Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



APAKAH MAKANAN ACARA BID’AH HARAM?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Sudah di lihat :



Oleh : Redaksi Majalas As-Sunnah

Pertanyaan.
1. Di masyarakat, banyak pelaksanaan walimah. Ada walimah haji, walimah khitan, walimah (wanita) hamil (7 bulan) dan lain-lain. Tolong sebutkan yang lain!
2. Tolong jelaskan walimah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan yang tidak!
3. Tolong jelaskan masalah pelaksanaan tahlilan (pesta kematian). Bagaimana hukum makanan tersebut, halal ataukah haram?

Jawaban
1). Walimah, adalah setiap makanan yang dibuat karena acara pernikahan atau lainnya.

Imam Syafi’i dan sahabat-sahabat beliau menyatakan, bahwa walimah setiap undangan (makan) diadakan, disebabkan karena adanya kejadian yang menyenangkan, baik pernikahan atau lainnya. Namun yang masyhur, jika disebut walimah saja, maka yang dimaksud adalah walimah pernikahan. Adapun untuk lainnya, disebutkan dengan secara khusus, seperti walimah khitan atau lainnya. [1]

Tentang macam-macam walimah (undangan makan) secara rinci, antara lain dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fat-hul Bari Syarh Shahih Bukhari. [2] Beliau menyatakan bahwa An Nawawi rahimahullah, yang mengikuti Al Qadhi ‘Iyaadh rahimahullah, menyebutkan walimah itu ada 8 macam:

a). Al-I’dzaar atau al ‘udzrah, yaitu walimah karena khitan.
b). A- ‘Aqiiqah, walimah karena kelahiran (gembira terhadap bayi).
c). Al-Khurs atau al khur-sh, walimah karena keselamatan seorang wanita dari perceraian. Ada yang menyatakan, al khurs adalah walimah karena kelahiran.
d). Al-‘Aqiiqah, walimah kelahiran khusus hari ke tujuh.
e). An naqii’ah, walimah karena kepulangan orang yang bepergian. Ada yang menyatakan, an naqii’ah adalah walimah yang dibuat oleh orang yang datang (dari safar). Sedangkan walimah yang dibuatkan untuknya dinamakan at tuhfah.
f). Al-Wadhiimah, walimah di saat musibah.
g). Al-Ma’dubah atau al ma’dabah, walimah yang diadakan tanpa sebab. Jika al aa’dubah ini diadakan untuk orang-orang yang ditentukan, maka dinamakan an aaqaraa, jika untuk umum, dinamakan al jafalaa.
h). Walimah, undangan makan karena pernikahan. Ada yang menyatakan, walimah adalah undangan makan setelah dukhul (pengantin baru menggauli isterinya). Adapun undangan makan imlaak (ijab-qabul, acara pernikahan) dinamakan asy syundukh atau asy syundakh. (Kemudian Al Hafizh menambahkan jenis walimah lainnya, yaitu:)
i). Al-Hidzaaq, undangan makan yang dibuat di saat anak kecil pintar (ahli). Ibnur Rif’ah mengatakan: “Al-Hidzaaq adalah undangan makan yang dibuat karena khatm (penutupan), yaitu khatm Al Qur’an”. Begitu dia mengkhususkan. Dan dimungkinkan khatm (penutupan) apa yang dia niatkan. Juga dimungkinkan, hal itu umum pada keahlian anak untuk tiap-tiap pekerjaan.

Itulah keterangan yang ada dari para ulama tentang jenis-jenis walimah (undangan makan). Adapun yang antum sebutkan, yaitu:

- Walimah haji, jika itu dilakukan setelah pulangnya, maka termasuk An-Naqii’ah atau At-Tuhfah. Jika itu dilakukan sebelum keberangkatannya, maka mungkin termasuk al ma’dubah. Tetapi kami tidak mengetahui kebiasaan ini dilakukan oleh Salafush Shalih.
- Walimah kehamilan 7 bulan. Hal seperti ini tidak boleh dilakukan, karena termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah. Dan biasanya disertai dengan kepercayaan dan perbuatan syirik.

2). Tolong jelaskan walimah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan yang tidak!

Jawaban.
Walimah-walimah yang disebutkan oleh para ulama di atas, hukum asalnya adalah mubah, karena walimah termasuk urusan keduniaan. Yaitu urusan yang biasa dilakukan oleh manusia karena bermanfaat di dunia ini. Karena hukumnya mubah, maka jangan sampai dianggap sunnah, apalagi wajib, sehingga orang yang meninggalkannya dicela. Atau menganggapnya makruh atau haram, sehingga orang yang melakukannya dicela. Kecuali walimah yang diperintahkan atau dianjurkan oleh agama, sehingga menjadi ibadah wajib atau mustahab. Atau walimah yang dilarang, sehingga manjadi haram atau makruh.

Diantara walimah-walimah di atas, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syari’at yaitu : Walimatul ‘Ursy (walimah pernikahan) dan Walimah Aqiqah pada hari ke tujuh kelahiran bayi. Dalilnya sebagai berikut:

Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui Abdurrahman bin ‘Auf telah menikah, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

"Buatlah walaupun walimah dengan seekor kambing" [HR Bukhari, no. 5.167]

Tentang walimah aqiqah, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) darinya pada hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama" [HR Abu Dauwd, no. 2.838; Tirmidzi, no. 1.522; Ibnu Majah, no. 3.165; Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]

Diantara walimah-walimah di atas yang dilarang syari’at, yaitu Al-Wadhiimah (walimah saat tertimpa musibah). Misalnya, seperti selamatan kematian yang dilakukan oleh banyak umat Islam.

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنْ النِّيَاحَةِ

"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, dia berkata : “Kami -yakni para sahabat- memandang, berkumpul di tempat keluarga mayit dan pembuatan makanan (setelah penguburan mayit) termasuk meratap”. [Riwayat Ibnu Majah, no. 1.612; dalam kurung tambahan riwayat Ahmad. Lihat Hukum Tahlilan, tulisan Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat]

Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlaan berkata: “Wadhiimah, yaitu makanan kumpulan orang-orang kesusahan (yakni walimah saat musibah) tidak disyari’atkan dan tidak disukai” [3].

Demikian juga Walimah Khitan, sebaiknya ditinggalkan. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Dalam Musnad Ahmad, dari hadits Utsman bin Abul ‘Ash, tentang walimah khitan (dinyatakan), ‘tidak pernah diundang untuknya (walimah khitan)’.” [4].

3). Tolong jelaskan masalah pelaksanaan tahlilan (pesta kematian). Bagaimana hukum makanan tersebut, halal ataukah haram?

Jawaban.
Tentang tahlilan (pesta kematian) telah terjawab di atas. Hal itu termasuk bid’ah dan maksiat. Adapun makanannya, jika berupa daging, maka sebaiknya ditinggalkan. Karena, dikhawatirkan termasuk binatang yang disembelih untuk selain Allah. Adapun selain dagingnya, maka halal. Namun bagi orang yang mengetahui dan melihat kemungkaran, dia wajib untuk mengingkari dan menjelasakannya, agar tidak disangka bahwa diamnya dan pengambilannya itu merupakan dalil tentang bolehnya kegiatan tersebut.

Mirip dengan ini, yaitu makanan atau benda yang dijadikan sesaji untuk berhala. Syaikh Muhammad Hamid Al Fiqi rahimahullah mengatakan:

“Dan demikian juga setiap makanan, minuman, atau lainnya yang disebut nama (Allah), karena untuk nadzar atau qurbah (mendekatkan diri, yaitu sesaji) untuk selain Allah (hukumnya sama dengan binatang yang disembelih untuk selain Allah). Maka seluruh makanan yang dibuat untuk dibagikan kepada orang-orang yang i’tikaf (semedi, tirakat) di dekat kubur-kubur atau thaghut-thaghut, atas namanya atau berkatnya, itu termasuk kategori yang disembelih untuk selain Allah”.

Menanggapi pernyataan Syaikh Muhammad Hamid Al Fiqi rahimahullah, maka Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah memberikan komentar :

“Dalam masalah ini terdapat perincian. Jika yang dimaksudkan dengan hal itu, bahwa perbuatan itu termasuk syirik, karena itu merupakan ibadah dan qurbah untuk selain Allah, maka ini benar.… Adapun jika maksud Syaikh Hamid bahwa uang, makanan, minuman, hewan hidup yang disajikan oleh pemiliknya untuk para nabi, para wali dan selain mereka, haram diambil dan dimanfaatkan, maka ini tidak benar. Karena itu merupakan harta yang dapat dimanfaatkan.

Pemiliknya sudah tidak menyukainya, dan itu tidak masuk pada hukum bangkai, maka pastilah itu mubah bagi orang yang mengambilnya. Sebagaimana seluruh harta-harta yang ditinggalkan oleh pemiliknya bagi orang yang menghendakinya. Seperti tangkai-tangkai (gandum, padi) yang ditinggalkan oleh para petani atau kurma yang ditinggalkan oleh para pemanennya untuk orang-orang miskin.

Dibolehkannya hal itu dengan dalil, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil harta-harta simpanan pada (berhala) Laata dan menggunakannya untuk membayar hutang ‘Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memandang harta itu dipersembahkan untuk Laata sebagai halangan dari mengambilnya ketika berkuasa terhadapnya. Namun merupakan kewajiban bagi orang yang melihat orang -dari kalangan orang-orang yang bodoh dan orang-orang musyrik- yang melakukannya untuk mengingkarinya dan menjelaskan kepadanya bahwa hal itu termasuk syirik. Sehingga tidak disangka bahwa diamnya dari pengingkaran dan pengambilannya dari barang itu –jika dia mengambil sesuatu darinya- merupakan dalil tentang kebolehannya. dan bolehnya taqarrub dengannya kepada selain Allah. Dan karena syirik merupakan sebesar-besarnya kemungkaran, maka wajib mengingkari terhadap orang yang melakukannya.

Tetapi, jika makanan itu terbuat dari daging-daging sembelihan orang-orang musyrik, atau dari lemaknya, atau kuahnya, maka itu haram. Karena penyembelihan mereka termasuk hukum bangkai, sehingga daging-daging itu haram, dan makanan yang bercampur dengannya menjadi najis. Berbeda dengan roti dan semacamnya, selama tidak tercampuri sesuatu dari sembelihan orang-orang musyrik, maka itu halal bagi orang yang mengambilnya. Demikian juga uang dan semacamnya, sebagaimana telah terdahulu. Wallahu a’lam”. [5]


[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus /Tahun VIII/1427H/2006M. Rubrik Soa-Jawab, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_________
Footnotes
[1]. Lihat Fat-hul Bari (9/290), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Th. 1419 H / 1998 M. Kitab Nikah, Bab Haq Ijabatil Walimah Wad Da’wah
[2]. Lihat Fat-hul Bari (9/290-292), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Th. 1419 H / 1998 M. Kitab Nikah, Bab Haq Ijabatil Walimah Wad Da’wah.
[3]. Catatan kaki kitab Fiqhuz Zawaaj, hlm. 79
[4]. Lihat Fat-hul Bari, (9/291), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Th. 1419 H / 1998 M. Kitab Nikah, Bab Haq Ijabatil Walimah Wad Da’wah.
[5]. Catatan kaki kitab Fat-hul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab : Keterangan yang datang tentang penyembelihan untuk selain Allah, hlm. 128, Penerbit Daar Ibni Hazm, Cet. 1, Th. 1420 H / 1999 M.

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2442/slash/0


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.