Oleh : Abu Al-Jauzaa'
Allah ta’ala telah berfirman :
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” [QS. An-Nuur : 31].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas :
وحقيقة الأمر: أن الله جعل الزينة زينتين: زينة ظاهرة وزينة غير ظاهرة وجوز لها إبداء زينتها الظاهرة لغير الزوج وذوي المحارم وأما الباطنة فلا تبديها إلا للزوج وذوي المحارم.
“Hakekat permasalahannya adalah bahwasannya Allah telah menjadikan perhiasan (bagi wanita) itu menjadi dua jenis, yaitu : perhiasan dhahir dan perhiasan yang bukan dhahir (bathin). Allah memperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan dhahirnya kepada selain suami dan mahramnya. Adapun perhiasan bathin, maka tidak diperbolehkan untuk menampakkannya kecuali kepada suami dan mahramnya” [Hijaabul-Mar’ah wa Libaasuhaa fish-Shalaah oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 16, tahqiq : Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 6, Thn. 1405/1985 M].
Allah ta’ala telah berfirman :
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” [QS. An-Nuur : 31].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas :
وحقيقة الأمر: أن الله جعل الزينة زينتين: زينة ظاهرة وزينة غير ظاهرة وجوز لها إبداء زينتها الظاهرة لغير الزوج وذوي المحارم وأما الباطنة فلا تبديها إلا للزوج وذوي المحارم.
“Hakekat permasalahannya adalah bahwasannya Allah telah menjadikan perhiasan (bagi wanita) itu menjadi dua jenis, yaitu : perhiasan dhahir dan perhiasan yang bukan dhahir (bathin). Allah memperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan perhiasan dhahirnya kepada selain suami dan mahramnya. Adapun perhiasan bathin, maka tidak diperbolehkan untuk menampakkannya kecuali kepada suami dan mahramnya” [Hijaabul-Mar’ah wa Libaasuhaa fish-Shalaah oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 16, tahqiq : Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 6, Thn. 1405/1985 M].
Dari perkataan Ibnu Taimiyyah di atas nampak bahwa perhiasan di sisi wanita itu ada dua jenis, yaitu :
1. Perhiasan dhahir yang diperbolehkan untuk terlihat kepada selain suami dan mahramnya.
2. Perhiasan bathin yang hanya diperbolehkan untuk terlihat bagi suami dan mahramnya.
Adapun maksud kalimat ‘perhiasan’ (اَلزِّيْنَةُ) dalam ayat di atas adalah perhiasan dhahir. Inilah yang insya Allah akan menjadi pembahasan kita kali ini.
Syaikhul-Islam mengatakan bahwa salaf ketika menafsirkan perhiasan dhahir pada ayat di atas terbagi menjadi dua pendapat masyhur :
1. Pendapat Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu dan yang sepakat dengannya bahwa yang dimaksud perhiasan dhahir adalah pakaian (الثياب).
2. Pendapat Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma dan yang sepakat dengannya bahwa yang dimaksud perhiasan dhahir adalah apa yang terdapat di wajah dan kedua telapak tangan seperti celak dan cincin. [idem, hal. 15-16].
Asy-Syaikh Mushthafa Al-’Adawiy hafidhahullah telah melakukan penelitian mengenai riwayat-riwayat di atas. Di antara dua riwayat tersebut, telah shahih riwayat (atsar) dari ’Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu tentang maksud kalimat ’perhiasan’ adalah pakaian. Ibnu Jarir rahimahullah berkata :
حدثنا ابن الـمثنى, قال: حدثنا مـحمد بن جعفر, قال: حدثنا شعبة, عن أبـي إسحاق, عن أبـي الأحوص, عن عبد الله, قال: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنّ إلاّ ما ظَهَرَ مِنْها قال: الثـياب.
”Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsanna, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaq, dari Abul-Ahwash, dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata tentang firman Allah ta’ala : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”; ia berkata : “(Yaitu) pakaian”.
Penafsiran Ibnu Mas’ud tersebut didukung oleh beberapa tabi’in sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Jarir.
Adapun riwayat yang ternukil dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma, maka kesemuanya adalah lemah (dla’if), tidak bisa dipakai untuk hujjah. Asy-Syaikh Mushthafa Al-’Adawiy menjelaskan sebagai berikut :
Riwayat pertama; telah berkata Ibnu Jarir rahimahullah :
حدثنا أبو كريب, قال: حدثنا مروان, قال: حدثنا مسلـم الـمَلائي, عن سعيد بن جُبـير, عن ابن عبـاس: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنّ إلاّ ما ظَهَرَ مِنْها قال: الكحل والـخاتـم.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Marwan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muslim Al-Malaaiy, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ’Abbas tentang ayat : ”Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”. Ibnu ’Abbas berkata : ”Yaitu celak dan cincin”.
Sanad riwayat ini adalah lemah karena di dalamnya terdapat Muslim Al-Malaaiy. Ia adalah Muslim bin Kaisaan, seorang yang sangat lemah (dla’if jiddan). Para ulama juga berselisih akan keadaannnya. Telah diriwayatkan darinya, dari Sa’id (bin Jubair), tentang perkataan tersebut namun tidak menyebutkan Ibnu ’Abbas.
Riwayat kedua; telah berkata Ibnu Jarir rahimahullah :
حدثنا ابن حميد, قال: حدثنا هارون, عن أبـي عبد الله نهشل, عن الضحاك, عن ابن عبـاس, قال: الظاهر منها: الكحل والـخَدّان.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Harun, dari Abu ’Abdillah Nahsyal, dari Adl-Dlahhak, dari Ibnu ’Abbas, ia berkata : ”Perhiasan dhahir, diantaranya adalah celak dan pipi”.
Sanad riwayat ini sangat lemah, dibuang, dan tidak perlu dipedulikan. Ibnu Humaid, guru (syaikh) Ibnu Jarir, adalah Muhammad bin Humaid Ar-Raaziy, seorang yang lemah. Nahsyal, ia sangat lemah. Adapun Adl-Dlahhak, yaitu Ibnu Muzaahim, ia tidak mendengar dari Ibnu ’Abbas.
Riwayat ketiga; telah berkata Ibnu Jarir rahimahullah :
حدثنـي علـيّ, قال: حدثنا عبد الله, قال: ثنـي معاوية, عن علـيّ, عن ابن عبـاس, قوله: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنّ إلاّ ما ظَهَرَ مِنْها قال: والزينة الظاهرة: الوجه, وكُحل العين, وخِضاب الكفّ, والـخاتـم فهذه تظهر فـي بـيتها لـمن دخـل من الناس علـيها
Telah menceritakan kepadaku ’Ali, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Mu’awiyyah, dari ‘Ali, dari Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”. Ibnu ‘Abbas berkata : “Perhiasan dhahir, yaitu wajah, celak mata, cat kuku, dan cincin. Perhiasan ini dinampakkan kepada orang yang yang masuk kepadanya di rumahnya”.
Sanad riwayat ini adalah lemah, karena ‘Ali – yaitu Ibnu Abi Thalhah – tidak mendengar dari Ibnu ‘Abas radliyallaahu ‘anhuma.
Riwayat keempat, telah berkata Ibnu Jarir rahimahullah :
حدثنا القاسم, قال: حدثنا الـحسين, قال: ثنـي حجاج, عن ابن جُرَيج, قال: قال ابن عبـاس, قوله: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنّ إلاّ ما ظَهَرَ مِنْها قال: الـخاتـم والـمَسَكة
Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hajjaaj, dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”, ia berkata : “Cincin dan gelang”.
Sanad riwayat ini adalah lemah, karena Ibnu Juraij tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas. Antara keduanya terdapat perbedaan jaman yang lama.
Itulah beberapa atsar yang disebutkan Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas dimana kualitas semua atsar-atsar tersebut adalah lemah. Ada atsar lain yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas :
وقال الأعمش عن سعيد بن جبير عن ابن عباس {ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها} قال: وجهها وكفيها والخاتم
”Telah berkata Al-A’masy, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ’Abbas tentang firman Allah ta’ala : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya”, ia berkata : ”Wajah, telapak tangan, dan cincinnya”.
Asy-Syaikh Mushthafa Al-’Adawiy berkata : ”Aku tidak menemukan sanad ini sampai kepada Al-A’masy, dan tidak pula diketahui bagi Al-A’masy riwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ’Abbas. Tidak pula dikeluarkan oleh salah seorang pun dari penulis kitab hadits yang enam (Al-Kutubus-Sittah) riwayat dari Al-A’masy dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ’Abbas. Adapun Al-A’masy sendiri seorang yang dikenal sebagai mudallis. Adapun yang nampak bagiku, Al-A’masy mengambil riwayat dari Muslim bin Kaisan Al-Malaaiy, dari Sa’id (bin Jubair). Telah diriwayatkan (sejumlah riwayat) dari Al-A’masy dari Muslim bin Kaisaan; dan telah diriwayatkan Muslim bin Kaisaan atsar mengenai hal ini dari Sa’id bin Jubair sebagaimana yang telah berlalu baru saja. Dan Muslim bin Kaisaan adalah lemah”.
Ibnu Jarir rahimahullah juga membawakan beberapa riwayat senada dari Sa’id bin Jubair, namun riwayat-riwayat tersebut juga lemah. Tidak ada satu pun riwayat yang shahih dari shahabat mengenai hal ini. Adapun riwayat shahih hanya datang dari sebagian tabi’in.
[selengkapnya, silakan baca : Al-Hijaab, Adillatul-Muujibiin wa Syubahul-Mukhaalifiin oleh Mushthafa bin Al-’Adawiy, hal. 44-49; Maktabah Ath-Tharafiin, Cet. 2, Thn. 1410].
Dari riwayat-riwayat yang disebutkan di atas, maka penafsiran ’Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu lebih patut untuk diunggulkan dibandingkan penafsiran selainnya. Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata dalam Al-Adlwaa’ :
المراد بالزينة ما تتزين به المرأة خارجًا عن أصل خلقتها، ولا يستلزم النظر إليه رؤية شىء من بدنها؛ كقول ابن مسعود، من وافقه: إنها ظاهر الثياب؛ لأن الثياب زينة لها خارجة عن أصل خلقتها وهي ظاهرة بحكم الاضطرار، كما ترى.
وهذا القول هو أظهر الأقوال عندنا وأحوطها، وأبعدها من الريبة وأسباب الفتنة
أن لفظ الزينة يكثر تكرّره في القرءان العظيم مرادًا به الزينة الخارجة عن أصل المزين بها، ولا يراد بها بعض أجزاء ذلك الشىء المزيّن بها؛ كقوله تعالىٰ: {يَـٰبَنِى ءادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلّ مَسْجِدٍ}، وقوله تعالىٰ: {قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ}، وقوله تعالىٰ: {إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلاْرْضِ زِينَةً لَّهَا}، وقوله تعالىٰ: { وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا }، وقوله تعالىٰ: {إِنَّا زَيَّنَّا ٱلسَّمَاء ٱلدُّنْيَا بِزِينَةٍ ٱلْكَوٰكِبِ}، وقوله تعالىٰ: {وَٱلْخَيْلَ وَٱلْبِغَالَ وَٱلْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً}، وقوله تعالىٰ: {فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ فِى زِينَتِهِ}، وقوله تعالىٰ: {ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا}، وقوله تعالىٰ: {أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ}، وقوله تعالىٰ: {قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ ٱلزّينَةِ}، وقوله تعالىٰ عن قوم موسى: {وَلَـٰكِنَّا حُمّلْنَا أَوْزَاراً مّن زِينَةِ ٱلْقَوْمِ}، وقوله تعالىٰ: {وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ}، فلفظ الزينة في هذه الآيات كلها يراد به ما يزيّن به الشىء وهو ليس من أصل خلقته، كما ترى. وكون هذا المعنى هو الغالب في لفظ الزينة في القرءان، يدلّ على أن لفظ الزينة في محل النزاع يراد به هذا المعنى، الذي غلبت إرادته في القرءان العظيم، وهو المعروف في كلام العرب؛
“Bahwasannya yang dimaksud dengan perhiasan dimana seorang wanita berhias dengannya adalah di luar asal penciptaannya dan tidak melazimkan pandangan kepada badannya dengan melihatnya, sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud dan yang sepakat dengannya yang menafsirkan dengan pakaian luar. Hal tersebut dikarenakan pakaian luar merupakan perhiasan baginya di luar asal penciptaannya. Itu merupakan pendapat yang kuat dengan hukum yang pasti sebagaimana yang engkau lihat. Dan ini merupakan perkataan yang lebih kuat dan lebih hati-hati menurut kami, serta lebih jauh dari keraguan dan sebab-sebab yang menimbulkan fitnah.
Sesungguhnya lafadh az-ziinah (perhiasan) banyak diulang dalam Al-Qur’an Al-‘Adhiim, dimana yang dimaksudkan adalah perhiasan luar yang bukan asal dari badan maupun bagian dari tubuh (seorang wanita).
Sebagaimana firman Allah ta’ala :
“Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu (pakaianmu) yang indah di setiap (memasuki) mesjid” (QS. Al-A’raf : 31).
Juga firman-Nya ta’ala :
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya” (QS. Al-A’raf : 32).
Juga firman-Nya ta’ala :
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya” (QS. Al-Kahfi : 7).
Dan juga firman-Nya ta’ala :
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya” (QS. Al-Qashshash : 60).
Dan juga firman-Nya ta’ala :
”Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang” (QS. Ash-Shaaffat: 6).
Dan juga firman-Nya ta’ala :
”Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan” (QS. An-Nahl : 8).
Dan juga firman-Nya ta’ala :
”Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya (perhiasannya)” (QS. Al-Qashshash : 79). Dan juga firman-Nya ta’ala : ”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia” (QS. Al-Kahfi : 46).
Dan juga firman-Nya :
”Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, suatu yang melalaikan, dan perhiasan” (Qs. Al-Hadiid : 20).
Dan juga firman-Nya ta’ala :
”Berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari berhias (hari raya)” (QS. Thaha : 59).
Dan juga firman-Nya ta’ala tentang kaum Musa :
”Akan tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu” (QS. Thaha : 87).
Dan juga firman-Nya ta’ala :
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” (QS. An-Nuur : 31).
Lafadh az-ziinah (perhiasan) dalam ayat-ayat ini semuanya dimaksudkan adalah apa yang dijadikan perhiasan untuk sesuatu. Ia bukan merupakan asal penciptaannya, sebagaimana yang engkau lihat. Makna inilah yang secara umum ada pada lafadh az-ziinah dalam Al-Qur’an. Yaitu, bahwa lafadh az-ziinah – yang sedang diperselisihkan – maksudnya menunjukkan makna (yang telah kami sebutkan), sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam Al-Qur’an Al-’Adhiim. Ini adalah makna yang ma’ruf dalam bahasa ’Arab”
[selesai – Adlwaaul-Bayaan fii Iidlaahil-Qur’an bil-Qur’an oleh Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy, 6/220-223, isyraf : Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid; Daarul-’Aalamil-Fawaaid, Cet. 1, Thn. 1426].
Jika dikatakan bahwa az-ziinah di sini adalah wajah dan telapak tangan, maka ini bertentangan dengan uslub Al-Qur’an. Wajah dan telapak tangan bukanlah az-ziinah yang dimaksud karena ia merupakan bagian tubuh wanita yang merupakan asal penciptaan.
Kesimpulannya, makna az-ziinah (perhiasan) dalam QS. An-Nuur ayat 31 adalah pakaian. Pakaian inilah yang biasa nampak dari diri seorang wanita yang dapat dilihat oleh siapapun. Dan perlu saya garis bawahi bahwa kesimpulan ini tidak berarti berkonsekuensi pada kesimpulan hukum tentang wajibnya menutupi wajah dan telapak tangan. Pembahasan ini memerlukan ruang tersendiri untuk menelaahnya. Saya anjurkan untuk Pembaca semua membaca empat referensi berikut :
1. Jilbab Mar’atil-Muslimah fil-Kitaabi was-Sunnah oleh Asy-Syaikh Al-Albani – tidak wajib menutup wajah dan telapak tangan.
2. Ar-Raddul-Mufhim oleh Asy-Syaikh Al-Albani – tidak wajib menutup wajah dan telapak tangan.
3. Al-Hijaab, Adillatul-Muujibiin wa Syubahul-Mukhaalifiin oleh Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-’Adawiy – wajib menutup wajah dan telapak tangan.
4. Waqafaat ’alaa Man Yaraa Jawaaza Kasyfil-Wajh oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin Shaalih Al-Khurasyiy – wajib menutup wajah dan telapak tangan.
Masing-masing penulis buku di atas membawakan dalil dan hujjah yang cukup berbobot, bermutu, lagi menarik untuk ditelaah.........
[dari tulisan Dr. Abu Hafsh ’Alauddin bin Muhammad yang berjudul Libaasul-Mar’ati Amaamal-Mahaarim].
Sumber : Ebook Blog Abul Jauzaa, Label: Al-Qur'an dan Tafsir
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.