Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



HUKUM GADAI DALAM ISLAM

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Abu Ibrahim Muhammad Ali

Sesungguhnya Alloh Ta’ala menjelaskan berbagai hukumNya baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di dalamnya kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Alloh telah mengatur manusia dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul darinya. Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan terselesaikanlah pertikaian dan perselisihan sesama manusia ketika memperebutkan hak masing-masing. Di antara aturan tersebut, Alloh mengatur bagaimana manusia tukar menukar barang yang saling mereka butuhkan dan tidak membiarkan manusia memenuhi kebutuhannya menurut hawa nafsunya – yang memang diantara tabiat manusia ialah suka berbuat zhalim terhadap sesama[1] kecuali mereka yang dirahmati Alloh Ta’ala.

Alloh menjelaskan jalan-jalan menuju keridhaanNya dan menutup segala jalan menuju kemurkaanNya. Sebagai satu bukti, ketika seseorang tidak mempunyai harta/uang – sedangkan dia sangat membutuhkannya – maka dia boleh meminjam harta/uang kepada orang lain baik dengan jaminan atau tanpa jaminan, demi terpenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Adapun barang yang dijadikan jaminan itu disebut barang gadai.

Berikut ini kami jelaskan sedikit masalah “gadai” menurut pandangan Islam dengan merujuk kepada nash-nash / dalil-dalil yang shahih dan pendapat para ulama, diantaranya empat madzhab yang telah kita kenal. Semoga Alloh memudahkan dan menjadikan manfaat bagi kita semua.

MAKNA GADAI
Makna gadai secara etimologi / bahasa adalah “tertahan” sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an:

“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas apa yang telah diperbuatnya". (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38)

Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan para ahli fiqh:

“Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air yang tidak bergerak”

Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. (Lihat Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319)

HUKUM GADAI DALAM ISLAM
Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan[2]. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:

1. Dalil dari al-Qur’an

"Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang". (QS. Al-Baqarah [2] : 283)

2. Dalil dari Sunnah

Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya. (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3 / 1226)

DIBOLEHKAN KETIKA SAFAR DAN TIDAK TIDAK SAFAR
Dari dalil-dalil di atas, dan masih benyak lagi hadist-hadist lain, menunjukkan bolehnya pegadaian baik ketika bepergian / safar ataupun tidak dalam bepergian. Ibnul Mundzir mengatakan, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal tersebut kecuali Mujahid saja yang mengatakan pegadaian hanya boleh ketika safar”. Adapun zhahir ayat yang disebutkan di atas (yaitu bolehnya pegadaian untuk orang yang bepergian / safar saja), maka penyebutan bepergian atau safar tersebut karena sering terjadi dan biasanya tidak dijumpai seorang penulis hutang adalah ketika safar, dan ini tidak meniadakan bolehnya pegadaian ketika tidak safar.

Bolehnya pegadaian ketika tidak safar dikuatkan pula oleh zhahir hadist Aisyah Radhiyallahu’anha yang mengatakan bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menggadaikan perisai perangnya ketika beliau sedang berada di Madinah ; ini menunjukkan Nabi melakukannya ketika tidak sedang safar.

Dan boleh nya pegadaian ketika sedang safar dan tidak safar dikuatkan oleh makna gadai itu sendiri yang artinya adalah “barang yang dijadikan sebagai jaminan hutang”. Ini adalah isyarat inti dari pegadaian ialah untuk jaminan, sama saja ketika safar atau tidak safar (Lihat al-Mughni 6/444, Fathul Bari 5/173-174, al-Majmu’ 1/305, Bidayatul Mujtahid 2/271, al-Muhalla bil Atsar 6/362)

BARANG YANG BOLEH DIGADAIKAN
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan. Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustawni’, Manshur bin Yunus al- Bahuti, hal. 364)

Oleh karena itu, seandainya sesorang ingin meminjam uang kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak diperbolehkan karena anak tidak boleh diperjualbelikan. Sebagaimana hadists yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga golongan yang dibantah oleh Alloh pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan tersebut, Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan:

Dan (Alloh akan membantah) seorang yang menjual (orang) yang merdeka[3] dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)

Seandainya seseorang ingin meminjam uang dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak boleh diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini didasari oleh sebuah hadist Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :

Sesungguhnya Alloh apabila mengharamkan sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual beli)nya. (Hadist ini dishahihkan al-Albani dalam Ghayatul Maram)

Seandainya seseorang menggadaikan sebuah rumah padahal rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak sah karena sesuatu yang telah diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana hadist yang menjelaskan tentang hal itu, Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

Tidak boleh dijual barang asal (yang diwakafkan) tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. (HR. Bukhari 2737, Muslim 1632, Tirmidzi 1375 dari hadist Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu)

Dari contoh-contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa setiap barang yang bisa / boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai.

SIAPA PEMEGANG BARANG GADAI?
Pada dasarnya, yang berhak memegang barang gadai adalah yang meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si peminjam. Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang meminjami sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan merasa tsiqah/percaya satu sama lain. Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka merasa tidak aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu tadi, maka barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati oleh kedua bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang meminjami sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 9/82, dengan penyesuaian)

ANTARA HARGA BARANG DAN BESARNYA HUTANG
Dari definisi dan penjelasan makna gadai di atas, kita bisa mengetahui bahwa barang yang digadaikan adalah sekedar jaminan hutang apabila tidak dapat melunasi hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti hutang tersebut, sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang dengan jumlah hutangnya, bahkan boleh kurang atau lebih apabila kedua belah pihak rela (suka sama suka).[4] Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi hutangnya, maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran hutangnya dan boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar, karena barang tersebut berstatus milik penggadai barang. (Lihat al-Mabsuth 21/63, al-Bada’i 6/145)

BOLEHKAH BARANG GADAI DIMANFAATKAN OLEH PEMEGANG BARANG?
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu pula semua imam madzhab empat kecuali madzhab Hanbali[5] bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barang. Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak memilikinya, bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya. Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:

Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari (pemilik)nya. (Hadist shahih, dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dh’if Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul Ghalil no. 1761, 1459)

APABILA MENJUAL BARANG GADAI TANPA SEIZIN PEMILIKNYA
Seandainya pemegang barang terlanjur memanfaatkannya, serta menjual atau menyewakannya tanpa seizin pemiliknya, maka menurut Imam Syafi’i dan Imam Hanbali penjualan dan sewa-menyewa tersebut batal dan tidak sah. Adapun menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, penjualan dan sewa menyewa tersebut hukumnya tergantung kepada pemilik barang, apabila ketika pemilik barang mengetahui kemudian menyetujui, maka sah penjualan atau sewa menyewa itu, apabila tidak maka batal dan tidak sah.[6] Pendapat terakhir inilah  (Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan dasar sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya seorang sahabat bernama Urwah al-Bariqi Radhiyallahu’anhu pernah dititipi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam satu dinar untuk membeli satu ekor kambing qurban, lalu Urwah pergi ke pasar hewan membeli dua ekor kambing seharga satu dinar, kemudian sebelum kembali kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ia menjual satu ekor kambing seharga satu dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing dan uang satu dinar, dan tatkala Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahuinya, beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyetujui dan mendo’akan keberkahan buat Urwah. Hadist ini menunjukkan apabila seorang menjual atau membeli sesuatu tanpa persetujuan pemiliknya yang sah, kemudian pemiliknya yang sah ketika tahu lalu menyetujuinya, maka sah transaksi tersebut, dan apabila tidak menyetujui maka batal dan tidak sah.

KERUGIAN DAN KEUNTUNGAN YANG TIMBUL DARI BARANG GADAI
Adapun kerugian atau keuntungan yang muncul dari barang yang sedang digadaikan dan sedang berada di tangan pemegang barang, maka semuanya dikembalikan kepada penggadai (pemilik barang) yang asli. Hal ini lantaran keuntungan dan kerugian / berkurangnya barang tersebut adalah cabang dari pokoknya, sehingga dikembalikan kepada pokoknya – yaitu barang gadai – dan dikumpulkan menjadi satu dengan barang gadai serta tetap menjadi hak milik penggadai (pemilik barang). Ini merupakan kesepakatan ahli fiqh dari berbagai kalangan madzhabnya masing-masing[7], hal ini didasari sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :

Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang yang digadaikan bagi pemiliknya yang menggadaikannya, keuntungan dan kerugian adalh haknya (penggadai/pemilik barang)[8]

Misalnya; seorang meminjam uang kepada orang lain,kemudian menggadaikan seekor kambing betina yang sedang hamil. Tatkala penggadai mau melunasi hutangnya dan mengambil barang yang digadaikan tadi, ternyata kambing miliknya telah melahirkan tiga ekor, dan dari tiga ekor tadi melahirkan sembilan ekor, sehingga kambing-kambing itu berjumlah tiga belas ekor, maka semua kambing tadi termasuk barang gadai dan tetap hak milik penggadai barang. Dan begitu pula sebaliknya, seandainya ternyata kambing yang sedang hamil tadi mati tanpa adanya faktor kesenjangan dari pemegang barang, maka kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik barang, dan tidak menjamin kerugian karena tidak ada unsur kesenjangan.

PADA ASALNYA YANG MENANGGUNG BIAYA PERAWATAN SELAMA DIGADAIKAN ADALAH PEMILIK BARANG
Apabila barang gadai membutuhkan biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menganggung semua kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya.

Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/ satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai (pemilik toko) itu.

BOLEH MEMANFAATKAN BARANG GADAI SEKEDAR PENGGANTI BIAYA PERAWATAN
Apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang terebut membutuhkan biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas / seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut, hal ini didasari oleh satu hadist:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari 2511, 2512)

Hadist di atas menunjukkan, pemegang barang berhak memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang dikeluarkan untuk perawatan barang gadai, seperti biaya makan dan minum setiap hari dan lainnya. (Lihat Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil Maram 5/161)

Dari hadist di atas bisa kita ketahui bahwa bolehnya memanfaatkan barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan selama digadaikan seperti perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barangnya, sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

Dan dari hadist di atas pula (dari perkataan “sebatas biaya yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang barang memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku zhalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut.

Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sapi perahnya kepada orang lain, maka boleh bagi pemegang barang memerah susu sapi tersebut dan memanfaatkan susunya sebatas pengganti biaya perawatan sapi perah itu. Apabila biaya perawatannya selama seminggu adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu minggu adalah Rp 150.000, maka pemegang barang hanya berhak mengambil yang seimbang dengan biaya perawatannya yaitu Rp. 100.000. kemudian pemegang barang harus mengembalikan lebihnya yaitu Rp 50.000 kepada pemilk barang gadai karena ini adalah haknya. (asy-Syahrul Mumti’ 9/97, dengan perubahan angka dan penyesuaian)

APABILA JATUH TEMPO PEMBAYARAN HUTANG
Apabila telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi:

* Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai (pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya, maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya, sebagaimana firman Alloh berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian kalian! (QS. al-Maidah [5] : 1)

* Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh Ta’ala :

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)

Dan pemilik barang masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang tersebut masih tetap hak milik penggadai sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu[9].

Ibnu Atsir mengatakan , “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah, apabila penggadai/pemilik barang tidak mampu melunasi hutangnya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pemegang barang. Agama Islam membatalkan anggapan seperti ini”[10]

Akan tetapi apabila pemegang barang ingin menarik / menuntut haknya karena dia membutuhkannya – misalnya – maka dia berhak menuntut haknya supaya pemilik barang[11] bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.

* Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya, maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )

APABILA PEMILIK BARANG GADAI RUSAK / HILANG DI TANGAN PEMEGANG BARANG
Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.

* Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya (penggadai / pemilik barang)”.
* Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang adalah amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan.
* Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman:

Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah [9] : 91)

Misalnya; seseorang menggadaikan mobilnya kepada si fulan, kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk mengangkut penumpang tanpa seizin penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu sekian lama, mobil itu rusak dan membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka si fulan harus menanggung semua biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas terjadinya kerusakan mobil tersebut.

Misal lain; seandainya pada permisalan di atas tadi si fulan tidak menggunakan mobil itu, bahkan menyimpannya di tempat yang selayaknya, kemudian datanglah seorang pencuri pada malam hari dan mencuri mobil gadai tersebut, maka si fulan tidak menanggung kehilangan mobil tersebut karena tidak ada unsur kesengajaan dari si fulan (pemegang barang) ini.

Demikian pembahasan pegadaian menurut Islam. Mungkin masih ada poin-poin yang belum terbahas dan kurang sempurna, atau belum mencakup semua sistem pegadaian yang ada di tanah air kita.

Perlu diingat, hukum yang kami sebutkan dalam pembahasan ini (diperbolehkannya pegadaian) adalah yang sesuai dengan syari’at Islam berikut syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas. Adapun sistem pegadaian yang ada di tanah air kita, maka tidaklah bisa dihukumi secara umum diperbolehkan, terutama apabila didalamnya ada sistem-sistem yang menyelesihi syari’at Islam.
Mudah-mudahan bermanfaat. Wallohu A’lam.


_________
FooteNote
[1] Lihat firman Allah QS. Al-Ahzab [33]: 72
[2] Adapun pegadaian yang banyak dijumpai di negeri kita, maka tidak bisa dikatakan semua dibolehkan apabila terdapat didalamnya system yang menyelesihi syari’at Islam. Lihat kembali rubric Fiqh dalam majalah Al Furqon edisi 5 tahun V, dengan judul Kaidah-Kaidah Penting Dalam Mu’amalah.

[3] Maksudnya adalah bukan budak, karena budak boleh diperjualbelikan, sebagaimana dijelaskan di kitab-kitab fiqh seperti al Mughni dalam “kitab al-‘itq” (hal. 344-411), dan lain-lain.

[4] Kaidah ini telah dijelaskan oleh ustadz Abu Yusuf dalam majalah Al Furqon edisi 5 tahun V, berjudul Jual beli itu berdasarkan rasa suka sama suka
[5] Lihat Bidayatul Mujtahid (2/273), al-Mughni (4/385), Kasyful Qana’ (2/342)
[6] Lihat al-Bada’I (6/146), dan asy-Syarhul Kabir (3/242)
[7] Lihat al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (5/273)
[8] HR. Ibnu Hibban dalam Mawaridu adh-Dham’an (no. 1123), Baihaqi (6/40), Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 15033), Daruquthni dalam as-Sunan (3/32 no. 126), al-Marsail li Abi Dawud (no. 187), asy-Syafi’I dalam Tartibul Musnad (2/164 no. 568). Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, “Para perawi hadist ini terpercaya, kecuali yang lebih kuat tentang hadist ini menurut Abu Dawud bahwa hadist ini mursal”

[9] Lihat catatan no.8
[10] Lihat pernyataan Ibnu Atsir dalam an-Nihayah (3/379)

[11]Hak penjualan barang dikembalikan kepada penggadai (pemilik barang) karena dialah yang memilikinya, akan tetapi karena barang tersebut sedang menjadi jaminan  hutang maka harus disetujui oleh pemegang barang gadai itu (al-Fiqhul Islami 5/272)

[Disalin dari majalah al Furqon Edisi 7 / Shafar 1427 halaman 37-42)

Sumber : http://abusalman1430.wordpress.com/2010/02/13/hukum-gadai-dalam-islam/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.