Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



AHMAD SARWAT, AL-BUUTHY, DAN AL-ALBANY

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Abu Al Jauzaa

Dalam salah satu artikel di situs “Warna Islam”, Al-Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. pernah memberikan jawaban atas satu pertanyaan yang diajukan terkait buku yang ditulis Dr. Muhammad Sa’iid Ramadlan Al-Buuthiy yang berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid'atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Pertanyaan tersebut fokus pada bahasan anti madzhab yang dilayangkan Dr. Al-Buuthiy kepada Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah. Ya, Dr. Al-Buuthiy telah menuduh Asy-Syaikh Al-Albaaniy sebagai tokoh anti madzhab masa kini. Madzhab paling merusak, katanya.

Bagi orang yang akrab dengan kitab-kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy atau fatwa dan ceramah beliau (mis : serial kaset Silsilatul-Hudaa wan-Nuur, atau yang lainnya), tentu tahu kebathilan tuduhan ini. Namun sungguh disayangkan kali ini bahwa seorang ustadz Ahmad Sarwat, Lc. yang biasanya kritis, tiba-tiba merubah perannya menjadi seorang muqallid. Beliau menelan begitu saja perkataan Dr. Al-Buuthiy tanpa pertimbangan tatsabbut atau tabayyun. Padahal, bahan-bahan yang dapat beliau telaah dari kitab-kitab Asy-Syaikh Al-Albaniy tersebar di berbagai media. Dan sekali lagi disayangkan…….. beliau enggan untuk memperhatikannya.
Pada kesempatan ini, ijinkanlah saya memberikan catatan singkat atas komentar/jawaban beliau tersebut, dengan harapan dapat sedikit memberikan kontribusi pembelaan atas diri Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah. Tentu saja, tidak semua kalimat beliau saya tanggapi. Hanya beberapa bagian yang saya anggap penting saja.



Beliau (Al-Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.) berkata :
Al-Albani sendiri memang tokoh penting di dalam dunia hadits. Sudah banyak karya beliau yang memenuhi rak-rak buku para pelajar dan mahasiswa. Dan sudah banyak orang yang menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah hadits.
Akan tetapi di dalam dunia ilmu fiqih, Al-Albani memang punya catatan tersendiri, dimana dirinya sering menyerang ilmu fiqih dan cenderung anti dan memusuhi mazhab-mazhab fiqih yang sudah ada. Hal ini dikemukakan oleh guru besar ilmu fiqih, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, ulama fiqih kenamaan dari Syria.

Alhamdulillah, Anda mengakui keilmuan beliau dalam ilmu hadits. Kitab-kitab beliau dalam bidang takhrij hadits sudah banyak tersebar di dunia Islam. Sungguh, Allah ta’ala telah memberikan satu nikmat yang sangat besar melalui perantaraan beliau dalam hal ini.
Namun perkataan Anda di paragraf selanjutnya sungguh bertolak belakang dengan pengakuan Anda yang pertama. Anda katakan – dengan ber-taqlid pada Dr. Al-Buuthiy – bahwa Asy-Syaikh Al-Albaniy seorang yang gemar menyerang ilmu fiqh dan cenderung anti/memusuhi madzhab fiqh yang sudah ada. Benarkan demikian ? Dari mana Anda bisa simpulkan ini ? Kalau yang Anda maksud adalah Asy-Syaikh Al-Albaaniy sering mengkritik pendapat madzhab yang lemah; maka dimana letak aib beliau dalam hal ini ? Bukankah jika kita ingin menegakkan satu kesimpulan hukum pada suatu permasalahan dimana terdapat beragam pendapat ulama madzhab di dalamnya, kita wajib melihat dalil yang dipakai oleh masing-masing ulama ?. Dan kebiasaan Asy-Syaikh Al-Albaniy jika berbicara dalil, maka beliau meneliti dulu keshahihannya. Beliau tolak hadits dla’if dan pendapat yang terbangun olehnya, dan hanya menerima hadits shahih dan memegang pendapat yang terbangun olehnya. Jika ada beberapa pendapat yang sama-sama berpegang pada hadits shahih, maka beliau baru mempertimbangkan ketepatan istinbath masing-masing pendapat dengan dalil tersebut. Kiranya dapat saya contohkan sebagai berikut :
1. Dalam kitab Tamaamul-Minnah (hal. 104 – 106; Daarur-Raayah, Cet. 5), saat mengkritik Sayyid Sabiq yang melemahkan pendapat batalnya makan daging onta, Asy-Syaikh Al-Albaaniy berkata :
قلت: هذا الاستفهام لا طائل تحته بعد أن صح الحديث عنه صلى الله عليه وسلم باعتراف المؤلف فلا يجوز تركه مهما كان المخالفون له في العدد والمنزلة فإن حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما "يثبت بنفسه لا بعمل غيره من بعده" كما قال الإمام الشافعي على ما سبق في "المقدمة: القاعدة 14".
“Aku (Al-Albaaniy) katakan : Pertanyaan ini[1] tidak ada manfaatnya jika muallif sudah mengetahui keshahihan hadits dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hadits yang shahih ini tidak boleh diabaikan betapapun jumlah dan tingginya kedudukan orang yang menyelisihinya. Sesungguhnya hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap sah dengan sendirinya bukan karena diamalkan orang lain setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syaafi’iy dalam muqaddimah : Kaidah Keempat belas, yang telah lalu”.
……………..
وليس للمؤلف أي دليل أو سند في إثبات ذلك إلا اعتماده على ما ذكره النووي في "شرح مسلم" أنه: "ذهب الأكثرون إلى أنه لا ينقض الوضوء يعني أكل لحم الجزور وممن ذهب إليه الخلفاء الأربعة الراشدون ...".
وهذه الدعوى خطأ من النووي رحمه الله قد نبه عليه شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله فقال في "القواعد النورانية" ص
9:......
Muallif tidaklah mempunyai dalil atau sandaran bagi pendapat yang beliau tetapkan kecuali hanya bersandar pada apa yang disebutkan oleh An-Nawawiy dalam Syarh Muslim : ‘Kebanyakan (jumhur) ulama berpendapat bahwa wudlu tidak batal karena makan daging onta. Pendapat ini di antaranya dipilih oleh Al-Khulafaaur-Raasyidiin yang empat…’. Penyandaran An-Nawawiy rahimahullah ini adalah keliru sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dimana beliau berkata dalam Al-Qawaa’idun-Nuuraaniyyah (hal. 9) : ….”.
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-Albaniy) menyebutkan keterangan Ibnu Taimiyyah yang membantah keterangan An-Nawawiy. Setelah itu beliau berkata :
ثم روى البيهقي فيه بسنده عن ابن مسعود أنه أكل لحم جزور ولم يتوضأ ثم قال: "وهذا منقطع وموقوف وبمثل هذا لا يترك ما ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم".
قلت: وبخاصة أنه ثبت عن الصحابة خلافه فقال جابر بن سمرة رضي الله عنه: كنا نتوضأ من لحوم الإبل ولا نتوضأ من لحوم الغنم رواه ابن أبي شيبة في "المصنف" 1 / 46 بسند صحيح عنه
“Kemudian Al-Baihaqiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Mas’uud bahwasannya beliau memakan daging onta dan tidak berwudlu. Kemudian ia (Al-Baihaqiy) berkata : ‘Hadits ini munqathi’ (terputus) mauquf. Hal semisal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’.
Aku (Al-Albaniy) berkata : Dan telah shahih dari shahabat yang menyelisihi muallif. Telah berkata Jaabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu : ‘Kami berwudlu karena (makan) daging onta dan kami tidak berwudlu karena (makan) daging kambing’. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/46) dengan sanad shahih” [selesai perkataan Al-Albaniy].
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Apakah ini yang Anda – wahai ustadz Ahmad Sarwat, Lc. – anggap sebagai tindakan ‘menyerang ilmu fiqih dan memusuhi madzhab fiqih yang telah ada’ ?
2. Dalam kitab Ashlu Shifati Shalatin-Nabiy (2/376; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1427) saat membahas hukum ta’miin (membaca aamiin) bagi imam dan makmum dalam shalat berjama’ah, Asy-Syaikh Al-Albaaniy berkata :
الأولى : أنه يشرع التأمين للإمام. وهو مذهب الجمهور العلماء، وخلف في ذلك أبو حنيفة في رواية : فقال :
((يُؤَمّن مَن خلف الإمام، ولا يؤمن الإمام)).
ذكر تلميذه محمد في ((الموطأ)) (١٠٣)، ثم خالفه؛ فقال :
((ينبغي إذا فرغ الإمام من (أم الكتاب) أن يُؤَمّن الإمام، ويؤمن من خلفه، ويجهرون بذلك)). اهـ.
وقد روي عن مالك مثلُ ما ذكرنا عن أبي حنيفة، وفي رواية عن مالك :
((لا يُؤَمّن في الجهرية فقد)). وأحاديث الباب ترُدُّ عليها - كما قال الشوكاني (٢/١٨٦) - ، فلا جرم أن أطبقت كتب المتون على مخالفة هذه الرواية عن أبي حنيفة؛ ففيها : ((ويُؤَمّن الإمام والمأموم))
.
“Pertama : Disyari’atkannya ta’miin (mengucapkan aamiin) bagi imam. Ia adalah madzhab jumhur ulama, yang kemudian diselisihi oleh Abu Haniifah dalam satu riwayat. Ia (Abu Haniifah) berkata :
‘Orang-orang (makmum) yang berada di belakang imam mengucapkan aamiin, namun imam tidak mengucapkan aamiin’.
Muridnya yang bernama Muhammad (bin Al-Hasan) menyebutkannya dalam Al-Muwaththa’ (103), lalu ia menyelisihinya dan berkata :
‘Hendaknya seorang imam setelah selesai membaca Ummul-Kitaab (Al-Fatihah) membaca aamiin, dan diaminkan pula orang-orang yang berada di belakannya dengan mengeraskan suaranya’.
Diriwayatkan pula oleh Maalik semisal apa yang telah kami sebutkan dari Abu Haniifah. Dalam satu riwayat dari Maalik :
‘Tidak diucapkan aamiin hanya pada shalat jahriyyah saja’.
Namun hadits-hadits yang ada dalam bab ini membantahnya – sebagaimana dikatakan Asy-Syaukaaniy (2/186) - . Dan tidak masalah jika matan kitab-kitab madzhab Hanafiyyah disusun menyelisihi riwayat dari Abu Haniifah. Di antaranya disebutkan : ‘Diaminkan oleh imam dan makmum” [selesai perkataan Al-Albaaniy].
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Dapat kita lihat bahwa Asy-Syaikh Al-Albaaniy menyelisihi madzhab yang ia terdidik di atasnya, juga madzhab bapak dan nenek moyangnya (yaitu madzhab Hanafiyyah) dengan menguatkan pendapat jumhur ulama. Apakah ini yang Anda – wahai ustadz Ahmad Sarwat, Lc. – anggap sebagai tindakan ‘menyerang ilmu fiqih dan memusuhi madzhab fiqih yang telah ada’ ?
3. Dalam kitab At-Tawassul Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu (hal. 47-48; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1421) saat membahas tawassul bid’iy dan membantah para pendukungnya dari kalangan madzhab Hanafiyyah, Asy-Syaikh Al-Albaaniy berkata :
إنما أكثرت من هذه النقول لأن كثيرين من متعصبة الحنفية وغيرهم ينكرون صحة هذا القول عن أبي حنيفة رحمه الله وإذا كان مثل هذا القول لا يصح عنه فليس هناك في كتب الفقه شيء يصخ عنه مطلقا كما لا يخفى على الفقيه العالم بطريقة نقلأقوال الأئمة الحنفية في كتب المذهب.
ومن غرائب بعضهم أنهم إذا جوبهوا بقول الإمام أبي حنيفة هذا صرحوا بأنهم غير ملزمين به لأنه مخالف للحديث لأنه قد صح - يزعمهم- الحديث بدعاء الله بغيره كما في حديث أصحاب الغار وحديث بريدة وقد تقدما ص 33-34 ويفسرونهما على غير الوجه الصحيح يقولون هذا مع أنهم في منهجهم العام وسبيلهم المعروف غارقون في التقليد إلى آذانهم ويعرضون عن أي حديث صحيح الإسناد صريح الدلالة إذا كان مخالفا لمذهبهم فما بالهم يعودون إلى منهجنا هذا حينما سدت في وجوههم سبل الرد علينا من المذهب؟ ترى هل هذا تناقض منهم أو غفلة أم وهم {يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ} ليردوا الحق الذي نص عليه إمام مذهبهم لأنه يوافق ما تدعوهم إليه من ترك التوسل بالذات إلى التوسل بالله تعالى وصفاته؟
وليت شعري هل هم مستعدون لأن يكون العمل بما صح به الحديث منهجهم في فقههم كله حتى نطالبهم بعشرات بل بمئات الأحاديث الصحيحة التي خالفوها إلى مذهبهم وبذلك تتفق وجهة نظرهم مع وجهة نظرنا أم سيكون شأنهم اتباع الحديث ومخالفة المذهب إذا وافق ذلك الهوى والغرض والتمسك بالمذهب ومخالفة الحديث إذا لم يوافق ذلك الهوى والغرض!
“Sengaja aku (Al-Albaaniy) memperbanyak nukilan ini karena di kalangan orang-orang yang fanatik dari madzhab Hanafiyyah dan yang lainnya mengingkari keshahihan perkataan ini dari Abu Haniifah rahimahullah ta’ala. Dan jika saja perkataan semisal ini tidak benar darinya, niscaya tidak akan ada dalam kitab-kitab fiqh secara keseluruhan, sebagaimana tidak tersembunyi bagi seorang yang faqiih lagi ‘alim dalam hal penukilan perkataan para imam madzhab Hanafiyyah dalam kitab-kitab madzhab.
Dan di antara keanehan sebagian di antara mereka apabila mereka dihadapkan perkataan Al-Imam Abu Haniifah ini[2], dengan terang-terangan mereka tidak menetapinya karena bertentangan dengan hadits shahih – menurut anggapan mereka – tentang berdoa (ber-tawassul) kepada Allah dengan selain-Nya, sebagaimana hadits Ashhaabul-Gharr dan hadits Buraidah – sebagaimana telah disebutkan di halaman 33-34. Mereka menafsirkannya secara tidak benar. Mereka mengatakan hal itu, padahal telah diketahui metode dan jalan mereka secara umum lagi ma’ruf yang terbiasa dengan taqlid buta dan berpaling dari hadits yang shahih sanadnya dan jelas penunjukkannya jika itu bertentangan dengan madzhab mereka. Maka, ada apa gerangan mereka kembali pada manhaj kami ini ketika mereka tidak menemukan jalan membantah kami dalam masalah ini ? Kalian lihat apakah ini merupakan kontradiksi dari mereka atau kelalaian, ataukah mereka seperti yang difirmankan Allah : ‘Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya?’ (QS. Al-Fath : 11) untuk menolak kebenaran yang ditegaskan oleh imam madzhab. Karena beliau (Abu Haniifah) sesuai dengan apa yang kami dakwahkan untuk meninggalkan tawassul dengan dzat menuju tawassul (yang disyari’atkan) dengan Allah dan sifat-sifat-Nya ?..............” [selesai nukilan perkataan Al-Albaaniy].
Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : Apakah jenis perkataan Al-Albaaniy yang semacam ini yang Anda – wahai ustadz Ahmad Sarwat, Lc. – anggap sebagai tindakan ‘menyerang ilmu fiqih dan memusuhi madzhab fiqih yang telah ada’ ?
Asy-Syaikh Al-Albaaniy sendiri telah menampik tuduhan ini :
فأقول: هذا كذبٌ وزورٌ ، فنحن نُقَدِّرُ الأئمةَ الأربعةَ- وكذا غيرهم- حق قدرهم، ولا نستغني عن الاستفادة من علمهم، والاعتماد علىِ فقههم، دون تعصُّب لواحد منهم على الآخرين، وذلك ممّا بَيّنته بياناً شافياَ منذ أكثر من ثلاثين سنة في مقدمة كتابي: "صفة صلاة النبي – صلى الله عليه وسلم - من التكبير إلى التسليم كأنك تراها" ، فإليها أُحِيلُ من كان يريدُ التأكّد من كذب هذه الفرية.

“Maka aku katakan : Ini adalah satu kedustaan dan kebohongan. Adapun kami sangat menghormati para imam yang empat – begitu pula para imam selain mereka - . Kami membutuhkan faedah ilmu mereka dan berpedoman pada fiqh mereka, tanpa rasa fanatik terhadap salah satu di antara mereka. Hal telah kami jelaskan dengan penjelasan yang sangat gamblang semenjak lebih dari 30 tahun lalu dalam muqaddimah kitabku : Shifatu Shalaatin-Nabiyshallallaahu ‘alaihi wa sallamminat-Takbiiri ilat-Tasliimi ka-Annaka Taraahaa. Saya persilakan bagi siapa saja yang ingin mengetahui kedustaan tuduhan ini untuk membacanya” [Silsilah Adl-Dla’iifah, 3/6; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 2/1408].
Dengan ketiga contoh di atas dan juga pengingkaran yang beliau nyatakan, adakah bukti yang bisa Anda tampilkan tentang ini ?
Menurut Al-Albani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid'ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.
…….
Sayangnya, ilmu fiqih dan ushul fiqih yang sudah sejak 14 abad dijadikan standar dalam mengistimbath hukum oleh seluruh umat Islam, oleh Al-Albani ingin dirobohkan begitu saja, dengan alasan kedua ilmu itu dianggap bid'ah dan hanya merupakan ijtihad manusia.
Satu kebohongan Al-Buuthiy yang diikuti oleh seorang ustadz Ahmad Sarwat, Lc. secara membabi buta…… Karena saya tidak bisa meminta kepada Dr. Al-Buuthiy, tentu saja saya akan mengalihkan hal itu kepada bapak ustadz Ahmad Sarwat, Lc. yang terhormat untuk memberikan bukti kepada kami atas nukilan-nukilan yang bapak katakan itu….
a. Haram hukumnya merujuk ilmu fiqh dan pendapat para ulama ?
Saya pribadi merasa heran darimana kalimat ini dapat disimpulkan dari diri Asy-Syaikh Al-Albaniy oleh yang kami hormati : Al-Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. Beliau rahimahullah telah menulis satu kitab fiqh berjudul At-Ta’liiqatur-Radliyyah ‘alar-Raudlatin-Nadiyyah (tahqiq : ‘Aliy Al-Halabiy; Daar Ibnil-Qayyim, Cet. 1/1423); yang pada asalnya merupakan kitab Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khaan Al-Qanujiy yang berjudul Ar-Raudlatun-Nadiyyah. Kitab ini terdiri dari 3 juz, yang dimulai dari Kitaabuth-Thaharah dan diakhiri dengan Kitaabul-Jihaad was-Siyar. Ini menunjukkan perhatian besar beliau dalam ilmu fiqh. Dan nanti akan saya bawakan perkataan salah satu muridnya, Asy-Syaikh Al-'Abbaasiy tentang majelis-majelis ilmu beliau dalam mengajarkan ilmu fiqh. Jika kita merujuk pada perkataan ustadz kita yang terhormat ini, apakah dengan ini beliau (Asy-Syaikh Al-Albaaniy) mengharamkan sesuatu yang beliau lakukan sendiri ?
Jikalau dikatakan beliau mengharamkan mengikuti pendapat ulama, maka ini adalah kedustaan yang lebih terang dibandingkan matahari di siang hari. Bertaburan dalam kitab-kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy yang menukil pendapat ulama, baik dalam bahasan hadits maupun fiqh. Saya pikir tidak usah dibantah secara detail – karena telah jelas. Apa yang tertulis sebelumnya pun sudah cukup mewakili.
Yang ‘diharamkan’ oleh beliau adalah mengikuti perkataan ulama yang jelas-jelas bertentangan dengan dalil shahih, karena kewajiban yang terpikul hanyalah mengikuti Rasul – shallallaahu ‘alaihi wa sallam , bukan mengikuti orang selainnya, siapapun dia. Asy-Syaikh Al-Albaniy telah menjelaskan manhaj beliau melalui perantaraan penukilan perkataan Al-Haafidh Ibnu Rajab :
فالواجب على كل من بلغه أمر الرسول صلى الله عليه وسلم وعرفه أن يبينه للأمة وينصح لهم ويأمرهم باتباع أمره وإن خالف ذلك رأي عظيم من الأمة فإن أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم أحق أن يعظم ويقتدى به من رأى أي معظم قد خالف أمره في بعض الأشياء خطأ ومن هنا رد الصحابة ومن بعدهم على كل مخالف سنة صحيحة وربما أغلظوا في الرد لا بغضا له بل هو محبوب عندهم معظم في نفوسهم لكن رسول الله أحب إليهم وأمره فوق أمر كل مخلوق فإذا تعارض أمر الرسول وأمر غيره فأمر الرسول أولى أن يقدم ويتبع ولا يمنع من ذلك تعظيم من خالف أمره وإن كان مغفورا له بل ذلك المخالف المغفور له لا يكره أن يخالف أمره إذا ظهر أمر الرسول صلى الله عليه وسلم بخلافه
“Setiap orang yang menerima dan mengetahui perkara yang datang dari Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka wajib baginya untuk menjelaskan pada umat, menasihati mereka, dan menegaskan perintah untuk ber-­ittiba’ kepadanya meskipun menyelisihi pendapat seorang pembesar umat. Sebab perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat tokoh besar yang sebagian pendapatnya tersebut menyelisihi perintahnya secara keliru. Atas dasar inilah para shahabat dan orang-orang yang datang setelah mereka menolak semua orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih, yang barangkali mereka bersikap keras dalam penolakan ini. Namun demikian, mereka tidak membencinya, bahkan dia mencintai dan diagungkan di dalam hati mereka. Akan tetapi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai oleh mereka dan perintahnya melebihi setiap makhluk lainnya. Oleh karena itu, apabila perintah Rasul dan perintah selainnya, maka perintah Rasul lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Rasa hormat kepada seseorang tidak menghalangi untuk bersikap demikian, meskipun orang yang menyelisihi perintah beliau tersebut mendapatkan ampunan. Bahkan, orang yang menyelisihi perintah Rasul dan dimaafkan ini, tidak berkeberatan terhadap orang yang menyelisihinya jika memang nampak perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyelisihinya” [Shifatu Shalaatin-Nabiy, hal. 55; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 2/1996 M].[3]
b. Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak membutuhkan ilmu dan metodologi ?
Salah satu perkataan Dr. Al-Buuthiy yang di-taqrir oleh Al-Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. Jikalau seorang santri yunior saja sudah diajarkan tentang ilmu dan metodologi pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, apatah lagi dengan Asy-Syaikh Al-Albaaniy ? Sungguh, kedustaan ini terlalu kelihatan dustanya,…bahkan di mata orang awam.
c. Keberadaan madzhab merupakan bid’ah yang harus dihancurkan ?
Lagi, kedustaan Dr. Al-Buuthiy yang di-taqriir oleh ustadz kita yang mulia, Ahmad Sarwat, Lc. Telah lewat perkataan Asy-Syaikh Al-Albaaniy yang menghormati ulama madzhab dan ber-istifadah kepada mereka.
Adapun yang selalu didengung-dengungkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy adalah bid’ah ta’ashub madzhabiy (fanatik madzhab). Inilah bid’ah yang harus ‘dihancurkan’.
Beliau berkata saat menyanggah tuduhan bahwa ajakan untuk ber-ittiba’ kepada dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak mengambil pendapat imam jika menyelisihi keduanya, sama dengan ajakan meninggalkan mereka secara mutlak dan tidak menghargai ijtihad ulama madzhab[4] :
إن هذا الزعم أبعد ما يكون عن الصواب بل هو باطل ظاهر البطلان كما يبدو ذلك جليا من الكلمات السابقات فإنها كلها تدل على خلافه وأن كل الذي ندعو إليه إنما هو ترك اتخاذ المذاهب دينا ونصبها مكان الكتاب والسنة بحيث يكون الرجوع إليها عند التنازع أو عند إرادة استنباط أحكام لحوادث طارئة كما يفعل متفقهة هذا الزمان وعليه وضعوا الأحكام الجديدة للأحوال الشخصية والنكاح والطلاق وغيرها دون أن يرجعوا فيها إلى الكتاب والسنة ليعرفوا الصواب منها من الخطأ والحق من الباطل وإنما على طريقة ( اختلافهم رحمة ) وتتبع الرخص والتيسير أو المصلحة – زعموا.......
“Anggapan ini jauh sekali dari kebenaran. Bahkan ia merupakan kebathilan yang sangat nyata, sebagaimana hal itu tampak jelas dari kalimat-kalimat yang telah lalu. Semuanya itu menunjukkan kebalikannya. Sesungguhnya semua yang kami serukan hanyalah ajakan meningalkan madzhab-madzhab untuk dijadikan sebuah dien yang menggantikan kedudukan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta menjadikannya tempat kembali ketika ada perselisihan atau tempat ber-istinbath (menyimpulkan hukum) terhadap berbagai peristiwa yang baru, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar fiqh (pemula) di jaman ini. Mereka bersandar kepada madzhab-madzhab tersebut dalam meletakkan berbagai hukum baru yang terkait dengan ahwaal syakhsiyyah (perkara perdata), nikah, thalaq, dan yang lainnya; tanpa mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengetahui yang benar dan yang salah, atau yang haq dan yang bathil. Mereka hanya mendasarkan perbuatan mereka dengan teori “ikhtilaaf itu adalah rahmat”. Lalu mereka mengikuti berbagai rukhshah (keringanan), taisir (kemudahan), atau mashlahat – yang mereka anggap….” [Shifatu Shalatin-Nabiy, hal. 69].
d. Merobohkan ilmu fiqh dan ushul fiqh ?.
Jikalau beliau ingin merobohkan ilmu fiqh dan ushul-fiqh, saya pikir beliau tidak akan berkhidmat mengajarkan kitab-kitab fiqh dan ushul-fiqh kepada kaum muslimin. Namun kenyataan berbicara lain. Beliau telah memberi pengajaran materi ushul-fiqh dengan berpedoman pada kitab Ushulul-Fiqh karya Ustadz ‘Abdul-Wahhaab Khalaf semenjak berpuluh-puluh tahun lalu (yang mungkin waktu itu Ustadz Ahmad Sarwat belum lahir). Selanjutnya, mari kita perhatikan apa yang dituturkan oleh Asy-Syaikh Muhammad ‘Ied Al-‘Abbaasiy :
هذه الكتب الفقهية التي كان الشيخ ناصر يدرسها لتلاميذه في دمشق :


١ - كتاب اقتضاء الصراط المستقيم - لشيخ الإسلام ابن تيمية. ٢ - فقه السنة - لسيد سابق. ٣ - منهاج الإسلام في الحكم - لمحمد أسد. ٤ - الروضة الندية في شرح الدرر البهية - للعلامة محمد صديق خان، وهو جزآن كبيران، ولقد درسناه كاملاً، بجميع أبوابه، من عبادات ومعاملات، وبيوع ونكاح، وطلاق، وقصاص، وحدود، وديات ورهن، وصرف، وبغاة، وأطعمة، وأشربة، وجهاد....إلخ. وكان أستاذنا حفظه الله - يشرح البحوث شرحا علميا محققا يكاد لا يترك مسألة صغيرة ولا كبيرة إلا يجليها ويوضح غامضها، ويعلق على ما يقرأ موافقا أو مختلفا، وهو في جميع ذلك يستند إلى أقوى الحجج وأثبت البراهين.
“Ini adalah beberapa kitab fiqhiyyah yang diajarkan oleh Asy-Syaikh Naashir kepada murid-muridnya di Damaskus :
1. Kitaab Iqtidlaa’ Ash-Shiraathil-Mustaqiim karya Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah.
2. Fiqhus-Sunnah karya Sayyid Saabiq.
3. Minhaajul-Islaam fil-Hukm karya Muhammad Asad.
4. Ar-Raudlatun-Nadiyyah fii Syarh Ad-Durarul-Bahiyyah karya Al-‘Allaamah Muhammad Shiddiiq Khaan, yang terdiri dari dua juz besar. Beliau telah mengajarkannya kepada kami secara lengkap dengan seluruh babnya, mulai dari bab ibadah, mu’amalah, jual-beli, nikah, thalaq, qishaash, huduud, diyaat, gadai, sharf, pemberontakan, makanan, minuman, jihad, dan seterusnya. Ustadz kami (Al-Albaaniy) hafidhahullah telah menjelaskan dengan satu penjelasan ilmiah yang tidak meninggalkan satu permasalahan kecil maupun besar melainkan beliau terangkan sambil menjelaskan permasalahan yang rumit yang ada padanya. Beliau memberikan komentar terhadap apa yang beliau baca, baik yang berkesesuaian ataupun yang bertentangan. Seluruh pembahasan itu selalu beliau sandarkan pada hujjah yang paling kuat dan keterangan-keterangan yang paling shahih” [Bid’ah Ta’ashub Madzhabiy oleh Muhammad ‘Ied Al-‘Abbaasiy – melalui perantaraan Hayaatul-Albaaniy oleh Muhammad bin Ibraahiim Asy-Syaibaaniy, 1/57-59; Cet. 1/1407].
Masih banyak kitab-kitab lain selain yang tersebut di atas yang diajarkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah.
Berkata Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. :
Dalam pandangan saya, kita memang tidak boleh terlalu fanatik dengan mazhab fiqih. Maksudnya, pendapat para ulama itu mungkin benar dan mungkin juga salah. Namanya juga ijtihad.
Tetapi alangkah kelirunya kalau pendapat para ulama itu kita benturkan dengan Quran dan Sunnah. Tidak akan pernah terjadi hal itu. Sebab pendapat para ulama itu justru lahir dari Quran dan Sunnah.
Pandangan Anda pada paragraf pertama sudah benar. Namun betapa ‘terkejutnya’ ketika saya membaca ‘pandangan’ Anda pada paragraf kedua; yang katanya membenturkan pendapat ulama dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu perbuatan yang keliru. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun…..
Ini namanya ngajak orang untuk taqlid !
Seharusnya orang selevel beliau ini mengajak kaum muslimin untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika kaum muslimin dihadapkan pada banyak pendapat mengenai satu permasalahan, maka pendapat-pendapat tersebut harus dibenturkan pada dua sumber tersebut. Kaum muslimin harus diajari untuk bersikap kritis. Pendapat yang berkesesuaian dengan dalil diterima, sedangkan pendapat menyelisihi dalil harus diletakkan. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
أمر الله في هذه الآية الكريمة، بأن كل شيء تنازع فيه الناس من أصول الدين وفروعه أن يرد التنازع في ذلك إلى كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم؛ لأنه تعالى قال: {مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ} [4/80]، واوضح هذا المأمور به هنا بقوله: {وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ} [42/10]، ويفهم من هذه الآية الكريمة أنه لا يجوز التحاكم إلى غير كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وقد أوضح تعالى هذا المفهوم موبخا للمتحاكمين إلى غير كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم مبينا أن الشيطان أضلهم ضلالا بعيدا عن الحق
“Pada ayat yang mulia ini Allah telah memerintahkan manusia agar ketika mereka memperselisihkan satu masalah, baik yang menyangkut pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya, hendaknya mereka mengembalikannya permasalahan tersebut kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah ta’ala berfirman : ‘Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah’ (QS. An-Nisaa’ : 80). Kemudian Allah ta’ala menjelaskan tentang sesuatu yang diperintahkan dalam ayat tersebut dengan firman-Nya : ‘Tentang sesuatu yang kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah’ (QS. Asy-Syuuraa : 10). Dari ayat yang mulia ini dapat dipahami bahwa tidak boleh mengambil satu hukum dengan mendasarkannya pada hal lain selain Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala telah menjelaskan pengertian ini sambil mencela orang-orang yang mengambil hukum dengan mendasarkannya pada hal lain selain Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallalaahu ‘alaihi wa sallam, serta menjelaskan bahwa sesungguhnya syaithan telah menyesatkan mereka dengan kesesatan yang benar-benar jauh dari kebenaran….” [Adlwaaul-Bayaan, 1/244; Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415].
Saya rasa Anda tidak asing – wahai ustadz kami – beberapa pendapat di kalangan ulama yang jelas-jelas menyelisihi dalil. Apakah tidak boleh membenturkan pendapat Al-Imam Maalik rahimahullah – misalnya - yang mengingkari puasa enam hari bulan Syawal, dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ صاَمَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun”.[5]
Apakah tidak boleh membenturkan pendapat Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah – misalnya - yang membolehkan berpuasa di hari syakk (sebelum Ramadlan) sebagai langkah kehati-hatian; dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَومِ يَومٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ يَصُومُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَومَ.
Janganlah salah seorang di antara kalian mendahulukan puasa Ramadlan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali seorang laki-laki yang biasa berpuasa, maka tidak mengapa ia berpuasa pada hari itu”. [6]
Dan yang lainnya…[7]
Kalau Anda mengatakan ‘membenturkan’ perkataan ulama dengan dalil tidak pernah terjadi (tidak boleh terjadi), maka para ulama – yang saya yakin Anda telah mengetahuinya – tidak membenarkan perkataan Anda. Al-Imam Asy-Syaafi’iy sendiri mengatakan :
ما من أحد إلا وتذهب عليه سنة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعزب عنه فمهما قلت من قول أو أصلت من أصل فيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لخلاف ما قلت فالقول ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو قولي
“Tidak boleh bagi seorang pun kecuali harus bermadzhab pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengikutinya. Apabila aku berpendapat atau membuat satu pokok, kemudian ditemukan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihinya; maka pendapat yang benar adalah apa yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan itu pun akan menjadi pendapatku juga” [Taariikh Ibnu ‘Asaakir – dinukil melalui perantaraan Shifatu Shalaatin-Nabiy, hal. 50].
Sayangnya, para pendukung Al-Albani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-Albani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik.
Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-Albani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-Albani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah. Apa pun yang dikatakan Al-Albani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak. Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.
Siapa yang Anda maksud ? Berterus-teranglah, dan jangan ‘meracau’ mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Kecuali jika Anda ingin dikatakan tidak ‘jantan’ dalam perkataan Anda ini. Kalaupun misalnya ada, orang yang mengatakannya itu termasuk orang awamnya (yang mengagumi Al-Albaaniy) atau orang ‘alimnya ? Inilah letak ketidakadilan Anda dalam menghukumi Al-Albaaniy dan orang yang Anda anggap sebagai ‘pendukung’ Al-Albaaniy.
Kalau yang Anda maksud adalah orang awamnya, maka fenomena orang awam juga tidak melulu ada di pihak Al-Albaaniy. Bukankah Anda sendiri tahu fanatisan Al-Imam Asy-Syaafi’iy (sebagaimana banyak terdapat di Nusantara dan sekitarnya), Al-Imam Abu Haniifah (sebagaimana banyak terdapat di Hindustan dan sekitarnya), Al-Imam Maalik (sebagaimana banyak terdapat di Afrika Barat dan sekitarnya), Al-Imam Ahmad (sebagaimana banyak terdapat di Saudi dan sekitarnya), sampai di era sekarang … fanatisan Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Al-Qaradlawiy, Al-Buuthiy, dan yang lainnya. [Mungkin juga Anda termasuk salah satu diantara fanatisan beberapa tokoh tersebut tanpa perlu saya sebutkan siapa – biarlah para Pembaca budiman menilainya].
Namun jika yang Anda maksud adalah murid-murid Al-Albaniy – yang mu’tabar – , kok saya tidak mendapati apa yang Anda katakan.
Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah – salah seorang murid senior beliau – berkata :
أمَّا بعد فقد سُئل مراراً عن الشيخ ناصر الدين الألباني حفظه الله.
فأقول كما قال كثير من السلف إذا سُئلوا عمن هو أجلُّ منهم قدراً فيقول أحدهم : أنا لا أُسأل عن فلان هو يسأل عني ولولا أَننا في عصر أَصبح كثير من العامة لا يميز بين العالم والمنجم، ولا بين المؤمن بالله والشيوعي الملحد بل أقبح من ذلك أنَّ بعض ذوي الأهواء من المبتدعة المعاصرين أصبحوا يطلقون الألقاب المنفِّرة على أهل السنة.
……………….
إنَّ الشيخ محمد ناصر الدين الألباني حفظه الله تعالى لا يوجد له نظير في علم الحديث، وقد نفع الله بعلمه وبكتبه أضعاف أضعاف ما يقوم به أولئـك المتحمسون للإسلام على جهل أصحاب الثورات والانقلابات.
والذي أعتقده وأدين لله به أنَّ الشيخ محمد ناصر الدين الألباني حفظه الله من المجدِّدين الذين يصدق عليهم الرسول صلى الله عليه وسلم :
((إِنَّ اللهَ يبعث لهذه الأمة على رأس كل مئة سنة من يجدِّد لها أمر دينها)). رواه أبو داود وصححه العراقي وغيره.
والناس ينقسمون في شأن الشيخ ناصر الدين الألباني حفظه الله إلى ثلاثة أقسام :
قسم يقلِّده ويتقبل كل ما جاء به.
وقسم يرفضه ويرفض علمه ويحذِّر منه.
وقسم وسط يعتبره عالماً من العلماء المسلمين مَنَّ الله على الناس به في هذا الزمان لنشر السنة وقمع البدعة ويعتقدون أنه يصيب ويخطيء ويجهل ويعلم ولكنهم معتقدون في أنه لا يوجد له نظيرٌ في علم السنة فهم يستفيدون من علمه ومن كتبه غير مولِّدين له. وهذا شأن سلفنا مع علمائهم.
.......
إذا عرفت أنَّ الشيخ حفظه الله ليس له نظيرٌ في علم السنة فما منزلته في فهم النصوص ؟ الذي أعرف عنه أنّ فهمه للنصوص كفهم كبار علمائنا المعاصرين على أني أقول كما قال الإمام مالك - رحمه الله : كلٌ يؤخذ من قوله ويترك إلا صاحب هذا القبر - يعني رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Amma ba’du, aku berulang kali ditanya tentang Asy-Syaikh Naashiruddin Al-Albaaniy hafidhahullah. Maka aku katakan sebagaimana yang dikatakan oleh sejumlah ulama salaf bila mereka ditanya tentang orang yang lebih terhormat kedudukannya dari mereka : ‘Orang seperti aku ini tidak pantas ditanya tentang Fulan. Tapi dialah yang pantas ditanya tentang diriku’. Namun disebabkan pada saat ini kebanyakan kaum muslimin tidak dapat membedakan antara ulama dengan ahli nujum, tidak dapat membedakan antara orang yang beriman kepada Allah dengan orang komunis yang atheis, bahkan lebih buruk lagi sebagian pengikut hawa nafsu dari kalangan ahli bid’ah sekarang ini memberikan julukan-julukan yang keji terhadap Ahlus-Sunnah.
…….
Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albaaniy hafidhahullahu ta’ala tidak ada tandingannya dalam ilmu hadits. Ilmu dan karya beliau memberi manfaat bagi kaum muslimin lebih banyak dari yang dihasilkan orang-orang yang punya semangat tapi jahil, yaitu para aktifis harakah Islam.
Menurut keyakinanku, Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albaaniy hafidhahullah termasuk mujaddid yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau : ‘Sesungguhnya Allah akan membangkitkan pada setiap seratus tahun seorang mujaddid yang akan memurnikan kembali ajaran agama ini’. Diriwayatkan oleh Abu Daawud dan dishahihkan oleh ‘Iraaqiy dan yang lainnya.
Dalam menyikapi Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albaaniy, manusia terbagi menjadi 3 macam :
Pertama, orang yang taqlid, menerima seluruh pendapat dan perkataan beliau.
Kedua, Orang-orang yang menolak seluruhnya, menolak ilmu beliau dan menjauhinya.
Ketiga, orang-orang yang mengambil sikap pertengahan. Memandang beliau sebagai salah seorang ulama kaum muslimin yang merupakan karunia yang Allah turunkan kepada umat manusia pada jaman sekarang ini untuk menyebarkan As-Sunnah dan memberantas bid’ah. Meyakini bahwa beliau bisa benar dan bisa juga salah, kadang tahu dan kadang tidak tahu. Akan tetapi mereka juga memandang bahwa beliau adalah seorang ‘alim yang tidak ada tandingannya dalam ilmu As-Sunnah. Mereka menimba pelajaran dari ilmu dan karya-karyanya tanpa taqlid kepada beliau. Itulah sikap salaf terhadap ulama.
……..
Apabila engkau telah mengetahui bahwa Asy-Syaikh Al-Albaaniy hafidhahullah tidak ada bandingannya dalam ilmu As-Sunnah, lantas bagaimana kedudukan beliau dalam memahami nash ? Sejauh yang aku ketahui, beliau memahami nash-nash seperti pemahaman para ulama besar yang sejaman dengan beliau. Hanya saja aku katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Maalik rahimahullah : ‘Setiap orang bisa diterima atau ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini – “ [Hayatul-Albaaniy oleh Muhammad bin Ibraahiim Asy-Syaibaaniy, 2/554-555; Cet. 1/1407].
Inilah yang diyakini oleh murid-murid beliau yang mu’tabar secara umum. Apakah ada yang salah tentang hal ini wahai Ustadz ?
Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. berkata :
Padahal kapasitas Al-Albani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih. Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya. Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits. Al-Albani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits. Al-Albani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung.
Ternyata di sinilah letak isi perkataan Anda sebenarnya. Tidak saya duga, ternyata, Ustadz Ahmad Sarwat sangat berbakat menjadi ‘pembeo’ sejati.
Jika bukan ahli tafsir, bukan ahli fiqh, dan bukan pula ahli hadits; lantas seorang Al-Albaaniy ahli di bidang apa ? Di bidang perbaikan arloji ? Atau seorang yang ‘biasa-biasa saja’ seperti Anda ?. Saya harap Anda tidak sampai mengatakan bahwa Al-Albaaniy itu tidak beda level dengan Ahmad Sarwat.
Statement seorang Ustadz Ahmad Sarwat memang tidak terlalu dibutuhkan – jika tidak boleh dikatakan ‘tidak dibutuhkan’ – dalam pengakuan keilmuan dan ketokohan Al-Albaaniy. Banyak ulama yang telah memberikan sanjungan dan pengakuan keilmuan beliau rahimahullah.
Al-‘Allamah Muhibbuddin Al-Khathiib rahimahullah pernah berkata saat memberikan pengantar kitab Aadaabuz-Zifaaf fis-Sunnatil-Muthahharah (hal. 11; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. Thn. 1409) perihal beliau :
وبعد أن تهيأت لهذه الرسالة المناسبة التي عينت موضوعها ، تهيأ لها مؤلف من دعاة السنة الذين وقفوا حياتهم على العمل لإحيائها، وهو أخونا بالغيب الشيخ أبو عبد الرحمن محمد ناصر نوح نجاتي الألباني، فوضع بين أيدي المسلمين النصوص الصحيحة والحسنة من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم في آداب الزفاف
“Aku sampaikan kata pengantar dalam kitab ini setelah aku baca isinya (ternyata sangat bagus). Sebuah kitab yang ditulis oleh salah seorang da’i sunnah yang telah mengabdikan kehidupannya untuk menghidupkan Sunnah. Dia lah saudara kami Asy-Syaikh Abu ‘Abdirrahmaan Muhammad Naashir Nuuh Najaatiy Al-Albanniy. Beliau menyuguhkan di hadapan kaum muslimin nash-nash yang shahih dan hasan dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan hubungan suami-istri…” [selesai].
Asy-Syaikh Muhammad Haamid Al-Faqiy rahimahullah pernah menyebut :
الأخ السلفي البحاثة الشيخ ناصر الدين
“Saudara Salafiy, sang pembahas ulung (al-bahaatsah), Asy-Syaikh Naashiruddin…” [Rad’ul-Jaaniy Al-Muta’addi ‘alal-Albaaniy oleh Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Awadlallaah, hal. 19; Cet. 2/1422].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah berkata :
ما رأيتُ تحت أديم السماء عالماً بالحديث في العصر الحديث مثل العلامة محمد ناصر الدين الألباني...
“Tidak pernah aku lihat di bawah kolong langit saat ini ada orang yang ‘aalim dalam bidang hadits semisal Al-‘Allaamah Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy…” [Hayaatul-Albaaniy, 1/65-66].
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah berkata :
وأنه ذو علم جم في الحديث رواية ودراية، وأن الله تعالى قد نفع فيما كتبه كثيراً من الناس من حيث العلم ومن حيث المنهاج والاتجاه إلى علم الحديث، وهذه ثمرة كبيرة للمسلمين، ولله الحمد.
“Beliau adalah seorang yang mempunyai pengetahuan luas dalam hadits, baik riwayat maupun dirayat. Dan bahwasannya Allah memberikan banyak manfaat melalui kitab yang telah ditulisnya kepada umat manusia dari sisi ilmu, manhaj, dan mengarahkan kepada ilmu hadits. Ini adalah buah karya yang besar bagi kaum muslimin. Hanya bagi Allah segala puji…” [Hayaatul-Albaaniy, 2/543 dan Rad’ul-Jaaniy, hal. 21].
dan yang lainnya…
Oleh karena itu, siapa yang Anda maksud “para ahli hadits” yang mempertanyakan kapasitas Al-Albaaniy ? Al-Ghummariy ? Abu Ghuddah ? Al-Habsyiy ? atau As-Saqqaaf ? Jikalau Anda menyebutkan namanya, tentu para Pembaca akan lebih mudah mengidentifikasi atau mengklarifikasi “ahli hadits” yang Anda maksud itu…..
Kalaupun ada misalnya ulama yang mengkritik tashhiih atau tadl’iif dari Al-Albaaniy, apakah itu selalu berkonsekuensi meragukan kredibilitas Al-Albaaniy ? Perbedaan penghukuman hadits adalah hal yang sangat biasa. Tidak mengapa seandainya Anda dan yang lainnya – wahai ustadz yang mulia – berbeda satu atau dua permasalahan, bahkan berpuluh-puluh permasalahan, dalam fiqh dan hadits dengan Al-Albaaniy.
Adapun perkataan Anda bahwa Asy-Syaikh Al-Albaaniy hanya bermodal perpustakaan tanpa ada guru dan sanad; maka bercukup-cukup dirilah untuk tidak ‘meracau’ alias nglindur orang Jawa bilang. Ketahuilah wahai ustadz yang mulia, bahwa Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah mendapatkan ijazah sanad periwayatan dari Asy-Syaikh Muhammad Raaghib Ath-Thabbakh rahimahullah. Bahkan, Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth rahimahullah memberikan kesaksian tentang hal ini.
Sedikit info tentang Asy-Syaikh Ath-Thabakh, bisa dibaca di : http://tamanulama.blogspot.com/2009/01/syeikh-raghib-ath-thabakh-guru-syeikh.html.
Jikalau Asy-Syaikh Al-Albaaniy tidak mempunyai ijazah dari beberapa gurunya, hal itu dikarenakan beliau tidak memintanya. Selain itu, keberadaan ijazah itu sendiri menurut beliau tidak begitu diperlukan pada hari ini.[8]
Kalau saya menampilkan kritik atas pendapat Al-Albani, jangan dianggap saya membenci beliau. Sebaliknya, justru karena saya menyukai beliau. Tapi kadang adik-adik kelas saya yang baru saja belajar agama, sering kali salah tanggap. Dikiranya kalau seseorang sudah mengkritik Al-Albani, seolah dianggap memusuhinya.
Bukan Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. namanya jika tidak pandai bersilat kata….. Lidah memang tak bertulang. Hanya Allah lah yang tahu ada apa sebenarnya yang tersembunyi dalam diri Ahmad Sarwat terhadap Al-Albaaniy.
Silakan baca perkataan Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. tersebut di : http://www.warnaislam.com/syariah/hadis/2009/12/4/2760/Paham_Anti_Mazhab_Ingin_Meruntuhkan_Syariah_Islam.htm. Kalau Ustadz tidak mengenal Asy-Syaikh Al-Albaaniy, ada baiknya Anda baca kitab Hayaatul-Albaaniy karya Muhammad bin Ibraahiim Asy-Syaibaaniy. Atau kitab-kitab lainnya yang berisi biografi beliau. Setelah membaca, bolehlah Anda angkat bicara. Jangan seperti kali ini yang banyak ngawur­-nya daripada benarnya.
Ini saja yang dapat saya tuliskan. Kalau bukan karena ucapan Al-Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. masuk dalam klasifikasi dusta yang layak disejajarkan dengan ‘gosip’ atas diri Asy-Syaikh Al-Albaaniy, enggan rasanya saya memberikan komentar.
[Abul-Jauzaa’ – 1431 H].
NB : Apa yang dituliskan di sini bukan untuk menyanggah buku Dr. Al-Buuthiy secara khusus. Namun di bawah akan saya bawakan dialog Asy-Syaikh Al-Albaaniy dengan Dr. Al-Buuthiy yang terjadi di kediaman rumahnya (Al-Buuthiy) dalam transkrip bahasa Inggris.
Ada baiknya, rekan-rekan juga membaca buku Al-Albaniy Dihujat karya Al-Ustadz Abu ‘Ubaidah As-Sidawiy hafidhahullah. Sebagian tulisan di sini menukil dari buku tersebut.






[1] Yaitu pertanyaan retoris yang disampaikan Sayyid Sabiq :
كيف خفي حديث جابر والبراء على الخلفاء الراشدين والجمهور الأعظم من الصحابة والتابعين"!
“Bagaimana hadits Jaabir dan Al-Barraa’ ini menjadi samar bagi Al-Khulafaa’ur-Raasyidiin, dan mayoritas shahabat dan tabi’in ?” [Tamaamul-Minnah, hal. 104].
Maksudnya, bagaimana Al-Khulafaaur-Raasyidiin dan para shahabat lainnya tidak mengetahui batalnya wudlu karena memakan daging onta jikalau itu memang membatalkan – berdasarkan hadits Jaabir dan Al-Barraa’ ?.
[2] Di antara perkataan Abu Haniifah ini adalah apa yang dinukil oleh Al-Albaaniy :
فقد جاء في "الدر المختار" "2/630" – وهو من أشهر كتب الحنفية – ما نصه: عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، والدعاء المأذون فيه، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: {وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}. ونحوه في "الفتاوى الهندية" "5/280". وقال القُدوري في كتابه الكبير في الفقه المسمى "بشرح الكرخي" في "باب الكراهة": قال بشر بن الوليد حدثنا أبو يوسف قال أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، وأكره أن يقول: بمعاقد العز من عرشك، أو بحق خلقك، وهو قول أبي يوسف، قال أبو يوسف: معقد العز من عرشه هو الله، فلا أكره هذا، وأكره أن يقول: بحق فلان، أو بحق أنبيائك ورسلك، وبحق البيت الحرام والمشعر الحرام...."
“Tercantum dalam kitab Ad-Durrul-Mukhtaar (2/630) yang merupakan salah satu kitab masyhur madzhab Hanafiyyah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya. Dan doa yang diidzinkan lagi diperintahkan-Nya adalah seperti yang tercantum dalam firman-Nya : Hanya milik Allah al-asmaaul-husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu (QS. Al-A’raaf ; 180)’. Hal yang semisal terdapat dalam Al-Fataawaa Al-Hindiyyah (5/280).
Telah berkata Al-Quduuriy dalam kitabnya yang besar dalam permasalahan fiqh Syarhul-Karkhiy, bab Al-Karahah : Telah berkata Bisyr bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuusuf, ia berkata : Telah berkata Abu Haniifah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya, dan aku membenci untuk mengatakan : Dengan kemuliaan ‘Arsy-Mu atau Dengan hak makhluk-Mu’.
Dan inilah perkataan Abu Yuusuf : Telah berkata Abu Yuusuf : ‘Jaminan kemuliaan ‘Arsy adalah Allah, oleh karena itu aku tidak membencinya. Namun aku membenci untuk mengatakan : Dengan hak si Fulaan atau Dengan hak para nabi-Mu, para Rasul-Mu, ‘Al-Baitul-Haraam, dan Al-Masy’aril-Haraam’…….” [selesai nukilan Asy-Syaikh Al-Albaaniy].
[4] Setali tiga uang dengan tuduhan Dr. Al-Buuthiy yang Al-Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. setia ber-taqlid padanya.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1164, Abu Dawud no. 2433, At-Tirmidzi no. 759, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 2/no. 2862, Ibnu Majah no. 1716, Ahmad 5/417 & 419, dan yang lainnya.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 1914 dan Muslim no. 1082.
[7] Penyelisihan sebagian pendapat/perkataan ulama terhadap nash tentu ada banyak faktor penyebab sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Raf’ul-Malaam-nya. Para ulama yang keliru dengan ijtihad-nya, maka ia dimaafkan dan baginya satu pahala sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
‏إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
“Apabila seorang hakim memutuskan satu perkara dan berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, baginya dua pahala. Namun jika ia memutuskan perkara dan berijtihad, lalu ijtihadnya itu salah, baginya satu pahala” [Muttafaqun ‘alaihi].


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.