Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Jihad adalah salah satu syi’ar Islam yang terpenting dan me-rupakan puncak keagungannya. Kedudukan jihad dalam agama sangat penting dan senantiasa tetap terjaga. Jihad fii sabiilillaah tetap ada sampai hari Kiamat.
Secara bahasa (etimologi) kata jihad diambil dari kalimat:
Yang berarti kekuatan usaha, susah payah dan kemampuan. [1]
Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) rahimahullahu: kesulitan dan kemampuan. [2]
Adapun jihad diambil dari kata-kata : ja-haa-da, yu-jaa-hi-du, ji-haa-dan
Menurut istilah syar’i (terminologi):
“Al-Jihad artinya memerangi orang kafir, yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mencurahkan kekuatan dan kemampuan baik berupa perkataan atau perbuatan.” [3]
“Jihad artinya mencurahkan segala kemampuan untuk memerangi musuh.”
Jihad ada tiga macam:
1. Jihad melawan musuh yang nyata.
2. Jihad melawan syaithan.
3. Jihad melawan hawa nafsu.
Tiga macam jihad ini termaktub di dalam Al-Qur-an surat al-Hajj: 78, at-Taubah: 41, al-Anfaal: 72. [4]
Menurut al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani (yang terkenal dengan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, wafat th. 852 H) rahimahullahu: “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.” [5]
Istilah Jihad digunakan juga untuk melawan hawa nafsu, syaithan, dan orang-orang fasiq. Adapun melawan hawa nafsu yaitu dengan belajar agama Islam (belajar dengan benar), lalu mengamalkannya kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan syaithan dengan menolak segala bentuk syubhat dan syahwat yang selalu dihiasi oleh syaithan. Jihad melawan orang kafir dengan tangan, harta, lisan, dan hati. Adapun jihad melawan orang-orang fasiq dengan tangan, lisan dan hati. [6]
Perkataan al-Hafizh Ibnu Hajar tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta, jiwa, dan lisan kalian.” [7]
Jihad menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu adalah: “Mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah Azza wa Jalla dan menolak semua yang dibenci Allah.” [8] Kata beliau: “Bahwasanya jihad pada hakikatnya adalah mencapai (meraih) apa yang dicintai oleh Allah berupa iman dan amal shalih, dan menolak apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiyat.” [9]
Definisi ini mencakup setiap macam jihad yang dilaksanakan oleh seorang Muslim, yaitu meliputi ketaatannya kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. Kesungguhan mengajak (mendakwahkan) orang lain untuk melaksanakan ketaatan, yang dekat maupun jauh, muslim atau orang kafir dan bersungguh-sungguh memerangi orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan selain itu. [10]
Jihad tidak dikatakan jihad yang sebenarnya melainkan apabila jihad itu ditujukan untuk mencari wajah Allah, menegakkan kalimat-Nya, mengibarkan panji kebenaran, menyingkirkan kebathilan dan menyerahkan segenap jiwa raga untuk mencari keridhaan Allah. Akan tetapi bila seseorang berjihad untuk mencari dunia, maka tidak dikatakan jihad yang sebenarnya.
Barangsiapa yang berperang untuk mendapatkan kedudukan, memperoleh harta rampasan, menunjukkan keberanian, mencari ketenaran (kehebatan), maka ia tidak akan mendapatkan ganjaran dan tidak akan mendapat pahala. [11]
Jihad dalam Islam merupakan seutama-utama amal. Allah memerintahkan jihad yang termaktub di dalam Al-Qur-an, yaitu pada surat al-Baqarah: 190, 193, 216, Ali ‘Imran: 142, an-Nisaa’: 95, at-Taubah: 73, al-Anfaal: 74, al-Hajj: 78, al-Furqaan: 52 dan ash-Shaaf: 11.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Amal apa yang paling utama?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad fii sabiilil-laah.’” [12]
Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Amal apa saja yang paling utama?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Beriman kepada Allah dan berjihad fii sabiilillaah...” [13]
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sesungguhnya seutama-utama amal sesudah shalat adalah jihad fii sabilillaah.” [14]
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang berperang karena mengharap ghani-mah (harta rampasan perang), ada yang lain berperang supaya disebut namanya, dan yang lain berperang supaya dapat dilihat kedudukannya, siapakah yang dimaksud berperang di jalan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berperang supaya kalimat Allah tinggi, maka ia fii sabiilillaah (di jalan Allah).” [15]
HUKUM JIHAD
Hukum jihad adalah fardhu (wajib) dengan dasar firman Allah al-Qaahir:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci se-suatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]
Ayat ini merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Azza wa Jalla bagi kaum Muslimin, agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari wilayah Islam.
Muhammad bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H) rahimahullahu berkata: ‘Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuh-kan, maka hendaklah ia tetap di tempat (tidak ikut).’” [16]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah):
“Tidak ada hijrah setelah Fat-hu Makkah (pembebasan kota Makkah), akan tetapi yang ada adalah jihad dan niat baik. Bila kalian diminta untuk maju perang, maka majulah!” [17]
Hukum jihad adalah fardhu kifayah [18] dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta penjelasan ulama Ahlus Sunnah antara lain dari Al-Qur’an surat an-Nisaa’: 95-96, at-Taubah: 122, al-Muzzamil: 20, dan beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
Empat Imam Madzhab dan lainnya telah sepakat bahwa jihad fii sabiilillaah hukumnya adalah fardhu kifayah, apabila sebagian kaum Muslimin melaksanakannya, maka gugur (kewajiban) atas yang lainnya. Kalau tidak ada yang melaksanakan-nya maka berdosa semuanya. [19]
Para ulama menyebutkan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain pada tiga kondisi:
Pertama: Apabila pasukan Muslimin dan kafirin (orang-orang kafir) bertemu dan sudah saling berhadapan di medan perang, maka tidak boleh seseorang mundur atau berbalik.
Kedua: Apabila musuh menyerang negeri Muslim yang aman dan mengepungnya, maka wajib bagi penduduk negeri untuk keluar memerangi musuh (dalam rangka mempertahankan tanah air), kecuali wanita dan anak-anak.
Ketiga: Apabila Imam meminta satu kaum atau menentukan beberapa orang untuk berangkat perang, maka wajib berangkat. Dalilnya adalah surat at-Taubah: 38-39. [20]
Jihad diwajibkan atas:
1. Setiap Muslim.
2. Baligh.
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki.
6. Mempunyai kemampuan untuk berperang.
7. Mempunyai harta yang mencukupi baginya dan keluarganya selama kepergiannya dalam berjihad. [21]
Bagi kaum wanita tidak ada jihad, jihad mereka adalah haji dan ‘umrah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, apakah kaum wanita wajib berjihad? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Ya, kaum wanita wajib berjihad (meskipun) tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu (ibadah) haji dan ‘umrah.’” [22]
_________
Foote Note
[1]. Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).
[2]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208).
[3]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/319) Ibnul Atsir.
[4]. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208) oleh al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) t.
[5]. Fat-hul Baari (VI/3) oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[6]. Ibid.
[7]. HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7) dan al-Hakim (II/81) dari Sahabat Anas bin Malikz, dengan sanad yang shahih.
[8]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/192-193).
[9]. Ibid, (X/191).
[10]. Lihat al-Jihaad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/50) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadiry, cet. II/Darul Manarah-Jeddah, th. 1413 H.
[11]. Fiq-hus Sunnah oleh Sayyid Sabiq (III/40) dan al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 481) oleh ‘Abdul ‘Azhim Badawi.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 527) dan Muslim (no. 85 (137)) dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu
[13]. HR. Muslim (no. 84 (136)).
[14]. HR. Ahmad (II/32) sanadnya shahih. Lihat Musnad Ahmad (no. 4873) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (III/477).
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 2810, 3126), Muslim (no. 1904) dan Ahmad (IV/392, 397, 402, 405, 417) dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'ahu
[16]. Tafsir Ibnu Katsir (I/270).
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 2783, 2825, 3077), Muslim (no. 1353), Abu Dawud (no. 2480), at-Tirmidzi (no. 1590), an-Nasa'i (VII/146) dan Ahmad (I/266) dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma, dan juga oleh Muslim (no. 1864) dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[18]. Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 44-73) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, cet. II/Daar Ulama' Salaf, th. 1414 H.
[19]. Lihat al-Jihad fii Sabiilillaah Haqiiqatuhu wa Ghaayatuhu (I/56) oleh Syaikh ‘Abdullah bin Ahmad Qadir.
[20]. Lihat Risaalatul Irsyaad ilaa Bayaanil Haqq fii Hukmil Jihaad (hal. 89-90) oleh Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, Taudhiihul Ahkaam Syarah Bulughul Maram (VI/331-332) syarah ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Bassam, cet. V/Maktabah al-Asadi, th. 1423 H.
[21]. Lihat al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz (hal. 487) oleh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. III/Daar Ibnu Rajab, th. 1421 H.
[22]. HR. Al-Bukhari (no. 1520), Ibnu Majah (no. 2901) dan Ahmad (VI/165), lafazh ini miliki Ibnu Majah.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Pasal "Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Menegakkan Jihad Fii Sabiilillaah Bersama Ulil Amri". Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.