Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



APAKAH BENAR PERKATAAN "BERBUKALAH DENGAN YANG MANIS"?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :




Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, ia berkata

كَانَ رَسُو لُ اللِّهِ صَلَّى اللَّهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أََنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَا تٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَم تَكُنْ حَسَا حَسَواتٍ مِنْ مَاءٍ


“Rasulullah pernah berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah) sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka beliau memakan tamr (kurma kering) dan kalau tidak ada tamr, maka beliau meminum air, seteguk demi seteguk” [HR Abu Dawud (no. 2356), Ad-Daruquthni (no. 240) dan Al-Hakim (I/432 no. 1576). Dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil IV/45 no. 922]
Nah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air.
Sama-kah kurma dengan ‘yang manis-manis’? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate).

Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).

Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’.

Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.

Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa berbuka puasa ‘disunnahkan’ minum atau makan yang manis-manis. Sependek ingatan saya, Rasulullah mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis.

Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis.
Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data di sini dan di sini). Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa ‘manisan kurma’, bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan ekspornya. Sangat jarang kita menemukan kurma impor yang masih asli dan belum berupa manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin harganya menjadi sangat mahal.

Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu.

Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.

Mengapa demikian?
Ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba’ / mengikuti.

mam Ibnul Qayim rahimahullaah memberikan penjelasan tentang hadits di atas, beliau berkata :

“Cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbuka puasa dengan kurma atau air, mengandung hikmah yang sangat mendalam sekali. Karena saat berpuasa lambung kosong dari makanan apapun. Sehingga tidak ada sesuatu yang amat sesuai dengan liver (hati) yang dapat di disuplai langsung ke seluruh organ tubuh serta langsung menjadi energi, selain kurma dan air. Karbohidrat yang ada dalam kurma lebih mudah sampai ke liver (hati) dan lebih cocok dengan kondisi organ tersebut. Terutama sekali kurma masak yang masih segar. Liver (hati) akan lebih mudah menerimanya sehingga amat berguna bagi organ ini sekaligus juga dapat langsung diproses menjadi energi. Kalau tidak ada kurma basah, kurma kering pun baik, karena mempunyai kandungan unsur gula yang tinggi pula. Bila tidak ada juga, cukup beberapa teguk air untuk mendinginkan panasnya lambung akibat puasa sehingga dapat siap menerima makanan sesudah itu” [Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 309) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H]

Dokter Ahmad Abdurrauf Hasyim dalam kitabnya Ramadhan wath Thibb berkata :
“Dalam hadits tersebut terkandung hikmah yang agung secara kesehatan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memilih mendahulukan kurma dan air dari pada yang lainnya sedangkan kemungkinan untuk mengambil jenis makanan yang lain sangat besar, namun karena ada bimbingan wahyu Ilahi maka Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memilih jenis makanan kurma atau pun air sebagai yang terbaik bagi orang yang berpuasa. Maka, yang sangat diperlukan bagi orang yang ingin berbuka puasa adalah jenis-jenis makanan yang mengandung gula, zat cair yang mudah dicerna oleh tubuh dan langsung cepat diserap oleh darah, lambung dan usus serta air sebagai obat untuk menghilangkan dahaga.

Zat-zat yang mengandung gula yaitu glukosa dan fruktosa memerlukan 5-10 menit dapat terserap dalam usus manusia ketika dalam keadaan kosong. Dan keadaan tersebut terjadi pada orang yang sedang berpuasa. Jenis makanan yang kaya dengan kategori tersebut yang paling baik adalah kurma khususnya ruthab (kurma basah) karena kaya akan unsur gula, yaitu glukosa dan fruktosa yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh” [Dimuat oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 400)]

Maka, urutan makanan yang terbaik bagi orang yang berbuka puasa adalah ruthab (kurma basah), tamr (kurma kering) kemudian air, kalau itu pun tidak ada, maka boleh menggunakan sirup atau air juice buah yang mengandung unsur gula yang cukup, seperti air yang dicampur sedikit madu, jeruk, lemon, dan sebagainya. [Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih At-Thibb An-Nabawy fi Dhau-il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 401) oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H]

Mari kita bicara ‘indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.

Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.

Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.

Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seseorang yang diberi Allah ‘ilm tentang urusan kesehatan jasad manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau.

Kenapa bukan kurma? Sebab boleh jadi, kurma yang ada di Indonesia adalah ‘manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.

Kenapa nasi? Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks.
Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.

Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.

Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita.

Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya ‘rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’

Nah, perkataan “berbukalah dengan yang manis-manis” itu adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka di atas. Karena kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa (disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis. Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi paham dan memunculkan budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat.

Yang jelas, ‘berbukalah dengan yang manis’ itu disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.

Namun demikian, sekiranya ada di antara para sahabat yang menemukan hadits yang jelas bahwa Rasulullah memang memerintahkan berbuka dengan yang manis-manis, mohon ditulis di komentar di bawah, ya. Saya, mungkin juga para sahabat yang lain, ingin sekali tahu. Semoga tidak termakan paham umum ‘berbukalah dengan yang manis’. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan paham umum tentang agama.
Periksa dulu kebenarannya.
Wallahu a'lam

Sumber :
http://almanhaj.or.id/content/2227/slash/0
http://hilmiarifin.com/jan​gan-berbuka-dengan-yang-ma​nis-manis/






Share

Comments (2)

ana copas. jazaakumullahu khoyron..

Ustadz Abu Ayaz, apa hadisnya bahwa memakan kurma tiga biji itu merupakan sunnah Rasul, apakah benar memakan tiga biji kurma sunnah Rasul ? Jadi, kalau makan satu biji kurma saja belum ittiba dengan sunnah ya ?

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.