Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



MENYOAL WANITA HAMIL DAN MENYUSUI DI BULAN RAMADHAN

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :





MELAHIRKAN DI BULAN RAMADHAN DAN TIDAK MENGQADHA SETELAH BULAN RAMADHAN KARENA ADA KEKHAWATIRAN PADA BAYI, KEMUDIAN PADA BULAN RAMADHAN SELANJUTNYA IA MELAHIRKAN LAGI

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita melahirkan di bulan Ramadhan dan setelah Ramadhan itu ia tidak mengqadha puasanya karena kekhawatirannya pada si bayi yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan pada bulan Ramadhan selanjutnya, bolehkan bagi wanita itu untuk membagikan uang sebagai pengganti puasa .?

Jawaban
Yang wajib bagi wanita ini adalah mengqadha puasanya selama hari-hari puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan walaupun puasa itu di qadha di hari-hari setelah Ramadhan yang kedua, hal itu dikarenakan ia tidak mengqadha puasa antara Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua yang disebabkan adanya suatu alasan atau udzur. Saya tidak tahu, apakah hal itu akan menyulitkannya atau tidak dalam mengqadha puasa itu di musim dingin dengan di cicil sehari demi sehari, sebenarnya jika ia menyusui maka sesungguhnya Allah akan memberi kekuatan padanya hingga puasa itu tidak mempengaruhi dirinya juga tidak memberi pengaruh kepada air susunya.

Dan hendaknya wanita itu berusaha semampu mungkin untuk mengqadha puasa Ramadhan yang telah berlalu sebelum datangnya Ramadhan yang kedua, jika hal itu tidak bisa ia lakukan maka tidak masalah baginya untuk menunda qadha puasanya itu hingga setelah Ramadhan kedua.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65]
__________________________

BAGAIMANA HUKUMNYA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI JIKA TIDAK BERPUASA PADA BULAN RAMADHAN

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh ibnu Utsaimin ditanya : Apa hukumnya bagi wanita hamil dan menyusui jika ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan .?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada siang hari Ramadhan kecuali ada udzur (halangan), jika wanita itu tidak berpuasa karena ada suatu udzur, maka wajib bagi kedua wanita itu untuk mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah tentang orang sakit.

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada akhir hari-hari yang lain"
[Al-Baqarah : 185]

Wanita menyusui dan wanita hamil ini bisa disamakan atau diartikan sebagai orang sakit, akan tetapi jika udzur kedua wanita itu karena ada rasa khawatir terhadap bayi atau janin yang dalam perut maka di samping mengqadha puasa, kedua wanita itu diharuskan memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya berupa makanan pokok, bisa berupa gandum, beras, korma atau lainnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat : Tidak ada kewajiban bagi kedua wanita itu kecuali mengqadha puasa, karena tentang memberi makan orang miskin. tidak ada dalilnya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, ini adalah madzhab Abu Hanifah dan merupakan pendapat yang kuat.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, syaikh Ibnu Utsaimin, 3/66]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
__________________________________________

BILA WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Oleh : Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Wanita yang sedang hamil atau menyusui yang khawatir pada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan, lalu karena itu ia tidak berpuasa, apa yang harus ia lakukan nantinya. Apakah ia harus mengqadha serta memberi makan pada orang miskin, atau ia harus mengqadha saja tanpa perlu memberi makan kepada orang miskin, ataukah cukup baginya untuk memberi makan tanpa perlu mengqadha puasanya ? Manakah yang benar diantara ketiga hal itu ?

Jawaban
Jika wanita hamil itu khawatir kepada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan, maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasanya saja. Statusnya saat itu adalah seperti orang yang tidak kuat untuk berpuasa atau takut akan timbulnya bahaya pada dirinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain"
[ Al-Baqarah : 185]

Begitu juga halnya wanita yang menyusui, jika ia khawatir pada dirinya bila menyusui anaknya sambil berpuasa di bulan Ramadhan, atau khawatir pada anaknya jika ia berpuasa lalu tidak dapat menyusui, maka boleh baginya berbuka, dan wajib baginya mengqadha saja.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi 14, halaman 109-110]
_________________________________________

TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN KARENA HAMIL KEMUDIAN BERPUASA SEBULAN PENUH SEBAGAI PENGGANTINYA DAN BERSEDEKAH PULA

Oleh : Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Saya hamil di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa, dan sebagai pengantinya saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah, kemudian saya hamil kedua kalinya di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa dan sebagai gantinya saya berpuasa sebulan sehari demi sehari selama dua bulan dan saya tidak bersedekah, apakah dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah .?

Jawaban
Jika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpusa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yag lain" [Al-Baqarah : 185]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
_________________________________________

BAGAIMANA HUKUMNYA WANITA HAMIL YANG TIDAK PUASA KARENA KHAWATIR TERHADAP JANINNYA

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Jika wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap janinnya, apa yang harus ia lakukan, apakah ada perbedaan antara kekhawatiran terhadap dirinya dan kekhawatiran terhadap janinnya menurut Imam Ahmad .?

Jawaban
Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah bahwa, jika seorang wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, maka ia harus mengqadha puasanya karena ia tidak berpuasa, dan bagi orang yang bertanggung jawab pada anaknya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya, karena wanita itu tidak berpuasa untuk kemaslahatan anaknya. Sebagian ulama berpendapat : Yang wajib bagi wanita hamil itu adalah mengqadha puasanya saja, baik tidak berpuasanya itu karena khawatir pada dirinya atau khawatir kepada anaknya atau khawatir kepada keduanya, dan wanita itu dikategorikan sebagai orang yang sakit, dan tidak ada kewajiban bagi wanita tersebut selain itu.

[Durus wa Fatawa al-haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/47]
__________________________________________

APAKAH HUKUM PUASA YANG DILAKUKAN OLEH WANITA HAMIL ATAU WANITA MENYUSUI

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya tentang hukum puasa yang dilakukan oleh wanita hamil dan wanita menyusui .?

Jawaban
Wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang menyusui bila berpuasa akan rentan terhadap bahaya, berbahaya bagi dirinya atau bagi anaknya, maka kedua wanita itu boleh tidak berpuasa saat hamil dan saat menyusui. Jika bahaya puasa berakibat pada bayinya saja maka wanita itu harus mengqadha puasanya serta memberi makan kepada orang miskin setiap harinya, sedangkan jika bahaya puasa berakibat pada wanita itu, maka cukup bagi wanta itu mengqadha puasanya saja, hal itu diakarenakan wanita hamil dan menyusui termasuk dalam keumuman hukum yang terdapat pada firman Allah.

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang msikin" [Al-Baqarah : 184]

[At-Tanbihat. Syaikh Al-Fauzan, halaman 37]
___________________________________________

APAKAH BERBUKA UNTUK MENOLONG ORANG LAIN BISA DIKIASKAN PADA WANITA HAMIL

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah mungkin mengkiaskan orang yang berbuka karena menolong orang lain dengan wanita hamil yang tidak puasa karena khawatir terhadap anaknya, yaitu : diharuskan baginya untuk mengqadha puasanya serta memberi makan kepada orang miskin .?

Jawaban
Ya, ia boleh berbuka untuk menolong orang lain dari kebinasaan jika hal itu dibutuhkan, yakni tidak mungkin baginya untuk menolong itu dari kebinasaan kecuali dengan berbuka pada saat demikian ia boleh berbuka dan diharuskan mengqadha puasanya.

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/141]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
__________________________________________

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Oleh : Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Istri saya belum mengqadha puasanya selama kurang lebih tiga atau empat kali Ramadhan, ia belum mampu melaksanakan puasa qadha itu karena hamil atau menyusui, dan kini ia dalam keadaan menyusui. Istri saya bertanya kepada Anda ; apakah ia bisa mendapat keringanan (rukhsah) dengan memberi makan kepada orang miskin, sebab ia menemukan kesulitan yang besar dalam mengqadha puasa sebanyak tiga atau empat kali Ramadhan .?

Jawaban
Tidak ada masalah baginya untuk menunda qadha puasanya yang disebabkan adanya kesulitan pada dirinya karena hamil atau menyusui, dan kapan ia sanggup maka hendaklah ia bersegera melaksanakan qadha puasanya, karena ia dikenakan hukum sebagai orang sakit, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain"
[Al-Baqarah : 184]

Tidak ada kewajiban memberi makan orang miskin atasnya

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, 10/221, fatwa nomor 6608]
_________________________________________

BOLEHKAH WANITA HAMIL TIDAK BERPUASA

Oleh : Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah ada rukhsah bagi wanita hamil di bulan Ramadhan untuk tidak berpuasa, jika rukhsah itu ada baginya, apakah itu berlaku pada bulan-bulan tertentu saja di masa hamil yang umumnya sembilan bulan itu, ataukah keringanan itu hanya berlaku pada masa hamil. Jika rukhsah itu ada baginya, apakah wajib qadha baginya ataukah boleh memberi makan orang miskin dan berapakah ukuran memberi makan itu ? Kemudian, karena kita tinggal di daerah yang panas, apakah puasa itu dapat berpengaruh terhadap wanita hamil .?

Jawaban
Jika seorang wanita hamil khawatir adanya bahaya terhadap dirinya atau terhadap janinnya jika ia melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasa itu, baik ia tinggal di daerah panas ataupun di daerah dingin. Hal itu tidak dibatasi pada umur kehamilan tertentu, karena ia sama kedudukannya dengan orang sakit, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebayak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 148]

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, halaman 222, fatwa nomor 7785]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 228 - 232, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
_________________________________________

PUASANYA WANITA HAMIL

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Adakah hukum tertentu bagi wanita hamil yang takut atas keselamatan dirinya atau kandungannya bila berpuasa .?

Jawaban
Wanita hamil tak luput dari kedua hal ; [1]. Wanita yang segar dan kuat berpuasa sehingga tak akan mengganggu dirinya dan kandungannya. Maka ia wajib berpuasa ; [2]. Wanita hamil yang tak sanggup berpuasa karena kandungannya atau lemah fisiknya. Maka sebaiknya tak berpuasa apalagi sampai memadaratkan bayinya. Dalam keadaan ini ia dipandang punya udzur dan wajib qadla jika udzurnya telah hilang, yakni ketika telah melahirkan dan besuci dari nifas. Namun dalam kenyataan, orang telah melahirkan mengalami banyak halangan, umpamanya masalah menyusui anaknya yang membutuhkan makan dan minum secara teratur terutama pada musim panas. Maka wanita yang menyusui hendaknya tak berpuasa agar mampu memberi ASI kepada anaknya. Setelah itu ia wajib qadla atas puasanya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa jika yang hamil atau yang sedang menyusui berbuka puasa karena takut akan keselamatan anaknya saja, tidak pada dirinya, maka ia wajib mengqadla puasanya serta memberi makan seorang miskin selama hari-hari yang ditinggalkannya. Ketentuan ini berlaku pula bagi yang berbuka karena ingin menyelamatkan orang tenggelam atau terbakar. Misalnya kita melihat terbakarnya rumah yang dihuni kaum muslimin dan hanya bisa diselamatkan dengan tenaga yang kuat, maka berbuka boleh dilakukan bahkan bisa wajib bagi penjaga kebakaran. Orang-orang seperti itu pada prinsipnya sama dengan wanita hamil yang khawatir akan keselamatan kandungannya atau bagi wanita menyusui atas anaknya. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana tak membedakan dua hal yang semakna bahkan ditetapkannya dalam satu hukum. Begitu pula Dia tak pernah menyatukan dua hal yang berbeda. Dia lah Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana. Hal itu termasuk kesempurnaan syari'at-Nya.

[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 191-194, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
_________________________________________

APA SAJA UDZUR YANG MEMBOLEHKAN ORANG BERBUKA PUASA?

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa saja udzur yang membolehkan orang berbuka puasa ?

Jawaban
Udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah : sakit, bepergian, seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an, termasuk udzur pula seorang perempuan yang hamil dan mengkhawatirkan keadaan dirinya dan janin yang dikandungnya. Termasuk udzur pula seorang perempuan yang sedang menyusui, dia khawatir kalau dia berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang disusuinya, juga saat seseorang membutuhkan untuk berbuka guna menyelamatkan orang yang diselamatkan dari kematian, misalnya dia mendapati seseorang tenggelam di laut, atau seseorang yang berada diantara tempat yang mengelilinginya yang di dalamnya ada api sehingga dia butuh –dalam penyelamatannya- untuk berbuka, maka dia diwaktu itu boleh berbuka dan menyelamatkan dirinya.

Demikian pula apabila seseorang butuh berbuka puasa untuk menguatkannya dalam jihad fisabilillah, maka sesungguhnya keadaan ini menjadi sebab kebolehan berbuka baginya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada para sahabat beliau di dalam perang Fathu Makkah.

“Sesungguhnya kalian pasti bertemu musuh besok, sedangkan berbuka puasa akan lebih menguatkan kalian, maka berbukalah kalian !”

Apabila didapatkan sebab yang membolehkan berbuka dan seseorang berbuka karenanya, maka dia tidak lagi berkewajiban menahan diri dari makan minum pada sisa harinya itu. Apabila ditetapkan bahwa seseorang boleh berbuka untuk menyelamatkan yang diselamatkan dari kematian maka dia tetap meneruskan keadaan berbuka (tidak puasa) walaupun sesudah penyelamatannya, karena dia berbuka dengan sebab dibolehkannya berbuka bagi dia sehingga tidak harus menahan diri dari makan minum ketika itu. Sebab keharaman hari itu telah hilang disebabkan kebolehan berbuka puasa.

Untuk ini kami akan mengatakan sebuah pendapat yang kuat tentang masalah ini ; bahwa seorang yang sakit walau telah sembuh di pertengahan siang sedangkan dia dalam keadaan berbuka maka dia tidak harus menahan diri lagi, seandainya seorang musafir telah datang di kampung halamannya kembali di pertengahan siang dia tidak berkewajiban menahan diri (berpuasa) lagi, kalau seorang perempuan yang haidh telah suci di pertengahan siang maka dia tidak harus berpuasa lagi di sisa harinya ; sebab mereka semuanya berbuka dengan sebab kebolehan berbuka sehingga hari itu sudah menjadi hak mereka, tidak ada lagi kewajiban puasa di dalamnya, karena adanya kebolehan syariat untuk berbuka di dalamnya sehingga mereka tidak wajib melanjutkan puasa.

Ini berbeda bila seseorang mengetahui masuknya bulan Ramadhan di pertengahan siang, maka wajib hukumnya menahan diri (tidak makan minum) seketika itu juga. Perbedaan antara keduanya cukup jelas, karena apabila bukti telah kuat di petengahan siang maka wajiblah atas mereka menahan diri di hari itu, akan tetapi mereka menjadi orang-orang yang memperoleh udzur sebelum tetapnya bukti masuknya bulan Ramadhan, dengan ketidak tahuan.

Karena inilah, seandainya mereka tahu bahwa hari ini sudah termasuk Ramadhan maka wajib atas mereka menahan diri, adapun sekelompok kaum yang lain diperbolehkan berbuka puasa berdasarkan ilmu mereka, ada perbedaan yang jelas antara mereka.



[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]


Sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=123794605683


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.