Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



NASIHAT UNTUKKU DAN UNTUKMU PARA SAHABATKU

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Bismillah,
Mengingatkan kembali diri yang dha'if ini dan siapa saja yang mau mengingatnya sebagai nasihat yang baik, bahwa menuntut ilmu hendaklah diniatkan untuk menghilangkan kejahilan, untuk diamalkan, dan untuk menolong agama Allah.

Bukan untuk berbangga-bangga di hadapan manusia (agar orang lain kagum padanya), mengharapkan pujian dari orang-orang bodoh, mendebat para ahli ilmu (ulama/ustadz), atau untuk mendapatkan sedikit dari urusan dunia ini.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ »

"Barangsiapa yang menuntut ilmu karena hendak mendebat para ‘ulama, atau berbangga-bangga di hadapan orang-orang bodoh, atau ingin perhatian orang tertuju pada dirinya, maka Allah akan masukkan ia ke dalam an-Nar (neraka).”

[HR. At-Tirmidzi (no. 2654), dari shahabat Ka’b bin Malik. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2654].

Hendaklah niat menuntut ilmu itu senantiasa dilandasi dengan dua pondasi, yaitu menetapkan bahwa menuntut ilmu itu adalah wajib atas setiap muslim dan hendaklah dilakukan semata-mata dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ »

“Menuntut ilmu agama adalah wajib bagi setiap pribadi muslim.”

[HR. Ibnu Majah (no. 224), dari shahabat Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 224]

« إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، … »

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan masing-masing orang akan diberi pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.”

[HR. Al-Bukhari (no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6953) dan Muslim (no. 1907). dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab]

Hendaklah di dalam mempelajari ilmu kita mendahulukan yang terpenting kemudian yang penting berikutnya (taqdimu al-ahammi fal aham). Artinya, dalam menimba ilmu tidak bisa langsung loncat tangga. Perlu tahapan demi tahapan, karena ilmu agama ini -sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama- bagaikan lautan yang tidak bertepi. Sehingga tidak ada seorang pun yang dapat menguasai semua bidang ilmu. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلاً

“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)

Jangan sampai ilmu kita tadawwuq, yaitu hanya sekedar mencicipi ilmu tersebut tanpa mau serius dan sabar sampai betul-betul paham. Orang yang seperti itu tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat selamanya. Kata pepatah:

مَنْ ثَبَتَ نَبَتَ

“Barangsiapa yang kokoh ilmunya, maka dia akan menghasilkan ilmu tersebut.”

Hendaklah kita mengambil ilmu hanya dari shahibus sunnah (orang yang berpegang teguh pada as-Sunnah), bukan dari ahlul hawa (pengikut hawa nafsu). Karena ilmu ini adalah agama sebagaimana kata Ibnu Sirin:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ!

“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu.”

[HR. Muslim dalam muqaddimah Shahih-nya]

Setelah kita mempelajari satu bab ilmu dan memahaminya, hendaklah kita sampaikan juga kepada keluarga kita, sebab Allah Ta'ala telah memerintahkan di dalam al-Qur'an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)

Setelah itu, sampaikanlah pula kepada orang-orang terdekat kita dengan sebatas kemampuan yang kita miliki. Namun satu hal yang hendaknya tidak boleh kita lupakan, jadilah uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi keluarga kita dan segenap orang yang kita dakwahi. Jangan sampai ucapan kita menyelisihi amalan kita atau sebaliknya amalan kita menyelisihi ucapan kita. Sebab Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang berkata tetapi dia tidak mengamalkan apa yang dia katakan, dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf : 2-3)

Ikhlaskan juga niat dalam berdakwah hanya untuk mencari ridha Allah semata. Bukan untuk mengharapkan pujian dan balasan dari orang lain. Allah Tabaraka wa Ta’ala menceritakan tentang dakwah para nabi dan rasul ketika mereka berkata kepada kaumnya :

وَيَا قَوْمِ لاَ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللهِ

“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah.” (QS. Hud: 29)

Hendaklah penyampaian dakwah dilakukan dengan rasa kasih sayang dan lemah lembut. Allah Ta'ala berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS. Ali ‘Imran : 159)

Hendaklah di dalam penyampaian dakwah kita memahami bahwa sesungguhnya hidayah taufik hanyalah milik Allah semata. Sehingga apabila kita telah menyampaikan suatu ilmu kepada seseorang tetapi orang tersebut tidak atau belum berkenan untuk menerima dan mengamalkannya, kita senantiasa teringat akan firman-Nya:

إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash: 56)

Allah Ta'ala berfirman:

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21).

Ibnu Sa’di mengatakan:
“Ikutilah orang yang memberikan nasehat kepadamu, yang menginginkan kebaikan untukmu, bukan seorang yang menginginkan harta dan upah darimu karena nasehat dan bimbingan yang dia berikan kepadamu.

Ini merupakan faktor pendorong untuk mengikuti orang yang memiliki sifat demikian. Namun boleh jadi ada yang bilang, ‘memang boleh jadi dia berdakwah dan tidak meminta upah dengan dakwahnya namun ternyata dia tidak berada di atas kebenaran’.

Kemungkinan ini Allah bantah dengan firman-Nya, ‘Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk’. Hal ini karena mereka hanyalah mendakwahkan hal-hal yang dinilai baik oleh akal sehat dan mereka hanya melarang untuk mengerjakan hal-hal yang dinilai buruk oleh akal sehat.”

(Taisir al Karim al Rahman hal 817, cetakan Dar Ibnu al Jauzi).

Pepatah arab mengatakan, faaqidus syai’ laa yu’thihi, orang yang tidak punya tidak akan bisa memberi. Sebagaimana orang yang tidak punya uang tidak akan pernah bisa memberi uang kepada orang lain maka demikian pula orang yang tidak berada di atas hidayah tentu tidak bisa bagi-bagi hidayah.

Dalam ayat di atas (Yasin: 21) Allah menjelaskan ciri dai yang bisa bagi-bagi hidayah (hidayatul irsyad), karena dia memang berada dalam hidayah yaitu tidak meminta upah dengan dakwah dan nasehatnya.

Tidak hanya sebatas meminta upah berupa harta, namun juga tidak meminta upah dalam bentuk penghormatan, cium tangan, disowani, diminta mencoblos partai tertentu, dimintai membuat kartu anggota organisasi tertentu ataupun tergabung dalam kelompok pengajian tertentu. Inilah ciri orang yang layak kita jadikan sebagai guru ngaji kita.

Semoga Allah Ta'ala mudahkan kita dalam kebaikan di mana saja kita berada, mengampuni segala kesalahan dan dosa-dosa kita, kedua orang tua kita, keluarga kita, guru-guru kita, dan juga saudara-saudara kita dari kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah Ta'ala kelak mempertemukan kita kembali di Surga-Nya, amin.




Sumber : Catatan Al Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=3322183648471



Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.