hadits ini mursal/tidak bersumber dari Nabi, lihat Fath al-Bari [10/31] pent)

6. Hadits Jabir radhiyallahu’anhuma, yang di dalamnya beliau mengisahkan hajinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di dalamnya diceritakan bahwa beliau meminta dari setiap onta -dari seratus onta yang beliau kurbankan- untuk diambil sedikit bagian darinya untuk dimasak dan kemudian beliau menikmati sebagian darinya (HR. Muslim). Hadits ini -menurut mereka- menunjukkan bahwa perintah untuk memakan daging kurban itu adalah wajib

7. Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami -para sahabat- untuk memakan sepertiganya, bersedekah dengan sepertiganya, dan memberikan makan tetangga dengan sepertiga sisanya (HR. Ibrahim al-Harbi sebagaimana tercantum dalam al-Muhalla karya Ibnu Hazm, akan tetapi hadits ini lemah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang suka berdusta yaitu Thalhah bin Amr, demikian juga Atha’ yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud padahal dia baru lahir sesudah Ibnu Mas’ud meninggal)

8. Hadits Abu Mijlaz dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa suatu ketika beliau -Ibnu Umar- berkurban dan memerintahkan para sahabatnya untuk memberikan kepadanya sebagian daging kurbannya lalu menyedekahkan semua sisanya (HR. Abdurrazzaq)

9. Hadits seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Abu Sa’id radhiyallahu’anhu, bahwa Abu Sa’id memerintahkan kepada anak-anaknya, “Apabila kalian sudah menyembelih kurban kalian maka berikanlah makan orang lain dengannya, makanlah sebagiannya, dan sedekahkanlah sisanya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Dalil Ulama yang berpendapat sunnah :

Kelompok kedua mengatakan bahwa ayat-ayat dan hadits yang disebutkan di atas tidak menunjukkan wajib karena adanya berbagai indikasi yang memalingkannya dari hukum asal tersebut, antara lain adalah:

1. Dalam hadits Jabir radhiyallahu’anhuma di atas diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk dimasakkan daging kurbannya -yang semuanya berjumlah 100 ekor onta- sedangkan yang beliau minum adalah hanya sebagian kuahnya dan beliau tidak mencari-cari setiap cuil daging yang menjadi bagian dari semua ontanya, hal ini menunjukkan tidak wajibnya memakan bagian dari hewan sembelihan tersebut.

2. Terdapat riwayat dengan sanad yang sahih dari Ibrahim an-Nakha’i, beliau mengatakan, “Dahulu orang-orang musyrik tidak mau memakan sembelihan kurban mereka maka Allah memberikan keringanan bagi kaum muslimin maka mereka pun memakannya. Barangsiapa yang mau silahkan makan dan barangsiapa yang tidak mau silahkan untuk tidak makan.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya). Dan riwayat lainnya dari Malik dan al-Laits yang menunjukkan bahwa perintah itu bukan wajib. Demikianlah -tidak wajibnya shohibul qurban memakan daging kurban- yang dipahami oleh para ahli tafsir seperti ath-Thabari, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, asy-Syaukani, al-Alusi, dan lain-lain -semoga Allah merahmati mereka semua-.

3. Adapun hadits Aisyah radhiyallahu’anha yang di dalamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah sebagian darinya, simpanlah, dan bersedekahlah dengannya.” (HR. Muslim) maka al-Hafizh Ibnu Hajar membantah orang yang berdalil dengannya untuk mewajibkan hal itu. Beliau berkata, “Tidak terdapat hujjah di dalamnya -bagi mereka- sebab perintah ini disampaikan setelah larangan sehingga -berdasarkan kaedah ushul- hal itu menunjukkan kebolehan-.” (Fath al-Bari [10/26] dalam cetakan kami halaman 30, pent). Alasan berikutnya, sesungguhnya menyimpan daging kurban itu tidak wajib -padahal di dalam hadits ini juga terdapat perintah untuk itu- maka demikian pula memakannya, juga tidak wajib. Sebab perintah-perintah ini masih dalam satu rangkaian. Kalau yang ini wajib mengapa yang itu tidak wajib. Kalaupun seandainya mereka berpendapat wajibnya menyimpan daging kurban, maka sesungguhnya mereka telah melontarkan pendapat yang sangat mengherankan!

4. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkurban hendaklah dia memakan sebagian dari daging hewan kurbannya itu.” ( HR. Abu Syaikh dalam Kitab al-Adhahi) maka hadits ini mursal (termasuk dalam kategori hadits lemah) sebagaimana dijelaskan oleh Abu Hatim kepada anaknya, selain itu juga terdapat cacat hadits yang lainnya. Sehingga hadits ini tidak bisa menjadi hujjah.

5. Adapun hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami -para sahabat- untuk memakan sepertiganya, bersedekah dengan sepertiganya, dan memberikan makan tetangga dengan sepertiga sisanya (HR. Ibrahim al-Harbi sebagaimana tercantum dalam al-Muhalla) maka sebagaimana sudah dibahas di atas bahwa hadits ini lemah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang suka berdusta yaitu Thalhah bin Amr, demikian juga terdapat riwayat dari Atha’ dari Ibnu Mas’ud padahal Atha’ baru lahir sesudah Ibnu Mas’ud meninggal, artinya mereka berdua tidak bertemu.

6. Adapun riwayat Abdurrazzaq dari Abu Mijlaz yang mengisahkan bahwa Ibnu Umar meminta diberi sebagian daging kurbannya, maka hal itu tidak secara tegas menunjukkan wajibnya memakan daging tersebut. Begitu pula atsar/riwayat lainnya -seperti riwayat dari Abu Sa’id- yang digunakan untuk mendukung pendapat yang mewajibkan mengandung kelemahan dari sisi sanadnya. Inilah -wallahu a’lam- dalil-dalil yang menguatkan pendapat jumhur/mayoritas ulama -dengan dukungan dari penjelasan para ahli tafsir di atas, pen- yang menyatakan bahwa shohibul qurban tidak wajib memakan daging kurbannya. Konsekuensinya adalah -sebagaimana telah beliau terangkan dalam pembahasan sebelum bab ini- yaitu menunjukkan bolehnya memindahkan hewan kurban ke daerah lain (transfer kurban) untuk disembelih di sana dan orang yang berkurban tidak ikut memakan sebagiannya. Meskipun hal itu tergolong perbuatan yang khilaf aula (menyelisihi yang lebih utama). Demikian ringkasan keterangan beliau yang kami susun ulang dengan sedikit penyesuaian redaksional.

Bahan renungan
Berdasarkan pertimbangan di atas, Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi hafizhahullah menegaskan bahwa hukum memindahkan hewan kurban itu dirinci -tidak disamaratakan (gebyah uyah, Jawa)-, tergantung pada kondisi masyarakat miskin yang ada di daerah shohibul qurban itu sendiri dan masyarakat miskin yang ada di tempat lain (baca: lokasi sasaran transfer kurban). Apabila masyarakat sekitarnya lebih membutuhkan maka yang lebih utama tidak memindahkannya. Adapun apabila ternyata masyarakat sekitarnya sudah berkecukupan, sedangkan di tempat lain orang-orang miskin sangat membutuhkannya maka yang lebih utama adalah memindahkan hewan kurban, baik itu dengan niat sedekah -dan di saat yang sama dia juga menyembelih kurban sendiri di tempatnya- ataupun misalnya diniatkan sebagai hewan kurban maka itupun boleh. Hal ini berlaku bagi orang yang berkelapangan sehingga minimal dia bisa menyembelih dua hewan kurban, yang satu di tempatnya sendiri dan yang lainnya di daerah lain yang membutuhkan. Adapun bagi orang yang hanya bisa berkurban satu hewan maka hukum memindahkannya tergantung pada hukum memakan daging kurban tersebut, wajib atau tidak. Kalau wajib maka tidak boleh dipindahkan, sedangkan kalau tidak wajib maka boleh untuk dipindahkan (silahkan lihat Tanwir al-’Ainain bi Ahkam Adhahi wal ‘Iedain, hal. 490, kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada al-Ustadz al-Fadhil Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar -hafizhahullah- yang telah menunjukkan faedah isi kitab ini kepada kami serta atas jerih payahnya menyebarkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Keterangan tentang wajib atau tidaknya hal itu sudah dipaparkan di atas, dan pendapat yang lebih kuat setelah membaca keterangan di atas -wallahu a’lam- adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa hal itu tidak wajib (lihat keterangan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya [5/315] cet. Maktabah Taufiqiyah, at-Tadz-hib fi Adillati Matn al-Ghayah wa Taqrib, hal. 247, Mughni al-Muhtaj [4/387], al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i [1/436]). Sebagai tambahan, berikut ini kami bawakan ucapan ulama dalam masalah ini agar semakin bertambah jelas:

[1] al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip perkataan an-Nawawi rahimahullah, “Madzhab jumhur ulama menyatakan tidak wajibnya memakan sebagian dari hasil sembelihan kurban, sebab perintah yang ada di situ hanyalah menunjukkan izin/kebolehan. Dan sebagian ulama salaf memang ada yang berpendapat tetap mengikuti zahir perintah itu…” (Fath al-Bari [10/31] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)

[2] Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan makna ayat ke-36 dari surat al-Hajj, “Maka makanlah sebagian darinya”. Kata beliau, “Ayat ini ditujukan kepada orang yang menyembelih had-yu/kurban. Maka dia boleh memakan dari hasil sembelihannya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 538 cet Mu’assasah ar-Risalah tahun 1423 H)

[3] Pada suatu saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang anjuran memakan sebagian daging kurban. Ketika itu beliau mengatakan bahwa shohibul qurban disunnahkan untuk ikut memakan sebagian dari hasil sembelihan kurbannya, dan beliau tidak menyatakan wajibnya hal itu (lihat As’ilah wa Ajwibah fi Sholat al-’Iedain, hal. 9 cet. Dar al-Wathan tahun 1412 H).

Inilah keterangan sebagian ulama yang dapat kami sampaikan, semoga bisa menjadi tambahan ilmu yang bermaanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


 Sumber : http://abumushlih.com/wajibkah-shohibul-qurban-memakan-daging-kurban.html/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.