Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



SYUBHAT SEKITAR AYAT HUKUM AL MAIDAH : 44 YANG DIPAKAI OLEH MEREKA YANG MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :




وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir". (QS. al-Maidah [5]: 44)


Oleh : Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah خفظه الله

MUQODDIMAH
Sesungguhnya “Masalah Berhukum dengan selain hukum Alloh عزّوجلّ” termasuk masalah-masalah ilmiah yang sangat penting, banyak yang menulis masalah ini dalam risalah-risalah dan kitab-kitab, pada umumnya mereka sekedar membela pemikiran-pemikiran orang sebelumnya, atau sekedar dukungan terhadap semangat yang melampaui batas. Masalah yang sangat berbahaya seperti ini sangat dibutuhkan penulisan pembahasan tentangnya dengan ikhlas, obyektif, dan sistematis sesuai dengan manhaj Salaful Ummah di dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan Sunnah.” [1]

Kesalahan dalam memahami masalah ini sangat berbahaya, menjerumuskan para pemuda umat Islam sejak dulu hingga sekarang dalam fitnah yang besar dari fitnah takfir (mengkafirkan kaum muslimin) hingga fitnah tafjir (peledakan bom dll) yang begitu marak akhir-akhir ini.

Keadaan ini semakin diperburuk dengan disebarluaskannya tulisan-tulisan yang banyak yang mengandung syubhat-syubhat takfir di dunia Islam tidak terkecuali di negeri kita ini.

Untuk itulah maka dalam pembahasan kali ini kami hendak mengetengahkan kepada pembaca jawaban-jawaban terhadap sebagian syubhat-syubhat tersebut dengan banyak menukil dari kitab Burhamil Munir fi Dahdhi Sybuhati Ahli Takfir oleh Syaikh Abdul Aziz bin Ris ar-Ris yang kami ambil dari website beliau www.islamancient.net.

PEMAHAMAN PENGUSUNG TAKFIR TERHADAP AYAT HUKUM
Syubhat yang paling sering dilontarkan para pengusung pemikiran takfir adalah pemahaman tentang ayat hukum[2] dari surat al-Maidah, yaitu firman Alloh سبحانه و تعالي:

وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)

Mereka berkata : “Sesungguhnya Alloh عزّوجلّ menghukumi kafir terhadap orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Alloh, dia dihukumi kafir sekedar tidak berhukum dengan selain vang diturunkan Alloh tanpa melihat kepada keyakinannya, hal ini menunjukkan bahwa ‘illah hukum ini adalah sekedar keberadaannya tidak berhukum dengan hukum Alloh, dan tidak benar jika hukum kafir ini dibawa kepada kufur ashghor karena al-Hafidz Ibnu Taimiyyah menghikayatkan -setelah is-tiqro’ (menelaah dan mencermati) nash-nash syar’i-bahwa kata kufur yang diungkapkan dengan isim ma’rifat tidaklah difahami kecuali kufur akbar, kemudian dia dan yang lainnya menyebutkan bahwa hukum asal dalam kata kufur jika dimutlakkan dimaksudkan kufur akbar kecuali dengan dalil, karena hukum asal di dalam suatu lafadz jika dimutlakkan di dalam Kitab dan Sunnah adalah dibawa kepada penamaannya yang mutlak, kepada hakikatnya yang mutlak, dan kepada kesempurnaannya.” (Lihat Burhanul Munir hlm.  10)

Sebagian dari mereka juga berkata: “Sesungguhnya kekafiran yang disebut di dalam ayat ini adalah kufur akbar. Ini karena diterangkan dengan kata-kata yang menggunakan alif dan lam tarif (al). Sebab, setiap kekafiran yang diungkapkan dengan isim ma’rifah maka maksudnya adalah kufur akbar, dan semua pendapat yang menguatkannya sebagai kufruu duna kufrin adalah pendapat yang salah… Sesungguhnya ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Alloh. Karena, ayat tersebut menggunakan man syarthiyyah (barangsiapa atau siapa saja yang berfungsi sebagai syarat) yang merupakan bentuk kalimat paling umum.” (Kafir Tanpa Sadar oleh Abdul Qodir bin Abdul Aziz hlm.  212 dan 216)

Kami katakan : Dalam perkataan mereka di atas terdapat tiga syubhat:

Syubhat Pertama : Ayat tersebut bersifat umum, mencakup semua orang yang tidak memutuskan hukum dengan hukum Alloh. Dan Alloh melekatkan hukum kufur dengan sekedar berhukum dengan selain yang diturunkan oleh Alloh tanpa melihat kepada keyakinannya.
Syubhat Kedua : Hukum asal di dalam suatu lafadz jika dimutlakkan di dalam syari’at adalah dibawa kepada hakikatnya kecuali dengan dalil.
Syubhat Ketiga : Ibnu Taimiyyah menghikayatkan -setelah istiqro’ (menelaah dan mencermati) nash-nash syar’i- bahwa kata kufur yang diungkapkan dengan isim ma’rifat tidaklah difahami kecuali kufur akbar.
Tiga syubhat ini akan kami jawab satu-persatu di dalam sub-sub judul bahasan berikut:

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT PERTAMA :
(Keumuman Ayat Hukum)

Pertama : 
Jika diambil keumuman ayat ini maka konsekuensinya adalah mengkafirkan kaum muslimin di dalam setiap kasus yang mereka tidak berbuat adil di dalamnya, termasuk seorang bapak terhadap anak-anaknya, bahkan seseorang terhadap dirinya sendiri jika dia maksiat kepada Robbnya, karena tatkala dia maksiat kepada Robbnya maka saat itu dia tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Alloh,[3] karena lafadz man adalah umum meliputi setiap yang berakal, lafadz ma adalah umum meliputi setiap yang tidak berakal. Orang yang tidak berlaku adil terhadap dirinya sendiri dan anak-anaknya masuk dalam keumuman man, dan setiap kasus yang dia tidak berlaku adil masuk dalam keumuman ma.

Padahal banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sekedar kemaksiatan tidaklah menjadikan pelakunya kafir seperti firman Alloh سبحانه و تعالي:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! (QS. al-Hujurot: [49]: 9)

Lihatlah bagaimana Alloh menyebut mereka beriman dalam keadaan mereka melakukan kemaksiatan yaitu memerangi sesama muslim!

Dan firman Alloh عزّوجلّ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (al-Mumtahanah [60]: 1)

Syaikh Muhammad Kholil Harras berkata: “Alloh memanggil mereka dengan sebutan keimanan dalam keadaan adanya kemaksiatan, yaitu loyalitas terhadap orang-orang kafir.” (Syarah Aqidah Wasithiyyah hal. 235-236)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: ” Bersamaan dengan itu Ahli Sunnah wal Jama’ah tidaklah mengkafirkan ahli kiblat dengan sekedar kemaksiatan dan dosa besar; sebagaimana dilakukan oleh Khowarij, bahkan persaudaraan iman tetap ada bersama dengan adanya kemaksiatan; sebagaimana Alloh berfirman tentang ayat qishosh: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik.” (Terjemah QS. al-Baqoroh: 178)” (Aqidah Wasithiyyah hlm.  233)

Maka nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan adalah yang memalingkan kufur akbar dalam ayat di atas kepada kufur ashghor, karena itulah maka para ulama sepakat tidak mengambil keumuman ayat ini, berbeda dengan orang-orang Khowarij yang memakai keumuman ayat ini dalam mengkafirkan para pelaku dosa dan kemaksiatan tanpa melihat kepada dalil-dalil yang lain yang memalingkan ayat ini dari keumumannya.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata: ” Telah sesat sekelompok ahli bida’ dari Khowarij dan Mu’tazilah dalam bab ini, mereka berargumen dengan ayat-ayat di dalam Kitabulloh yang tidak atas dhohirnya seperti firman Alloh عزّوجلّ:

وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44) (at-Tamhid 17/16)

Beliau رحمه الله juga berkata: “Para ulama sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi seorang yang sengaja melakukannya dalam keadaan mengetahui hukumnya…” (at-Tamhid 5/74-75)

Syaikh Muhammad Rosyid Ridho رحمه الله berkata: “Adapun dhohir ayat ini maka tidak ada seorangpun dari para imam fiqih yang masyhur yang berpendapat dengannya, bahkan tidak ada seorang pun yang berpendapat dengannya.” (Tafsir al-Manar 6/406)

Al-Imam al-Aajurri berkata: “Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khowarij) adalah firman Alloh سبحانه و تعالي:

وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44)
mereka sertakan juga firman Alloh عزّوجلّ:

ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِم يَعْدِلُونَ

…Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Robb mereka. (QS. al-An’am [6]: 1)

Jika mereka melihat seorang penguasa menghukumi dengan tidak haq maka mereka berkata: “Dia telah kafir, dan barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Robbnya maka sungguh telah musyrik, para penguasa ini telah kafir,” maka mereka memberontak dan melakukan hal yang engkau lihat; karena mereka menakwilkan ayat ini.” (asy-Syari’ah hlm.  27)

Al-Imam al-Jashshosh berkata: “Khowarij telah mentakwil ayat ini atas pengkafiran siapa saja yang meninggalkan berhukum dengan hukum Alloh tanpa mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Alloh.” (Ahkamul Qur’an 2/534)

Al-Imam Abu Hayyan رحمه الله berkata: “Orang-orang Khowarij berargumen dengan ayat ini atas bahwa setiap orang yang maksiat kepada Alloh maka dia telah kafir dan mereka berkata: ‘Dia adalah nash pada setiap orang yang berhukum dengan selain yang diturunkan Alloh maka dia kafir.’” (Bahrul Muhith 3/493)

Lihatlah wahai saudaraku yang dirohmati Alloh, beruntunnya kalimat-kalimat para ulama tentang celaan mengambil keumuman ayat ini, dan bahwasanya mengambil keumuman ayat ini adalah madzhab Khowarij, hendaknya engkau waspada darinya!!

Kedua : 
Telah datang riwayat yang shohih[4] dari Ibnu Abbas tentang tafsir ayat hukum bahwa maksud kufur di dalam ayat adalah kufur ashghor dan bukan akbar:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما إِنَّهُ لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَهِ إِنَّهُ لَيْسَ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنِ الْـمِلَّةِ وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ كُفْرٌ دُوْنَ كُفْرٍ

Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata: “Dia bukanlah kekufuran yang kalian katakan,[5] sesungguhnya dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. (Selanjutnya membaca ayat yang artinya:) Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah [5]: 44) Ini adalah kufur duna kufrin (kufur ashghor).” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadroknya 2/342 dan dia berkata: “Ini adalah hadits yang shohih sa-nadnya, dan disetujui oleh Dzahabi dalam Talkhis Mustadrok 2/342 dan Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shohihah 6/113)

Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata:

مَنْ جَحَدَ مَا أَنْزَلَ اللهُ فَقَدْ كَفَرَ وَمَـنْ أَقَرَّ بِهِ وَلَـمْ يَحْكُمْ فَهُوَ ظَالِـمٌ فَاسِقٌ

Barangsiapa yang juhud (mengingkari) apa yang diturunkan oleh Alloh maka sungguh dia telah kafir, dan barangsiapa yang mengakui apa yang diturunkan oleh Alloh dan tidak berhukum dengannya maka dia dholim lagi fasik. (Diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/257 dengan sanad yang hasan)

Perkataan Ibnu Abbas رضي الله عنهما ini juga diikuti oleh para muridnya seperti Imam Thowus bin Kaisan رحمه الله dan Imam Atho’ bin Abi Robbah رحمه الله dengan sanad yang shohih dari keduanya sebagaimana dalam Silsilah Shohihah 6/114. Demikian juga para ulama Sunnah selalu berargumen dengan tafsir Ibnu Abbas di atas. (Lihat Majmu’ Fatawa 7/254, Kitabul Iman oleh Abu Ubaid hlm. 45, Fathul Bari 1/8, Tafsir Ibnu Jarir 6/257, Tamhid 4/237, dan al-Jami’ Liahkamil Qur’an 6/190)

Dan merupakan perkara yang dimaklumi bahwa Abdulloh bin Abbas رضي الله عنهما yang dikenal dengan julukan ‘Penerjemah al -Qur’an’ dengan barakah doa Rosululloh صلي الله عليه وسلم:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ

Ya Alloh, fahamkan dia dalam agama dan ajarilah dia tafsir. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 1/ 328 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir)

Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata: “Sebaik-baik penerjemah al-Qur’an adalah Ibnu Abbas.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Muqoddimah Tafsirnya dengan sanad shohih)

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin رحمه الله berkata: “Adapun yang berhubungan dengan atsar Ibnu Abbas di atas maka cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang mumpuni seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim -dan selain keduanya- telah menerimanya dengan baik, mereka membawakannya dan menukilnya, maka atsar ini adalah shohih.” (Ta’liq terhadap risalah Syaikh al-Albani at-Tahdzir min Fitnati Takfir hlm.  69)

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT KEDUA :
Dikatakan bahwa Hukum asal dalam lafadz kufur jika dimutlakkan dalam syari’at adalah dibawa kepada hakikatnya yaitu akbar kecuali dengan dalil yang memalingkannya kepada ashghor, dan jawabannya bahwa telah kami sebutkan di atas dalil yang memalingkannya kepada kufur ashghor yaitu pemahaman sahabat dan nash-nash yang menunjukkan tidak kafirnya setiap pelaku kemaksiatan serta ijma’ ulama bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar dan bukan kekufuran sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله.

JAWABAN TERHADAP SYUBHAT KETIGA :
Pertama: Istiaro’ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله adalah atas lafadz (الْكُفْرُ) yaitu bentuk mashdar, sedangkan lafadz yang di dalam ayat ini(الْكَافِرُوْنَ)  adalah isim fa’il, dan keduanya berbeda karena mashdar menunjukkan atas perbuatan saja, sedangkan isim fa’il menunjukkan atas perbuatan dan fa’il (pelaku)nya.[6]

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin رحمه الله berkata: “Perbedaan antara yang disifati fi’il (perbuatan) dan yang disifati fa’il (pelaku).” (Fatawa al-Aimmahfi Nawazil Mudalhamah hlm.  227)

Di antara hal yang menunjukkan bahwa istiqro’ beliau kembali kepada mashdar dan bukan kepada isim fa’il bahwasanya beliau sendiri menjadikan makna kufur dalam ayat hukum ini adalah kufur ashghor, beliau berkata: “Ketika datang dari perkataan salaf bahwasanya di dalam diri seseorang ada keimanan dan kenifakan, maka demikian perkataan mereka bahwasanya di dalam diri seseorang ada keimanan dan kekufuran; kekufuran ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas dan para sahabatnya tentang tafsir firman Alloh عزّوجلّ:

وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” mereka berkata: “Dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam.” Perkataan ini diikuti oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari para imam sunnah.” (Majmu’ Fatawa 7/312)

ATSAR DARI IBNU MAS’UD
Syubhat lain yang dilontarkan oleh para pengusung pemikiran takfir adalah sebuah atsar yang tsabit dari Alqomah dan Masruq bahwasanya keduanya bertanya kepada Abdulloh bin Mas’ud tentang risywah (uang suap) maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Termasuk suht (haram).” Keduanya berkata: “Dalam hukum?” Ibnu Mas’ud berkata: “Itu adalah kufur.” Kemudian dia membaca ayat ini:

وَمَن لَّـمْ يَحْكُم بـِمَا أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 6/257 dengan sanad yang hasan)

Mereka berkata: “Atsar ini menunjukkan pengkafiran dengan sekedar berhukum dengan selain yang diturunkan Alloh.” (Lihat Burhan Munir hlm. 21)

Jawaban :
Pertama: Mengambil dhohir ayat ini konsekuensinya adalah mengkafirkan kufur akbar bagi setiap orang mengambil risywah walaupun hanya sekali, dan ini jelas bukanlah maksud ayat sebagaimana ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Abdil Barr رحمه الله dan yang lainnya bahwa mengambil dhohir ayat ini adalah pendapat Khowarij.

Kedua: Ibnu Mas’ud رضي الله عنه tidak menjelaskan kufur manakah yang dia maksud, akbar atau ashghor. Sedangkan atsar Ibnu Abbas رضي الله عنهما adalah shorih (jelas) bahwa maksudnya adalah ashghor, dan tidak boleh menjadikan khilaf di antara sahabat dengan sangkaan belaka, karena yang asal bahwa mereka tidak berselisih dengan sebabnya sedikitnya ikhtilaf di antara mereka.

MASALAH TABDIL
Tabdil  (تَبْدِ يْلٌ)adalah mengganti hukum Alloh dengan hukum yang lainnya, dan ini adalah kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Sebagian orang kurang memahami masalah ini sehingga menyangka bahwa kalimat tabdil mencakup setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh, yang benar bahwa makna kalimat tabdil di dalam perkataan para ulama adalah seorang yang membuat hukum selain hukum Alloh dalam keadaan menganggap bahwa itu adalah hukum Alloh, adapun orang yang membuat hukum selain hukum Alloh سبحانه و تعالي dalam keadaan tidak menganggap bahwa itu adalah hukum Alloh maka dia tidak melakukan tabdil.

Al-lmam lbnul Arobi رحمه الله berkata:

وَهَذَا يَخْتَلِفُ: إِنْ حَكَمَ بِـمَا عِنْدَهُ عَلَى أَنَّهُ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَهُوَ تَبْدِيْلٌ لَهُ يَوْجِبُ الْكُفْرَ، وَإِنْ حَكَمَ بِهِ هُوًى وَمَعْصِيَّةً فَهُوَ ذَنْبٌ تُدْرِ كُهُ الْمَعْفِرَةُ عَلَى أَصْلِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِيْ الْغُفْرَانِ لِلْمُذْنِبِيْنَ

Dan ini berbeda: Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa di adalah dari Alloh maka itu adalah tabdil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya, dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat maka dia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok ahli sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa. (Ahkamul Qur’an 2/624)

Al-lmam Qurthubi رحمه الله juga mengucapkan perkataan yang sama dengan perkataan al-lmam lbnul Arobi di atas dalam Tafsirnya 6/191, dan ini juga diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله dengan mengatakan: “Lafadz asy-Syar’u dikatakan di dalam ‘urf manusia memiliki tiga makna: 
Yang pertama : Asy-syar’ul munazzal yaitu yang dibawa oleh Rosululloh صلي الله عليه وسلم, ini wajib diikuti dan barangsiapa yang menyelisihi maka wajib diberi hukuman.

Yang kedua : asy-syar’ul muawwal yaitu pendapat-pendapat para ulama mujtahidin padanya seperti madzhab Malik dan yang semacamnya, maka ini boleh diikuti tidak diwajibkan dan tidak diharamkan, tidak boleh seorang pun memaksakannya kepada umumnya manusia, dan tidak boleh melarang umumnya manusia darinya.
Yang ketiga : asy-syar’ul mubaddal dia adalah kedustaan atas Alloh dan Rosul-Nya atau atas manusia dengan persaksian-persaksian palsu dan yang semacamnya dan kedholiman yang jelas, barangsiapa yang mengatakan sesungguhnya ini adalah termasuk syari’at Alloh maka dia telah kafir dengan tanpa diperselisihkan. Seperti orang yang mengatakan: “Sesungguhnya darah dan bangkai adalah halal -walaupun dia mengatakan ini adalah madzhabku- dan yang semacamnya.” (Majmu’ Fatawa 3/268)

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shohihnya 3/1326 tentang sebab nuzul ayat ini dari hadits Baro’bin Azib رضي الله عنه adalah masalah tabdil di mana orang-orang Yahudi menganggap bahwa mereka mendapati had (hukuman) zina di dalam kitab-kitab mereka adalah tahmim (melumuri pelakunya dengan arang)[7] mereka mengklaim bahwa tahmim adalah hukum yang diturunkan Alloh. Maka yang dimaksud kufur dalam ayat hukum di atas adalah kufur ashghor sebagaimana telah terdahulu atau kufur akbar terhadap seorang yang melakukan tabdil, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Seorang manusia kapan dia menghalalkan hal yang disepakati atas keharamannya atau mengharamkan hal yang disepakati atas kehalalannya maka dia kafir murtad dengan kesepakatan para ahli fiqih, dan di dalam hal seperti ini turunlah ayat ini berdasarkan salah satu dari dua pendapat tentang sebab nuzul firman Alloh. “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir,” yaitu bagi yang menghalalkan berhukum dengan selain yang diturunkan oleh Alloh.” (Majmu’ Fatawa 3/267)

PENUTUP
Inilah jawaban-jawaban tentang sebagian syubhat-syubhat yang berhubungan dengan ayat hukum dan insya’ Alloh akan kami bahas syubhat-syubhat yang lain yang berhubungan dengan masalah takfir dalam bahasan yang akan datang.

Sebagai catatan penting bahwa maksud kami membahas syubhat-syubhat ini bukanlah dalam rangka meremehkan masalah berhukum dengan hukum Alloh bahkan kami selalu menyeru dan mengajak kaum muslimin kepadanya karena berhukum dengan hukum Alloh adalah suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Alloh dan Rosul-Nya, juga merupakan konsekuensi peribadatan kepada Alloh dan persaksian risalah Nabi-Nya Muhammad صلي الله عليه وسلم, berpaling dari hukum Alloh akan menyebabkan turunnya adzab Alloh, maka berhukum dengan hukum Alloh adalah wajib atas para penguasa, rakyat, dan seluruh kaum muslimin di setiap zaman dan tempat. (Lihat tulisan kami Berhukum dengan Hukum Alloh dalam Majalah AL FURQ0N Edisi 8 Tahun 4 Rubrik Manhaj)

Semoga Alloh selalu menunjukkan kita ke jalan yang lurus dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikutinya. Amin.

[Majalah Al-Furqon No.74 Ed.4 Th. Ke-7_1428/2007]



__________
FooteNote :
[1] Petikan dari muqoddimah Syaikh Prof. Dr. Sholih bin Ghonim as-Sadlan terhadap kitab al-Hukm Bighoiri Ma Anzalalloh.

[2] Penamaan ayat ini dengan “Ayat Hukum” kami ambil dari perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam Silsilah Shohihah 6/115

[3] Al-Imam Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Fishol 3/234: ” Sesungguhnya Alloh berfirman ” Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir “, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang  yang fasiq “, dan “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim”. Maka konsekwensi bagi Mu’tazilah hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan, karena setiap pelaku kemaksiatan tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh “.

[4] Adapun tentang syubhat orang-orang Khowarij yang menyebarkan keraguan terhadap riwayat Ibnu Abbas ini maka telah kami jawab di dalam tulisan kami Tafsir Ayat Hukum dalam Majalah AL FURQON edisi 5 Tahun keenam (Rubrik Tafsir) dan juga dijawab oleh al-Ustadz Abu Ubaidah al-Atsari dalam bahasan Hukum Islam vs Hukum Jahiliyyah dalam Majalah AL FURQON edisi 11 tahun ketiga (Rubrik Hadits)

[5] Syaikh al-Albani berkata: “Seakan-akan beliau mengisyaratkan kepada orang-orang Khowarij yang memberontak kepada Kholifah Ali bin Abi Tholib.” (Silsilah Shohihah 6/113)

[6] Syaikh Sholih al-Fauzan berkata: “Ini adalah perkataan ahli ushul.” (Ta’liq atas Tabdid Kawasyif hlm.  62)

[7] Padahal dalam Taurot hukum sesungguhnya pelaku zina adalah dirajam, namun mereka menggantinya hanya dengan dilumuri arang dan berkata ‘hukum ini dari Allah” Ibnu Majjah


Sumber : http://ibnumajjah.wordpress.com/2012/01/06/syubhat-sekitar-ayat-hukum/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.