Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



BATALKAH WUDHU JIKA MENYENTUH KEMALUAN ?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Ust. Abu Al-Jauzaa'

Terdapat empat pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini, yaitu :

1. Tidak membatalkan wudlu secara mutlak.

Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, salah satu pendapat dari Maalik, dan diriwayatkan dari sebagian shahabat [lihat Al-Badaa’i 1/30, Syarh Fathil-Qadiir 1/37, Al-Mudawwanah, 1/8-9, dan Al-Istidzkaar]. Dalil utama yang mereka pakai adalah hadits :

عن قيس بن طلق، عن أبيه، قال: قدمنا على نبي اللّه صلى الله عليه وسلم، فجاء رجل كأنه بَدَوِيٌّ فقال: يا نبي اللّه؛ ما ترى في مسِّ الرجل ذكره بعدما يتوضأ؟ فقال صلى الله عليه وسلم: "هل هو إلاّ مضغةٌ منه" أو قال: "بضعةٌ منه".

Dari Qais bin Thalq, dari bapaknya (Thalq bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu) ia berkata : “Kami pernah datang menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu tibalah seorang laki-laki yang nampaknya ia dari kalangan ‘Arab gunung (baduwi). Ia bertanya : “Wahai Nabiyulllah, apa pendapatmu tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudlu (apakah membatalkan atau tidak) ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bukankah ia hanyalah bagian dari tubuhnya ?”; atau beliau menjawab : “Bagian dari tubuhnya” [HR. Abu Dawud no. 182; At-Tirmidzi no. 85; Ibnu Hibban no. 1119, 1121; Ibnu Abi Syaibah 1/165; dan yang lainnya].

Para ulama berbeda pendapat dalam keshahihan hadits ini. Permasalahan utamanya adalah perawi yang bernama Qais bin Thalq. Ia telah dilemahkan oleh Asy-Syafi’iy, Ad-Daaruquthni, Abu Haatim, Abu Zur’ah, Yahya bin Ma’in (dalam salah satu riwayatnya), dan Ahmad (dalam salah satu riwayatnya). Namun yang lain telah menguatkannya, diantaranya Ibnu Hibban, Al-‘Ijilliy, Yahya bin Ma’in (dalam salah satu riwayat), dan Ahmad (dalam salah satu riwayat).

Dengan melihat perkataan beberapa ulama tersebut, Ibnu Hajar membuat satu kesimpulan bagi Qais bin Thalq bahwa ia seorang perawi shaduq (At-Taqriib 1/457). Ini adalah perkataan yang benar lagi ‘adil.  Oleh karena itu, haditsnya tidaklah turun dari derajat hasan sebagaimana perkataan Ibnul-Qaththaan yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Mizaanul-I’tidaal (3/397).

Hadits tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/58) dan Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban (3/402,404).

2. Membatalkan wudlu secara mutlak.

Ini merupakan pendapat Malik – dalam nukilan yang masyhur darinya - , Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ibnu Hibban, dan diriwayatkan dari banyak shahabat [lihat Al-Istidzkaar 1/308, Al-Mudawwanah 1/8-9, Al-Umm 1/19, Al-Majmu’ 1/24, Al-Mughniy 1/178, Al-Inshaaf 1/202, dan Al-Muhallaa 1/235]. Dalil utama yang mereka pakai adalah hadits :

عن بسرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا مس أحدكم فرجه فليتوضأ والمرأة مثل ذلك

Dari Busrah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu. Dan bagi wanita, sama seperti itu” [HR. At-Tirmidzi no. 82, Abu Dawud no. 181, Ibnu Majah no. 479, Ibnu Hibban no. 1116-1117, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 1/132, dan yang lainnya].

Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/63 dan Asy-Syaikh Al-Arna’uth dalam Takhrij Shahih Ibni Hibban 3/400.

عن أم حبيبة؛ قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ((من مس فرجه فليتوضأ)).

Dari Ummu Habiibah, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudlu” [HR. Ibnu Majah no. 481, Abu Ya’laa no. 7144, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/130].

Hadits tersebut shahih dengan syawaahid-nya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil 1/150-152 no. 117.

Pihak yang menguatkan pendapat ini menyikapi hadits Thalq bin ‘Ali yang dibawakan oleh pendapat pertama dengan :

a. Pendla’ifan. Namun pendla’ifan ini tidak benar, karena kenyataannya hadits tersebut adalah shahih, minimal hasan – sebagaimana telah dijelaskan.

b. Anggapan mansukh (terhapus) dengan hadits Busrah radliyallaahu ‘anhaa.

c. Mendahulukan penetapan daripada penafikan jika terjadi pertentangan (المثبت أولى بالقبول من النافي عند التعارض) sebagaimana dikenal dalam Ushul-Fiqh (lihat At-Taqriir wat-Tahbiir 1/158 oleh Muhammad bin Muhammad Al-Hanbaliy).

3. Membatalkan wudlu jika disertai syahwat, dan tidak membatalkan wudlu jika disertai syahwat.

Ini merupakan cara penggabungan (thariqatul-jam’i) yang pertama sebagaimana ditempuh oleh Maalik dalam salah satu pendapat yang ternukil darinya dan Al-Albani. Berkata Asy-Syaikh Al-Albani :

وهذا أمر بين كما ترى ، وعليه فالحديث ليس دليلا للحنفية الذين يقولون بأن المس مطلقا لا ينقض الوضوء ، بل هو دليل لمن يقول بأن المس بغير شهوة لا ينقض ، وأما المس الشهوة فينقض ، بدليل حديث بسرة ، وبهذا يجمع بين الحديثين ، وهو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية في بعض كتبه على ما أذكر . والله أعلم

“Ini masalah yang telah jelas – sebagaimana Anda ketahui -, maka hadits di atas bukan dasar dalil bagi madzhab Hanafiyyah yang menyatakan tidak batalnya wudlu karena menyentuh ini secara mutlak. Tetapi dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh tanpa disertai syahwat tidak membatalkan. Adapun menyentuh dengan syahwat adalah membatalkan berdasarkan hadits Busrah. Dengan ini berarti kedua hadits ini dapat dikompromikan sebagai jalur yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam sebagian karyanya yang saya ingat. Wallaahu a’lam” [Tamaamul-Minnah hal. 103].

4.  Wudlu bagi orang yang menyentuh dzakar/kemaluan hanyalah disunnahkan saja, bukan wajib.

Ini merupakan cara penggabungan (thariqatul-jam’i) yang kedua sebagaimana ditempuh oleh Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan juga Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah [lihat Majmu’ Al-Fataawaa 21/241 dan Asy-Syarhul-Mumti’ 1/233].

Tarjih :

Pendapat yang terkuat menurut kami adalah pendapat yang keempat yang mengatakan bahwa wudlu bagi orang yang menyentuh dzakarnya hanya disunnahkan saja, bukan satu kewajiban. Adapun klaim mansukh dan penerapan kaidah mendahulukan penetapan daripada penafikan; maka ini tidak benar. Kedua cara itu dapat ditempuh apabila jika memang cara pengkompromian dalil (al-jam’u) sudah tidak memungkinkan lagi. Sedangkan di sini, pengkompromian sangat mudah untuk dilakukan. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

NB : Tulisan ini sekaligus sebagai ralat pada imel saya di milis salafyitb dimana sebelumnya saya mengikuti tarjih metode pengkompromian yang pertama (pendapat ketiga). Namun setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang dengan memperhatikan penjelasan para ulama yang sempat terbaca, maka nampak bagi saya bahwa pendapat terakhir lah yang lebih tepat dengan kebenaran.


Sumber : Blog Ust. Abul Jauzaa dan Ebook Abul Jauzaa'


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.