Oleh : Abdul Aziz Musthafa
Sesungguhnya di antara sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah membaca al Qur`an dengan khusyu' dan berusaha memahaminya. Sehingga tidak mengherankan, apabila kedekatan dengan al Qur`an merupakan perwujudan ibadah yang bisa mendatangkan cinta Allah.
Para salafush-shalih, ketika membaca al Qur`an, mereka sangat menghayati makna ini. Sehingga ketika membaca al Qur`an, seolah-olah seperti seorang perantau yang sedang membaca sebuah surat dari kekasihnya.
Sesungguhnya di antara sebab yang bisa mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah membaca al Qur`an dengan khusyu' dan berusaha memahaminya. Sehingga tidak mengherankan, apabila kedekatan dengan al Qur`an merupakan perwujudan ibadah yang bisa mendatangkan cinta Allah.
Para salafush-shalih, ketika membaca al Qur`an, mereka sangat menghayati makna ini. Sehingga ketika membaca al Qur`an, seolah-olah seperti seorang perantau yang sedang membaca sebuah surat dari kekasihnya.
Al Hasan al Basri berkata,"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menganggap al Qur`an adalah surat-surat dari Rabb mereka. Pada malam hari, mereka selalu merenunginya, dan akan berusaha mencarinya pada siang hari."[1]
Seandainya kita berpikir, sungguh ini merupakan keistimewaan yang luar biasa. Allah Yang Maha Besar, Maha Tinggi, Raja Diraja, mengkhususkan khitab (pembicaraan) dan kalamNya untuk manusia yang penuh dengan kelemahan ini. Allah memberikan kepada mereka kemuliaan untuk berbicara, berkomunikasi denganNya.
Al Imam Ibnul Jauzi berkata,"Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya melihat bagaimana Allah berlemah-lembut kepada makhlukNya dalam menyampaikan makna perkataanNya ke pemahaman mereka. Dan hendakya ia menyadari, apa yang ia baca bukan perkataan manusia. Hendaknya ia menyadari keagungan Dzat yang mengucapkannya, dan hendaknya ia merenungi perkataanNya."[2]
Ibnu Shalah berkata,"Membaca al Qur`an merupakan sebuah kemuliaan yang Allah berikan kepada hambaNya. Dan terdapat dalam riwayat, bahwa para malaikat tidak mendapat kemuliaan ini, tetapi mereka sangat antusias untuk mendengarkannya dari manusia."[3]
Kemuliaan ini akan lebih sempurna apabila disertai keikhlasan. Karena ikhlas -sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi- merupakan kewajiban utama bagi pembaca al Qur`an. Dan seharusnya ia menyadari, bahwa dirinya sedang bermunajat kepada Allah.[4]
Perhatikanlah, wahai saudaraku!
Allah telah memberikan izin kepadamu untuk bermunajat kepadaNya. Dengan demikian, berarti Allah telah memberikan rahasia cintaNya kepadamu. Dan al Qur`an, merupakan bukti kecintaanNya. Karena al Qur`an memberikan petunjuk tentang Allah dan yang dicintaiNya. Maka, tentu cinta kepadaNya merupakan jalan hati dan akal untuk mengetahui sifat-sifat Allah dan hal-hal yang dicintaiNya. Melalui al Qur`an, kita bisa mengetahui nama-namaNya, apa yang layak dan yang tidak layak bagiNya, serta (mengetahui) secara rinci syari'at yang diperintahkan dan yang dilarang Allah, dan mengantarkan seseorang menuju cinta dan ridhaNya.
Oleh karena itu, ada di antara para sahabat berusaha untuk mendapatkan kecintaan Allah dengan membaca satu surat. Dia renungi dan dia cintai; yaitu surat al Ikhlash, yang mengandung sifat-sifat Allah. Dia selalu membacanya dalam shalat yang ia lakukan. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab : "Karena ia merupakan sifat Allah, dan aku sangat suka menjadikannya sebagai bacaan". Mendengar jawaban itu, Nabi bersabda :
أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ
"Beritahukan kepadanya, bahwa Allah mencintainya".[5]
Orang yang mencintai al Qur`an, mestinya cinta kepada Allah Azza wa Jalla, karena sifat-sifat Allah terdapat di dalam al Qur`an. Dan semestinya, ia juga cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena beliaulah yang menyampaikan al Qur`an.
'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Barangsiapa yang mencintai al Qur`an, maka ia akan cinta kepada Allah dan RasulNya." [6]
Bukti terbesar cinta kepada al Qur`an, yaitu seseorang berusaha untuk mehamami, merenungi dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti kelemahan cinta kepada al Qur`an atau tidak cinta sama sekali, yaitu berpaling tidak merenungi maknanya. Allah Azza wa Jalla mencela orang munafik, karena tidak merenungi al Qur`an dengan firmanNya :
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an? Sekiranya al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka sudah mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya". [QS. An Nisaa`/4 : 82] .
Mentadabburi al Qur`an dapat mengobati berbagai macam penyakit hati, membersihkannya dari kotoran, serta dapat memberikan jawaban dan bantahan terhadap syubhat yang dibawakan setan, manusia, dan jin. Berbeda dengan orang munafik, karena enggan merenungi al Qur`an dan tidak mencari petunjuk darinya, maka hati mereka sakit, penuh penyakit syubhat dan syahwat, sebagaimana firman Allah :
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta". [QS. Al Baqarah/2 : 10].
Jadi, ketika Allah Azza wa Jalla mengajak manusia untuk mentadabburi al Qur`an, pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla mengajak untuk mengobati hati mereka dari berbagai macam penyakit yang membahayakan.
Tadabbur al Qur`an, juga merupakan cara untuk mengetahui kewajiban-kewajiban agama yang telah dibebankan Allah kepada para hamba. Imam al Qurthubi berkata,"Ayat ini -an Nisaa`/4 ayat 82- dan juga firmanNya
"(Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur`an ataukah hati mereka terkunci-QS Muhammad/47 ayat 24)" menunjukkan wajibnya mentadaburi al Qur`an supaya dapat mengetahui maknanya.[7]
Juga, kemuliaan lain yang dimiliki oleh orang yang mentadaburi al Qur`an yaitu, kebaikan yang dijanjikan oleh Rasululah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari jalan sahabat 'Utsman bin 'Affan Radhiyallahu 'anhu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al Qur`an dan mengajarkanya".[8]
Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaknya berusaha untuk memahami setiap ayat yang ia baca. Karena dengan merenungi dan memahaminya, serta mengulanginya, seseorang akan bisa merasakan nikmatnya al Qur`an.
Bisyr bin as Sura berkata,"Sesungguhnya ayat al Qur`an ibarat buah kurma. Setiap kali engkau kunyah, maka engkau akan merasakan manisnya," kemudian perkataan ini diceritakan kepada Abu Sulaiman, dan dia berkata,"Benar! Maksudnya, apabila salah seorang mulai membaca satu ayat, maka ia ingin segera untuk membaca yang berikutnya."[9]
Al Qur`an akan mengangkat derajat seseorang di sisi Allah. Orang yang menjaganya, berarti ia telah membawa panji agama Islam, sebagaimana dikatakan oleh al Fudhail bin Iyad : "Hamilul Qur`an adalah pembawa panji Islam. Tidak layak baginya untuk lalai bersama orang yang lalai, lupa bersama orang yang lupa, sebagai wujud mengagungkan Allah".[10]
Orang yang menjunjung tinggi al Qur`an, maka dialah yang berhak mendapatkan kemuliaan membawa panji Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kalian tidak memahaminya" [al Anbiyaa`/21 : 10].
Dalam menafsirkan kata دكركم , 'Abdullah bin 'Abbas berkata,"Maksudnya, di dalamnya terdapat kemuliaan kalian."[11]
Allah juga berfirman :
"(Dan sesungguhnya al Qur`an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kalian akan diminta pertanggungan jawab". (QS. Az Zukhruf/43 ayat 44) maksudnya adalah, (al Qur`an) merupakan kemuliaan bagimu dan bagi mereka, apabila mereka menegakkan hak-haknya.[12]
Rasulullah juga memberitahukan tentang ketinggian derajat Ahlul Qur`an. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
"Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan kitab (al Qur`an) ini dan menghinakan yang lain".[13]
Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang yang membaca al Qur`an untuk tidak seperti orang kebanyakan. 'Abdullah bin Mas'ud berkata,"Hamilul Qur`an itu mestinya dikenal dengan malamnya saat manusia lain sedang tidur. Dikenal siangnya dengan berpuasa, saat manusia tidak puasa. Dikenal dengan kesedihannya ketika manusia senang, dengan tangisnya ketika manusia tertawa, dengan diamnya ketika manusia berbicara, dan dengan khusyu'nya ketika manusia dalam keadaan sombong."[14] Demikian ini merupakan sifat mulia yang harus dimiliki oleh Hamilul Qur`an.
Begitu pula orang yang mencintai al Qur`an, hendaknya tidak membanggakan diri, tertipu dan sombong kepada orang lain dengan kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya. Allah berfirman :
"Katakanlah : "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya; dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui". [QS. Ali Imran/3:73].
Ibnul Jauzi berkata,"Seseorang hendaknya tidak membanggakan kemampuan dan kekuatan dirinya. Hendaknya tidak memandang dirinya dengan perasaan puas dan menganggap dirinya bersih. Orang yang memandang dirinya penuh kekurangan, akan mengantarkannya semakin dekat denganNya."[15]
Merasa kurang, bukan berarti kemudian tidak menyadari nikmat Allah atau tidak boleh menceritakan nikmat itu, karena sebagai wujud rasa syukur.
Hamilul Qur`an (penghapal) berada dalam kenikmatan yang tiada bandingannya, jika dia mengamalkannya. 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata,"Wahai Qurra` (para pembaca al Qur`an), angkatlah kepala-kepala kalian. Sungguh, jalan telah dijelaskan buat kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan, dan janganlah kalian menjadi beban bagi manusia."[16]
Az Zarkasyi berkata,"Ketahuilah, seseorang yang Allah ajarkan padanya al Qur`an, baik seluruhnya atau sebagian, hendaknya menyadari kedudukan nikmat ini. Yakni, al Qur`an merupakan mukjizat terbesar, karena ia senantiasa eksis dengan keberadaan dakwah Islam. Dan juga, karena Rasulullah merupakan penutup para nabi dan rasul. Jadi, hujjah al Qur`an akan senantiasa ada di setiap zaman dan waktu, karena al Qur`an merupakan kalamullah dan kitabNya yang paling mulia. Maka, orang yang dianugerahi al Qur`an hendaknya memandang, bahwa Allah Azza wa Jalla telah memberikan nikmat yang agung kepadanya. Hendaknya dia menyadari dengan perbuatannya, bahwa al Qur`an akan membelanya, dan bukan justru menuntutnya.[17]
Sebagaimana juga, ia harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya, mengumpulkan dalam dirinya yang dapat menyebabkan hati menjadi hidup. Mungkin ada yang bertanya, bagaimanakah cara memaksimalkan dalam mengambil pelajaran dari al Qur`an?
Ibnul Qayyim menjelaskan dalam kitabnya, al Fawaid, beliau rahimahullah menyatakan :
“Apabila engkau hendak mengambil pelajaran dari al Qur`an, maka konsentrasikanlah hatimu ketika membaca dan mendengarnya, pasanglah telingamu. Jadikanlah dirimu seperti orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang mengucapkannya, yaitu Allah Subhanahu w Ta'ala, karena al Qur`an merupakan khitab (pembicaraan) yang ditujukan Allah kepadamu melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (QS. Qaaf/50 ayat 37-). Karena pengaruh al Qur`an sepenuhnya tergantung dari yang memberi pengaruh, tempat yang bisa menerima pengaruh, terpenuhi syarat-syaratnya, dan tidak ada yang menghalangi. Maka ayat di atas menjelaskan tentang semua itu dengan ungkapan yang ringkas namun jelas, dan mewakili maksudnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
أن فى ذللك لذ كرى
"(Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan)", (ini merupakan) isyarat kepada ayat-ayat yang telah lewat dari awal surat sampai ayat ini. Inilah muatstsir (yang memberikan pengaruh).
Dan firmanNya :
لمن كان له قلب
"(bagi orang-orang yang mempunyai hati)" adalah, tempat yang bisa menerima pengaruh tersebut. Yaitu hati yang hidup yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala , sebagaiamana Allah Azza wa Jalla berfirman :
(Al Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) –Yasin/36 ayat 69, 70-), yaitu yang hatinya hidup.
Sedangkan firman Allah :
أو ألقى السمع
"(atau yang menggunakan pendengarannya)", maknanya, orang yang mengarahkan pendengaran dan memusatkan indera pendengarannya kepada ucapan yang diarahkan kepadanya. Ini merupakan syarat bisa terpengaruh dengan ucapan.
Adapun firmanNya :
وهو شهد
"(dan dia menyaksikannya)", maknanya, hatinya hadir, tidak lalai. Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata,"Yakni, dia mendengarkan al Qur`an dengan penuh perhatian, tidak dengan hati yang lalai lagi lupa. Ini menunjukkan adanya penghalang dari mendapatkan pengaruh, yaitu kelalaian hati tidak merenungi, tidak memikirkan, serta tidak melihat apa yang dikatakan kepadanya.
Apabila ada yang memberikan pengaruh -yaitu al Qur`an- (maka) ada tempat yang bisa menerima pengaruh –yaitu hati yang hidup- dan syaratnya ada -yaitu mendengarkan- serta tidak ada penghalang -yaitu sibuknya hati dengan yang lainya- maka pengaruh itu, pasti akan timbul. Itulah perwujudan dalam memanfaatkan al Qur`an dan mengambil pelajaran darinya".[18]
Setelah itu, hendaknya ia bersiap-siap untuk mengamalkanya. Karena ilmu mengajak pemiliknya agar mengamalkannya. Jika diamalkan, ilmu akan terjaga. Jika tidak, maka ilmu itu akan hilang.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma'ad berkata,"Sebagian salafush shalih mengatakan, sesungguhnya al Qur`an turun supaya diamalkan. Maka jadikanlah membaca al Qur`an sebagai wujud pengamalannya. Oleh karena itu, Ahlul Qur`an adalah orang yang memahami al Qur`an dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya, walaupun ia tidak menghafalkannya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya, serta tidak mengamalkan kandungannya, maka dia bukan Ahlul Qur`an, meskipun dia mendudukkan huruf-hurufnya sebagaimana mendudukan busur panahnya (artinya, sangat perhatian terhadap huruf-hurufnya, Red).[19]
Oleh karena itu apabila seseorang ingin mendapatkan kecintaan dari Allah, maka hendaklah ia memiliki perhatian yang besar kepada al Qur`an, berusaha membacanya, merenugi dan mengamalkanya. Jika kita sudah bertekad untuk mengambil pelajaran darinya, maka hendaklah kita mengamalkan adab-adab berikut.
ADAB-ADAB MEMBACA AL QUR`AN
Imam an Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, at Tibyan, (tentang) beberapa adab-adab dan hukum saat membaca al Qur`an. Di antaranya adalah :
1. Ikhlas, hanya mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla dan menyadari bahwasannya ia sedang berkomunikasi dengan Allah.
2. Membersihkan mulutnya dengan siwak atau sejenisnya.
3. Bagi orang yang junub dan haid, diharamkan membaca al Qur`an, baik semuanya atau sebagiannya, kecuali apabila bacaan tersebut merupakan salah satu dzikir pagi dan petang, atau dzikir secara mutlak yang disunnahkan bagi seseorang untuk membacanya.
4. Seseorang yang membaca al Qur`an, hendaklah membacanya di tempat yang bersih dan lebih utama melakukannya di masjid. Karena di masjid, kebersihan dan kemuliaan tempat menyatu.
5. Ketika membaca al Qur`an, hendaknya menghadap kiblat, kemudian duduk dengan tenang. Dan boleh membaca al Qur`an dengan duduk atau dengan merebahkan badan. Tetapi, cara yang pertama lebih utama.
6. Apabila memulai membaca al Qur`an, disunnahkan membaca ta'awudz disertai dengan membaca Basmalah di setiap awal surat, kecuali surat Bara'ah (At Taubah). Demikian ini yang dikatakan jumhur ulama.
7. Konsentrasi saat membacanya.
8. Menghadirkan perasaan takut kepada Allah k saat membacanya.
9. Membacanya dengan tartil. Dan para ulama telah sepakat tentang sunnahnya tartil, berdasarkan firman Allah :
"Dan bacalah al Qur`an itu dengan tartil (perlahan-lahan)". [QS. Al Muzammil/73:4]
.
Dan karena membaca dengan tartil lebih menghargai dan lebih memberikan pengaruh dibandingkan membacanya dengan cepat.
10. Disunnahkan meminta karunia dari Allah saat selesai membaca ayat-ayat tentang rahmat Allah Azza wa Jalla, memohon perlindungan dari siksa apabila selesai membaca ayat-ayat tentang adzab, dan bertasbih kepada Allah apabila melewati ayat-ayat tentang pensucian Allah Azza wa Jalla .
11. Menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi sikap hormat terhadap al Qur`an, seperti tertawa pada saat membacanya, melakukan perbuatan sia-sia, menjadikannya sebagai bahan perdebatan, atau perbuatan lainya yang bisa mengurangi keagungan al Qur`an. Berdasarkan firman Allah :
"Dan apabila dibacakan al Qur`an, maka hendaklah kalian dengarkan baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang, semoga kalian mendapat rahmat". [QS. Al A'raf/7:204].
12. Tidak boleh membaca al Qur`an dengan selain bahasa Arab, sekalipun bahasa Arabnya fasih, ataupun sama sekali tidak bisa, baik dalam shalat ataupun di luar shalat.
13. Tidak boleh membaca al Qur`an, kecuali dengan qira’at as sab'ah (bacaan tujuh) yang mutawatir. Dan hendaknya tidak mencampur-adukkan bacaan yang tujuh tersebut selama dalam satu pembahasan.
14. Hendaknya membaca sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, baik saat shalat ataupun yang lainnya.
15. Membaca al Qur`an dengan cara melihat mushaf lebih utama, dibanding membacanya dengan cara menghafal, tentunya di luar shalat. Karena melihat kepada mushaf, merupakan ibadah yang diperintahkan, kecuali apabila orang yang membaca al Qur`an dengan hafalannya merasa lebih khusyu’.
16. Disunnahkan membuat halaqah dalam membaca dan mempelajari al Qur`an, berdasarkan sabda Rasulullah :
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
"Tidaklah suatu kaum berkumpul pada salah satu rumah-rumah Allah, membaca al Qur`an dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan. Mereka akan diselimuti rahmat, dan Allah akan menyebut (menceritakan) mereka kepada para malaikat yang ada di sisiNya".[21]
17. Disunnahkan membaca dengan mengeraskan suara, selama tidak khawatir riya' dan tidak mengganggu orang lain. Karena mengeraskan suara bisa mengggugah hati, memusatkan hati, serta memusatkan pendengaran ke konsentrasi untuk merenungi bacaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits :
مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ..
"Tidaklah Allah mengizinkan sesuatu kepada seorang nabi seperti izinnya untuk memperbagus suara dan mengeraskannya ketika membaca al Qur`an".
18. Ketika membaca al Qur`an, disunnahkan untuk memperbagus suara, sebagaimana sabda Rasulullah :
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
"Hiasilah al Qur`an dengan suaramu".[22]
19. Disunnahkan minta dibacakan al Qur`an dari orang yang bersuara bagus, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kepada 'Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu :
اقْرَأْ عَلَيَّ قَالَ قُلْتُ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي قَالَ فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا قَالَ لِي كُفَّ أَوْ أَمْسِكْ فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَذْرِفَانِ
"Bacakanlah Aku (al Qur`an)!" Dia mengatakan : Aku berkata,"Apakah aku membacakanmu al Qur`an, padahal ia diturunkan kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Sesungguhnya aku senang mendengarnya dari orang lain." Dia mengatakan : Aku berkata,"Lalu aku membaca surat an Nisaa`, saat sampai pada ayat
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku : "Cukuplah!" Lalu aku melihat kedua mata beliau berlinang".[23]
20. Dimakruhkan membaca al Qur`an pada kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika ruku`, sujud, dan yang lainya ketika sedang shalat, kecuali saat berdiri. Dan bagi makmum, dimakruhkan membaca al Qur`an lebih dari surat al Fatihah apabila dia mendengar bacaan imam. Juga makruh membaca al Qur`an dalam keadaan mengantuk dan ketika sedang mendengarkan khutbah.
21. Dilarang mengkhususkan membaca surat-surat tertentu pada saat-saat tertentu, kecuali jika ada dalil yang menjelaskannya, seperti mengkhususkan membaca surat-surat yang ada ayat sajdahnya pada waktu Subuh hari Jum'at selain surat Sajdah, atau membaca surat al An'am pada raka'at terakhir shalat tarawih pada malam ketujuh dengan diiringi keyakinan bahwa itu sunnah.
22. Apabila ada seseorang yang memberikan salam kepada orang yang sedang membaca al Qur`an, hendaklah ia hentikan bacaannya dan menjawab salam tersebut. Apabila ia mendengar orang yang bersin mengucapkan alhamdulillah, maka hendaknya ia menjawabnya dengan mengatakan yarhamukallah. Demikian pula apabila ia mendengar adzan, maka hendaknya ia hentikan dan menjawab adzan yang dikumandangkan.
23. Disyari'atkan untuk bersujud apabila melewati ayat-ayat sajdah
BAHAYA BERPALING DARI AL QUR'AN
Apabila membaca al Qur`an termasuk salah satu faktor yang akan mendatangkan kecintaan Allah kepada seorang hamba, maka sebaliknya, berpaling dari al Qur`an merupakan salah satu faktor yang akan mendatangkan murka Allah. Nabi n mengadukan kepada Allah k , orang yang meninggalkan dan berpaling dari al Qur`an, sebagaimana difirmankan Allah :
"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". [QS. Al Furqan/25 : 30].
Ibnu katsir rahimahullah berkata,"Apabila mereka dibacakan al Qur`an, mereka banyak berbuat gaduh dan sibuk dengan perkataan yang lain, sehingga mereka tidak mendengarkan bacaan al Qur`an. Ini merupakan perbuatan berpaling dari al Qur`an. Tidak mengimani dan tidak membenarkannya, juga termasuk hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an). Tidak merenungi dan berusaha memahaminya, termasuk hajrul Qur`an. Cenderung kepada yang lainya, seperti syair, nyanyian, perbuatan sia-sia, perkataan dan jalan hidup yang tidak bersumber dari al Qur`an, juga termasuk berpaling dari al Qur`an." [24]
Dari sini kita bisa memahami, berpaling dari al Qur`an itu bermacam-macam bentuknya. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya menjaga dirinya agar tidak terjerumus dalam salah satu perbuatan tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Hajrul Qur`an (berpaling dari al Qur`an) itu ada beberapa bentuk. Pertama : Berpaling tidak mau mendengarkannya, dan tidak mengimaninya. Kedua : Tidak mengamalkannya, dan tidak berhenti pada apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkannya, walaupun ia membaca dan mengimaninya. Ketiga : Ttidak berhukum dengannya dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) serta cabang-cabangnya. Keempat : Tidak merenungi dan tidak memahami, serta tidak mencari tahu maksud yang diinginkan oleh Dzat yang mengatakannya. Kelima : Tidak mengobati semua penyakit hatinya dengan al Qur`an, tetapi justru mencari obat dari selainnya. Semua perbuatan ini termasuk dalam firman Allah Azza wa Jalla :
"Rasul berkata : "Wahai, Rabb-ku. Sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan". [QS. Al Furqan/25 : 30].
Ini semua merupakan perbuatan hajr terhadap al Qur`an. Ditambah lagi dengan meng-hajr bacaan. Artinya, dia tidak mau membaca al Qur`an.
Fenomena seperti ini merebak di tengah masyarakat, seperti meletakkan al Qur`an pada tempat-tempat tertentu untuk bertabarruk (mendapatkan barakahnya saja), meletakkan di salah satu pojok rumah, di bagian belakang atau di depan kendaraan sampai tertutup debu. Ini menunjukkan telah menghajr al Qur`an (tidak mempedulikan dan tidak pernah membacanya), sekaligus hal ini merupakan perlakukan yang buruk terhadap al Qur`an.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,"Barangsiapa yang memiliki mushaf, maka hendaklah membacanya setiap hari walaupun beberapa ayat, supaya mushaf itu tidak seperti ditinggalkan.”
Demikian ini merupakan tingkatan seseorang yang meninggalkan al Qur`an serta beberapa keadaan mereka. Adapun keadaan seseorang yang selalu menyertai al Qur`an, maka ikatan hubungan mereka dengan al Qur`an juga bermacam-macam, sesuai tingkat keseriusan yang diberikan Allah k kepada mereka.
Para salafush-shalih, selalu menghidupkan hari-hari mereka dengan al Qur`an, sepanjang waktu siang maupun malam. Mereka selalu mempersiapkan hati ketika membaca al Qur`an, sehingga hati mereka selalu terasa hidup dan jauh dari kelalaian.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk Hamilul Qur`an yang memiliki ikatan kokoh dengannya, dan selalu menjadikan al Qur`an sebagai pedoman dan penawar penyakit hati.
Diringkas dari Syarhul Asbabul 'Asrah al Mujibah limahabatillah kama 'addaha ibnul qayyim,Abdul Aziz Musthafa, halaman 13-33 cet. Ke VIII, 1422H
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_______
Footnote
[1]. At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, halaman 28.
[2]. Mukhtasar Minhajul Qasidin, halaman 46.
[3]. Al Itqan fi Ulumil Qur`an, 1/291, karya Imam as Suyuthi.
[4]. At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, halaman 38
[5]. Diriwayatkan Imam al Bukhari, no. 7375; Fat-hul Bari, 13/360, dan Imam Muslim, 1/557 (813)
[6]. At Thabrani, no. 8658; al Haitsami berkata,"Para perawinya tsiqah."
[7]. Tafsir al Qurthubi, 5/290.
[8]. Diriwayatkan Imam al Bukhari, no. 5027; Fat-hul Bari, 8/692.
[9]. Al Burhan fi 'Ulumil Qur`an, Imam az Zarkasyi, tahqiq Muhammad Abul Fadl Ibrahim, 1/471.
[10]. Mukhtasar Minhajul Qasidin, halaman 45.
[11]. Tafsir Ibnu Katsir, 5/327.
[12]. Tafsir Jalalain, Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthi, halaman 599, Cet. Darur-Rayyan, Mesir.
[13]. Imam Muslim, no. 269 (1/559).
[14]. Sifatush-Shafwah, Imam Ibnul Jauzi, 1/172
[15]. Mukhtasar Minhajul Qasidin, halaman 47.
[16]. At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, halaman 27.
[17]. Al Burhan fi Ulumil Qur`an, 1/449.
[18]. Al Fawaid Ibnul Qayyim, halaman 3.
[19]. Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, 1/338, Cet. Muasasah ar Risalah.
[20]. Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. (Redaksi).
[21]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 1455 (148/2); dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1291 (1/142); dan at Tirmidzi, no. 2946 (8/142), Ibnu Majah dalam Muqaddimah-nya, no. 225 (1/82), Ahmad, 2/252, no. 407
[22]. Riwayat Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 7544; Fat-hul Bari, 3/527.
[23]. Riwayat Imam al Bukhari, no. 5055; Fat-hul Bari, 8/717 dan Imam Muslim, no. 700 (551/1).
[24]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/306.
[25]. Al Fawaid Ibnul Qayyim al Jauziyah, halaman 82.
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2767/slash/0
Footnote
[1]. At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, halaman 28.
[2]. Mukhtasar Minhajul Qasidin, halaman 46.
[3]. Al Itqan fi Ulumil Qur`an, 1/291, karya Imam as Suyuthi.
[4]. At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, Imam an Nawawi, halaman 38
[5]. Diriwayatkan Imam al Bukhari, no. 7375; Fat-hul Bari, 13/360, dan Imam Muslim, 1/557 (813)
[6]. At Thabrani, no. 8658; al Haitsami berkata,"Para perawinya tsiqah."
[7]. Tafsir al Qurthubi, 5/290.
[8]. Diriwayatkan Imam al Bukhari, no. 5027; Fat-hul Bari, 8/692.
[9]. Al Burhan fi 'Ulumil Qur`an, Imam az Zarkasyi, tahqiq Muhammad Abul Fadl Ibrahim, 1/471.
[10]. Mukhtasar Minhajul Qasidin, halaman 45.
[11]. Tafsir Ibnu Katsir, 5/327.
[12]. Tafsir Jalalain, Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthi, halaman 599, Cet. Darur-Rayyan, Mesir.
[13]. Imam Muslim, no. 269 (1/559).
[14]. Sifatush-Shafwah, Imam Ibnul Jauzi, 1/172
[15]. Mukhtasar Minhajul Qasidin, halaman 47.
[16]. At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, halaman 27.
[17]. Al Burhan fi Ulumil Qur`an, 1/449.
[18]. Al Fawaid Ibnul Qayyim, halaman 3.
[19]. Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, 1/338, Cet. Muasasah ar Risalah.
[20]. Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. (Redaksi).
[21]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 1455 (148/2); dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1291 (1/142); dan at Tirmidzi, no. 2946 (8/142), Ibnu Majah dalam Muqaddimah-nya, no. 225 (1/82), Ahmad, 2/252, no. 407
[22]. Riwayat Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 7544; Fat-hul Bari, 3/527.
[23]. Riwayat Imam al Bukhari, no. 5055; Fat-hul Bari, 8/717 dan Imam Muslim, no. 700 (551/1).
[24]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/306.
[25]. Al Fawaid Ibnul Qayyim al Jauziyah, halaman 82.
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2767/slash/0
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.