Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam
Fara’id jama dari faridhah, yang berarti mafrudhah, sesuatu yang diwajibkan. Yang diwajibkan ini adalah sesuatu yang sudah ditetapkan, karena makna fardhu ialah ketetapan. Seakan-akan kata ini sama dengan firman Allah : “….Nashiban Mafrudhan” [QS. An-Nisa : 7]. Artinya bagian yang sudah ditetapkan.
Definisinya menurut syariat ialah pengetahuan tentang bagian-bagian harta waris yang diberikan di antara orang-orang yang berhak menerimnya.
Dasar tentang faraidh ini ialah Kitab Allah, yang disebutkan dalam firmanNya :
Fara’id jama dari faridhah, yang berarti mafrudhah, sesuatu yang diwajibkan. Yang diwajibkan ini adalah sesuatu yang sudah ditetapkan, karena makna fardhu ialah ketetapan. Seakan-akan kata ini sama dengan firman Allah : “….Nashiban Mafrudhan” [QS. An-Nisa : 7]. Artinya bagian yang sudah ditetapkan.
Definisinya menurut syariat ialah pengetahuan tentang bagian-bagian harta waris yang diberikan di antara orang-orang yang berhak menerimnya.
Dasar tentang faraidh ini ialah Kitab Allah, yang disebutkan dalam firmanNya :
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian…” dan seterusnya dalam dua ayat dari An-Nisa : 11-12.
Dasarnya dalam As-Sunnah ialah hadits Ibnu Abbas yang disebutkan dalam bab ini. Para ulama juga sudah menyepakati hal ini. Mengingat harta dan pembagiannya merupakan obyek yang diminati, dan biasanya harta warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan, maka Allah perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam KitabNya, dengan penjelasan yang detail dan terinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan dan rebutan berdasarkan hawa nafsu, membaginya diantara para ahli waris sesuai dengan tuntutan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuiNya. Allah mengisyaratkan hal ini di dalam firmanNya.
“Kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya”. [QS. An-Nisa : 11]
Dasarnya dalam As-Sunnah ialah hadits Ibnu Abbas yang disebutkan dalam bab ini. Para ulama juga sudah menyepakati hal ini. Mengingat harta dan pembagiannya merupakan obyek yang diminati, dan biasanya harta warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan, maka Allah perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam KitabNya, dengan penjelasan yang detail dan terinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan dan rebutan berdasarkan hawa nafsu, membaginya diantara para ahli waris sesuai dengan tuntutan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuiNya. Allah mengisyaratkan hal ini di dalam firmanNya.
“Kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya”. [QS. An-Nisa : 11]
Ini merupakan pembagian yang adil dan sekaligus memberikan kejelasan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang bersifat umum dan memberikan isyarat kepada sesuatu yang dapat dipahami sebagai keadilan. Semantara qiyas bisa mengeluarkan kita dari topik buku ini dan pembahasannya juga bisa menjadi panjang lebar.
Memperhatikan Kitab Allah tentang berbagai topik kehidupan manusia, dengan petunjuk dan cahanya, bisa menjelaskan sebagian dari rahasia-rahasia Allah yang bijaksana. Setelah ada pembagian dari Dzat Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui ini, datang para penyeru pembaruan dari para westernis, yang tujuannya hendak mengubah hukum Allah dan mengganti pembagian yang sudah ditetapkanNya. Setelah kalimat-kalimatNya menjadi sempurna, membawa kebenaran dan keadilan, merekapun beranggapan bahwa perubahan hukum yang mereka lakukan itu lebih baik dan lebih adil dari hukum-hukum Allah.
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. [QS. Al-Maidah : 50]
Yang pasti, orang-orang yang kurang waras akalnya itu tahu undang-undang langit dan hukum-hukum kehidupan bumi, sehingga mereka menutup telinga terhadap hal-hal yang justru belum pernah mereka dengar. Mereka berada di antara para wanita yang merasakan kekurangannya, sehingga mereka ingin keluar dari syari’at Allah, di antara pesolek yang ingin berhias dengan perhiasan atheisme dan zindiq, di antara orang yang menyerukan sesuatu yang tidak didengarnya. Maka apa yang dia sampaikan hanya sekedar seruan dan panggilan, sedang mereka tidak berpikir.
Ilmu Fara’idh ini merupakan ilmu yang mulia dan penting. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mempelajarinya dalam berbagai hadits dan juga mengajarkannya. Di antaranya ialah hadits Ibnu Mas’ud secara marfu, “Pelajarilah ilmu fara’idh dan ajarkanlah ia kepada manusia”. Adakalanya yang dimaksud fara’id disini ialah hukum-hukum secara umum. Para ulama mengupasnya secara tersendiri dalam beberapa jilid buku dan mereka mengupasnya secara panjang lebar.
Untuk mempelajari hukum-hukumnya, cukup dengan memahami tiga ayat dalam surat An-Nisa, begitu pula hadits Ibnu Abbas yang disampaikan berikut, yang mencakup induk berbagai permasalahannya, shingga tidak ada yang keluar dari induk ini kecuali satu dua masalah.
Kami perlu menyampaikan hal ini sebagai mukadimah yang berkaitan dengan topik ini, agar faidah kitab ini dapat diserap secara optimal dan tidak perlu lagi uraian ke sana ke mari.
Warisan memiliki tiga sebab.
[1]. Nasab, yaitu hubungan darah sebagaimana firman Allah.
“ Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak …”.[QS. Al-Ahzab : 6]
[2]. Pernikahan yang benar, yang didasarkan kepada firman Allah, “Dan bagi kalian (para suami) seperdua dari harta yang diringgalkan oleh isteri-isteri kalian…” [QS. An-Nisa : 12]
[3]. Kepemilikan budak yang dimerdekakan, yang didasarkan kepada hadits Ibnu Umar secara marfu, “Budak yang dimerdekakan adalah kerabat seperti kerabat nasab”
Selain tiga hal ini tidak bisa menjadi sebab warisan. Begitulah menurut pendapat yang masyhur di kalangan ulama.Jika ada sebagian dari tiga hal ini, maka dapat dilakukan waris mewarisi di antara kedua belah pihak, termasuk pula pada kepemilikan budak yang benar.
Warisan juga mempunyai beberapa hambatan, yang jika didapati sebagian di antaranya, maka warisan tidak berlaku, begitu pula jika didapatkan sebab-sebabnya. Sebab segala sesuatu tidak menjadi sempurna kecuali dengan behimpunnya syarat-syaratnya dan ketiadaan hambatan-hambatannya. Adapun beberapa hambatan warisan ialah.
[1]. Tindak Pembunuhan.
Barangsiapa membunuh orang yang mewariskan harta kepadanya atau menjadi sebab terbunuhnya tanpa alasan yang benar, maka dia tidak bisa mewarisi darinya. Jika dilakukan secara tidak sengaja, maka itu termasuk bab mendahului sesuatu sebelum tiba waktunya, sehingga dia layak diberi hukuman karena pelanggarannya terhadap hak orang yang sengaja, dan termasuk bab menghindarkan sarana terhadap yang lainnya. Hal ini didasarkan kepada hadits Umar, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pembunuh tidak mendapatkan apa pun”. [Diriwayatkan malik dalam Al-Muwaththa]
[2]. Budak.
Seorang budak tidak mewariskan bagi kerabat dekatnya yang mempunyai hubungan darah dengannya. Sebab kalaupun budak dapat mewariskan, maka warisan itu menjadi milik tuannya, karena hartanya menjadi milik tuannya.
[3]. Perbedaan Agama
Masalah ini akan dijelaskan dalam hadits Usamah di bagian mendatang, isnya Allah.
“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Berikanlah warisan kepada orang yang berhak menerimanya, dan sisanya untuk orang-orang laki-laki yang paling berhak”
“Dalam satu riwayat disebutkan, “Bagilah harta warisan di antara para ahli waris yang berhak berdasarkan Kitab Allah. Adapun sisanya dari harta warisan, maka untuk orang laki-laki yang paling berhak”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang berhak membagi harta warisn agar membaginya kepada orang-orang yang berhak menerima harta warisan itu secara adil dan sesuai dengan ketentuan syariat, seperti yang dikehendaki Allah Ta’ala.
Para ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya di dalam Kitab Allah adalah dua petiga, sepertiga, seperenam, separoh, seperempat dan seperdelapan. Jika masih ada sisa setelah pembagian itu, maka diberikan kepada orang laki-laki yang paling dekat hubungan darahnya dengan mayit, karena mereka merupakan pangkal dalam ta’shib, sehingga mereka didahulukan menurut urut-urutan kedudukan dan kekerabatan mereka dengan mayit.
[Disalin dari kitabTaisirul Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerjemah Kathur Suhardi, Penerbit Darul Fallah]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2019/slash/0
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2019/slash/0
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.