Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



ORANG YANG MENGGENGGAM BARA API

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : ,

Sudah di lihat :



Oleh : Muhammad Afifuddin

Dari Abi Tsa’labah, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Beramar ma'ruf dan nahi mungkarlah kalian sehingga (sampai) kalian melihat kebakhilan sebagai perkara yang dita'ati, hawa nafsu sebagai perkara yang diikuti; dan dunia (kemewahan) sebagai perkara yang diagungkan (setiap orang mengatakan dirinya di atas agama Islam dengan dasar hawa nafsunya masing-masing)."
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan :
"Dan Islam bertentangan dengan apa yang mereka sandarkan padanya), setiap orang merasa ta'jub dengan akal pemikirannya masing-masing, maka peliharalah diri-diri kalian (tetaplah di atas diri-diri kalian) dan tinggalkanlah orang-orang awam karena sesungguhnya pada hari itu adalah hari yang penuh dengan kesabaran (hari dimana seseorang yang sabar menjalankan al haq dia akan mendapatkan pahala yang besar dan berlipat)."
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan :
"Seseorang yang bersabar pada hari itu seperti seseorang yang memegang sesuatu di atas bara api, seseorang yang beramal pada hari itu sama pahalanya dengan 50 orang yang beramal sepertinya."

"Seseorang bertanya kepada Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam yang artinya: "Ya Rasulullah, pahala 50 orang dari mereka?" Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam berkata: "Pahala 50 orang dari kalian (para Sahabat Rasulullah ‘alaihisshalaatu wasallam rådhiyallåhu 'anhum jami'an)" [SHAHIH. HR.Abu Daud: 4341, At Tirmizi: 3058, dan dihasankan olehnya; Ibnu Majah: 4014, An Nasai dalam kitab Al Kubro: 9/137-Tuhfatul Asyrof, Ibnu Hibban: 1850-Mawarid, Abu Nuaim dalam Hilyatul Aulia: 2/30, Al Hakim: 4/322-dishohihkan dan disetujui oleh Adz Dzahabi, Ath Thahawi dalam Misykalul Atsar: 2/64-65, Al Baghowi dalam Syarhu Sunnah: 14/347-348 dan dalam Ma'alimul Tanzil: 2/72-73, Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jamiul Bayan: 7/63, Ibnu Wadloh Al Qurtubi dalam Al bida'u wa nahyuanha: 71, 76-77; Ibnu Abi Dunya dalam Ash Shobr: 42/1} Hadits Tsabit dari Rasulullah dengan syawahidnya (jalan lainnya).]


Di dalam hadits Abi Tsa’labah ini ditegaskan bahwa di akhir jaman nanti akan ada hari-hari yang pada saat itu pahala sabar akan dilipatgandakan dan orang yang sabar pada hari itu seperti orang yang menggenggam bara api. Siapakah orang yang menggenggam bara api tersebut?

Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Mereka adalah orang-orang yang belajar syariat agama ini dengan benar dengan mengamalkannya kemudian mendakwahkannya. Mereka bukan orang-orang hizbiyyah yang memecah belah umat dan mengotori fikrah dan pemahaman mereka dan mengaburkan al haq serta menghiasi al bathil dengan al haq. Mereka tidak mempunyai nama atau ciri-ciri khusus atau organisasi-organisasi khusus yang dijadikan sebagai tanda untuk mengenali mereka. Kalau mereka ditanya tentang siapakah guru mereka, mereka akan menjawab : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kalau ditanya tentang jalan hidupnya, mereka akan menjawab : “Ittiba’ (mengikuti sunnah-sunnah) Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kalau ditanya tentang madzhabnya, mereka akan menjawab : “Tahkimus Sunnah (berhukum dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Kalau ditanya tentang pakaiannya, mereka menjawab : “Libasut Taqwa (pakaian ketaqwaan).” Kalau ditanya tentang maksud dan tujuannya, mereka akan menjawab : “Kami menginginkan wajah Allah.” Kalau ditanya tentang nasabnya, mereka menjawab : “Bapak kami adalah Islam, kami tidak mempunyai bapak selainnya.” Dan kalau ditanya tentang ikatan hatinya, mereka menjawab :

“Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada waktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat … .” (QS. An Nur : 36-37)

Mereka adalah satu golongan yang sangat minim jumlahnya. Mereka asing di antara 72 golongan yang mempunyai banyak pengikut, kedudukan, dan wilayah. Mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas ittiba’ kepada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sehingga mereka asing di antara sekian banyak orang yang berjalan di atas kebid’ahan, hawa nafsu, khurafat, dan syubhat-syubhat. Mereka adalah orang asing dalam agamanya di antara sekian banyak orang yang rusak agamanya. Mereka asing di dalam berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di antara sekian banyak orang yang berpegang teguh dengan kebid’ahan-kebid’ahan dan hawa nafsu-hawa nafsu. Mereka asing di dalam keyakinannya di antara sekian banyak orang yang kotor keyakinannya. Mereka asing di dalam jalan hidupnya di antara sekian banyak orang sesat dan tidak tahu arah jalan hidupnya. Walhasil, mereka adalah orang-orang yang asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, tidak mempunyai bala bantuan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, orang-orang berilmu di antara orang-orang yang bodoh, Ahlus Sunnah di antara ahlul bid’ah, da’i yang menyeru umat ke jalan Allah dan Rasul-Nya di antara da’i-da’i yang menyeru umat kepada pintu-pintu neraka jahanam, dan mereka adalah orang-orang yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di antara umat yang menganggap ma’ruf adalah munkar dan munkar adalah perkara yang ma’ruf. (Madarijus Salihin 3/198-200, lihat pula Al Qabidluna ‘Alal Jamr halaman 44-49)

Mereka itulah orang-orang yang menggenggam bara api. Pahala amal dan kesabaran mereka dilipatgandakan oleh Allah karena mereka tetap istiqamah di atas al haq walaupun banyak rintangan dan tantangan yang mempertaruhkan nyawa. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua tetap istiqamah di atas al haq dan dikaruniai kesabaran oleh-Nya untuk menghadapi rintangan dan tantangan yang mempertaruhkan nyawa sampai kita berjumpa dengan Allah di dalam sebaik-baik keadaan (husnul khatimah). Amin.

Dengan demikian jelaslah bahwa ayat di atas (Al Maidah : 105) menegaskan kepada kita akan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar sampai tiba waktu di saat amar ma’ruf nahi munkar tidak berguna lagi. Maka yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana syariat Islam mengajarkan kepada umatnya dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah masalah yang sangat besar dan agung, merupakan inti syariat yang dibawa para Nabi secara umum dan Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam secara khusus dan inilah ciri-ciri dan sifat yang menjadikan umat ini sebagai umat terbaik dan pilihan[2] dan ini pula ciri-ciri kaum Mukminin[3]. Kalau sampai masalah ini ditiadakan atau dikaburkan pengertiannya niscaya agama ini akan hancur, timbul kerusakan-kerusakan, kehancuran-kehancuran, dan akan rusaklah dunia ini[4].

Amar ma’ruf nahi munkar adalah tonggak agama dan inti dari semua syariat Islam. Kalau ada perkara munkar yang dibiarkan padahal ada kemampuan untuk mencegahnya, niscaya adzab Allah akan merata dan mengenai semuanya baik orang shalih maupun orang thalih. Maka sudah menjadi suatu keharusan bagi setiap Muslim yang ingin mendapatkan ridha dari Allah untuk betul-betul memperhatikan masalah yang besar ini[5].

Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu kifayah, kalau sudah ada yang menunaikan maka gugurlah kewajiban yang lain, Allah berfirman :

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada kebajikan, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran : 104)

Maksud dari ayat ini adalah hendaknya ada segolongan dari umat ini yang menunaikan dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar[6].

Abu Bakar Ibnul Arabi dalam tafsirnya mengatakan : “Ayat ini dan yang sesudahnya (Ali Imran : 110) merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah dan termasuk amar ma’ruf nahi munkar adalah menolong dan membela agama ini dengan menegakkan hujah kepada orang-orang yang menyimpang darinya.” (Ahkamul Qur’an 1/292)

Akan tetapi kewajiban ini dapat berubah menjadi fardhu ‘ain kalau kita melihat kemungkaran di suatu tempat dan tidak ada yang mampu untuk mencegahnya selain kita[7]. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia rubah (cegah) dengan tangannya, kalau tidak mampu dengan lisannya, kalau tidak mampu juga maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim nomor 49 1/224 dengan syarah An Nawawi)

Hadits ini menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar bagi setiap individu yang mempunyai kemampuan untuk mencegah atau melihatnya. (Qawaid wal Fawaid halaman 228)

Orang-orang yang menunaikan amar ma’ruf nahi munkar harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Mukallaf (telah dibebani syariat), Muslim, dan mampu untuk mencegah kemungkaran. Syarat ini adalah syarat wajibnya pengingkaran, adapun anak kecil yang mumayiz boleh mencegah kemungkaran dan diberi pahala. Kalau dia menunaikan, tetapi hal ini tidak wajib atasnya.

2. Mengetahui tempat-tempat atau batasan-batasan di mana dia harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan batasan yang dimaksud di sini adalah batasan syariat.

3. Mempunyai sikap wara’.

4. Berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia, karena dengan ini, orang akan mudah menerima nasehatnya dan kemungkinan juga mudah mencegah. Oleh karena itu Sufyan Ats Tsauri mengatakan : “Tidak boleh ber-amar ma’ruf nahi munkar kecuali orang yang mempunyai tiga sifat, yaitu :

a. Lemah lembut dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.

b. Adil dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.

c. Mengilmui apa yang dia perintahkan dan yang dia cegah.”

Imam Ahmad berkata : “Dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar orang membutuhkan kelembutan dan ke-tawadlu’-an. Kalau orang-orang yang berbuat kemungkaran mengucapkan yang dia benci, dia tidak marah. Beliau juga mengatakan : “Orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar hendaklah lemah lembut dan tidak kasar, kecuali kepada orang yang terang-terangan melakukan kefasikan.” (Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidin 105 dan 120 dan Iqadhul Himam 466)

Kemudian dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar ini ada beberapa faktor pendorong yang harus diketahui oleh setiap orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar. Di antaranya adalah :

1. Mencari pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena orang yang menunjukkan orang lain kepada kebajikan, pahalanya seperti orang yang melakukannya. Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Barangsiapa yang menunjukkan orang kepada kebajikan, maka pahalanya seperti orang yang melakukan (kebajikan). (HR. Muslim 4/557 dengan syarah An Nawawi)

2. Takut adzab Allah, karena kemungkaran kalau sudah merajalela di tengah umat dan tidak ada yang mencegahnya, maka hal ini merupakan tanda akan diturunkannya adzab oleh Allah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya : “Sesungguhnya manusia kalau melihat orang berbuat dhalim dan tidak mencegahnya niscaya Allah akan ratakan mereka dengan adzab.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, lihat Shahihul Jami’ 1969)

3. Menasehati umat, menyayangi mereka, dan berharap supaya mereka selamat dari kesesatan dan api neraka.

4. Mengagungkan, memuliakan, dan cinta kepada Allah. (Qawaid wal Fawaid 291-292)

Di dalam mengingkari kemungkaran ada beberapa tingkatan yang dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sabdanya :

“Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia rubah (cegah) dengan tangannya, kalau tidak mampu dengan lisannya, kalau tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim nomor 49)

Di dalam hadits ini dijelaskan adanya tiga tingkatan dalam mengingkari kemungkaran, yaitu dengan tangan, lisan, dan hati. Maka mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu wajib menurut kadar kemampuan. Tapi kalau mengingkarinya dengan hati itu harus dan wajib, karena hati yang tidak mengetahui perkara ma’ruf dan tidak mengingkari perkara munkar adalah hati yang rusak dan tidak ada cahaya keimanan sedikitpun. Ibnu Mas’ud pernah mendengar seseorang berkata : “Celaka orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar.” Maka beliau berkata : “Celaka orang yang hatinya tidak mengetahui perkara ma’ruf dan perkara munkar.” Maksudnya adalah mengetahui yang ma’ruf dan yang munkar dengan hati adalah perkara yang wajib dan harus, tidak gugur kewajibannya bagi seorangpun. (Qawaid wal Fawaid 289 dan lihat pula Iqadlul Himam 456-457)

Dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang melakukannya, antara lain :

1. Dia harus menjadi seorang tauladan yang diikuti, berarti sebelum dia memerintahkan yang ma’ruf, dia adalah orang pertama yang mengerjakannya dan sebelum dia melarang dari kemungkaran, dia adalah orang pertama yang menjauhi dan meninggalkannya, sehingga amar ma’ruf nahi munkar-nya mudah diterima. Tetapi hal ini bukan berarti bahwa orang yang kurang dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya boleh untuk meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

2. Dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar harus memperhatikan batasan-batasan syariat dan membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup, kelembutan, kesabaran, dan niat yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.

3. Jangan sampai amar ma’ruf nahi munkar-nya membawa kepada mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dari kemungkaran itu. (Lihat Al Qabidluna ‘Alal Jamr 40-41, Qawaid wal Fawaid 293, dan Adlwa’ul Bayan 2/172)

Dengan demikian jelaslah bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah perkara yang agung dan besar, maka wajib bagi setiap Muslim untuk betul-betul memperhatikannya dan melaksanakannya di manapun dan kapanpun. Maka termasuk dari amar ma’ruf adalah memerintahkan kaum Muslimin untuk mempelajari agama ini dengan benar dengan standar Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Sebaliknya menjauhkan kaum Muslimin dari ilmu dan ulama atau mengkaburkan al haq bagi mereka adalah perbuatan munkar yang harus dicegah.

Dan termasuk nahi munkar adalah memperingatkan kaum Muslimin dari kebejatan bid’ah dan ahli bid’ah, memperingatkan mereka dari harakah-harakah yang menyimpang dari jalan al haq dan memperingatkan mereka dari buku ahlul bid’ah yang menyesatkan dan yang mengotori pikiran-pikiran mereka, agar mereka tetap di atas manhaj yang haq dan tidak bingung dalam mensikapi kebathilan.

_________
FooteNote
[1] Lihat takhrijnya di hadits serupa setelah ini.
[2] Ali Imran : 10.
[3] At Taubah : 71.
[4] Mukhtashar Minhajul Qasidin 114.
[5] Syarah Muslim 1/226.
[6] Tafsir Ibnu Katsir 1/398.
[7] Syarah Muslim 1/225.

Maraji’/Daftar Pustaka :
1. Tafsir Jami’ul Bayan. Ibnu Jarir At Thabari.
2. Tafsir li Ahkamil Qur’an. Imam Al Qurthubi.
3. Tafsir Ibnu Katsir. Abul Fida Ibnu Katsir Ad Dimasyqi.
4. Ahkamul Qur’an. Abu Bakar Ibnul Arabi.
5. Daqaiqut Tafsir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
6. Adlwa’ul Bayan. Syaikh Muhammad Amin As Syinqithi.
7. Majmu’ Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
8. Syarah Shahih Muslim. Imam An Nawawi.
9. Madarijus Salihin. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah.
10. Mukhtashar Minhajul Qasidin. Ibnu Qudamah Al Maqdisi.
11. Iqadhul Himam. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali.
12. Al Qabidluna ‘Alal Jamr. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali.
13. Qawaid wal Fawaid. Syaikh Fadhim Muhammad Sulthan.

Sumber: Maktabah As Sunnah


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.