Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



BENARKAH IMAM AL BUKHARI TELAH MENTAKWILKAN ‘WAJAH’ ALLAH?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Syubhat :
Imam al-Bukhari telah Mentakwilkan ‘Wajah’ yang Merupakan Sifat Allah dengan ‘Kekuasaan’/’milik’. Itu Menunjukkan Imam al-Bukhari berpemahaman Al-‘Asyaairoh.

Bantahan :
Al-Imam al-Bukhari memahami ‘Asma’ WasSifat Allah sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih. Beliau tidaklah mentakwil dengan takwil yang batil. Mari kita simak penjelasan al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:

{ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } إِلَّا مُلْكَهُ وَيُقَالُ إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ

“ { Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya} yaitu KekuasaanNya, dan dinyatakan juga : ‘kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah “ (Shahih al-Bukhari juz 14 halaman 437).

Ini adalah pernyataan beliau yang bisa didapati pada sebagian naskah Shahih al-Bukhari, dan pada naskah yang lain tidak ada. Pernyataan Imam al-Bukhari ini bisa dijelaskan dalam beberapa hal penting:

Pertama,
Imam al-Bukhari menukilkan beberapa tafsiran yang masyhur terhadap ayat tersebut. Dalam hal ini beliau menyebutkan makna : “Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya, dalam 2 penafsiran :

a. إلا ملكه : kecuali ‘Kekuasaan’ / ‘milik’Nya.
b. إلا ما أريد به وجه الله : kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah.

Imam al-Bukhari menukilkan 2 penafsiran ini, namun sebenarnya beliau lebih cenderung memilih pendapat yang kedua. Maknanya, segala sesuatu akan binasa/lenyap kecuali amalan yang dilakukan ikhlas hanya untuk Allah.

Bagaimana kita bisa tahu bahwa Imam al-Bukhari lebih cenderung pada pendapat yang kedua, bukan yang pertama?

Mudah sekali. Hal itu dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Beliau menyatakan:

وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له

“ Mujahid dan ats-Tsaury berkata tentang firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali WajahNya’, yaitu: kecuali segala sesuatu yang diharapkan dengannya WajahNya. AlBukhari menghikayatkan dalam Shahihnya sebagai pendapatnya” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan Quran Surat al-Qoshosh ayat 88 juz 6 halaman 135 cetakan alMaktabah atTaufiqiyyah ta’liq dari Haani al-Haj).

Kedua,
penukilan penafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’ / ‘milik’ Allah ini perlu ditinjau ulang.

AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menjelaskan dalam Fathul Baari:

قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ ” وَقَالَ مَعْمَر ” : فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه ” مَجَاز الْقُرْآن ” لَكِنْ بِلَفْظِ ” إِلَّا هُوَ ” وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء

Ucapan al-Bukhari {kecuali WajahNya : kecuali Kekuasaan/milikNya} ada pada riwayat anNasafiy dengan menyatakan : ‘Ma’mar berkata….’kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ucapan tersebut terdapat dalam kitabnya “Majaazul Qur’aan”, akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Demikian juga dinukil oleh atThobary dari sebagian ahli bahasa Arab, dan disebutkan juga oleh al-Farra’ (Lihat Fathul Baari syarh Shahih alBukhari juz 13 halaman 292).

Dari penjelasan alHafidz di atas bisa disimpulkan bahwa Imam alBukhari menukilkan tafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah berdasarkan riwayat anNasafiy dari perkataan Ma’mar. Namun, perkataan Ma’mar dalam kitabnya Majaazul Qur’an bukanlah menafsirkan kalimat ‘kecuali Wajah Allah’ dengan ‘kecuali Kekuasaan Allah’, tapi dengan ‘kecuali Dia’. Dari sini nampak jelas bahwa penukilan tafsir ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah sebagai ucapan Ma’mar adalah penukilan yang tidak benar.

Atas dasar inilah, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbaany ketika ditanya tentang hal ini beliau meragukan tafsiran itu sebagai tafsiran dari Imam alBukhari sendiri, dan tidak mungkin Imam alBukhari menyatakan demikian .

Ketiga,
Imam a Bukhari menetapkan ‘Wajah’ Allah.
Tidak seperti al-‘Asya-iroh yang menakwilkan Sifat Allah dengan Sifat yang batil, Imam alBukhari menakwilkannya dengan takwilan yang benar.

Takwilan yang benar adalah takwilan yang merupakan penjelas dari maksud suatu kalimat. Penakwilan tersebut tidaklah keluar dari kaidah bahasa Arab. Sedangkan takwilan yang batil adalah penakwilan yang pada dasarnya mengingkari adanya Sifat itu, kemudian dia palingkan maknanya pada makna yang lain. Intinya, seseorang yang menakwil dengan takwil yang batil mengingkari makna hakiki dari Sifat tersebut. Dia tidak menolaknya secara terang-terangan seperti para Mu’aththilah (Jahmiyyah), namun dia palingkan maknanya kepada makna yang lain.

Sebagai contoh, takwilan yang batil adalah menakwilkan ‘Tangan’ Allah dengan ‘Kekuasaan’. Seseorang yang menakwilkan ini tidaklah menetapkan bahwa Allah memiliki Tangan. Padahal Ahlussunnah tidaklah menetapkan kecuali yang Allah tetapkan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan Kesempurnaan Sifat yang ada pada Allah tanpa memalingkannya pada makna yang lain.

Imam al-Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab itu sendiri.

Imam alBukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya:

بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ }
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ

“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’(Lihat Shahih alBukhari juz 22 halaman 410).

Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam alBukhari terhadap makna yang ada pada bab tersebut. Ketika Imam alBukhari menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Ini menunjukkan bahwa Imam alBukhari menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.

Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam alBukhari memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan atTsaury. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.

Al-Imam Ibnu Jarir atThobary menyatakan dalam tafsir at Thobary juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ… رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ

“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, yang kepadaNya wajah (kehendak) dan amalan

Lafadz الوجه (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.

Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.
Wallahu a'lam.


Sumber : http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/20/bantahan-6-kedustaan-tuduhan-al-albany-mengkafirkan-al-bukhari/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.