Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



HUKUM DZIKIR BA'DA SHALAT FARDHU BERJAMA'AH

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : ,

Sudah di lihat :



Manakah cara berdzikir yang benar sesudah shalat, dengan cara bersama-sama (kur) atau sendiri-sendiri? Dan mengeraskan suara atau tidak? 

Ada dua permasalahan yang harus diuraikan dalam pertanyaan yang keempat ini:
- Manakah yang paling utama, berdzikir secara bersama atau sendiri-sendiri?
- Apakah disyariatkan mengeraskan suara atau tidak ketika berdzikir?
 
Adapun jawaban untuk masalah yang pertama, kami persilahkan untuk menyimak fatwa-fatwa berikut ini.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya sebagai berikut. 
“Apakah berdoanya imam dan makmum (secara bersama) setelah shalat wajib boleh atau tidak?”
Beliau menjawab, “Alhamdulillah, adapun doanya imam dan makmum secara bersama setelah shalat adalah (perkara) bid’ah, tidak pernah ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam . Doa beliau hanya di pertengahan shalat, karena orang yang shalat bermunajat kepada Rabb-nya, sehingga, kalau ia berdoa saat bermunajat kepada-Nya, itu sangatlah cocok. Adapun doa setelah selesai bermunajat dan menghadap kepada-Nya tidaklah cocok, tetapi yang disunnahkan setelah shalat hanyalah berdzikir dengan yang ma’tsur ‘ada riwayatnya’ dari Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam berupa tahlil, tahmid dan takbir ….” Lihat Majmu’ Al-Fatawa 22/519-520.

Lalu pada jilid 22 hal. 512, beliau berkata,
“Tidaklah Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan para makmum berdoa setelah shalat lima waktu, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang setelah shalat fajr dan ashar. Hal tersebut tidaklah dinukil dari seorang pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang pun dari kalangan imam, dan siapa yang menukil dari Asy-Syafi’iy bahwa ia menganggapnya sunnah, sungguh ia telah salah, karena lafazh beliau (Imam Syafi’iy-pent.) yang ada di buku-buku beliau menafikan hal tersebut, dan demikian pula Ahmad dan selainnya dari para imam, mereka tidak menganggapnya sunnah ….”
 
Kemudian dalam pertanyaan kedua pada fatwa no. 3552 dari lembaga fatwa ulama besar Saudi Arabiyah yang dijawab dan ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify rahimahullah, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai berikut.

Pertanyaan: Membaca Al-Qur`an dan berdoa secara berjamaah setelah shalat wajib, apakah termasuk sunnah atau bid’ah?

Jawaban: Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan. Khulafa` Ar-Rasyidin dan para shahabat beliau telah menerima petunjuk beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan beramal dengannya serta menyampaikannya kepada orang setelah mereka. Petunjuk beliau adalah berdzikir kepada Allah dan berdoa seorang diri, dan tidaklah beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam meminta seorang pun dari para shahabat untuk berkumpul dengannya kemudian beliau berdoa dengan orang-orang yang bersamanya secara berjamaah. Apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membaca Al-Fatihah dan berdoa secara berjamaah setelah shalat merupakan perkara bid’ah. Telah tsabit ‘tetap,pasti’ dari Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau bersabda, 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahih -nya).
Asal (hadits ini) dalam (riwayat) Ash-Shahihain dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda, 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat perkara baru dalam agama kami ini, apa-apa yang bukan darinya maka ia tertolak.”

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangatlah banyak. Tidaklah menjadi baik akhir dari ummat ini kecuali dengan apa-apa yang menjadikan awal dari mereka baik dengannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas rahimahullah dan selain beliau dari Ahlul ‘Ilmi. Wabillahit taufiq. Washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam .”
 
Kemudian pada pertanyaan ketiga dalam fatwa no. 2251 disebutkan sebagai berikut.
“Manusia berselisih tentang berdoa dengan cara berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib. Sebagian orang berkata, ‘Tidak dinukil sesuatu pun tentang hal tersebut dari Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dari sahabatnya. Andaikata itu adalah suatu kebaikan, maka tentunya mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya karena mereka adalah manusia yang paling bersemangat dalam mengikuti kebenaran.’ Sebagian orang berkata, ‘Berdoa dengan cara berjamaah setelah sunnah-sunnah rawatib adalah mustahab ‘disukai’ dan mandub ‘dianjurkan’, bahkan masnun[1] ‘disunnahkan’, karena ia merupakan dzikir dan ibadah, dan setiap dzikir dan ibadah paling sedikitnya adalah merupakan mustahab atau masnun.’ Mereka juga mencela orang-orang yang tidak menunggu (untuk) berdoa dan (langsung) berdiri setelah shalat.”

Jawaban: “Doa adalah salah satu ibadah dari bentuk-bentuk ibadah, dan ibadah-ibadah itu dibangun diatas At-Tauqif ‘tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil-pent.’. Tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah ibadah yang disyariatkan, baik dari sisi asalnya, bilangannya, bentuknya maupun tempatnya (waktu dan tempatnya-pen), kecuali dengan dalil syar’iy yang menunjukkan hal tersebut, dari nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam , baik dari perkataan, perbuatan maupun taqrir ‘penetapan, persetujuan’ dari beliau, yang menunjukkan apa yang disangka oleh kelompok kedua. Segala kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam . Dalam bab ini, telah tsabit ‘tetap,pasti’ dengan dalil-dalil yang menunjukkan apa yang beliau lakukan setelah salam, dan telah berlalu para khalifah yang mengikuti mereka dengan baik setelah mereka. Siapa yang membuat perkara baru yang menyelisihi petunjuk Rasul shallallahu alaihi wa alihi wa sallam , maka ia tertolak. Beliau shallallahu alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak berada di atas perkara (syariat) kami, maka ia tertolak.”

Imam yang berdoa setelah salam, dan doanya diaminkan oleh para makmum dan semuanya mengangkat tangan, akan dimintai dalil yang menetapkan perbuatannya. Kalau ia tidak mempunyai dalil, maka amalannya tertolak. Demikian pula orang yang mengerjakan hal tersebut setelah shalat nafilah ‘shalat sunnah’ dimintai dalil, sebagaimana firman Allah pada (ayat) yang seperti ini ,
“Katakanlah, ‘Berikanlah bukti kalian jika kalian memang benar.’.” [ Al-Baqarah: 111 ]

Kami tidak mengetahui adanya satu dalil pun, dari Al-Kitab dan tidak pula dari sunnah, yang menunjukkan disyariatkannya apa yang disangka oleh kelompok kedua ini, berupa doa dan dzikir berjamaah dengan bentuk yang disebutkan dalam pertanyaan. Wabillahit taufiq. Washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam .”
 
Selain itu, pada pertanyaan pertama dalam fatwa no. 3901 yang dijawab oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, ‘Abdullah bin Ghudayyan hafizhahullah dan ‘Abdullah bin Qu’ud hafizhahullah, disebutkan sebagai berikut.

Pertanyaan: “Apakah berdoa setelah shalat fardhu adalah sunnah, dan apakah doa dibarengi dengan mengangkat tangan, dan apakah diangkat bersama imam lebih utama atau tidak?”
Jawaban: “Doa setelah shalat fardhu bukanlah sunnah kalau hal tersebut dengan mengangkat tangan, baik dari imam sendiri, dari makmum sendiri, maupun dari keduanya secara bersama (berjamaah), bahkan itu adalah bid’ah, karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu alaihi wa alihi wa sallam dan tidak (pula) dan para sahabatnya. Adapun doa (sendiri-sendiri-pen.) tanpa mengangkat tangan, itu tidaklah apa-apa, karena warid dalam sebagian hadits tentang hal tersebut. Wabillahit taufiq. Washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam .”
 
Adapun masalah kedua jawabannya sebagai berikut.
Imam An-Nawawy, dalam Syarh Muslim 5/117 (cet. Mu’assasah Qurthubah), menyebutkan ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum mengeraskan dzikir setelah shalat fardhu:
  1. Sebagian para ulama salaf menganggap hal tersebut adalah sunnah, dan ini juga pendapat Ibnu Hazm Azh-Zhahiry.
  2. Ibnu Baththal dan yang lainnya menukil bahwa para pengikut madzhab fiqih dan selain mereka telah bersepakat tentang tidak disunnahkannya mengangkat suara dengan dzikir maupun takbir.
  3. Berkata Imam Syafi’iy, “Saya memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala setelah selesai shalat dan keduanya menyembunyikan (baca: tidak mengeraskan) hal tersebut, kecuali seorang imam yang hendak diambil pelajaran darinya, maka ia mengeraskan sehingga diketahui (hal tersebut) kemudian ia menyembunyikannya.”
 
Para Ulama yang menganggap sunnahnya mengeraskan dzikir berdalilkan dengan hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari jalan Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, 

إِنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوْا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.

“Sesungguhnya mengangkat suara ketika berdzikir saat manusia selesai dari shalat wajib, ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , dan Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Saya mengetahui mereka selesai dengan hal tersebut bila saya mendengarnya.’.”

Kata berdzikir menurut pandangan para ulama di atas adalah kalimat yang umum, sehingga mencakup segala jenis dzikir.
Tetapi pendalilan ini kurang kuat, karena hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhary dan Muslim dengan lafazh lain dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata (dari lafazh riwayat Muslim), 

مَا كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ بِالتَّكْبِيْرِ

“Kami tidak mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , kecuali dengan (mendengar) takbir.”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 2/326, “Perkataan beliau “dengan mendengar takbir” lebih khusus dari riwayat Ibnu Juraij yang sebelumnya, karena dzikir lebih umum daripada takbir dan mungkin riwayat ini menafsirkan (riwayat sebelum)nya, sehingga yang diinginkan dengan mengeraskan suara dengan dzikir adalah dengan takbir.”
 
Maka yang benar, dalam hadits Ibnu ‘Abbas ini, adalah mengangkat suara pada takbir saja, bukan pada dzikir secara umum. Kami menguatkan hal ini berdasarkan tiga alasan:
  1. Riwayat takbir lebih kuat dari riwayat dzikir, karena Sufyan Ibnu ‘Uyainah lebih kuat dari Ibnu Juraij dalam meriwayatkan hadits dari ‘Amr bin Dinar. Lihat Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy 2/684-685 tahqiq Dr. Hammam.
  2. Apabila ada dua kalimat yang berbeda; ada yang umum dan ada yang khusus, dan dua kalimat ini berasal dari satu hadits yang sama makhraj ‘perputaran sanad’-nya, maka pengertian kalimat yang umum dikembalikan ke kalimat yang khusus. Demikian dikatakan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied dan selainnya dari para ulama ahli ushul fiqih.
Demikian pula dalam hadits ini, kata dzikir lebih umum daripada kata takbir. Karena perputaran hadits ini satu, yaitu ‘Amr bin Dinar, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu ‘Abbas, maka kata dzikir dikembalikan maknanya kepada kata takbir, sehingga bisa disimpulkan bahwa yang diinginkan dengan dzikir itu adalah takbir saja. Wallahu A’lam.
  1. Lafazh riwayat Muslimyang kami sebutkan di atas datang dalam bentuk hashr ‘pembatasan’, sehingga semakin menguatkan bahwa hanya takbir saja yang disyariatkan untuk diucapkan dengan mengangkat suara setelah shalat. Wallahu A’lam.
Adapun selain takbir, dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah menunjukkan bahwa dzikir tidak dikeraskan. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala,
“Dan sebutlah (nama) Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai .[ Al-A'raf: 205 ]

Berkata Ibnu Katsir, “Dan demikianlah disunnahkan bahwa dzikir itu tidak berupa teriakan atau suara keras yang berlebihan.”
Lalu sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam

أَيُّهَا النَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ

“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkan suara kalian, karena sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kalian.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu)
Kemudian hadits Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, 

أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلاَةِ

“Ketahuilah bahwa setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka jangan sekali-sekali sebagian dari kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan (pula) sebagian dari kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca, atau beliau berkata, dalam shalat.” ( Diriwayatkan oleh Ahmad 3/94, Abu Daud no. 1332, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, Abdu bin Humaid no. 883, Al-Hakim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’abul Îman 2/543, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 23/318. Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah di atas syarat Asy-Syaikhain dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain )

Selain itu, Syaikhuna Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah, dalam kitab Ijabah As-Sa`il hal. 79, menyebutkan beberapa dampak yang kurang baik dari mengeraskan dzikir, di antaranya:
  1. Orang yang berdzikir akan terganggu oleh dzikir orang lain jika semuanya mengangkat suara, khususnya kalau susunan dzikirnya berbeda-beda.
  2. Akan mengganggu orang-orang yang masbuq.
  3. Mengganggu orang yang melakukan shalat sunnah (orang yang shalat sunnah setelah shalat wajib tanpa dzikir karena ada keperluan yang mendesak atau yang lainnya). Wallahu A’lam.
 
Kesimpulan
Dzikir tidak di-jahr-kan (tidak dikeraskan) setelah shalat fardhu, kecuali ucapan takbir yang disunnahkan untuk dikeraskan.
 
Pelengkap
Ucapan takbir adalah mengucapkan Allahu Akbar, tetapi tidak disebutkan dalam hadits berapa kali takbir ini diucapkan. Karena itu, takbir boleh diucapkan beberapa kali tanpa batas, tetapi lebih utama dengan urutan bilangan ganjil, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

“Sesungguhnya Allah itu tunggal, menyenangi bilangan ganjil.”


[1] Kata mustahabb, mandub dan masnun menurut para ulama ushul fiqh bermakna sama , yaitu disunnahkan, tetapi kami menerjemahkannya sesuai dengan konteks pertanyaan.

Sumber : http://an-nashihah.com/?p=93



Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.