Oleh : Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husen Al-Atsariyyah
Bismillah,
Setiap amalan yang disyariatkan dalam Islam memiliki batasan-batasan. Hal ini dimaksudkan agar agama ini tidak diaplikasikan secara berlebihan yang ujung-ujungnya kemudian menjadi amalan bid’ah. Demikian juga dengan ziarah kubur. Amalan yang dianjurkan ini bisa menjadi bid’ah jika batasan-batasan syariatnya dilanggar. Hal-hal apa saja yang mesti kita perhatikan dalam ziarah kubur? Dan bagaimana hukum amalan tersebut bagi wanita?
Bismillah,
Setiap amalan yang disyariatkan dalam Islam memiliki batasan-batasan. Hal ini dimaksudkan agar agama ini tidak diaplikasikan secara berlebihan yang ujung-ujungnya kemudian menjadi amalan bid’ah. Demikian juga dengan ziarah kubur. Amalan yang dianjurkan ini bisa menjadi bid’ah jika batasan-batasan syariatnya dilanggar. Hal-hal apa saja yang mesti kita perhatikan dalam ziarah kubur? Dan bagaimana hukum amalan tersebut bagi wanita?
Ziarah Kubur Amalan yang Disyariatkan
Ziarah kubur merupakan amalan yang disyariatkan dalam agama ini. Ini bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat. Tentunya disertai syarat, orang yang melakukannya tidak melakukan perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berdoa meminta hajat/kebutuhan dan istighatsah (minta tolong) kepada penghuni kubur, dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu membagi ziarah kubur menjadi dua, yaitu: ziarah syar’iyyah (ziarah yang syar’i) dan ziarah bid’iyyah (ziarah yang bid’ah). Ziarah yang syar’i adalah ziarah yang dilakukan dengan maksud mengucapkan salam kepada mayat dan mendoakannya sebagaimana hal ini dilakukan ketika menshalati jenazahnya. Namun ziarah ini dilakukan tanpa syaddu rihal (menempuh perjalanan yang jauh/safar). Adapun ziarah yang bid’ah adalah bila peziarah melakukannya dengan tujuan meminta kebutuhan/hajat kepada mayat dan ini merupakan syirik akbar. Atau ia ingin berdoa di sisi kuburan, maka ini bid’ah yang diingkari dan mengantarkan kepada kesyirikan. Selain itu, yang demikian ini tidak pernah dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh salaful ummah dan para imam dari kalangan umat ini. (Sebagaimana dinukil dalam Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan, 1/256 dan Taudhihul Ahkam, Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam, 3/258)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa berdoa dan beristighatsah kepada mayat, serta meminta kepada Allah dengan menyebut hak si mayat yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika berziarah, termasuk hujr[1] yang paling besar dan ucapan yang batil. Semestinya ulama menerangkan hukum Allah terkait dengan masalah ini kepada mereka dan memahamkan mereka bagaimana ziarah kubur yang masyru’ah (ziarah yang syar’i) berikut tujuannya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 227-228)
Berikut ini dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang disyariatkannya ziarah kubur beserta faedahnya:
Buraidah ibnul Hushaib radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan: [2]
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا
“Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[3]
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.”[4]
Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
لِتُذَكِّرَكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا
“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”[5]
Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu disebutkan:
فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الآخِرَة وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا
“Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[6]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasinya dengan ucapan beliau: وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا.” (Al-Majmu’, 5/285)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)
Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki[7] Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:
Pertama: Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha: [8]
كُنَّا نُنْهى (وَفِي رِوَايَةٍ: نَهَانَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ, وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.” [9]
Mayoritas pengikut madzhab Syafi’iyyah[10] dan sebagian pengikut madzhab Hanafiyyah[11] berpendapat seperti ini.
Kedua: Mubah tidak makruh. Demikian pendapat mayoritas Hanafiyyah, Malikiyyah dan riwayat lain dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu[12], berdalil dengan:
1. Hadits dari Buraidah radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas[13].
2. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang ziarahnya ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhuma.[14]
3. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah[15] ketika ia berkata: “Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”
Beliau mengajarkan: “Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian. (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
4. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu , ia berkata: [16]
مَرَّ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ, فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ. قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّيِ فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ بِمُصِيْبَتِيْ. وَلَمْ تَعْرِفْهُ. فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ, فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ. فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدَمَةِ الأُولَى
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah[17] dan bersabarlah.’
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan, -pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak didapatinya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku tadi tidak mengenalmu”, katanya menyampaikan uzur.
Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” [18]
Ketiga: Haram. Demikian pendapat sebagian pengikut madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah, serta pendapat ketiga dari Al-Imam Ahmad[19], dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim, dengan dalil berikut:
1. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)
Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ….
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.”[20] (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur)
Namun sanad hadits ini dha’if sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.
2. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai, Rasulullah kembali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya:
مَا أَخْرَجَكِ مِنْ بَيْتِكِ يَا فَاطِمَةُ؟قَالَتْ: أَتَيْتُ أَهْلَ هَذَا الْبَيْتِ, فَتَرَحَّمْتُ إِلَيْهِمْ وَعَزَّيْتُهُمْ بِمَيِّتِهِمْ.قَال: لَعَلَّكِ بَلَغْتِ مَعَهُم الْكُدَى!قَالت: مَعَاذَ اللهِ أَنْ أَكُوْنَ بَلَغْتُهَا, وَقَدْ سَمِعْتُكَ تَذْكُرُ فِي ذلِكَ مَا تَذْكُرُ!
فَقَال لَها: لَوْ بَلَغْتِهَا مَعَهُم مَا رَأَيْتِ الْجَنَّةَ حَتّى يَرَاهَا جَدُّ أَبِيْكِ!
“Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”
“Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.
“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah.
“Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah.
“Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).
Yang rajih (kuat) dari perselisihan yang ada, wallahu a’lam, adalah pendapat yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita bahkan hukumnya mustahab sebagaimana laki-laki, dengan beberapa alasan :
Pertama : Hadits-hadits yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarang.
Kedua : Lafadz: yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan[21].
menunjukkan mubalaghah, artinya yang dilaknat adalah wanita yang banyak berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah masuk dalam ancaman hadits di atas. Kalau ada yang berargumen bahwa ada hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ….
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan[22].
Maka penjelasannya sebagai berikut: Hadits: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ telah diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah: , kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dari jalan Abu Shalih maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib radhiallahu ‘anha dibawakan dengan lafadz:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ
Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu: “Ia perawi yang dha’if (lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad[23]. Tidak ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225, hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits Abu Hurairah dan hadits Hasan radhiallahu ‘anhuma. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung), namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu. Dengan demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah masuk dalam laknat tersebut.
Sekarang menjadi jelaslah ketidak-bolehan mempertentangkan hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya ziarah kubur bagi wanita. Karena hadits ini khusus (hanya tertuju bagi wanita yang sering melakukan ziarah), sedangkan hadits tentang sunnahnya ziarah kubur adalah umum. Maka, masing-masingnya diamalkan sesuai tempatnya. Mengumpulkan dalil-dalil yang ada adalah lebih utama daripada menganggap adanya naskh (adanya dalil yang dihapus hukumnya). (Lihat Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 235-237)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)
Ketiga : Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.”[24]
Sehingga termasuk di dalamnya perintah kepada kaum wanita. Karena ketika pada awalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur, tidak diragukan bahwa larangan itu umum mencakup laki-laki dan perempuan. Tatkala beliau nyatakan: نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ dipahami bahwa beliau juga menujukan pembicaraan kepada laki-laki dan perempuan. Maka bila kalimat yang awal ini ditujukan bagi laki-laki dan perempuan berarti kalimat selanjutnya, yaitu: فَزُوْرُوْهَا juga ditujukan kepada kedua jenis tersebut.
Yang memperkuat keterangan di atas adalah kelanjutan dari hadits ini, seperti tersebut dalam riwayat Muslim dari hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas:
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ اْلأَضَاحِي فَوْقَ ثَلاَثٍ، فَأَمْسِكُوْا مَا بَدَالَكُمْ، نَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيْذِ إِلاَّ فِي سِقَاءٍ، فَاشْرَبُوا فِي اْلأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا
“Dan aku pernah melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang tahanlah (simpanlah) berapa hari yang kalian inginkan. Aku pernah melarang kalian dari nabidz[25] kecuali yang di dalam bejana tempat minum, maka sekarang minumlah yang ada di dalam bejana tempat minum seluruhnya dan jangan kalian meminum minuman yang memabukkan.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Semua perbuatan yang disebutkan dalam hadits di atas, pembicaraannya ditujukan kepada dua jenis (laki-laki dan perempuan) secara pasti, sebagaimana sasaran pembicaraan pada kalimat yang awal: كنت نَهَيْتُكُمْ. Bila dikatakan sasaran pembicaraan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَزُوْرُوْهَا itu hanya khusus bagi laki-laki, niscaya akan rusak/kacau susunan kalimat yang ada dan akan hilang kesegarannya. Ini merupakan perkara yang tidak pantas bagi sang pemilik jawami’ul kalim[26] (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 229)
Keempat : Berserikatnya perempuan dengan laki-laki dalam tujuan disyariatkannya ziarah kubur, yaitu melunakkan hati, mengalirkan air mata, mengingatkan pada kematian dan hari akhir.
Kelima : Pemahaman Aisyah radhiallahu ‘anha dalam masalah ini. Bahkan ia sendiri melakukan ziarah kubur, sebagaimana diberitakan Abdullah ibnu Abi Mulaikah: “Suatu hari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha datang dari pekuburan, maka aku berkata kepadanya: “Wahai Ummul Mukminin! Dari mana engkau datang?” Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakar.” “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan ziarah kubur?” tanyaku. “Iya, kemudian beliau perintahkan untuk ziarah kubur,” jawab ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. (HR. Al-Hakim 1/376, Al-Baihaqi 4/78 dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Al Irwa‘, no. 775)
Suatu hari Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnul Muthallib berkata: “Maukah aku beritakan kepada kalian tentang aku dan ibuku?” Perawi yang mendengar ucapan itu berkata: “Kami menyangka bahwa yang dimaksudkan oleh Muhammad bin Qais adalah ibu yang melahirkannya.” Namun ternyata Muhammad bin Qais berkata: “Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: ‘Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang aku dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’
‘Tentu kami mau,’ jawab kami
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mulai bercerita: ‘Suatu ketika, di malam giliranku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan rida`-nya, melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sisi kedua kakinya. Lalu beliau membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya, setelahnya beliau pun berbaring. Tidak berapa lama sekadar beliau menyangka aku telah tertidur, beliau bangkit lalu mengambil rida`-nya dengan perlahan dan mengenakan sandalnya dengan perlahan, kemudian membuka pintu dan keluar, setelahnya pintu ditutup kembali dengan perlahan. Aku pun bangkit dan mengenakan pakaianku, menutup kepalaku dan menutup wajahku dengan sarung. Kemudian aku mengikuti jejak beliau, hingga sampai di pekuburan Baqi’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lama lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berbalik, akupun berbalik. Beliau bersegera, aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, akupun berlari kecil. Beliau berlari lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku merebahkan tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau bertanya heran: ‘Ada apa dengan dirimu, wahai ‘Aisy? Kulihat nafasmu memburu.’
‘Tidak apa-apa,’ kilahku.
‘Beritahu aku, atau Allah yang akan mengabarkan kepadaku!’ ancam beliau.
Aku pun menceritakan kejadian yang baru berlangsung. Mendengar penuturanku, beliau berkata: ‘Berarti engkau adalah sosok yang aku lihat di hadapanku tadi?’
‘Iya,’ jawabku.
Beliau mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda: ‘Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu[27]?’
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: ‘Bagaimana pun manusia menyembunyikannya niscaya Allah mengetahuinya. Memang semula aku menyangka demikian.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: ‘Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, maka aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya karena Jibril tidak mungkin masuk ke kamar ini sementara engkau telah melepaskan pakaianmu. Dan tadi aku menyangka engkau sudah tidur maka aku tidak ingin membangunkanmu, karena aku khawatir engkau akan merasa sendiri dalam sepi di kegelapan malam. Jibril berkata kepadaku saat itu: ‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi pekuburan Baqi’ guna memintakan ampun bagi penghuninya.’
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: ‘Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?’
Beliau mengajarkan: ‘Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian.” (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam kitab At-Talkhish (2/702) untuk menyatakan bolehnya ziarah kubur bagi wanita. Demikian dzahir yang ditunjukkan oleh hadits ini, sebagaimana ia mendukung pendapat yang menyatakan rukhshah ziarah kubur setelah pelarangan juga mencakup wanita. Karena kisah yang disebutkan di atas terjadi di Madinah, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kumpul dengan Aisyah radhiallahu ‘anha. Sedangkan larangan ziarah kubur ditetapkan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tinggal di Makkah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Kami memastikan hal ini walaupun kami tidak mengetahui tarikh yang memperkuatnya, karena penarikan kesimpulan yang shahih yang menjadi saksi/pendukungnya, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: كنت نَهَيْتُكُمْ (Dahulu aku melarang kalian). Tidaklah bisa dinalar larangan semisal ini ditetapkan di masa Madani (ketika beliau telah menetap di Madinah), bukan di masa Makki (saat beliau masih tinggal di Makkah), di mana saat beliau tinggal di Makkah mayoritas hukum yang ditetapkan adalah yang berkaitan dengan tauhid dan aqidah. Sementara larangan ziarah kubur termasuk pembahasan tauhid/aqidah karena larangan dimaksudkan sebagai penutup jalan/perantara yang mengantarkan kepada kesyirikan. Pensyariatan larangan ziarah kubur ini hanyalah cocok diterapkan di masa Makki karena manusia ketika itu baru saja masuk Islam dan baru saja meninggalkan kesyirikan. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang mereka ziarah kubur agar tidak menjadi perantara kepada syirik. Sampai ketika tauhid telah kokoh dalam dada-dada mereka dan mereka mengetahui jenis-jenis syirik yang berlawanan dengan tauhid, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkan mereka berziarah. Adapun kalau dianggap beliau membiarkan mereka terus melakukan ziarah sepanjang masa Makki sebagaimana kebiasaan mereka, kemudian baru beliau larang setelah di Madinah, maka anggapan ini sangat jauh dari hikmah syariat. Karena itulah kami memastikan bahwa larangan tersebut ditetapkan di Makkah. Bila demikian keadaannya, izin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha untuk berziarah kubur di Madinah merupakan dalil yang jelas atas apa yang telah kami sebutkan. Maka perhatikanlah, karena ini adalah sesuatu yang membekas dalam jiwa. Sementara aku belum pernah melihat ada orang yang mensyarah/menjelaskan masalah ini sebagaimana sisi yang aku jelaskan. Kalau aku benar maka itu datangnya dari Allah, adapun bila aku salah maka itu semata dari diriku sendiri.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 232-233)
Keenam : Persetujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang berada di sisi kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ، فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ. قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيْبَتِيْ. وَلَمْ تَعْرِفْهُ، فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ، فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ. فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدَمَة اْلأُولَى
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: “Bertakwalah engkau kepada Allah[28] dan bersabarlah.”
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Menjauhlah dariku, karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan –pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamShallallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku tadi tidak mengenalmu,” katanya menyampaikan uzur.
dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” [29]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari duduknya si wanita di sisi kuburan dan persetujuannya ini merupakan hujjah.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-’Aini rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya ziarah kubur secara mutlak. Sama saja baik yang berziarah itu laki-laki atau wanita, dan sama saja baik kubur yang diziarahi itu adalah kubur seorang muslim atau orang kafir[30], karena tidak adanya perincian dalam hal ini.” (Al-’Umdah, 3/76)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Apa yang ditunjukkan dalam hadits (Anas) berupa kebolehan ziarah kubur bagi wanita merupakan makna yang langsung dipahami dari hadits tersebut. Namun penunjukan itu barulah sempurna apabila kisah ini tidak terjadi sebelum adanya pelarangan ziarah kubur[31]. Dan inilah yang nampak, apabila kita mengingat penjelasan yang telah lewat bahwasanya larangan ziarah kubur terjadi di Makkah. Sementara kisah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ini, -dan dia adalah Madani (orang Madinah), yang ketika berusia sepuluh tahun dia dibawa oleh ibunya Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau hijrah ke Madinah-, terjadi di Madinah. Maka kuatlah penetapan yang ada, bahwa kisah ini terjadi setelah adanya larangan ziarah kubur[32]. Dengan demikian sempurnalah pendalilan dari hadits ini untuk menunjukkan bolehnya ziarah kubur (bagi wanita). Adapun ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (4/350): “Takwa kepada Allah[33] adalah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah kubur (bagi wanita)[34].” Maka ucapan beliau ini benar bila seandainya si wanita mempunyai ilmu tentang dilarangnya ziarah kubur bagi wanita dan larangan itu berlaku terus-menerus, tidak dihapus (dengan kebolehan ziarah kubur yang datang kemudian). Bila demikian keadaannya tepatlah ucapan beliau: “… di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah kubur (bagi wanita).” Namun sebenarnya ini adalah pendalilan yang tidak tepat. Karena, kalau larangan itu berlaku terus-menerus niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang si wanita dari ziarah kubur secara terang-terangan, dan beliau akan menerangkannya kepada si wanita. Beliau tidak akan mencukupkan dengan memerintahkannya bertakwa kepada Allah dalam bentuk yang umum. Ini jelas sekali insya Allah.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 234-235)
Ibnu Hazm rahimahullahu menyatakan ziarah kubur itu sunnah, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. (Al-Muhalla, 3/388)
Wanita Dilarang Sering Ziarah Kubur
Sekalipun ziarah kubur dibolehkan bagi wanita namun tidak diperkenankan bagi mereka untuk banyak atau sering melakukannya. Karena perbuatan demikian akan mengantarkannya untuk melakukan perkara yang menyelisihi syariat misalnya berteriak-teriak di kuburan, keluar dengan tabarruj, menjadikan kuburan sebagai tempat rekreasi/piknik, menyia-nyiakan waktu dengan obrolan yang sia-sia di sisi kubur, dan sebagainya, sebagaimana banyak kita saksikan di negeri kita ini. Wanita yang banyak dan sering berbolak-balik ke kuburan inilah yang dituju oleh hadits:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
________
Footnote:
[1] Akan dijelaskan nantinya
[2] Hujran atau hujr adalah ucapan-ucapan yang batil (Al-Majmu, 5/285) atau kata-kata yang keji/kotor, termasuk juga banyak berbicara yang tidak sepantasnya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, hal. 986)
[3] HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2033, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i
[4] HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2256, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi
[5] HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 5/355
[6] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/376
[7] Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/190, karya Ibnul Qaththan
[8] Sebagaimana dinukil dari Al-Mughni, kitab Al-Jana`iz, mas’alah: Qala: Wa Tukrahu lin-Nisa` dan Jami’ul Fiqh lil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah , 2/497
[9] HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘anit Tiba’il Jana`iz
[10] Al-Majmu’ 5/285
[11] Raddul Mukhtar 1/151
[12] Al-Mughni, kitab Al-Jana`iz, mas’alah: Qala: Wa Tukrahu lin-Nisa` dan Jami’ul Fiqh lil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah, 2/497
[13] Yaitu hadits: َنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
[14] Akan dijelaskan nantinya.
[15] Hadits ini dan hadits Anas setelahnya, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, termasuk dalil yang menunjukkan ziarah kubur itu tidak diharamkan bagi wanita. (Al-Majmu’, 5/286)
[16] الصَّدَمَةُ makna asalnya adalah pukulan pada sesuatu yang keras, kemudian digunakan secara majaz pada segala yang dibenci/tidak disukai yang terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim 6/227)
[17] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya, karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari 3/184)
[18] HR. Al-Bukhari no. 1283 dan Muslim no. 626
[19] Al-Imam Ahmad diketahui memang memiliki tiga pendapat dalam masalah ini.
[20] Bedakan antara lafadz: زَوَّارَات dengan زَائرَات. Lafadz زَوَّارَات merupakan shighat mubalaghah (berlebih-lebihan) artinya wanita-wanita yang banyak atau sering berziarah. Sehingga bila hanya sesekali mereka melakukan ziarah tidaklah mereka dikatakan زَوَّارَات, tetapi dikatakan زَائرَات yang maknanya wanita-wanita yang berziarah.
[21] HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa’, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa‘ Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa‘ul Ghalil no. 762.
[22] HR. An-Nasa‘i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur
[23] Ulama yang ahli dalam mengkritik kelemahan yang ada pada hadits
[24] HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi
[25] Minuman yang dibuat dari tamr/kurma kering, anggur kering, madu, gandum dan selainnya (An-Nihayah, hal. 881)
[26] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan ucapan yang ringkas/pendek, sedikit lafadznya namun banyak maknanya. (Fathul Bari, 13/304)
[27] Dengan pergi ke tempat istri yang lain sementara malam ini adalah malam giliranmu. -pent
[28] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari, 3/184)
[29] HR. Al-Bukhari no. 1283, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur dan Muslim no. 626
[30] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur ibunya, padahal sang ibu meninggal dalam keadaan musyrik dan kafir. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
زَارَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتََ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur ibunya, maka beliau menangis dan tangis beliau membuat orang-orang yang ada di sekitar beliau ikut menangis. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku minta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampun bagi ibuku namun Rabbku tidak mengizinkannya. Dan aku pun minta izin untuk menziarahi kuburan ibuku maka untuk yang ini Rabbku mengizinkannya. Maka ziarahilah kuburan karena ziarah kubur itu akan mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim no. 2255, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzan An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu fi Ziyarati Qabri Ummihi)
[31] Yakni kisah ini terjadi setelah disyariatkannya ziarah kubur.
[32] Yaitu ketika ziarah kubur telah disyariatkan setelah sebelumnya dilarang.
[33] Demikian yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada si wanita yang sedang menangis di sisi kuburan.
[34] Ibnul Qayyim rahimahullahu memaksudkan ziarah kubur itu dilarang bagi wanita.
Ziarah kubur merupakan amalan yang disyariatkan dalam agama ini. Ini bertujuan agar orang yang melakukannya bisa mengambil pelajaran dari kematian yang telah mendatangi penghuni kubur dan dalam rangka mengingat negeri akhirat. Tentunya disertai syarat, orang yang melakukannya tidak melakukan perbuatan yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti berdoa meminta hajat/kebutuhan dan istighatsah (minta tolong) kepada penghuni kubur, dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu membagi ziarah kubur menjadi dua, yaitu: ziarah syar’iyyah (ziarah yang syar’i) dan ziarah bid’iyyah (ziarah yang bid’ah). Ziarah yang syar’i adalah ziarah yang dilakukan dengan maksud mengucapkan salam kepada mayat dan mendoakannya sebagaimana hal ini dilakukan ketika menshalati jenazahnya. Namun ziarah ini dilakukan tanpa syaddu rihal (menempuh perjalanan yang jauh/safar). Adapun ziarah yang bid’ah adalah bila peziarah melakukannya dengan tujuan meminta kebutuhan/hajat kepada mayat dan ini merupakan syirik akbar. Atau ia ingin berdoa di sisi kuburan, maka ini bid’ah yang diingkari dan mengantarkan kepada kesyirikan. Selain itu, yang demikian ini tidak pernah dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh salaful ummah dan para imam dari kalangan umat ini. (Sebagaimana dinukil dalam Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan, 1/256 dan Taudhihul Ahkam, Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam, 3/258)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa berdoa dan beristighatsah kepada mayat, serta meminta kepada Allah dengan menyebut hak si mayat yang dilakukan orang-orang awam dan selain mereka ketika berziarah, termasuk hujr[1] yang paling besar dan ucapan yang batil. Semestinya ulama menerangkan hukum Allah terkait dengan masalah ini kepada mereka dan memahamkan mereka bagaimana ziarah kubur yang masyru’ah (ziarah yang syar’i) berikut tujuannya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 227-228)
Berikut ini dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang disyariatkannya ziarah kubur beserta faedahnya:
Buraidah ibnul Hushaib radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan: [2]
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا
“Siapa yang ingin ziarah kubur maka silahkan ia berziarah, namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[3]
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
“Sesungguhnya dulu aku melarang kalian dari ziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah kubur ada ibrah/pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb kalian murka.” (HR. Ahmad 3/38, 63, 66, Al-Hakim 1/374,375 dan ia mengatakan: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 228 mengatakan, kedudukan hadits ini sebagaimana dikatakan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan faedah lain dari ziarah kubur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah kuburan karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.”[4]
Dalam riwayat Ahmad dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
لِتُذَكِّرَكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا
“Agar ziarah kubur itu mengingatkan kalian kepada kebaikan.”[5]
Dalam riwayat Al-Hakim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu disebutkan:
فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الآخِرَة وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا
“Karena ziarah kubur itu melembutkan hati dan mengalirkan air mata, serta mengingatkan pada akhirat namun jangan kalian mengucapkan hujran.”[6]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ziarah kubur ini awalnya dilarang karena masih dekatnya masa mereka (para shahabat) dengan masa jahiliyah. Sehingga bisa jadi ketika melakukan ziarah kubur, mereka mengucapkan perkataan-perkataan jahiliyah yang batil. Maka ketika kaidah-kaidah Islam telah tegak, kokoh dan mantap, hukum-hukum Islam telah teratur dan terbentang, serta telah masyhur tanda-tandanya, dibolehkanlah bagi mereka untuk ziarah kubur. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasinya dengan ucapan beliau: وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا.” (Al-Majmu’, 5/285)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Semua hadits ini menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang dimaukan secara syar’i.” (Subulus Salam, 2/181)
Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang bolehnya ziarah kubur bagi laki-laki[7] Namun berbeda halnya bila berkenaan dengan wanita. Mereka terbagi dalam tiga pendapat dalam menetapkan hukumnya:
Pertama: Makruh tidak haram. Demikian satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dengan dalil hadits Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha: [8]
كُنَّا نُنْهى (وَفِي رِوَايَةٍ: نَهَانَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ, وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami) untuk mengikuti jenazah, namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.” [9]
Mayoritas pengikut madzhab Syafi’iyyah[10] dan sebagian pengikut madzhab Hanafiyyah[11] berpendapat seperti ini.
Kedua: Mubah tidak makruh. Demikian pendapat mayoritas Hanafiyyah, Malikiyyah dan riwayat lain dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu[12], berdalil dengan:
1. Hadits dari Buraidah radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas[13].
2. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang ziarahnya ke kubur saudaranya Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhuma.[14]
3. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga yang dikeluarkan Al-Imam Muslim tentang doa ziarah kubur yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah[15] ketika ia berkata: “Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?”
Beliau mengajarkan: “Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian. (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
4. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu , ia berkata: [16]
مَرَّ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ, فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ. قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّيِ فَإِنَّكَ لَمْ تُصِبْ بِمُصِيْبَتِيْ. وَلَمْ تَعْرِفْهُ. فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ, فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ. فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدَمَةِ الأُولَى
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah[17] dan bersabarlah.’
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan, -pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak didapatinya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku tadi tidak mengenalmu”, katanya menyampaikan uzur.
Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” [18]
Ketiga: Haram. Demikian pendapat sebagian pengikut madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah, serta pendapat ketiga dari Al-Imam Ahmad[19], dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim, dengan dalil berikut:
1. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.” (HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa`, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja`a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa` Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa`ul Ghalil no. 762)
Ada hadits lain yang datang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُوْرِ….
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan.”[20] (HR. An-Nasa`i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur)
Namun sanad hadits ini dha’if sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah ketika membawakan hadits no. 225.
2. Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma berkata: “Kami mengubur mayat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai, Rasulullah kembali pulang dan kami pun pulang bersama beliau. Ketika beliau bersisian dengan pintu rumahnya, beliau berdiri. Tiba-tiba kami melihat ada seorang wanita yang datang dan ternyata dia adalah Fathimah putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya:
مَا أَخْرَجَكِ مِنْ بَيْتِكِ يَا فَاطِمَةُ؟قَالَتْ: أَتَيْتُ أَهْلَ هَذَا الْبَيْتِ, فَتَرَحَّمْتُ إِلَيْهِمْ وَعَزَّيْتُهُمْ بِمَيِّتِهِمْ.قَال: لَعَلَّكِ بَلَغْتِ مَعَهُم الْكُدَى!قَالت: مَعَاذَ اللهِ أَنْ أَكُوْنَ بَلَغْتُهَا, وَقَدْ سَمِعْتُكَ تَذْكُرُ فِي ذلِكَ مَا تَذْكُرُ!
فَقَال لَها: لَوْ بَلَغْتِهَا مَعَهُم مَا رَأَيْتِ الْجَنَّةَ حَتّى يَرَاهَا جَدُّ أَبِيْكِ!
“Apa yang membuatmu keluar dari rumahmu, wahai Fathimah?”
“Ya Rasulullah, aku mendatangi keluarga orang yang meninggal di rumah itu untuk mendoakan rahmat bagi mereka dan menghibur mereka (berta’ziyah),” jawab Fathimah.
“Mungkin engkau sampai ke kuburan bersama mereka,” kata Rasulullah.
“Aku berlindung kepada Allah dari melakukan hal itu. Sungguh aku telah mendengar apa yang engkau sabdakan dalam masalah itu,” jawab Fathimah.
“Seandainya engkau sampai mendatangi kuburan bersama mereka, niscaya engkau tidak akan melihat surga sampai surga itu bisa dilihat oleh kakek ayahmu,” sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. An-Nasa`i no. 1880, kitab Al-Jana`iz, bab An-Na’yu, namun hadits ini dhaif sebagaimana dalam Dha’if Sunan An-Nasa`i).
Yang rajih (kuat) dari perselisihan yang ada, wallahu a’lam, adalah pendapat yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita bahkan hukumnya mustahab sebagaimana laki-laki, dengan beberapa alasan :
Pertama : Hadits-hadits yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarang.
Kedua : Lafadz: yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِِ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan[21].
menunjukkan mubalaghah, artinya yang dilaknat adalah wanita yang banyak berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah masuk dalam ancaman hadits di atas. Kalau ada yang berargumen bahwa ada hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ….
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan[22].
Maka penjelasannya sebagai berikut: Hadits: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ telah diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah: , kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dari jalan Abu Shalih maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib radhiallahu ‘anha dibawakan dengan lafadz:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائرَاتِ الْقُبُوْرِ
Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu: “Ia perawi yang dha’if (lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad[23]. Tidak ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225, hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits Abu Hurairah dan hadits Hasan radhiallahu ‘anhuma. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung), namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu. Dengan demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah masuk dalam laknat tersebut.
Sekarang menjadi jelaslah ketidak-bolehan mempertentangkan hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya ziarah kubur bagi wanita. Karena hadits ini khusus (hanya tertuju bagi wanita yang sering melakukan ziarah), sedangkan hadits tentang sunnahnya ziarah kubur adalah umum. Maka, masing-masingnya diamalkan sesuai tempatnya. Mengumpulkan dalil-dalil yang ada adalah lebih utama daripada menganggap adanya naskh (adanya dalil yang dihapus hukumnya). (Lihat Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 235-237)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)
Ketiga : Keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.”[24]
Sehingga termasuk di dalamnya perintah kepada kaum wanita. Karena ketika pada awalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur, tidak diragukan bahwa larangan itu umum mencakup laki-laki dan perempuan. Tatkala beliau nyatakan: نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ dipahami bahwa beliau juga menujukan pembicaraan kepada laki-laki dan perempuan. Maka bila kalimat yang awal ini ditujukan bagi laki-laki dan perempuan berarti kalimat selanjutnya, yaitu: فَزُوْرُوْهَا juga ditujukan kepada kedua jenis tersebut.
Yang memperkuat keterangan di atas adalah kelanjutan dari hadits ini, seperti tersebut dalam riwayat Muslim dari hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas:
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ اْلأَضَاحِي فَوْقَ ثَلاَثٍ، فَأَمْسِكُوْا مَا بَدَالَكُمْ، نَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيْذِ إِلاَّ فِي سِقَاءٍ، فَاشْرَبُوا فِي اْلأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلاَ تَشْرَبُوا مُسْكِرًا
“Dan aku pernah melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang tahanlah (simpanlah) berapa hari yang kalian inginkan. Aku pernah melarang kalian dari nabidz[25] kecuali yang di dalam bejana tempat minum, maka sekarang minumlah yang ada di dalam bejana tempat minum seluruhnya dan jangan kalian meminum minuman yang memabukkan.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Semua perbuatan yang disebutkan dalam hadits di atas, pembicaraannya ditujukan kepada dua jenis (laki-laki dan perempuan) secara pasti, sebagaimana sasaran pembicaraan pada kalimat yang awal: كنت نَهَيْتُكُمْ. Bila dikatakan sasaran pembicaraan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَزُوْرُوْهَا itu hanya khusus bagi laki-laki, niscaya akan rusak/kacau susunan kalimat yang ada dan akan hilang kesegarannya. Ini merupakan perkara yang tidak pantas bagi sang pemilik jawami’ul kalim[26] (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 229)
Keempat : Berserikatnya perempuan dengan laki-laki dalam tujuan disyariatkannya ziarah kubur, yaitu melunakkan hati, mengalirkan air mata, mengingatkan pada kematian dan hari akhir.
Kelima : Pemahaman Aisyah radhiallahu ‘anha dalam masalah ini. Bahkan ia sendiri melakukan ziarah kubur, sebagaimana diberitakan Abdullah ibnu Abi Mulaikah: “Suatu hari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha datang dari pekuburan, maka aku berkata kepadanya: “Wahai Ummul Mukminin! Dari mana engkau datang?” Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakar.” “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan ziarah kubur?” tanyaku. “Iya, kemudian beliau perintahkan untuk ziarah kubur,” jawab ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. (HR. Al-Hakim 1/376, Al-Baihaqi 4/78 dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Al Irwa‘, no. 775)
Suatu hari Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnul Muthallib berkata: “Maukah aku beritakan kepada kalian tentang aku dan ibuku?” Perawi yang mendengar ucapan itu berkata: “Kami menyangka bahwa yang dimaksudkan oleh Muhammad bin Qais adalah ibu yang melahirkannya.” Namun ternyata Muhammad bin Qais berkata: “Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: ‘Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang aku dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’
‘Tentu kami mau,’ jawab kami
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pun mulai bercerita: ‘Suatu ketika, di malam giliranku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan rida`-nya, melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sisi kedua kakinya. Lalu beliau membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya, setelahnya beliau pun berbaring. Tidak berapa lama sekadar beliau menyangka aku telah tertidur, beliau bangkit lalu mengambil rida`-nya dengan perlahan dan mengenakan sandalnya dengan perlahan, kemudian membuka pintu dan keluar, setelahnya pintu ditutup kembali dengan perlahan. Aku pun bangkit dan mengenakan pakaianku, menutup kepalaku dan menutup wajahku dengan sarung. Kemudian aku mengikuti jejak beliau, hingga sampai di pekuburan Baqi’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lama lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berbalik, akupun berbalik. Beliau bersegera, aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, akupun berlari kecil. Beliau berlari lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku merebahkan tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau bertanya heran: ‘Ada apa dengan dirimu, wahai ‘Aisy? Kulihat nafasmu memburu.’
‘Tidak apa-apa,’ kilahku.
‘Beritahu aku, atau Allah yang akan mengabarkan kepadaku!’ ancam beliau.
Aku pun menceritakan kejadian yang baru berlangsung. Mendengar penuturanku, beliau berkata: ‘Berarti engkau adalah sosok yang aku lihat di hadapanku tadi?’
‘Iya,’ jawabku.
Beliau mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda: ‘Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu[27]?’
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: ‘Bagaimana pun manusia menyembunyikannya niscaya Allah mengetahuinya. Memang semula aku menyangka demikian.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: ‘Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, maka aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya karena Jibril tidak mungkin masuk ke kamar ini sementara engkau telah melepaskan pakaianmu. Dan tadi aku menyangka engkau sudah tidur maka aku tidak ingin membangunkanmu, karena aku khawatir engkau akan merasa sendiri dalam sepi di kegelapan malam. Jibril berkata kepadaku saat itu: ‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi pekuburan Baqi’ guna memintakan ampun bagi penghuninya.’
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: ‘Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?’
Beliau mengajarkan: ‘Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian.” (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam kitab At-Talkhish (2/702) untuk menyatakan bolehnya ziarah kubur bagi wanita. Demikian dzahir yang ditunjukkan oleh hadits ini, sebagaimana ia mendukung pendapat yang menyatakan rukhshah ziarah kubur setelah pelarangan juga mencakup wanita. Karena kisah yang disebutkan di atas terjadi di Madinah, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kumpul dengan Aisyah radhiallahu ‘anha. Sedangkan larangan ziarah kubur ditetapkan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tinggal di Makkah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Kami memastikan hal ini walaupun kami tidak mengetahui tarikh yang memperkuatnya, karena penarikan kesimpulan yang shahih yang menjadi saksi/pendukungnya, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: كنت نَهَيْتُكُمْ (Dahulu aku melarang kalian). Tidaklah bisa dinalar larangan semisal ini ditetapkan di masa Madani (ketika beliau telah menetap di Madinah), bukan di masa Makki (saat beliau masih tinggal di Makkah), di mana saat beliau tinggal di Makkah mayoritas hukum yang ditetapkan adalah yang berkaitan dengan tauhid dan aqidah. Sementara larangan ziarah kubur termasuk pembahasan tauhid/aqidah karena larangan dimaksudkan sebagai penutup jalan/perantara yang mengantarkan kepada kesyirikan. Pensyariatan larangan ziarah kubur ini hanyalah cocok diterapkan di masa Makki karena manusia ketika itu baru saja masuk Islam dan baru saja meninggalkan kesyirikan. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang mereka ziarah kubur agar tidak menjadi perantara kepada syirik. Sampai ketika tauhid telah kokoh dalam dada-dada mereka dan mereka mengetahui jenis-jenis syirik yang berlawanan dengan tauhid, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkan mereka berziarah. Adapun kalau dianggap beliau membiarkan mereka terus melakukan ziarah sepanjang masa Makki sebagaimana kebiasaan mereka, kemudian baru beliau larang setelah di Madinah, maka anggapan ini sangat jauh dari hikmah syariat. Karena itulah kami memastikan bahwa larangan tersebut ditetapkan di Makkah. Bila demikian keadaannya, izin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha untuk berziarah kubur di Madinah merupakan dalil yang jelas atas apa yang telah kami sebutkan. Maka perhatikanlah, karena ini adalah sesuatu yang membekas dalam jiwa. Sementara aku belum pernah melihat ada orang yang mensyarah/menjelaskan masalah ini sebagaimana sisi yang aku jelaskan. Kalau aku benar maka itu datangnya dari Allah, adapun bila aku salah maka itu semata dari diriku sendiri.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 232-233)
Keenam : Persetujuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang berada di sisi kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
مَرَّ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ، فَقَالَ: اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ. قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيْبَتِيْ. وَلَمْ تَعْرِفْهُ، فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ، فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ. فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدَمَة اْلأُولَى
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: “Bertakwalah engkau kepada Allah[28] dan bersabarlah.”
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Menjauhlah dariku, karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan –pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamShallallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku tadi tidak mengenalmu,” katanya menyampaikan uzur.
dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” [29]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari duduknya si wanita di sisi kuburan dan persetujuannya ini merupakan hujjah.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-’Aini rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya ziarah kubur secara mutlak. Sama saja baik yang berziarah itu laki-laki atau wanita, dan sama saja baik kubur yang diziarahi itu adalah kubur seorang muslim atau orang kafir[30], karena tidak adanya perincian dalam hal ini.” (Al-’Umdah, 3/76)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Apa yang ditunjukkan dalam hadits (Anas) berupa kebolehan ziarah kubur bagi wanita merupakan makna yang langsung dipahami dari hadits tersebut. Namun penunjukan itu barulah sempurna apabila kisah ini tidak terjadi sebelum adanya pelarangan ziarah kubur[31]. Dan inilah yang nampak, apabila kita mengingat penjelasan yang telah lewat bahwasanya larangan ziarah kubur terjadi di Makkah. Sementara kisah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ini, -dan dia adalah Madani (orang Madinah), yang ketika berusia sepuluh tahun dia dibawa oleh ibunya Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau hijrah ke Madinah-, terjadi di Madinah. Maka kuatlah penetapan yang ada, bahwa kisah ini terjadi setelah adanya larangan ziarah kubur[32]. Dengan demikian sempurnalah pendalilan dari hadits ini untuk menunjukkan bolehnya ziarah kubur (bagi wanita). Adapun ucapan Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (4/350): “Takwa kepada Allah[33] adalah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah kubur (bagi wanita)[34].” Maka ucapan beliau ini benar bila seandainya si wanita mempunyai ilmu tentang dilarangnya ziarah kubur bagi wanita dan larangan itu berlaku terus-menerus, tidak dihapus (dengan kebolehan ziarah kubur yang datang kemudian). Bila demikian keadaannya tepatlah ucapan beliau: “… di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah kubur (bagi wanita).” Namun sebenarnya ini adalah pendalilan yang tidak tepat. Karena, kalau larangan itu berlaku terus-menerus niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang si wanita dari ziarah kubur secara terang-terangan, dan beliau akan menerangkannya kepada si wanita. Beliau tidak akan mencukupkan dengan memerintahkannya bertakwa kepada Allah dalam bentuk yang umum. Ini jelas sekali insya Allah.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 234-235)
Ibnu Hazm rahimahullahu menyatakan ziarah kubur itu sunnah, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. (Al-Muhalla, 3/388)
Wanita Dilarang Sering Ziarah Kubur
Sekalipun ziarah kubur dibolehkan bagi wanita namun tidak diperkenankan bagi mereka untuk banyak atau sering melakukannya. Karena perbuatan demikian akan mengantarkannya untuk melakukan perkara yang menyelisihi syariat misalnya berteriak-teriak di kuburan, keluar dengan tabarruj, menjadikan kuburan sebagai tempat rekreasi/piknik, menyia-nyiakan waktu dengan obrolan yang sia-sia di sisi kubur, dan sebagainya, sebagaimana banyak kita saksikan di negeri kita ini. Wanita yang banyak dan sering berbolak-balik ke kuburan inilah yang dituju oleh hadits:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
________
Footnote:
[1] Akan dijelaskan nantinya
[2] Hujran atau hujr adalah ucapan-ucapan yang batil (Al-Majmu, 5/285) atau kata-kata yang keji/kotor, termasuk juga banyak berbicara yang tidak sepantasnya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, hal. 986)
[3] HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya no. 2033, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan An-Nasa`i
[4] HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2256, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi
[5] HR. Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 5/355
[6] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/376
[7] Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’ 1/190, karya Ibnul Qaththan
[8] Sebagaimana dinukil dari Al-Mughni, kitab Al-Jana`iz, mas’alah: Qala: Wa Tukrahu lin-Nisa` dan Jami’ul Fiqh lil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah , 2/497
[9] HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘anit Tiba’il Jana`iz
[10] Al-Majmu’ 5/285
[11] Raddul Mukhtar 1/151
[12] Al-Mughni, kitab Al-Jana`iz, mas’alah: Qala: Wa Tukrahu lin-Nisa` dan Jami’ul Fiqh lil Imam Ibni Qayyim Al-Jauziyyah, 2/497
[13] Yaitu hadits: َنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
[14] Akan dijelaskan nantinya.
[15] Hadits ini dan hadits Anas setelahnya, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, termasuk dalil yang menunjukkan ziarah kubur itu tidak diharamkan bagi wanita. (Al-Majmu’, 5/286)
[16] الصَّدَمَةُ makna asalnya adalah pukulan pada sesuatu yang keras, kemudian digunakan secara majaz pada segala yang dibenci/tidak disukai yang terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim 6/227)
[17] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya, karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari 3/184)
[18] HR. Al-Bukhari no. 1283 dan Muslim no. 626
[19] Al-Imam Ahmad diketahui memang memiliki tiga pendapat dalam masalah ini.
[20] Bedakan antara lafadz: زَوَّارَات dengan زَائرَات. Lafadz زَوَّارَات merupakan shighat mubalaghah (berlebih-lebihan) artinya wanita-wanita yang banyak atau sering berziarah. Sehingga bila hanya sesekali mereka melakukan ziarah tidaklah mereka dikatakan زَوَّارَات, tetapi dikatakan زَائرَات yang maknanya wanita-wanita yang berziarah.
[21] HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa’, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa‘ Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa‘ul Ghalil no. 762.
[22] HR. An-Nasa‘i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur
[23] Ulama yang ahli dalam mengkritik kelemahan yang ada pada hadits
[24] HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu Subhanahu wa Ta’ala fi Ziyarati Qabri Ummihi
[25] Minuman yang dibuat dari tamr/kurma kering, anggur kering, madu, gandum dan selainnya (An-Nihayah, hal. 881)
[26] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan ucapan yang ringkas/pendek, sedikit lafadznya namun banyak maknanya. (Fathul Bari, 13/304)
[27] Dengan pergi ke tempat istri yang lain sementara malam ini adalah malam giliranmu. -pent
[28] Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari, 3/184)
[29] HR. Al-Bukhari no. 1283, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur dan Muslim no. 626
[30] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur ibunya, padahal sang ibu meninggal dalam keadaan musyrik dan kafir. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
زَارَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتََ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur ibunya, maka beliau menangis dan tangis beliau membuat orang-orang yang ada di sekitar beliau ikut menangis. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku minta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampun bagi ibuku namun Rabbku tidak mengizinkannya. Dan aku pun minta izin untuk menziarahi kuburan ibuku maka untuk yang ini Rabbku mengizinkannya. Maka ziarahilah kuburan karena ziarah kubur itu akan mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim no. 2255, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzan An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rabbahu fi Ziyarati Qabri Ummihi)
[31] Yakni kisah ini terjadi setelah disyariatkannya ziarah kubur.
[32] Yaitu ketika ziarah kubur telah disyariatkan setelah sebelumnya dilarang.
[33] Demikian yang diperintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada si wanita yang sedang menangis di sisi kuburan.
[34] Ibnul Qayyim rahimahullahu memaksudkan ziarah kubur itu dilarang bagi wanita.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=345
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.