Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



MELURUSKAN PEMAHAMAN KELIRU TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Atas Tuduhan Yang Ditujukan Kepada Beliau

Oleh : Shalih bin Abdul Aziz As Sindi

Semenjak berlalunya tahun-tahun yang panjang, dalam kurun waktu yang lama, kontroversi tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah dan dakwahnya masih terus berjalan. Antara yang mendukung dan yang menentang, atau yang menuduh dan yang membela.

Yang perlu diperhatikan mengenai ucapan orang-orang yang menentang Syaikh yang melontarkan kepada beliau dengan bebagai tuduhan, bahwa perkataan mereka tak disertai dengan bukti. Apa yang mereka tuduhkan tidak mempunyai bukti dari perkataan Syaikh, atau didasarkan pada apa yang telah ditulis dalam kitabnya, tapi hanya sekedar tuduhan yang dilontarkan oleh pendahulu mereka, kemudian diikuti oleh orang setelahnya.

Saya yakin tak ada seorangpun yang berfikir obyektif kecuali dia mengakui bahwa cara terbaik untuk mengetahui fakta yang sebenarnya adalah dengan melihat kepada yang bersangkutan, kemudian mengambil informasi langsung dari apa yang telah disampaikannya.

Kitab-kitab Syaikh dapat kita temui, perkataan-perkataannya pun juga masih terjaga. Dengan mengacu kepada itu semua akan terbukti apakah isu-isu tersebut benar atau salah. Adapun tuduhan-tuduhan yang tidak disertai dengan bukti hanyalah fatamorgana yang tak ada kenyataanya.

Dalam artikel ini, berisi catatan-catatan ringan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb dengan amanah dinukil dari kitab-kitabnya yang valid. Saya telah mengumpulkannya dan yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar menyusun.

Catatan berisi jawaban-jawaban langsung dari Syaikh tehadap tuduhan-tuduhan kepada beliau yang dilancarkan oleh para penentangnya dengan jelas ditepisnya segala apa yang dituduhkan.

Saya yakin –dengan taufiq dari Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ- hal itu cukup untuk menjelaskan kebenaran bagi siapa yang benar-benar mencarinya.

Adapun yang membangkang terhadap Syaikh dan dakwahnya, senang menyebarkan kedustaaan dan kebohongan, perlu saya katakan kepada mereka : kasihanilah dirimu sesungguhnya kebenaran akan jelas, agama Allôh akan menang dan matahari yang bersinar terang tak akan bisa ditutupi dengan telapak tangan.

Inilah perkataan Syaikh menjawab tuduhan-tuduhan tersebut, kalau Anda mendapatkan perkataan Syaikh yang mendustakannya maka tampakkan dan datangkanlah jangan Anda sembunyikan…..! Namun kalau tidak –dan Anda tidak akan mendapatkannya- maka saya menasehati Anda dengan satu hal : hendaklah Anda menghadapkan diri kepada Allôh dengan menanggalkan segala hawa nafsu dan fanatisme, sembari memohon kepada-Nya untuk memperlihatkan al haq dan membimbingmu kepadanya, kemudian Anda fikirkan apa yang telah dikatakan oleh orang ini (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), apakah dia membawa sesuatu yang bukan dari firman Allôh dan sabda Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam?

Lalu fikirkan sekali lagi: apakah ada jalan keselamatan selain perkataan yang benar dan membenarkan al haq?

Bila telah tampak bagi Anda kebenaran maka kembalilah kepada akal sehat, menujulah kepada al haq, sesungguhnya hal itu lebih baik dari pada terus menerus berada dalam kebatilan, hanya kepada Allôh saja segala perkara dikembalikan.

HAKEKAT DAKWAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB

Sebagai permulaan pembahasan, akan lebih baik kalau kita menukil beberapa perkataan ringkas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah dalam menjelaskan apa yang beliau dakwahkan, jauh dari yang awan gelap propaganda yang dilancarkan para penentangnya, yang mereka menghalangi kebanyakan manusia agar jauh dari dakwah tersebut. Beliau mengatakan :

“Aku katakan –hanya bagi Allôh segala puji dan karunia dan dengan Allôh segala kekuatan- : sesungguhnya Tuhanku telah menunjukkanku ke jalan yang lurus, agama lurus agama Ibrahim yang hanif dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik. Dan aku –Alhamdulillâh-, tidak mengajak kepada madzhab salah seorang sufi, ahli fikih, filosof, atau salah satu imam-imam yang aku muliakan…..

Aku hanya mengajak kepada Allôh Yang tiada sekutu bagi-Nya, aku mengajak kepada sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang beliau menasehatkan ummatnya dari yang awal sampai yang akhir untuk selalu mengikutinya. Aku memohon semoga aku tidak menolak segala kebenaran bila telah sampai kepadaku, bahkan aku persaksikan kepada Allôh, para malaikat dan semua makhluk-Nya, siapapun diantara kalian yang menyampaikan kebenaran kepadaku, pasti akan aku terima dengan sepenuh hati, dan aku akan memukulkan ke tembok setiap perkataan para imamku yang bertentangan dengan kebenaran, kecuali Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam karena beliau tidak mengatakan kecuali kebenaran”. (Ad Durarus Saniyyah: jilid 1, hal: 37,38).

“Dan aku –segala puji hanya milik Allôh-, hanyalah mengikuti, bukan mengada-ada”. (Mu’allafât Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 5, hal: 36).

“Gambaran mengenai permasalahan yang sebenarnya adalah aku katakan : tidak ada yang boleh dipinta dengan doa kecuali Allôh saja tiada sekutu bagi-Nya, sebagaimana Allôh berfirman :

فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

"maka janganlah kamu berdoa kepada seorangpun bersamaan dengan Allôh" (Al-Jin : 18).

Allôh juga berfirman berkaitan dengan hak Nabi-Nya :

قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا

"Katakanlah : “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan-pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan”". (Al-Jin : 21)

Demikianlah firman Allôh dan apa yang disampaikan dan diwasiatkan Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam kepada kita, ….. inilah antaraku denganmu, kalau ada yang menyebutkan tentangku di luar daripada itu, maka itu adalah dusta dan kebohongan”. (Ad Durarus Saniyyah : 1/90-91).

MASALAH PERTAMA : 
I’TIQAD BELIAU TENTANG NABI SHALLÂLLÂHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb difitnah para musuhnya dengan berbagai tuduhan keji berkaitan dengan i’tiqadnya terhadap Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, tuduhan itu berupa :

Pertama : beliau tidak menyakini bahwa Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah nabi penutup.

Dikatakan demikian, padahal semua kitab-kitab beliau penuh berisi tentang bantahan terhadap syubhat itu. Berikut ini menunjukkan kebohongan tuduhan tersebut, diantaranya dalam perkataan beliau :

“Aku beriman bahwa Nabi kita Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah penutup para nabi dan rasul. Tidak akan sah iman seorang hamba pun sampai dia beriman dengan diutusnya beliau serta bersaksi akan kenabiannya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 32)

“Makhluk paling beruntung, paling agung kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah yang paling tinggi dalam mengikuti dan mencocoki beliau (Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam) dalam ilmu dan amalannya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:32)

Kedua : Dia telah menghancurkan hak Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, tidak meletakkan beliau pada kedudukannya yang pantas.

Untuk melihat hakikat beliau sebagai tertuduh, saya nukilkan sebagian perkataan yang telah beliau tegaskan berkaitan dengan apa yang diyakini tentang hak Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, beliau berkata :

“Tatkala Allôh berkehendak menampakkan tauhid dan kesempurnaan agama-Nya, agar kalimat-Nya tinggi dan seruan orang-orang kafir adalah rendah, Allôh mengutus Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam sebagai penutup para nabi dan kekasih Tuhan semesta alam. Beliau terus menerus dikenal dalam setiap generasi, bahkan dalam Taurat dan Injil telah disebutkan, sampai akhirnya Allôh mengeluarkan mutiara itu, antara Bani Kinanah dengan Bani Zuhrah. Maka Allôh mengutusnya pada saat terhentinya pengutusan para rasul, lalu menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Beliau mempunyai tanda-tanda dan petunjuk tentang kebenaran kenabian sebelum diangkat menjadi nabi, yang tanda-tanda tersebut tidak terkalahkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya. Allôh membesarkan beliau dengan baik, mempunyai kehormatan tertinggi pada kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling mulia, paling lembut dan paling benar dalam berucap, akhirnya kaumnya memberikan julukan dengan Al Amîn, karena Allôh telah menciptakan pada beliau keadaan-keadaan bagus dan budi pekerti yang diridhai-Nya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 90-91).

“Dan beliau adalah pemimpin para pemberi syafa’at, pemilik Al Maqômul Mahmūd (kedudukan hamba yang paling mulia di hari kiamat), sedang Nabi Adam ‘Alaihis Salâm dan orang-orang sesudahnya akan berada di bawah panjinya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 86).

“Utusan yang pertama adalah Nabi Nuh ‘Alaihis Salâm dan yang paling akhir serta paling mulia adalah Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam“. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:143)

“Beliau telah menyampaikan penjelasan dengan cara terbaik dan paling sempurna, manusia yang paling menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba Allôh, belas kasih terhadap orang-orang yang beriman, telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad di jalan Allôh dengan sebenar-benarnya jihad dan terus menerus menyembah Allôh sampai beliau wafat. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:21).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah juga mengambil kesimpulan dari sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :

“Tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kamu sampai aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya dan semua manusia”.

Beliau mengatakan :

“Kewajiban mencintai Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam melebihi cinta terhadap diri sendiri, keluarga maupun harta”. (Kitabut Tauhid, hal : 108).

Ketiga : mengingkari syafâ’at Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Syaikh berkenan menjawab syubhat ini, beliau mengatakan :

“Mereka menyangka bahwa kami mengingkari syafâ’at Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam? Maha suci Engkau Allôh, ini sungguh ini adalah dusta yang besar. Kami mempersaksikan kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ bahwa Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah pemberi syafâ’at dan diberi kekuasaan oleh Allôh untuk memberi syafâ’at, pemilik Al-Maqômul Mahmūd. Kita meminta kepada Allôh Yang Maha Mulia, Tuhan Arsy yang agung untuk memberikan syafâ’at kepada beliau untuk kita, dan mengumpulkan kita di bawah panjinya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 63-64)

Syaikh telah menjelaskan sebab penyebaran propaganda dusta ini, beliau berkata:

“Mereka itu ketika aku sebutkan apa yang telah disebutkan Allôh dan Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam serta semua ulama dari semua kelompok, tentang perintah untuk ikhlâsh beribadah kepada Allôh, melarang dari menyerupakan diri dengan Ahlul Kitab sebelum kita yang mereka itu menjadikan ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allôh, mereka mengatakan : kamu merendahkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali!”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal: 50)

MASALAH KEDUA : TENTANG AHLUL BAIT

Termasuk tuduhan yang diarahkan kepada Syaikh : beliau tidak mencintai Ahlul Bait Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan menghancurkan hak mereka.

Jawaban atas pernyataan ini :
Apa yang dikatakan itu bertentangan dengan kenyataan, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah mengakui akan hak mereka untuk dicintai dan dimuliakan. Beliau konsisten dengan hal ini bahkan mengingkari orang yang tidak seperti itu. Beliau rahimahullah berkata :

“Allôh telah mewajibkan kepada manusia berkaitan dengan hak-hak terhadap ahlul bait. Tidak boleh bagi seorang muslim menjatuhkan hak-hak mereka dengan mengira ini termasuk tauhid, padahal hal itu adalah perbuatan yang berlebih-lebihan. Kita tidak mengingkari kecuali apa yang mereka lakukan berupa penghormatan terhadap ahlul bait disertai dengan keyakinan mereka pantas untuk disembah, atau penghormatan terhadap mereka yang mengaku dirinya pantas disembah”. (Mu’allâfat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 5, hal:284)

Dan bagi siapa saja yang mau memperhatikan biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb akan membuktikan apa yang telah dia katakan. Cukuplah diketahui beliau telah menamai enam dari tujuh putranya dengan nama para ahlul bait yang mulia –semoga Allôh merahmati mereka. Keenam putra itu adalah : Alî, Abdullâh, Husain, Hasan, Ibrâhîm dan Fâthimah. Ini merupakan bukti yang jelas menunjukkan betapa besar kecintaan dan penghargaannya terhadap ahlul bait.

MASALAH KETIGA : KAROMAH PARA WALI

Beredar isu di kalangan orang bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb mengingkari karomah para wali.

Menepis kebohongan ini, di beberapa tempat Syaikh rahimahullah telah merumuskan aqidah beliau yang tegas berkaitan dengan masalah ini, berbeda jauh dengan apa yang selama ini tersebar. Diantaranya terdapat di dalam sebuah perkataannya tatkala beliau menerangkan tentang akidah beliau :

“Dan aku meyakini tentang karomah para wali”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)

Bagaimana mungkin beliau dituduh dengan tuduhan tersebut, padahal dia mengatakan bahwa orang yang mengingkari karomah para wali adalah ahli bid’ah dan kesesatan, beliau berkata:

“Dan tidak ada seorangpun mengingkari karomah para wali kecuali dia adalah ahli bid’ah dan kesesatan”. Mu’allâfat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 1, hal: 169)

MASALAH KEEMPAT : TAKFIR

Termasuk perkara terbesar yang disebarkan berkenaan dengan Syaikh dan orang-orang yang mencintainya adalah dikatakan mengkafirkan khalayak kaum muslimin dan pernikahan kaum muslimin tidak sah kecuali kelompoknya atau yang hijrah kepadanya.

Syaikh telah menepis syubhat ini di beberapa tempat, diantara pada perkataan beliau :

“Pendapat orang bahwa saya mengkafirkan secara umum adalah termasuk kedustaan para musuh yang menghalangi manusia dari agama ini, kita katakan : Maha Suci Engkau Allôh, ini adalah kedustaan besar”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 100)

“Mereka menisbatkan kepada kami berbagai macam kedustaan, fitnah pun semakin besar dengan mengerahkan terhadap mereka pasukan syetan yang berkuda maupun yang berjalan kaki. Mereka menebarkan berita bohong yang seorang yang masih mempunyai akal merasa malu untuk sekedar menceritakannya apalagi sampai tertipu. Diantaranya apa yang mereka katakan bahwa aku mengkafirkan semua manusia kecuali yang mengikutiku dan pernikahan mereka tidak sah. Sungguh suatu keanehan, bagaimana mungkin perkataan ini bisa masuk kedalam pikiran orang waras. Dan apakah seorang muslim akan mengatakan seperti ini? Aku berlepas diri kepada Allôh dari perkataan ini, yang tidak bersumber kecuali dari orang yang berpikiran rusak dan hilang kesadarannya. Semoga Allôh memerangi orang-orang yang mempunyai maksud-maksud yang batil”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal 80)

“Aku hanya mengkafirkan orang yang telah mengetahui agama Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam kemudian setelah dia mengetahuinya lantas mengejeknya, melarang manusia dari memeluk agama tersebut dan memusuhi orang yang berpegang dengannya. Tetapi kebanyakan umat –alhamdulillâh- tidaklah seperti itu”. (Ad Durarus Saniyyah : 1/73)

MASALAH KELIMA : ALIRAN KHAWARIJ

Sebagian orang ada yang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb bahwa dia berada di atas aliran khawarij yang mengkafirkan manusia hanya karena kemaksiatan biasa.

Untuk menjawabnya kita ambil dari redaksi perkataan Syaikh rahimahullah sendiri. Beliau rahimahullah berkata :

“Aku tidak pernah mempersaksikan seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia masuk surga atau masuk neraka kecuali orang yang telah dipersaksikan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Akan tetapi aku mengharapkan kebaikan bagi orang yang berbuat baik, dan mengkhawatirkan orang yang berbuat jahat. Aku tidak mengkafirkan seorang dari kaum muslimin pun hanya karena dosa biasa dan aku tak mengeluarkannya dari agama Islam”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:32)

MASALAH KEENAM : TAJSIM

Termasuk yang digembar-gemborkan juga tentang Syaikh adalah beliau dianggap mujassim, yaitu menyerupakan sifat-sifat Allôh dengan sifat-sifat makhluk.

Beliau telah menerangkan keyakinan tentang masalah ini dan sungguh sangat jauh dengan apa yang telah dituduhkan padanya, beliau berkata :

“Termasuk beriman kepada Allôh adalah: beriman dengan apa yang Allôh sifati terhadap Dzat-Nya di dalam kitab-Nya, atau melalui sabda Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, tanpa adanya tahrif (merubah teks maupun makna dari nash aslinya) ataupun ta’thil (menafikan sebagian atau semua sifat-sifat Allôh yang telah Allôh tetapkan terhadap diri-Nya), bahkan aku beri’tikad bahwa tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka aku tidak menafikan dari Allôh sifat yang telah Dia tetapkan terhadap diri-Nya, aku tidak merubah perkataan Allôh dari tempat-tempatnya, aku tidak menyimpang dari kebenaran dalam nama dan sifat-sifat Allôh. Aku tidak menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat-sifat Allôh dan juga tidak menyamakannya dengan sifat-sifat makhluk, karena Dia Maha Suci, tiada yang menyamai, tiada yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan dan tidak pantas diukur dengan makhluk-Nya. Karena Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ Yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang yang selain-Nya. Dzat Yang paling benar firman-Nya dan paling bagus dalam perkataan-Nya. Allôh menyucikan diri-Nya dari dari apa yang dikatakan oleh para penentang yaitu ahli takyif (menggambarkan hakikat sifat-sifat Allôh) maupun ahli tamtsil (menyerupakan Allôh dengan makhluk-Nya). Juga mensucikan diri-Nya dari pengingkaran ahli tahrif maupun ahli ta’thil, maka Dia berfirman :

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allôh Tuhan seru sekalian alam".
(Q.S. As Shâffât : 180-182) (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:29)

“Dan sudah dimaklumi bahwa ta’thil adalah lawan dari tajsim, ahli ta’thil adalah musuh ahli tajsim, sedang yang haq adalah yang berada di antara keduanya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 11, hal:3)

MASALAH KETUJUH : MENYELISIHI PARA ULAMA

Sebagian manusia mengatakan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb telah menyelisihi semua ulama dalam dakwahnya, tidak melihat kepada perkataan mereka, tidak mengacu kepada kitab-kitab mereka dan beliau membawa barang baru serta membuat madzhab kelima.

Orang yang paling bagus dalam menjelaskan bagaimana hakikatnya adalah beliau sendiri. Beliau berkata :

“Kami mengikuti Kitab dan Sunnah serta mengikuti para pendahulu yang shalih dari umat ini dan mengikuti apa yang menjadi sandaran perkataan para imam yang empat : Abu Hanîfah Nu’man bin Tsâbit, Mâlik bin Anas, Muhammad bin Idrîs (As Syâfi’î) dan Ahmad bin Hanbal semoga Allôh merahmati mereka”. (Muallafât asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb, jilid 5, hal: 96)

“Bila kalian mendengar aku berfatwa dengan sesuatu yang dengannya aku keluar dari kesepakatan (ijma’) ulama, sampaikan perkataan itu kepadaku”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 53)

“Bila kalian menyangka bahwa para ulama bertentangan dengan apa yang aku jalani, inilah kitab-kitab mereka ada di depan kita”. (Ad Durarus Saniyyah jilid 2, hal: 58)

“Aku membantah seorang bermadzhab Hanafi dengan perkataan ulama-ulama akhir dari madzhab Hanafi, demikian juga penganut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, semua saya bantah hanya dengan perkataan ulama-ulama muta`âkhirin yang menjadi rujukan dalam madzhab mereka”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:82)

“Secara global yang saya ingkari adalah : keyakinan terhadap selain Allôh dengan keyakinan yang tidak pantas bagi selain Allôh. Bila Anda dapati aku mengatakan sesuatu dari diriku sendiri, maka buanglah. Atau dari kitab yang kutemukan sedang disepakati untuk tidak diamalkan, buanglah. Atau saya menukil dari ahli madzhabku saja, buanglah. Namun bila aku mengatakannya berdasarkan kepada perintah Allôh dan Rasul-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam atau berdasarkan ijma’ ulama dari segala madzhab, maka tidaklah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allôh dan hari akhir berpaling darinya hanya karena mengikuti seorang ahli di zamannya atau ahli daerahnya, atau hanya karena kebanyakan manusia di zamannya berpaling darinya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:76)

PENUTUP

Sebagai penutup, disini ada dua nasehat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb :

Pertama : bagi orang yang berusaha menentang dakwah ini berikut semua pengikutnya, serta mengajak manusia untuk menentangnya lalu melontarkan beraneka ragam tuduhan dan kebathilan. Bagi mereka Syaikh berkata :

“Saya katakan bagi yang menentangku, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi semua manusia untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam terhadap umatnya. Aku katakan kepada mereka : kitab-kitab itu ada pada kalian, perhatikanlah kandungannya, jangan kalian mengambil perkataanku sedikitpun. Hanya saja apabila kalian telah mengerti sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam kitab-kitabmu itu maka ikutilah meskipun berbeda dengan kebanyakan manusia… Janganlah kalian mentaatiku, dan jangan mentaati kecuali perintah Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang ada di dalam kitab-kitab kalian… Ketahuilah tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali mengikuti Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Dunia akan berakhir, namun surga dan neraka jangan sampai ada orang berakal yang melupakannya”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal:89-90)

“Aku mengajak orang yang menyelisihiku kepada empat perkara : kepada Kitabullah, kepada sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, atau kepada ijma’ kesepakatan ahli ilmu. Apabila masih membangkang aku mengajaknya untuk mubâhalah (mendoakan laknat bagi yang berdusta)“. (Ad Durarus Saniyyah : 1/55)

Kedua : bagi yang masih bimbang. Syaikh berkata :

“Hendaklah Anda banyak merendah dan mengiba kepada Allôh, khususnya pada waktu-waktu yang mustajâb, seperti pada akhir malam, di akhir-akhir shalat dan setelah adzan. Juga perbanyaklah membaca doa-doa yang diajarkan Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, khususnya doa yang tercantum dalam As Shahih bahwa Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam berdoa dengan mengucap :

"Wahai Allôh Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Engkaulah Yang Memutuskan hukum diantara hamba-hamba-Mu yang berselisih, tunjukkanlah kepadaku mana yang haq diantara yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Menunjukkan ke jalan yang lurus bagi siapa yang Engkau kehendaki".

Hendaklah Anda melantunkan doa ini dengan sangat mengharap kepada Dzat Yang Mengabulkan doa orang kesulitan yang berdoa kepada-Nya, dan Yang telah Menunjukkan Ibrahim ‘Alaihis Salâm disaat semua manusia menentangnya. Katakanlah : “Wahai Yang telah mengajari Ibrahim, ajarilah aku”. Apabila Anda merasa berat dikarenakan manusia menyelisihimu, pikirkanlah firman Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ :

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ) إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allôh.". (Q.S. Al Jâtsiyah : 18-19)

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allôh". (Q.S. Al An’âm : 118)

Ingatlah sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dalam As Shahih : “Agama Islam bermula dari keadaan asing dan akan kembali dianggap asing seperti saat bermulanya”.

Juga sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya Allôh tidak mengambil ilmu …. Sampai akhir hadits)[1], juga sabda beliau : “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku”, juga sabdanya : “Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah kesesatan”. (Ad Durarus Saniyyah, jilid 1, hal: 42-43)

“Jika telah jelas bagimu bahwa ini adalah al haq yang tidak diragukan lagi, dan sudah merupakan kewajiban untuk menyebarkan al haq itu serta mengajarkannya kepada para wanita maupun pria, maka semoga Allôh merahmati orang yang menunaikan kewajiban itu dan bertaubat kepada Allôh serta mengakui al haq itu pada dirinya. Sesungguhnya orang yang telah bertaubat dari dosanya seperti orang yang tak mempunyai dosa sama sekali. Semoga Allôh menunjukkan kami dan Anda sekalian dan semua saudara-saudara kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam…” (Ad Durarus Saniyyah, jilid 2, hal:43)2.

Dialihbahasakan oleh al-Ustâdz Muhammad Hâmid ’Alwî (Da’i Islamic Center dan Musyrif Forum Salafyoun.com untuk Indonesia Corner) dari Makalah yang berjudul Tashhîh Mafâhum Khâthi’ah.

( Sumber : http://abusalma.wordpress.com/ )
_________
FooteNote
[1] Lengkapnya adalah: “Sesungguhnya Allôh tidak akan mencabut ilmu dari dada manusia secara serta merta, akan tetapi mencabutnya dengan memwafatkan para ulama. Sampai apabila tidak menyisakan seorang yang alim, manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka ditanya dan menjawab tanpa ilmu maka mereka tersesat dan menyesatkan manusia” (HR. Bukhari Muslim).


Sumber : Catatan Al Akh Abu Umamah Hamdani Sahab
http://www.facebook.com/note.php?note_id=409707892612


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.