Oleh : Buletin Islam Al Ilmu Edisi 12/XII/1424
Salah satu prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah memberikan sikap loyalitas (cinta) kepada siapa saja yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan orang-orang shalih termasuk suatu tho’ifah (golongan) terbaik dari umat Islam, sehingga mereka mendapatkan kecintaan, pujian dan nikmat dari Allah Ta’ala karena telah berhasil meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Allah Ta’ala berfirman :
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Maka mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat atas mereka, dari kalangan para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar keimanannya), syuhada’, dan orang-orang shalih, dan mereka itu adalah sebaik-baik teman”. (QS. An Nisa’ : 69)
Maka mereka termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) dari kaum muslimin. Namun yang wajib diketahui, bahwa sikap wala’ yang akan mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan balasan di sisi-Nya, bukan wala’ (kecintaan) yang dilandasi dengan hawa nafsu, akan tetapi suatu kecintaan yang dilandasi Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah memberikan sikap loyalitas (cinta) kepada siapa saja yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan orang-orang shalih termasuk suatu tho’ifah (golongan) terbaik dari umat Islam, sehingga mereka mendapatkan kecintaan, pujian dan nikmat dari Allah Ta’ala karena telah berhasil meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Allah Ta’ala berfirman :
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Maka mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang Allah anugerahi nikmat atas mereka, dari kalangan para Nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar keimanannya), syuhada’, dan orang-orang shalih, dan mereka itu adalah sebaik-baik teman”. (QS. An Nisa’ : 69)
Maka mereka termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) dari kaum muslimin. Namun yang wajib diketahui, bahwa sikap wala’ yang akan mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan balasan di sisi-Nya, bukan wala’ (kecintaan) yang dilandasi dengan hawa nafsu, akan tetapi suatu kecintaan yang dilandasi Al Qur’an dan As Sunnah.
Umat manusia dalam menilai keberadaan orang-orang shalih terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama : Golongan yang meremehkan atau merendahkan kedudukan yang Allah berikan kepada mereka (tafrith).
Kedua : Golongan yang memiliki sikap pengkultusan dan pengagungan melebihi batas dari apa yang Allah Ta’ala karuniakan kepada mereka (ifrath).
Ketiga : Golongan yang adil dan tidak berbuat tafrith (meremehkan) maupun ifrath terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai sikap adil didalam menyikapi orang-orang shalih, yaitu tidak menghinakan dan merendahkan kedudukan orang-orang shalih, bahkan memuliakan dan memuji mereka dengan tidak melebihi ketentuan syariat. Sebagaimana Allah Ta’ala menjelaskan dalam banyak ayat-Nya, diantaranya :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil”. (Al Hujuraat: 9)
Dan juga firman-Nya :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kalian menjadi umat yang adil”. (Al Baqarah: 143)
Demikian pula Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang perbuatan ghuluw (ekstrim). Allah Ta’ala berfirman :
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاَّ الْحَقَّ
“Wahai Ahlul Kitab janganlah kalian berbuat ghuluw (ekstrim) dalam beragama, dan jangan pula kalian mengatakan tentang Allah kecuali di atas kebenaran”. (An Nisa’: 171)
Ghuluw adalah sikap melampaui batas dalam memuji dan mencela (sesuatu/seseorang).
Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Walaupun khitob (sasaran) mengarah kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashara), namun khitob (sasaran) ini bersifat umum mencakup seluruh umat, sebagai tahdzir (peringatan) dari sikap Nashara terhadap Isa Ibnu Maryam (mereka meyakini Isa anak Allah atau tiga dari yang satu -trinitas- red) dan sikap Yahudi terhadap Uzair (meyakini Uzair anak Allah atau menganggap Isa adalah anak pezina - red).(Fathul Majid jilid 1, hal. 21)
Mengingat siapa saja yang diantara umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nashara, dan berbuat ghuluw di dalam beragama dengan cara ifrath (melampaui batas) atau pun tafrith (meremehkannya), maka sungguh ia telah menyerupai mereka. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fathul Majid jilid 1, hal. 272)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka”.
Oleh karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti kepada umatnya, supaya jangan berbuat ghuluw kepada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri. Seperti halnya Yahudi dan Nashara telah terjatuh dalam perbuatan ghuluw. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian berbuat ghuluw kepadaku sebagaimana Nashara telah berbuat ghuluw kepada Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakanlah Abdullah dan Rasul-Nya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
إِ يَّاكُمْ وَ الْغُلُو، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو
“Berhati-hatilah kalian dari bersikap ghuluw, karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw.” (HR. Al Bukhari)
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثًا )
“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”. (HR. Muslim)
Awal Mula Terjadinya Kesyirikan
Awal mula munculnya kesyirikan di muka bumi adalah sikap ghuluw (ekstrim) kepada orang-orang shalih, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al Imam Al Bukhari, ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (artinya):
“Dan mereka berkata : “Janganlah kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan jangan pula meninggalkan wad, suwa’, yaghuts, ya’uq,dan nasr”. Beliau Radiyallahu ‘anhu berkata : “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh, tatkala mereka meninggal, syaithan membisikkan kepada kaumnya: “Buatlah patung-patung mereka di majlis-majlis mereka dahulu (seperti monomen-monomen- red), dan namailah patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kemudian kaum tersebut melakukannya dan belum sampai pada penyembahannya, hingga akhirnya kaum itu meninggal (digantikan oleh kaum berikutnya – red) dan dihapuskanlah ilmu, maka patung-patung tersebut pun disembah”.
Berkata Ibnul Qoyyim: “Lebih dari seorang dari ulama’ Salaf berkata: “Tatkala orang-orang shalih tersebut telah meninggal, manusia pun beri’tikaf dan membikin gambar atau patung di samping kuburan mereka, kemudian setelah berganti dari generasi ke genarasi berikutnya, mereka pun menyembahnya”. (Lihat Fathul Majid: 264)
Bagaimana Bentuk-Bentuk Ghuluw Dan Akibatnya ?
Pada pembahasan kali ini hanya mengacu kepada akibat dari sikap ghuluw (ekstrim) yang menyebabkan pelakunya terjatuh ke dalam kesyirikan atau perkara-perkara sebagai wasilah (perantara) menuju kesyirikan, karena jenis-jenis ghuluw terhadap mereka sangat banyak sekali. Bentuk-bentuk ghuluw yang terjadi dan bisa dicermati sendiri oleh kaum muslimin, diantaranya:
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian berbuat ghuluw kepadaku sebagaimana Nashara telah berbuat ghuluw kepada Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakanlah Abdullah dan Rasul-Nya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
إِ يَّاكُمْ وَ الْغُلُو، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو
“Berhati-hatilah kalian dari bersikap ghuluw, karena sesungguhya celakanya orang-orang sebelum kalian adalah karena berbuat ghuluw.” (HR. Al Bukhari)
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ ( ثَلاَثًا )
“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw), (beliau berkata sampai tiga kali)”. (HR. Muslim)
Awal Mula Terjadinya Kesyirikan
Awal mula munculnya kesyirikan di muka bumi adalah sikap ghuluw (ekstrim) kepada orang-orang shalih, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al Imam Al Bukhari, ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (artinya):
“Dan mereka berkata : “Janganlah kalian meninggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan jangan pula meninggalkan wad, suwa’, yaghuts, ya’uq,dan nasr”. Beliau Radiyallahu ‘anhu berkata : “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh, tatkala mereka meninggal, syaithan membisikkan kepada kaumnya: “Buatlah patung-patung mereka di majlis-majlis mereka dahulu (seperti monomen-monomen- red), dan namailah patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kemudian kaum tersebut melakukannya dan belum sampai pada penyembahannya, hingga akhirnya kaum itu meninggal (digantikan oleh kaum berikutnya – red) dan dihapuskanlah ilmu, maka patung-patung tersebut pun disembah”.
Berkata Ibnul Qoyyim: “Lebih dari seorang dari ulama’ Salaf berkata: “Tatkala orang-orang shalih tersebut telah meninggal, manusia pun beri’tikaf dan membikin gambar atau patung di samping kuburan mereka, kemudian setelah berganti dari generasi ke genarasi berikutnya, mereka pun menyembahnya”. (Lihat Fathul Majid: 264)
Bagaimana Bentuk-Bentuk Ghuluw Dan Akibatnya ?
Pada pembahasan kali ini hanya mengacu kepada akibat dari sikap ghuluw (ekstrim) yang menyebabkan pelakunya terjatuh ke dalam kesyirikan atau perkara-perkara sebagai wasilah (perantara) menuju kesyirikan, karena jenis-jenis ghuluw terhadap mereka sangat banyak sekali. Bentuk-bentuk ghuluw yang terjadi dan bisa dicermati sendiri oleh kaum muslimin, diantaranya:
1. Menganggap bahwa beribadah seperti sholat atau berdo’a dihadapan gambar, patung, kuburan orang shalih (kyai, haba’ib habib-habib, ajengan atau yang lainnya) lebih mendatangkan rasa khusu’ dan khudhu’ kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan bentuk ibadah yang bid’ah, munkar dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya radiyallahu ‘anhum. Sebatas membuat gambar atau patung dari benda yang bernyawa saja, dia telah melanggar peringatan keras dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
إِنَّ أََشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ المُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya adzab yang paling pedih pada hari kiamat nanti adalah para tukang gambar”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Juga menentang perkataan Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wassalam:
وَ إِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قَبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا القَبُوْرَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Dan sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka dahulu menjadikan kuburan para Nabi sebagai masjid-masjid, maka ketahuilah janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang dari perbuatan seperti itu”. (HR. Muslim)
Dan setiap tempat yang digunakan untuk sholat, maka dinamakan sebagai masjid, walaupun tidak ada bangunannya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata:
جُعِلَتْ لي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا
“Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan untuk bersuci”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Berkeyakinan bahwa berdo’a kepada Allah Ta’ala sambil bertawasul dengan orang shalih yang sudah mati (kyai, habaib dan semisalnya) lebih diterima oleh Allah Ta’ala. Hal ini juga merupakan perkara yang bathil dan haram, karena tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bahkan Umar Radiyallahu ‘anhu ketika di jamannya ditimpa paceklik, beliau tidak bertawasul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sudah wafat, namun Umar Radiyallahu ‘anhu meminta kepada paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala.(Fatawa Arkanul Islam lisy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 182)
Padahal Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku amat dekat dan Aku mengabulkan orang yang berdo’a jika dia berdo’a kepada-Aku”. (QS. Al Baqarah: 186)
Bahkan Allah Ta’ala mengolok-olok orang-orang yang lalai lagi bodoh ketika menjadikan sebagian hamba-Nya sebagai wasilah, padahal orang-orang shalih tersebut butuh pada wasilah berupa ketaatan (amalan shalih) kepada-Nya dan tidak ada cara lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
“Mereka orang-orang yang diseru juga mencari wasilah menuju kepada Robb-Nya! siapa yang lebih dekat (kepada Allah- red) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya”. (QS. Al Isra’: 58)
3. Meyakini bahwa para wali atau orang shalih mengetahui ilmu ghaib.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah imam para rasul, tidaklah mengetahui perkara yang ghaib atau perkara yang akan terjadi apalagi mereka yang bukan termasuk dari kalangan para Nabi. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfatan pada diriku dan tidak pula mampu menolak kemudhorotan kecuali yang di kehendaki oleh Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudhoratan”. (Al A’raf: 188)
4. Meyakini bahwa wali atau orang shalih (kyai, habaib dan semisalnya) mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot atau mampu menjawab do’anya orang yang berdo’a kepada mereka ketika masih hidup ataupun sudah mati. Hal ini merupakan kesyirikan yang nyata dan jelas-jelas menentang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman :
وَلاَ تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لاَ يَنْفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Maka janganlah kamu berdo’a (beribadah) selain dari Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan pula memberi mudhorot padamu, kalau sekiranya kamu kerjakan sungguh kamu termasuk orang-orang yang dholim”. (QS. Yunus: 106)
Dan setiap tempat yang digunakan untuk sholat, maka dinamakan sebagai masjid, walaupun tidak ada bangunannya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata:
جُعِلَتْ لي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا
“Telah dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan untuk bersuci”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
2. Berkeyakinan bahwa berdo’a kepada Allah Ta’ala sambil bertawasul dengan orang shalih yang sudah mati (kyai, habaib dan semisalnya) lebih diterima oleh Allah Ta’ala. Hal ini juga merupakan perkara yang bathil dan haram, karena tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bahkan Umar Radiyallahu ‘anhu ketika di jamannya ditimpa paceklik, beliau tidak bertawasul kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sudah wafat, namun Umar Radiyallahu ‘anhu meminta kepada paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk berdo’a kepada Allah Ta’ala.(Fatawa Arkanul Islam lisy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 182)
Padahal Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang-Ku, maka sesungguhnya Aku amat dekat dan Aku mengabulkan orang yang berdo’a jika dia berdo’a kepada-Aku”. (QS. Al Baqarah: 186)
Bahkan Allah Ta’ala mengolok-olok orang-orang yang lalai lagi bodoh ketika menjadikan sebagian hamba-Nya sebagai wasilah, padahal orang-orang shalih tersebut butuh pada wasilah berupa ketaatan (amalan shalih) kepada-Nya dan tidak ada cara lain yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ
“Mereka orang-orang yang diseru juga mencari wasilah menuju kepada Robb-Nya! siapa yang lebih dekat (kepada Allah- red) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya”. (QS. Al Isra’: 58)
3. Meyakini bahwa para wali atau orang shalih mengetahui ilmu ghaib.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah imam para rasul, tidaklah mengetahui perkara yang ghaib atau perkara yang akan terjadi apalagi mereka yang bukan termasuk dari kalangan para Nabi. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfatan pada diriku dan tidak pula mampu menolak kemudhorotan kecuali yang di kehendaki oleh Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku akan membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudhoratan”. (Al A’raf: 188)
4. Meyakini bahwa wali atau orang shalih (kyai, habaib dan semisalnya) mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot atau mampu menjawab do’anya orang yang berdo’a kepada mereka ketika masih hidup ataupun sudah mati. Hal ini merupakan kesyirikan yang nyata dan jelas-jelas menentang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman :
وَلاَ تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لاَ يَنْفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Maka janganlah kamu berdo’a (beribadah) selain dari Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan pula memberi mudhorot padamu, kalau sekiranya kamu kerjakan sungguh kamu termasuk orang-orang yang dholim”. (QS. Yunus: 106)
Dan juga Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لاَ يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ
"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sesembahan-sesembahan selain Allah, yang tiada dapat memperkenakan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka”?. (Al Ahqaf:5)
Ini hanya sebagian kecil dan masih banyak lagi dari perbuatan dhahir (mu’amalah) ataupun i’tiqodiyyah (amalan batin) yang melampaui batas (ghuluw) terhadap orang-orang shalih.
Tanya-Jawab
Tanya : Bagaimana rihlah atau safar hanya dalam rangka ziarah ke kubur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , para wali dan sunan?
Jawab : Hal itu tidak boleh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata :
لاَ تَشُدُّ الرِّحَالَ إِلاَّ إلى ثَلاَثَة مَسَاجِدَ، المَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِي هذا وَ الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah kalian berkeinginan untuk safar kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsho”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidaklah melarang kecuali ada hikmahnya, yaitu sebagai bentuk saddudz dzari’ah (tindakan preventif) supaya tidak terjatuh dalam perbuatan ghuluw dan ini menunjukkan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam kepada umat Islam. Dan sebaliknya jika kaum muslimin melanggar anjuran beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka pasti akan terjatuh ke dalam fitnah. Maka apabila para pembaca mencermati apa yang dilakukan para peziarah ke kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atau wali-wali, bukan hanya berdo’a dan istighotsah saja bahkan sampai ruku’ dan sujud semata-mata untuk ahli kubur dalam keadaan khusyu’ dan khudhu’ (penghinaan diri) yang tidak bisa dihadirkan kondisi seperti itu ketika beribadah di masjid-masjid Allah Ta’ala . Wallahul Musta’an.
[ Buletin Islam Al Ilmu Edisi 12/XII/1424, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Sikap Berlebihan terhadap Orang-Orang Shalih". Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)
Sumber : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=938
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.