Bismillah,
Makruh dan dilarang menyambung shalat jum’at dengan shalat sunnah nafilah sesudahnya tanpa ada tenggang waktu –setelah salam dari shalat Jum’at langsung berdiri shalat sunnah- sehingga dia berpindah dari tempatnya atau berbicara terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim dari Umar bin ‘Atha, bahwa Nafi’ bin Jubair mengutusnya kepada Saaib bin Ukhti Namr untuk menanyakan tentang kejadian yang pernah dilihat Mu’awiyah dari dirinya dalam shalat. Lalu Saaib berkata, “Ya, aku pernah shalat Jum’at bersama dia di Maqshurah. Ketika sesudah imam salam, aku langsung berdiri di tempatku, lalu mengerjakan shalat (sunnah). Ketika ia (Mu’awiyah) masuk, ia mengutus seseorang kepadaku dan menyampaikan pesan :
لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Jangan ulangi lagi apa yang baru saja engkau lakukan. Jika kamu shalat Jum’at, janganlah kamu menyambungnya dengan shalat lain sehingga kamu berbicara atau keluar. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita seperti itu, yakni agar kita tidak menyambung satu shalat dengan shalat lain sehingga kita berbicara atau keluar terlebih dahulu.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 1463)
Imam al-Nawawi berkata, “Di dalamnya terdapat dalil yang sesuai dengan yang dikatakan para sahabat kami bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya disunnahkan untuk dialihkan (pelaksanaannya) dari tempat shalat fardlu ke tempat lain. Dan berpindah tempat yang paling utama adalah ke rumahnya. Jika tidak, maka tempat lain dalam masjid atau lainnya agar tempat-tempat sujudnya semakin banyak dan agar terbedakan antara shalat yang sunnah dari yang wajib. Dan sabda beliau, ‘sehingga kita berbicara’ merupakan dalil pemisah di antara keduanya bisa juga terpenuhi hanya dengan berbicara, tetapi berpindah tempat itulah yang lebih utama.” (Syarh Muslim, Imam al-Nawawi, 6/170-171)
Beliau juga berkata dalam al-Mughni, “Dan disunnahkan bagi siapa yang ingin shalat (sunnah) hari Jum’at agar membuat pemisah antara shalat Jum’at dan shalat sunnah dengan berbicara atau berpindah dari tempatnya atau pulang ke rumahnya.” (Al-Mughni: 3/250) kemudian beliau menyebutkan hadits Mu’awiyah radliyallaahu 'anhu.
Abdullah bin Umar radliyallaahu 'anhu pernah menggambarkan shalat sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dalam perkataannya,
فَكَانَ لَا يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ
“Adalah beliau tidak pernah melaksanakan shalat (sunnah) sesudah Jum’at sehinga beliau pulang, lalu shalat dua rakaat di rumahnya.” (HR. Muslim, no. 1461)
Dilarang menyambung shalat jum’at dengan shalat sunnah nafilah sesudahnya tanpa ada tenggang waktu sehingga dia berpindah dari tempatnya atau berbicara terlebih dahulu.
Apakah Larangan Ini Khusus Pada Shalat Jum’at Saja?
Hukum di atas tidak hanya untuk shalat Jum’at saja, tapi dia mencakup setiap bentuk shalat sunnah sesudah shalat fardlu sebagaimana yang ditunjukkan hadits di atas, perkataan para ulama dan khususnya penjelasan dari imam al-Nawawi.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan al-Hakim dari jalan al-Minhal bin Khalifah, dari Asy’ats bin Syu’bah dari al-Azraq bin Qais berkata, “Imam kami, yang dikenal kunyahnya Abu Ramtsah, shalat bersama kami, lalu beliau berkata, “Aku pernah melaksanakan shalat ini atau seperti shalat ini bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Dia berkata, “Adalah Abu Bakar dan Umar radliyallaahu 'anhuma berdiri di shaf pertama sebelah kanannya. Dan ada seorang laki-laki yang telah mendapatkan takbir pertama dari shalat, maka Nabiyullah shallallaahu 'alaihi wasallam shalat lalu mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya sehingga kami melihat putih kedua pipi beliau. Kemudian beliau berpaling sebagaimana berpaling Abu Ramtsah –yaini dirinya sendiri- kemudian laki-laki yang telah mendapatkan takbir pertama bersamanya tadi berdiri untuk shalat (sunnah). Maka Umar berdiri dengan cepat menghampirinya lalu memegang dua pundaknya dan mengerakkannya dengan lembut, lalu berkata, ‘Duduklah, sesungguhnya tidaklah (Allah) membinasakan Ahli Kitab kecuali karena tidak ada pemisah di antara shalat-shalat mereka (karena mereka diperintahkan demikian-red).” Kemudian Nabi mengangkat pandangannya dan bersabda, “Allah memberikan petunjuk melaluimu, wahai Ibnul Khathab.” (HR. Abu Dawud pada Bab Tentang Laki-Laki Yang Shalat Sunnah Di Tempat Ia Melaksanakan Shalat Fardlu, Imam Hakim menshahihkannya sesuai dengan syarat Muslim. Dalam sanad hadits ini terdapat al-Minhal yang didhaifkan oleh al-Bukhari, Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, al-Nasai, Ibnu ‘adi, al-Hakim dan lainnya. Ringkasnya, hadits ini dhaif, namun memiliki syahid dari hadits Mu’awiyah di atas, wallahu a’lam).
Hukum di atas tidak hanya untuk shalat Jum’at saja, tapi dia mencakup setiap bentuk shalat sunnah sesudah shalat fardlu sebagaimana yang ditunjukkan hadits di atas, perkataan para ulama dan khususnya penjelasan dari imam al-Nawawi.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan al-Hakim dari jalan al-Minhal bin Khalifah, dari Asy’ats bin Syu’bah dari al-Azraq bin Qais berkata, “Imam kami, yang dikenal kunyahnya Abu Ramtsah, shalat bersama kami, lalu beliau berkata, “Aku pernah melaksanakan shalat ini atau seperti shalat ini bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Dia berkata, “Adalah Abu Bakar dan Umar radliyallaahu 'anhuma berdiri di shaf pertama sebelah kanannya. Dan ada seorang laki-laki yang telah mendapatkan takbir pertama dari shalat, maka Nabiyullah shallallaahu 'alaihi wasallam shalat lalu mengucapkan salam ke kanan dan ke kirinya sehingga kami melihat putih kedua pipi beliau. Kemudian beliau berpaling sebagaimana berpaling Abu Ramtsah –yaini dirinya sendiri- kemudian laki-laki yang telah mendapatkan takbir pertama bersamanya tadi berdiri untuk shalat (sunnah). Maka Umar berdiri dengan cepat menghampirinya lalu memegang dua pundaknya dan mengerakkannya dengan lembut, lalu berkata, ‘Duduklah, sesungguhnya tidaklah (Allah) membinasakan Ahli Kitab kecuali karena tidak ada pemisah di antara shalat-shalat mereka (karena mereka diperintahkan demikian-red).” Kemudian Nabi mengangkat pandangannya dan bersabda, “Allah memberikan petunjuk melaluimu, wahai Ibnul Khathab.” (HR. Abu Dawud pada Bab Tentang Laki-Laki Yang Shalat Sunnah Di Tempat Ia Melaksanakan Shalat Fardlu, Imam Hakim menshahihkannya sesuai dengan syarat Muslim. Dalam sanad hadits ini terdapat al-Minhal yang didhaifkan oleh al-Bukhari, Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, al-Nasai, Ibnu ‘adi, al-Hakim dan lainnya. Ringkasnya, hadits ini dhaif, namun memiliki syahid dari hadits Mu’awiyah di atas, wallahu a’lam).
Keutamaan Shalat Sunnah di Rumah
Telah diterangkan di atas tentang larangan menyambung shalat fardlu (lebih khusus lagi shalat Jum’at) dengan shalat sunnah sesudahnya tanpa ada pemisah, bisa berupa perbincangan atau berpindah tempat. Dan berpindah tempat adalah lebih baik. Sedangkan tempat yang paling baik untuk shalat sunnah adalah di rumah, sebagaimana pengamalan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pada hadits Ibnu Umar di atas.
Anjuran untuk menjadikan rumah sebagai tempat shalat sunnah dikuatkan oleh beberapa hadits yang lain, di antaranya yang terdapat dalam Shahihain, dari Zaid bin Tsabit, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
Telah diterangkan di atas tentang larangan menyambung shalat fardlu (lebih khusus lagi shalat Jum’at) dengan shalat sunnah sesudahnya tanpa ada pemisah, bisa berupa perbincangan atau berpindah tempat. Dan berpindah tempat adalah lebih baik. Sedangkan tempat yang paling baik untuk shalat sunnah adalah di rumah, sebagaimana pengamalan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pada hadits Ibnu Umar di atas.
Anjuran untuk menjadikan rumah sebagai tempat shalat sunnah dikuatkan oleh beberapa hadits yang lain, di antaranya yang terdapat dalam Shahihain, dari Zaid bin Tsabit, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.”
Dari Jabir, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
Dari Jabir, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ الصَّلَاةَ فِي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيبًا مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلَاتِهِ خَيْرًا
“Apabila salah seorang kalian telah melaksanakan shalat wajib di masjidnya, hendkanya ia menyisakan bagian dari shalatnya untuk rumahnya, karena sesungguhnya Allah sesungguhnya Allah menjadikan kebaikan di rumahnya berkat shalatnya.” (HR. Muslim, no. 1298)
Bahkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa shalat sunnah di rumah masing-masing itu lebih utama daripada shalat di masjid Nabawi.
Bahkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa shalat sunnah di rumah masing-masing itu lebih utama daripada shalat di masjid Nabawi.
صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي مَسْجِدِي هَذَا إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“Shalatnya seseorang di rumahnya sendiri itu lebih utama daripada shalatnya di masjidku ini kecuali shalat wajib.” (HR. Abu Dawud dari Zaid bin Tsabit, no. 880)
Shalat sunnah di rumah masing-masing itu lebih utama daripada shalat di masjid Nabawi.
صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي مَسْجِدِي هَذَا إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Semoga Allah memudahkan kita untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih utama dari amal-amal ibadahn kita. Washallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘Ala Aalihi Washahbihi, Wal Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Sumber :
http://www.voa-islam.com/islamia/ibadah/2010/08/05/8939/langsung-shalat-sunnah-sesudah-shalat-jum%27atternyata-salah/ , penulis Badrul Tamam
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.