Allah ta'ala berfirman :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...".[QS. Al baqarah : 143].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Sisi pengambilan dalil dari ayat ini ialah Allah ta'ala mengabarkan kepada kita bahwa Allah ta'ala telah menjadikan para shahabat sebagai umat yang pertengahan, yaitu umat pilihan yang adil.
Inilah hakikat pertengahan. Mereka adalah umat pertengahan dalam ucapan, perbuatan, kehendak, serta niat mereka.
Maka dengan sifat2 ini, mereka berhak menjadi saksi bagi para Rasul atas umatnya pada hari kiamat. Dan Allah menerima persaksian mereka, dan mereka adalah para saksi-Nya.
Oleh karena itu Allah menyanjung, meninggikan penyebutan mereka, dan memuji mereka karena ketika Allah ta'ala menjadikan mereka sebagai saksi, Dia memberitahukan keadaan para saksi ini kepada seluruh makhlukNya baik dari kalangan para Malaikat dan selain mereka, dan memerintahkan Malaikat agar bershalawat untuk mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan memohonkan ampunan untuk mereka.
Saksi yang diterima disisi Allah adalah orang yang bersaksi dengan ilmu dan kejujuran, sehingga ia mengabarkan kebenaran yang disandarkan kepada pengetahuannya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"...kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [QS. Az Zukhruuf : 86]
Sebab mungkin saja seseorang mengabarkan kebenaran secara kebetulan, bukan dari apa yang dia ketahui, atau bisa jadi pula ia mengetahui kebenaran tersebut, namun enggan mengabarkannya.
Maka seorang saksi yang di terima ialah orang yang mengabarkan kebenaran yang ia ketahui.
Seandainya derajat ilmu mereka ialah jika seseorang diantara mereka mengeluarkan sebuah fatwa dan ternyata fatwanya salah serta menyelisihi hukum Allah dan RasulNya, sedang para shahabat lain tidak berfatwa dengan kebenaran, baik karena masyhurnya fatwa yang pertama maupun tidak masyhur, maka berarti umat yang adil dan pilihan tersebut (para Shahabat) telah terbukti menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka telah terbagi menjadi dua kubu; Satu kubu memfatwakan kebathilan sedang yang lain diam dari kebenaran, dan ini adalah suatu hal yang mustahil terjadi pada diri para shahabat.
Karena, kebenaran itu tidak mungkin sama sekali luput dan lari dari mereka (para shahabat) lalu menuju orang sepeninggal mereka (para shahabat).
Dan kita katakan kepada orang yang menyelisihi perkataan para shahabat,
"Lau kaana khayran maa sabaquunaa ilaih"
Seandainya itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka (orang2 yang menyelisihi shahabat) tidak akan mendahului kita kepadanya (kebaikan tsb).
[I'laamul Muwaqqi'iin (V/570-571), tahqiq : Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet I Daar Ibnil Jauzi, 1423H].
Syaikh Ahmad Salam -hafizhahullah- menjelaskan tentang ungkapan "Lau kaana khayran maa sabaquunaa ilaih" maksudnya adalah, orang2 yang menentang para shahabat tidak akan mendahului kita kepadanya (kebaikan/kebenaran).
Bisa juga di katakan,
"Lau kaana khayran lasabaquunaa ilaih",
"Seandainya itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka (para shahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya"
Maksudnya, para shahabat dan ulama salaf akan mendahului kita kepadanya, karena mereka orang yang lebih dulu menuju kebaikan.
[Al Bayyinaatus salafiyyah 'alaa annaa Aqwaalash Shahaabati Hujjatun Syar'iyyatun fii I'laamil Ibnil Qayyim al-Jauziyyah (hal. 58), karya Syaikh Ahmad Salam, cet I, Daar Ibni Hazm 1417H].
[Sumber : "Mulia dengan Manhaj Salaf, hal. 62-63, Ust. Yazid Bin Abdul Qadir jawas, Pustaka At Taqwa]
_________________
LAU KAANA KHAYRAN LASABAQUUNA ILAIHI
Oleh : Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dari penghujung pena, al Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat akan sedikit menjelaskan tentang PRINSIP BER-AGAMA YANG BENAR…
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [QS. An-Nisa' : 115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan : Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min??
Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
Pertama
Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua
Mahfumnya, bahwa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga
Kalau orang-orang mu’min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu’min manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
Keempat
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. [QS. Muhammad : 16]
Keenam
Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
Kedelapan
Perjalanan orang-orang mu’min yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mu’min”.
Kesembilan
Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Kesepuluh
Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.[Bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Kesebelas
Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. [Bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Keduabelas
Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka [QS. Al-Baqarah :13]
Ketigabelas
Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempat belas
Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah [QS. At-Taubah :100]
Kelima belas
Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu’min dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat”. Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar [QS. At-Taubah :100]
Keenam belas
Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
Ketujuh belas
Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. [Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath :29]
Kedelapan belas
Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. [QS. Al-Baqarah : 13].
Kesembilan belas.
Rasulullah telah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka” [Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain]
Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah tabiut tabi’in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.
Kedua puluh.
Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan): “Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. [Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat]
Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:
[a]. Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
[b]. Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
[c]. Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/ terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
[d]. Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluh satu.
Rasulullah telah bersabda : “Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud”. [Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim]
Keduapuluh dua.
Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah (sorga). [At-Taubah : 100]
Keduapuluh tiga.
Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
Keduapuluh empat.
Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia [Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55]
Keduapuluh lima.
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Tarikh.
Keduapuluh enam.
Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…., niscaya akan palingkan dia….”. dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mu’min yaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur’an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.
[Disalin dari "Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti. oleh Ust Abdul Hakim bin Amir Abdat]
Sumber : Majalah As-Sunnah edisi : 02/V/1421-2001M, hal 51-53]
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...".[QS. Al baqarah : 143].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Sisi pengambilan dalil dari ayat ini ialah Allah ta'ala mengabarkan kepada kita bahwa Allah ta'ala telah menjadikan para shahabat sebagai umat yang pertengahan, yaitu umat pilihan yang adil.
Inilah hakikat pertengahan. Mereka adalah umat pertengahan dalam ucapan, perbuatan, kehendak, serta niat mereka.
Maka dengan sifat2 ini, mereka berhak menjadi saksi bagi para Rasul atas umatnya pada hari kiamat. Dan Allah menerima persaksian mereka, dan mereka adalah para saksi-Nya.
Oleh karena itu Allah menyanjung, meninggikan penyebutan mereka, dan memuji mereka karena ketika Allah ta'ala menjadikan mereka sebagai saksi, Dia memberitahukan keadaan para saksi ini kepada seluruh makhlukNya baik dari kalangan para Malaikat dan selain mereka, dan memerintahkan Malaikat agar bershalawat untuk mereka, mendoakan kebaikan untuk mereka, dan memohonkan ampunan untuk mereka.
Saksi yang diterima disisi Allah adalah orang yang bersaksi dengan ilmu dan kejujuran, sehingga ia mengabarkan kebenaran yang disandarkan kepada pengetahuannya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
"...kecuali orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)" [QS. Az Zukhruuf : 86]
Sebab mungkin saja seseorang mengabarkan kebenaran secara kebetulan, bukan dari apa yang dia ketahui, atau bisa jadi pula ia mengetahui kebenaran tersebut, namun enggan mengabarkannya.
Maka seorang saksi yang di terima ialah orang yang mengabarkan kebenaran yang ia ketahui.
Seandainya derajat ilmu mereka ialah jika seseorang diantara mereka mengeluarkan sebuah fatwa dan ternyata fatwanya salah serta menyelisihi hukum Allah dan RasulNya, sedang para shahabat lain tidak berfatwa dengan kebenaran, baik karena masyhurnya fatwa yang pertama maupun tidak masyhur, maka berarti umat yang adil dan pilihan tersebut (para Shahabat) telah terbukti menyelisihi kebenaran. Bahkan mereka telah terbagi menjadi dua kubu; Satu kubu memfatwakan kebathilan sedang yang lain diam dari kebenaran, dan ini adalah suatu hal yang mustahil terjadi pada diri para shahabat.
Karena, kebenaran itu tidak mungkin sama sekali luput dan lari dari mereka (para shahabat) lalu menuju orang sepeninggal mereka (para shahabat).
Dan kita katakan kepada orang yang menyelisihi perkataan para shahabat,
"Lau kaana khayran maa sabaquunaa ilaih"
Seandainya itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka (orang2 yang menyelisihi shahabat) tidak akan mendahului kita kepadanya (kebaikan tsb).
[I'laamul Muwaqqi'iin (V/570-571), tahqiq : Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet I Daar Ibnil Jauzi, 1423H].
Syaikh Ahmad Salam -hafizhahullah- menjelaskan tentang ungkapan "Lau kaana khayran maa sabaquunaa ilaih" maksudnya adalah, orang2 yang menentang para shahabat tidak akan mendahului kita kepadanya (kebaikan/kebenaran).
Bisa juga di katakan,
"Lau kaana khayran lasabaquunaa ilaih",
"Seandainya itu adalah suatu kebaikan, niscaya mereka (para shahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya"
Maksudnya, para shahabat dan ulama salaf akan mendahului kita kepadanya, karena mereka orang yang lebih dulu menuju kebaikan.
[Al Bayyinaatus salafiyyah 'alaa annaa Aqwaalash Shahaabati Hujjatun Syar'iyyatun fii I'laamil Ibnil Qayyim al-Jauziyyah (hal. 58), karya Syaikh Ahmad Salam, cet I, Daar Ibni Hazm 1417H].
[Sumber : "Mulia dengan Manhaj Salaf, hal. 62-63, Ust. Yazid Bin Abdul Qadir jawas, Pustaka At Taqwa]
_________________
LAU KAANA KHAYRAN LASABAQUUNA ILAIHI
Oleh : Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dari penghujung pena, al Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat akan sedikit menjelaskan tentang PRINSIP BER-AGAMA YANG BENAR…
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min, niscaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat) dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [QS. An-Nisa' : 115]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mu’min” (bahwa) mereka adalah para sahabat. Maksudnya bahwa Allah telah menegaskan barangsiapa yang memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terombang-ambing dalam kesesatan).
Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas dan terang tentang kewajiban yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya orang-orang mu’min” yaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat di atas.
Jika dikatakan : Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin” di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya orang-orang mu’min??
Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di atas:
Pertama
Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali Allah tujukan kepada mereka.
Kedua
Mahfumnya, bahwa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, berarti mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan firman Allah di atas.
Ketiga
Kalau orang-orang mu’min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum, maka jalannya orang mu’min manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah atau Sufiyyah atau….atau…?
Keempat
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.
Kelima
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. [QS. Muhammad : 16]
Keenam
Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah secara umum hanyalah para sahabat.
Ketujuh
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.
Kedelapan
Perjalanan orang-orang mu’min yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh karena itu tidak ada ijma’ kecuali para sahabat atau setelah terjadi ijma’ diantara mereka. Demikian itu juga sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’. Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mu’min”.
Kesembilan
Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih didalam aqidah dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.
Kesepuluh
Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.[Bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Kesebelas
Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. [Bacalah I'laamul Muwaqqi'iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim]
Keduabelas
Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti mereka [QS. Al-Baqarah :13]
Ketigabelas
Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam Kitab-Nya yang mulia.
Keempat belas
Bahwa perjalanan para sahabat telah mendapat keridhaan Allah dan merekapun ridha kepada Allah [QS. At-Taubah :100]
Kelima belas
Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahwa Allah akan meridhai perjalannnya orang-orang mu’min dengan syarat mereka mengikuti “jalannya orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat”. Mahfumnya, bahwa Allah tidak akan meridhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin dan Al-Anshar [QS. At-Taubah :100]
Keenam belas
Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.
Ketujuh belas
Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir. [Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Fath :29]
Kedelapan belas
Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali orang-orang munafik. [QS. Al-Baqarah : 13].
Kesembilan belas.
Rasulullah telah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, kemudian yang sesudah mereka” [Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain]
Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah tabiut tabi’in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih (generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini. Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita dalam mengamalkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.
Kedua puluh.
Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan): “Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir”. [Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang sahabat]
Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar di dalam menyampaikan yang hak. Oleh karena itu hadist yang mulia ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:
[a]. Bahwa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang mulia.
[b]. Bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan dari beliau.
[c]. Bahwa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari khianat. Bahwa mereka telah di ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/ terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka. Oleh karena itu Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ijma’ bahwa mereka tidak perlu diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu Abdullah bin Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan sekarang.
[d]. Bahwa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun dalam masalah keduniaan seperti alat dan sarana mengikuti perkembangan zaman dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain.
Keduapuluh satu.
Rasulullah telah bersabda : “Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku! Kalau sekiranya salah seorang dari kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Tidak akan mencapai derajat mereka satu mud-pun atau setegah mud”. [Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim]
Keduapuluh dua.
Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah (sorga). [At-Taubah : 100]
Keduapuluh tiga.
Secara khusus sebagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai penghuni sorga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.
Keduapuluh empat.
Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam Kitab-Nya yang mulia [Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nuur ayat 55]
Keduapuluh lima.
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya” ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Tarikh.
Keduapuluh enam.
Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan perkataan: “Barangsiapa yang memusuhi Rasul sesudah nyata baginya kebenaran…., niscaya akan palingkan dia….”. dan kalau Allah mencukupinya sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min -yaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahwa di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mu’min yaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur’an As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama mereka, aqidah dan manhaj.
[Disalin dari "Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti. oleh Ust Abdul Hakim bin Amir Abdat]
Sumber : Majalah As-Sunnah edisi : 02/V/1421-2001M, hal 51-53]
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.