Oleh : Ust. Abu Qatadah.
Ijma’ adalah satu hujjah syar’iyyah yang dijadikan pijakan oleh para ulama Ahlis-Sunnah dari jaman ke jaman dalam setiap masalah ‘ilmiyyah diiniyyah.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو القياس
“Sumber ilmu (ada empat), yaitu : Al-Kitaab, As-Sunnah, Ijma’, atau Qiyas” [Ar-Risaalah, hal. 39 dan I’laamul-Muwaqqi’iin, 4/105].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم؛
“Apabila telah tetap ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma’ mereka” [Al-Fataawaa, 10/20].
Ijma’ adalah pokok yang ketiga yang menjadi pijakan ilmu dan agama. Para ulama menimbang dengan tiga ushul ini terhadap seluruh apa yang ditempuh manusia, baik ucapan maupun perbuatannya, yang nampak maupun yang tersembunyi yang memiliki hubungan dengan agama [Al-Wasithiyyah].
Keempat sumber di atas saling bersesuaian dan tidak ada pertentangan, karena antara satu dengan lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan. Oleh sebab itu, kita boleh mengatakan bahwa dasar dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’an, dengan tinjauan selainnya sebagai penjelas Al-Qur’an, atau sebagai cabang dan semua bersandar kepadanya. Boleh juga kita katakan sumber dalil adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan As-Sunnah itu datang dari Allah subhaanahu wa ta’ala sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an. Adapun ijma’ dan qiyas, penetapannya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
الكتاب، والسنة،والإجماع، فمدلول الثلاثة واحد، فإن كل ما في الكتاب فالرسول موافق له، والأمة مجمعة عليه من حيث الجملة، فليس في المؤمنين إلا من يوجب اتباع الكتاب، وكذلك كل ما سنه الرسول صلى الله عليه وسلم فالقرآن يأمر باتباعه فيه، والمؤمنون مجمعون على ذلك، وكذلك كل ما أجمع عليه المسلمون، فإنه لا يكون إلا حقاً موافقاً لما في الكتاب والسنة
“Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ isinya satu, karena semua yang ada di dalam Al-Qur’an disetujui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur’an. Demikian juga, semua yang disunnahkan oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur’an telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslimin telah sepakat atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Al-Fataawaa, 7/40].
Ijma’ adalah satu hujjah syar’iyyah yang dijadikan pijakan oleh para ulama Ahlis-Sunnah dari jaman ke jaman dalam setiap masalah ‘ilmiyyah diiniyyah.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو القياس
“Sumber ilmu (ada empat), yaitu : Al-Kitaab, As-Sunnah, Ijma’, atau Qiyas” [Ar-Risaalah, hal. 39 dan I’laamul-Muwaqqi’iin, 4/105].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم؛
“Apabila telah tetap ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma’ mereka” [Al-Fataawaa, 10/20].
Ijma’ adalah pokok yang ketiga yang menjadi pijakan ilmu dan agama. Para ulama menimbang dengan tiga ushul ini terhadap seluruh apa yang ditempuh manusia, baik ucapan maupun perbuatannya, yang nampak maupun yang tersembunyi yang memiliki hubungan dengan agama [Al-Wasithiyyah].
Keempat sumber di atas saling bersesuaian dan tidak ada pertentangan, karena antara satu dengan lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan. Oleh sebab itu, kita boleh mengatakan bahwa dasar dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’an, dengan tinjauan selainnya sebagai penjelas Al-Qur’an, atau sebagai cabang dan semua bersandar kepadanya. Boleh juga kita katakan sumber dalil adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan As-Sunnah itu datang dari Allah subhaanahu wa ta’ala sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an. Adapun ijma’ dan qiyas, penetapannya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
الكتاب، والسنة،والإجماع، فمدلول الثلاثة واحد، فإن كل ما في الكتاب فالرسول موافق له، والأمة مجمعة عليه من حيث الجملة، فليس في المؤمنين إلا من يوجب اتباع الكتاب، وكذلك كل ما سنه الرسول صلى الله عليه وسلم فالقرآن يأمر باتباعه فيه، والمؤمنون مجمعون على ذلك، وكذلك كل ما أجمع عليه المسلمون، فإنه لا يكون إلا حقاً موافقاً لما في الكتاب والسنة
“Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ isinya satu, karena semua yang ada di dalam Al-Qur’an disetujui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur’an. Demikian juga, semua yang disunnahkan oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur’an telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslimin telah sepakat atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Al-Fataawaa, 7/40].
Hujjahnya Ijma’ ditunjukkan oleh yang lainnya (maksudnya : hujjahnya Ijma’ ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :
فهذه ثلاثة أصول يعتمد عليها في العلم والدين، وهي: الكتاب، والسنة، والإجماع. أما الكتاب والسنة، فأصلان ذاتيان، وأما الإجماع، فأصل مبني على غيره، إذ لا إجماع إلا بكتاب أو سنة.
“Ini merupakan tiga landasan pokok yang berlandaskan kepada ilmu dan agama. Ushul yang pertama adalah Al-Qur’an, ushul yang kedua adalah As-Sunnah, dan ushul yang ketiga adalah Ijma’. Al-Qur’an dan As-Sunnah berdiri dengan sendirinya, sedangkan ijma’ berdiri di atas yang lainnya, karena tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Syarh Al-Washithiyyah, 1/324].
Demikian, kalau kita katakan bahwa yang dimaksud hablullah adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’; karena ketiganya menunjukkan pada satu hakekat. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, dan sebagian besar umat bersepakat atasnya.
Ada tiga masalah penting yang berkaitan dengan Ijma’ :
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :
فهذه ثلاثة أصول يعتمد عليها في العلم والدين، وهي: الكتاب، والسنة، والإجماع. أما الكتاب والسنة، فأصلان ذاتيان، وأما الإجماع، فأصل مبني على غيره، إذ لا إجماع إلا بكتاب أو سنة.
“Ini merupakan tiga landasan pokok yang berlandaskan kepada ilmu dan agama. Ushul yang pertama adalah Al-Qur’an, ushul yang kedua adalah As-Sunnah, dan ushul yang ketiga adalah Ijma’. Al-Qur’an dan As-Sunnah berdiri dengan sendirinya, sedangkan ijma’ berdiri di atas yang lainnya, karena tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Syarh Al-Washithiyyah, 1/324].
Demikian, kalau kita katakan bahwa yang dimaksud hablullah adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’; karena ketiganya menunjukkan pada satu hakekat. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, dan sebagian besar umat bersepakat atasnya.
Ada tiga masalah penting yang berkaitan dengan Ijma’ :
Adakah Ijma’ Setelah Para Shahabat ?
Jumhur ulama’ menetapkan adanya Ijma’ setelah para shahabat. Sedangkan Dawud bin ’Ali Adh-Dhaahiriy, Ibnu Hazm, dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ijma’ hanya ijma’ para shahabat. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa Ijma’ tidak hanya Ijma’ para shahabat. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Khaathib Al-Baghdadi (Al-Faqih wal-Mutafaqqih, 1/327-328), Asy-Syinqithiy (Mudzakirah fii Ushulil-Fiqh, hal. 155), Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin; dan penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Ijma’ para shahabat mungkin terjadi dan mudah untuk mengetahui. Adapun Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit terjadi dan sulit untuk mengetahuinya. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dalam menukil Ijma’. Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد بما وصفت من أن ذلك موجودا على كلهم
”Kalau boleh bagi seseorang untuk berkata pada ilmu tertentu : ‘Telah Ijma’ kaum muslimin dulu dan sekarang dalam menetapkan khabar ahad (hadits ahad) (dalam hujjah)’ - dimana tidak didapatkan seorang pun dari kalangan fuqahaa’ kecuali ia menetapkan hadits ahad - ; maka itu adalah boleh bagiku. Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya dari kalangan fuqahaa’ bahwa mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad (sebagai hujjah), karena aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh mereka (para ulama)” [Ar-Risaalah, hal. 458. Lihat juga Ar-Risaalah, hal. 534].
Syaikhul-Islam dalam Majmu’atul-Fataawaa (11/341) berkata :
الإجماع، وهو متفق عليه بين عامة المسلمين من الفقهاء والصوفية وأهل الحديث والكلام وغيرهم في الجملة، وأنكره بعض أهل البدع من المعتزلة والشيعة، لكن المعلوم منه هو ما كان عليه الصحابة، وأما ما بعد ذلك فتعذر العلم به غالبًا، ولهذا اختلف أهل العلم فيما يذكر من الإجماعات الحادثة بعد الصحابة واختلف في مسائل منه كإجماع التابعين على أحد قولي الصحابة، والإجماع الذي لم ينقرض عصر أهله حتى خالفهم بعضهم، والإجماع السكوتي وغير ذلك
“Secara umum, Ijma’ adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin, dari kalangan fuqahaa’, kaum shufi, ahli hadits, ahli kalam, dan yang lainnya; walaupun diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan Mu’tazillah dan Syi’ah. Selanjutnya, Ijma’ yang diakui adanya adalah Ijma’ para shahabat. Adapun setelahnya, merupakan perkara yang biasanya sulit diketahui. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan Ijma’ yang terjadi setelah para shahabat. Juga berbeda pendapat tentang beberapa masalah yang masuk ke dalam bahasannya, seperti Ijma’ tabi’in terhadap salah satu pendapat shahabat. Juga Ijma’ yang terjadi sebelum ulama masanya habis, sehingga sebagian dari mereka menyelisihinya. Demikian pula Ijma’ Sukuti, dan yang lainnya” [selesai].
Jumhur ulama’ menetapkan adanya Ijma’ setelah para shahabat. Sedangkan Dawud bin ’Ali Adh-Dhaahiriy, Ibnu Hazm, dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa Ijma’ hanya ijma’ para shahabat. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa Ijma’ tidak hanya Ijma’ para shahabat. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Khaathib Al-Baghdadi (Al-Faqih wal-Mutafaqqih, 1/327-328), Asy-Syinqithiy (Mudzakirah fii Ushulil-Fiqh, hal. 155), Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin; dan penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Ijma’ para shahabat mungkin terjadi dan mudah untuk mengetahui. Adapun Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit terjadi dan sulit untuk mengetahuinya. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dalam menukil Ijma’. Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد بما وصفت من أن ذلك موجودا على كلهم
”Kalau boleh bagi seseorang untuk berkata pada ilmu tertentu : ‘Telah Ijma’ kaum muslimin dulu dan sekarang dalam menetapkan khabar ahad (hadits ahad) (dalam hujjah)’ - dimana tidak didapatkan seorang pun dari kalangan fuqahaa’ kecuali ia menetapkan hadits ahad - ; maka itu adalah boleh bagiku. Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya dari kalangan fuqahaa’ bahwa mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad (sebagai hujjah), karena aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh mereka (para ulama)” [Ar-Risaalah, hal. 458. Lihat juga Ar-Risaalah, hal. 534].
Syaikhul-Islam dalam Majmu’atul-Fataawaa (11/341) berkata :
الإجماع، وهو متفق عليه بين عامة المسلمين من الفقهاء والصوفية وأهل الحديث والكلام وغيرهم في الجملة، وأنكره بعض أهل البدع من المعتزلة والشيعة، لكن المعلوم منه هو ما كان عليه الصحابة، وأما ما بعد ذلك فتعذر العلم به غالبًا، ولهذا اختلف أهل العلم فيما يذكر من الإجماعات الحادثة بعد الصحابة واختلف في مسائل منه كإجماع التابعين على أحد قولي الصحابة، والإجماع الذي لم ينقرض عصر أهله حتى خالفهم بعضهم، والإجماع السكوتي وغير ذلك
“Secara umum, Ijma’ adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin, dari kalangan fuqahaa’, kaum shufi, ahli hadits, ahli kalam, dan yang lainnya; walaupun diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan Mu’tazillah dan Syi’ah. Selanjutnya, Ijma’ yang diakui adanya adalah Ijma’ para shahabat. Adapun setelahnya, merupakan perkara yang biasanya sulit diketahui. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan Ijma’ yang terjadi setelah para shahabat. Juga berbeda pendapat tentang beberapa masalah yang masuk ke dalam bahasannya, seperti Ijma’ tabi’in terhadap salah satu pendapat shahabat. Juga Ijma’ yang terjadi sebelum ulama masanya habis, sehingga sebagian dari mereka menyelisihinya. Demikian pula Ijma’ Sukuti, dan yang lainnya” [selesai].
2. Riwayat Al-Imam Ahmad yang mengatakan :
“Barangsiapa yang mengaku ada Ijma’, maka ia telah berdusta”.
Para ulama telah menjelaskan maksud ucapan Al-Imam Ahmad dengan beberapa kemungkinan, disebabkan beliau sendiri dalam banyak masalah telah ber-hujjah dengan Ijma’ dan menjadikannya sebagai dalil, diantaranya :
Pertama. Sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menukil Ijma’, agar tidak meudah mengatakan Ijma’ sebelum mengadakan penelitian secara seksama terhadap seluruh perkataan ulama.
Kedua. Bahwasannya Al-Imam Ahmad tidak meniadakan Ijma’ secara mutlak, tetapi hanya menunjukkan sulit terjadinya dan sulit mengetahuinya.
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ليس مراده بهذا استبعاد وجود الإجماع، ولكن أحمد وأئمة الحديث بُلُوا بمن كان يرد عليهم السنة الصحيحة بإجماع الناس على خلافها، فبين الشافعي وأحمد أن هذه الدعوى كذب، وإنه لا يجوز رد السنن بمثلها.
“Ucapan Ahmad bukan berarti menunjukkan tidak mungkin adanya Ijma’ (setelah shahabat), tetapi Ahmad dan ahli hadits membantah kepada orang yang menolak As-Sunnah yang shahih dengan Ijma’. Oleh karena itu, Asy-Syafi’iy dan Ahmad menjelaskan bahwa itu pernyataan dusta dan tidak boleh menolak sunnah dengan semisalnya” [Mukhtashar Ash-Shawaaiq, hal. 506]. [1]
3. Jika Ijma’ itu terjadi dan diketahui secara pasti, maka tetap menjadi hujjah bagi orang yang setelahnya.
Jika para ulama (mujtahidiin) Ijma’ pada satu masa setelah para shahabat dan diketahui dengan pasti, maka Ijma’ itu tetap sebagai hujjah bagi orang setelahnya, sebab dalil menunjukkan bahwa Ijma’ adalah sebagai hujjah, dan tidak ada pengkhususan bahwa Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanya Ijma’ para shahabat. Sebab, tidak boleh mengkhususkan sebuah dalil sehingga ada dalil yang mengkhususkannya. Demikian juga, harus membedakan antara adanya perbedaan, apakah mungkin Ijma’ setelah para shahabat ataukah tidak, dengan hujjahnya Ijma’ atau tidak. Sehingga bagi orang yang mengatakan Ijma’ adalah hujjah, apabila ia mengetahui adanya Ijma’, maka Ijma’ adalah hujjah baginya.
Al-Imam Al-Ghazaliy berkata : “Dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan akal yang menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah yang tidak membedakan suatu waktu dengan waktu yang lainnya. Apabila para tabi’in bersepakat, itu adalah ijma’ seluruh umat. Dan barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia telah menempuh jalan selain jalan orang-orang yang beriman”.
“Barangsiapa yang mengaku ada Ijma’, maka ia telah berdusta”.
Para ulama telah menjelaskan maksud ucapan Al-Imam Ahmad dengan beberapa kemungkinan, disebabkan beliau sendiri dalam banyak masalah telah ber-hujjah dengan Ijma’ dan menjadikannya sebagai dalil, diantaranya :
Pertama. Sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menukil Ijma’, agar tidak meudah mengatakan Ijma’ sebelum mengadakan penelitian secara seksama terhadap seluruh perkataan ulama.
Kedua. Bahwasannya Al-Imam Ahmad tidak meniadakan Ijma’ secara mutlak, tetapi hanya menunjukkan sulit terjadinya dan sulit mengetahuinya.
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ليس مراده بهذا استبعاد وجود الإجماع، ولكن أحمد وأئمة الحديث بُلُوا بمن كان يرد عليهم السنة الصحيحة بإجماع الناس على خلافها، فبين الشافعي وأحمد أن هذه الدعوى كذب، وإنه لا يجوز رد السنن بمثلها.
“Ucapan Ahmad bukan berarti menunjukkan tidak mungkin adanya Ijma’ (setelah shahabat), tetapi Ahmad dan ahli hadits membantah kepada orang yang menolak As-Sunnah yang shahih dengan Ijma’. Oleh karena itu, Asy-Syafi’iy dan Ahmad menjelaskan bahwa itu pernyataan dusta dan tidak boleh menolak sunnah dengan semisalnya” [Mukhtashar Ash-Shawaaiq, hal. 506]. [1]
3. Jika Ijma’ itu terjadi dan diketahui secara pasti, maka tetap menjadi hujjah bagi orang yang setelahnya.
Jika para ulama (mujtahidiin) Ijma’ pada satu masa setelah para shahabat dan diketahui dengan pasti, maka Ijma’ itu tetap sebagai hujjah bagi orang setelahnya, sebab dalil menunjukkan bahwa Ijma’ adalah sebagai hujjah, dan tidak ada pengkhususan bahwa Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanya Ijma’ para shahabat. Sebab, tidak boleh mengkhususkan sebuah dalil sehingga ada dalil yang mengkhususkannya. Demikian juga, harus membedakan antara adanya perbedaan, apakah mungkin Ijma’ setelah para shahabat ataukah tidak, dengan hujjahnya Ijma’ atau tidak. Sehingga bagi orang yang mengatakan Ijma’ adalah hujjah, apabila ia mengetahui adanya Ijma’, maka Ijma’ adalah hujjah baginya.
Al-Imam Al-Ghazaliy berkata : “Dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan akal yang menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah yang tidak membedakan suatu waktu dengan waktu yang lainnya. Apabila para tabi’in bersepakat, itu adalah ijma’ seluruh umat. Dan barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia telah menempuh jalan selain jalan orang-orang yang beriman”.
Apakah Ijma’ Harus Ada Dasarnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah ?
Berdasarkan dengan point-point berikut ini, maka Ijma’ harus berlandaskan dalil syar’i :
1. Jumhur ’ulama telah sepakat bahwa umat tidak akan bersepakat kecuali di atas dalil syar’i. Sebab umat ini tidak mungkin bersepakat di atas hawa nafsu dan berkata kepada Allah dengan tanpa ilmu atau berkata tanpa dalil. Umat ini telah dijaga dari kesalahan (bersepakat di atas kebatilan). Dan apabila berkata kepada Allah dengan tanpa dalil, berarti ini merupakan suatu kesalahan.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
فلما احتمل المعنيين وجب على أهل العلم أن لا يحملوها على خاص دون عام إلا بدلالة من سنة رسول الله أو إجماع علماء المسلمين الذين لا يكن أن يجمعوا على خلاف سنة رسول الله
”Apabila nash mengandung dua makna, maka wajib bagi ahli ilmu untuk tidak membawa makna nash kepada khusus, selain dari yang umum, kecuali dengan dalil Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau Ijma’ ulama muslimin, yang mereka tidak mungkin bersepakat menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 323].
Beliau rahimahullah berkata :
ونعلم أن عامتهم لا تجتمع على خلاف لسنة رسول الله
”Kita mengetahui bahwa mereka (umat) tidak akan bersepakat untuk menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 472].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وذلك لأن كل ما أجمع عليه المسلمون فإنه يكون منصوصاً عن رسول، فالمخالف لهم مخالف للرسول، كما أن المخالف للرسول مخالف لله.
”Kaum muslimin tidak akan bersepakat kecuali dengan (sesuatu) yang ada nash-nya dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka yang menyelisihi mereka (Ijma’), berarti menyelisihi Rasulullah, dan menyelisihi Rasulullah berarti menyelisihi Allah” [Al-Fataawaa, 19/194].
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ومحال أن تجمع الأمة على خلاف نص له إلا أن يكون له نص آخر ينسخه
”Mustahil umat bersepakat untuk menyelisihi nash (dalil), kecuali ada nash lain yang me-mansukh-nya (menghapusnya)” [I’lamul-Muwaqqi’iin, 1/367].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin berkata : ”Tidak mungkin umat bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh. Maksudnya, apabila umat bersepakat di atas al-haq, maka tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas, sebab itu bathil. Orang yang menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh, pasti ia berada di atas kebathilan, dan umat tidak mungkin bersepakat berada di atas kebathilan” [Syarh Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul, hal. 467].
Pendapat ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut. Pertama, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskan seluruh permasalahan agama. Tidak ada perkara yang berkaitan dengan agama kecuali Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Kedua, nash syar’i telah meliputi pada setiap perkara yang dibutuhkan manusia. Sehingga tidak ada masalah, kecuali ada dalil yang menunjukkannya, baik dalil yang jelas maupun tersembunyi. Ketiga, sebagian ulama terkadang tidak mendapatkan sebuah nash, sehingga ia berdalil dengan ijtihad atau qiyas. Sedangkan sebagian yang lainnya mengetahui nash-nya, lalu ia berdalil dengan nash itu, hingga ijtihad seorang mujtahid itu bertepatan dengan nash yang dijadikan dalil oleh mujtahid yang mengetahui dalilnya.
2. Penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan Ijma’ kecuali ada dalilnya.
3. Kadang ada Ijma’ tidak nampak dalilnya bagi kita, tapi sesungguhnya di sana ada dalil yang tersembunyi maknanya bagi kita, sedangkan bagi ahlil-ijma’ tidak.
4. Para ulama telah berselisih, apakah Ijma’ boleh bersandar pada ijtihad atau qiyas.
Berdasarkan dengan point-point berikut ini, maka Ijma’ harus berlandaskan dalil syar’i :
1. Jumhur ’ulama telah sepakat bahwa umat tidak akan bersepakat kecuali di atas dalil syar’i. Sebab umat ini tidak mungkin bersepakat di atas hawa nafsu dan berkata kepada Allah dengan tanpa ilmu atau berkata tanpa dalil. Umat ini telah dijaga dari kesalahan (bersepakat di atas kebatilan). Dan apabila berkata kepada Allah dengan tanpa dalil, berarti ini merupakan suatu kesalahan.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
فلما احتمل المعنيين وجب على أهل العلم أن لا يحملوها على خاص دون عام إلا بدلالة من سنة رسول الله أو إجماع علماء المسلمين الذين لا يكن أن يجمعوا على خلاف سنة رسول الله
”Apabila nash mengandung dua makna, maka wajib bagi ahli ilmu untuk tidak membawa makna nash kepada khusus, selain dari yang umum, kecuali dengan dalil Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau Ijma’ ulama muslimin, yang mereka tidak mungkin bersepakat menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 323].
Beliau rahimahullah berkata :
ونعلم أن عامتهم لا تجتمع على خلاف لسنة رسول الله
”Kita mengetahui bahwa mereka (umat) tidak akan bersepakat untuk menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 472].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وذلك لأن كل ما أجمع عليه المسلمون فإنه يكون منصوصاً عن رسول، فالمخالف لهم مخالف للرسول، كما أن المخالف للرسول مخالف لله.
”Kaum muslimin tidak akan bersepakat kecuali dengan (sesuatu) yang ada nash-nya dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka yang menyelisihi mereka (Ijma’), berarti menyelisihi Rasulullah, dan menyelisihi Rasulullah berarti menyelisihi Allah” [Al-Fataawaa, 19/194].
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ومحال أن تجمع الأمة على خلاف نص له إلا أن يكون له نص آخر ينسخه
”Mustahil umat bersepakat untuk menyelisihi nash (dalil), kecuali ada nash lain yang me-mansukh-nya (menghapusnya)” [I’lamul-Muwaqqi’iin, 1/367].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin berkata : ”Tidak mungkin umat bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh. Maksudnya, apabila umat bersepakat di atas al-haq, maka tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas, sebab itu bathil. Orang yang menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh, pasti ia berada di atas kebathilan, dan umat tidak mungkin bersepakat berada di atas kebathilan” [Syarh Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul, hal. 467].
Pendapat ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut. Pertama, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskan seluruh permasalahan agama. Tidak ada perkara yang berkaitan dengan agama kecuali Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskannya. Kedua, nash syar’i telah meliputi pada setiap perkara yang dibutuhkan manusia. Sehingga tidak ada masalah, kecuali ada dalil yang menunjukkannya, baik dalil yang jelas maupun tersembunyi. Ketiga, sebagian ulama terkadang tidak mendapatkan sebuah nash, sehingga ia berdalil dengan ijtihad atau qiyas. Sedangkan sebagian yang lainnya mengetahui nash-nya, lalu ia berdalil dengan nash itu, hingga ijtihad seorang mujtahid itu bertepatan dengan nash yang dijadikan dalil oleh mujtahid yang mengetahui dalilnya.
2. Penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan Ijma’ kecuali ada dalilnya.
3. Kadang ada Ijma’ tidak nampak dalilnya bagi kita, tapi sesungguhnya di sana ada dalil yang tersembunyi maknanya bagi kita, sedangkan bagi ahlil-ijma’ tidak.
4. Para ulama telah berselisih, apakah Ijma’ boleh bersandar pada ijtihad atau qiyas.
Jika ada orang yang mengklaim ada Ijma’ yang tanpa dalil, maka tidak lepas dari salah satu dari tiga kemungkinan : Pertama, penukilan Ijma’ tidak benar. Kedua, dimungkinkan adanya dalil yang me-mansukh-nya, kemudian para ulama bersepakat pada dalil yang me-mansukh-nya, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul-Qayyim di atas. Ketiga, dimungkinkan pada mereka ada dalil umum yang tersembunyi bagi diri kita, sedangkan mereka mengetahuinya.
Jika Para Shahabat Berselisih Menjadi Dua Pendapat, Maka Jangan Menambah Pendapat yang Ketiga
Jika para shahabat berselisih dalam satu masalah, maka hendaklah kaum muslimin untuk tidak keluar dari ucapan mereka, dan tidak boleh mendatangkan ucapan atau pendapat baru yang tidak pernah dikatakan mereka, sebab kebenaran beredar di antara mereka. Para shahabat tidak akan bersepakat dalam kesesatan, dan Allah tidak akan membiarkan mereka dalam kesesatan. Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini.
Pertama : Dalil Syar’iy
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَظُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
Dari Tsauban ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : “Terus-menerus ada kelompok dari umatku, yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang tidak menolong mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu” [HR. Muslim no. 1920].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah akan mengutus dalam setiap seratus tahun kepada umat ini seorang (mujaddid) yang akan memperbaharui agamanya” [HR. Abu Dawud no. 4291].
Dalil di atas menunjukkan bahwa tidak mungkin umat ini bersepakat di atas kebathilan, dan hak dalam satu masa sirna tidak ada yang mengatakannya, atau seluruh ulama tidak ada yang tahu, sebab semua itu bertentangan dengan dalil di atas.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
فإنهم أفضل ممن بعدهم كما دل عليه الكتاب والسنة، فالاقتداء بهم خير من الاقتداء بمن بعدهم، ومعرفة إجماعهم ونزاعهم في العلم والدين خير وأنفع من معرفة ما يذكر من إجماع غيرهم ونزاعهم.
وذلك أن إجماعهم لا يكون إلا معصوماً، وإذا تنازعوا فالحق لا يخرج عنهم، فيمكن طلب الحق في بعض أقاويلهم، ولا يحكم بخطأ قول من أقوالهم حتى يعرف دلالة الكتاب والسنة على خلافه.
“Sesungguhnya mereka (as-salafush-shaalih) lebih utama daripada orang-orang setelahnya sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengikuti mereka itu lebih baik daripada mengikuti orang-orang setelah mereka. Mengetahui Ijma’ mereka dan perselisihan mereka dalam ilmu dan agama, (itu) lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui Ijma’ dan perselisihan orang-orang selain mereka. Karena Ijma’ As-Salafush-shaalih terjaga dari kesalahan. Apabila mereka berselisih, maka kebenaran tidak keluar dari mereka. Kebenaran bisa diketahui dari salah satu ucapan mereka. Tidak boleh menyalahkan salah satu ucapan mereka, sehingga diketahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya” [Al-Fataawaa, 13/24].
Kedua : Amal Para Ulama’.
Jika Para Shahabat Berselisih Menjadi Dua Pendapat, Maka Jangan Menambah Pendapat yang Ketiga
Jika para shahabat berselisih dalam satu masalah, maka hendaklah kaum muslimin untuk tidak keluar dari ucapan mereka, dan tidak boleh mendatangkan ucapan atau pendapat baru yang tidak pernah dikatakan mereka, sebab kebenaran beredar di antara mereka. Para shahabat tidak akan bersepakat dalam kesesatan, dan Allah tidak akan membiarkan mereka dalam kesesatan. Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini.
Pertama : Dalil Syar’iy
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَظُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
Dari Tsauban ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : “Terus-menerus ada kelompok dari umatku, yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang tidak menolong mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu” [HR. Muslim no. 1920].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah akan mengutus dalam setiap seratus tahun kepada umat ini seorang (mujaddid) yang akan memperbaharui agamanya” [HR. Abu Dawud no. 4291].
Dalil di atas menunjukkan bahwa tidak mungkin umat ini bersepakat di atas kebathilan, dan hak dalam satu masa sirna tidak ada yang mengatakannya, atau seluruh ulama tidak ada yang tahu, sebab semua itu bertentangan dengan dalil di atas.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
فإنهم أفضل ممن بعدهم كما دل عليه الكتاب والسنة، فالاقتداء بهم خير من الاقتداء بمن بعدهم، ومعرفة إجماعهم ونزاعهم في العلم والدين خير وأنفع من معرفة ما يذكر من إجماع غيرهم ونزاعهم.
وذلك أن إجماعهم لا يكون إلا معصوماً، وإذا تنازعوا فالحق لا يخرج عنهم، فيمكن طلب الحق في بعض أقاويلهم، ولا يحكم بخطأ قول من أقوالهم حتى يعرف دلالة الكتاب والسنة على خلافه.
“Sesungguhnya mereka (as-salafush-shaalih) lebih utama daripada orang-orang setelahnya sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengikuti mereka itu lebih baik daripada mengikuti orang-orang setelah mereka. Mengetahui Ijma’ mereka dan perselisihan mereka dalam ilmu dan agama, (itu) lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui Ijma’ dan perselisihan orang-orang selain mereka. Karena Ijma’ As-Salafush-shaalih terjaga dari kesalahan. Apabila mereka berselisih, maka kebenaran tidak keluar dari mereka. Kebenaran bisa diketahui dari salah satu ucapan mereka. Tidak boleh menyalahkan salah satu ucapan mereka, sehingga diketahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya” [Al-Fataawaa, 13/24].
Kedua : Amal Para Ulama’.
1. Al-Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila datang berita dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka sepenuhnya kami menerimanya. Apabila datang berita dari para shahabat Nabi, maka kami memilih salah satu ucapan mereka (apabila mereka berselisih). Dan apabila datang ucapan dari para tabi’in, maka kami mengikuti pendapat Al-Imam Malik bin Anas yang berkata dalam Al-Muwaththa’ : ‘Di dalamnya terdapat hadits Nabi, ucapan para shahabat, para tabi’in, pendapat-pendapat mereka’. Kadang aku berpendapat dengan pendapatku dalam masalah ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari para ahli ilmu yang berada di negara kami dan kami tidak keluar dari ucapan mereka”.
2. Al-Imam Malik berkata tentang kitabnya Al-Muwaththa’ : “Di dalamnya ada hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ucapan-ucapan para shahabat, tabi’in, dan pendapat-pendapat mereka, dan aku sungguh berbicara dengan pendapatku atas ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari perkataan ahli ilmu yang ada di negeri kami. Aku tidak pernah keluar daripendapat mereka (beralih) ke yang lainnya” [Tatribul-Madaarik, 1/193].
3. Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata : “Ilmu itu ada tingkatannya. Pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Kedua, Ijma’ yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga, perkataan salah seorang di antara shahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya. Keempat, perbedaan di kalangan shahabat. Kelima, qiyas terhadap salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil selain Al-Qur’an dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu diambil dari yang di atas” [Al-Madkhal ilaa Sunanil-Kubraa, hal. 110].
4. Al-Imam Ahmad berkata : “Apabila dalam suatu permasalahan ada hadits Nabi, maka kami tidak mengambil ucapan salah seorang dari para shahabat, juga orang-orang setelah mereka. Apabila dalam suatu permasalahan ada perbedaan di antara para shahabat, maka kami memilih salah satu ucapan mereka, dan kami tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan yang selainnya. Serta, apabila tidak didapatkan ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, maka kami memilih ucapan para tabi’in” [Al-Musawwadah, hal. 276].
5. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits dengan penafsiran yang tidak dikenal dari para shahabat dan tabi’in, maka dia telah mengada-adakan dusta terhadap Allah, menyimpang dari ayat-ayat Allah, memalingkan kalam Allah dari yang semestinya, dan telah membuka pintu bagi orang-orang zindiq lagi menyimpang (untuk menyelewengkan ayat-ayat Allah dari tempatnya). Dan hal ini adalah suatu perkara yang telah jelas kebathilannya dari agama Islam” [Al-Fataawaa, 13/243].
6. Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata : “Demikianlah, kondisi firqah-firqah yang baru dalam syari’at terhadap syari’at. Di antara mereka men-ta’wil syari’at dengan ta’wil yang bukan ta’wil firqah lainnya. Dan setiap firqah menyangka bahwa yang di-ta’wil itulah yang dimaksud oleh pemilik Syari’at, sehingga mereka memporak-porandakan syari’at, dan menjauhkan dari keadaannya yang pertama” [I’lamul-Muwaqqi’iin].
Amal para ulama ini menunjukkan bahwa mereka tidak pernah keluar dari pendapat para shahabat. Tetapi mengikuti Ijma’ mereka atau memilih salah satu pendapat dari para shahabat jika mereka berselisih.[2]
[selesai – dengan sedikit tambahan dari Abul-Jauzaa’].
2. Al-Imam Malik berkata tentang kitabnya Al-Muwaththa’ : “Di dalamnya ada hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ucapan-ucapan para shahabat, tabi’in, dan pendapat-pendapat mereka, dan aku sungguh berbicara dengan pendapatku atas ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari perkataan ahli ilmu yang ada di negeri kami. Aku tidak pernah keluar daripendapat mereka (beralih) ke yang lainnya” [Tatribul-Madaarik, 1/193].
3. Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata : “Ilmu itu ada tingkatannya. Pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Kedua, Ijma’ yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga, perkataan salah seorang di antara shahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya. Keempat, perbedaan di kalangan shahabat. Kelima, qiyas terhadap salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil selain Al-Qur’an dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu diambil dari yang di atas” [Al-Madkhal ilaa Sunanil-Kubraa, hal. 110].
4. Al-Imam Ahmad berkata : “Apabila dalam suatu permasalahan ada hadits Nabi, maka kami tidak mengambil ucapan salah seorang dari para shahabat, juga orang-orang setelah mereka. Apabila dalam suatu permasalahan ada perbedaan di antara para shahabat, maka kami memilih salah satu ucapan mereka, dan kami tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan yang selainnya. Serta, apabila tidak didapatkan ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, maka kami memilih ucapan para tabi’in” [Al-Musawwadah, hal. 276].
5. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits dengan penafsiran yang tidak dikenal dari para shahabat dan tabi’in, maka dia telah mengada-adakan dusta terhadap Allah, menyimpang dari ayat-ayat Allah, memalingkan kalam Allah dari yang semestinya, dan telah membuka pintu bagi orang-orang zindiq lagi menyimpang (untuk menyelewengkan ayat-ayat Allah dari tempatnya). Dan hal ini adalah suatu perkara yang telah jelas kebathilannya dari agama Islam” [Al-Fataawaa, 13/243].
6. Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata : “Demikianlah, kondisi firqah-firqah yang baru dalam syari’at terhadap syari’at. Di antara mereka men-ta’wil syari’at dengan ta’wil yang bukan ta’wil firqah lainnya. Dan setiap firqah menyangka bahwa yang di-ta’wil itulah yang dimaksud oleh pemilik Syari’at, sehingga mereka memporak-porandakan syari’at, dan menjauhkan dari keadaannya yang pertama” [I’lamul-Muwaqqi’iin].
Amal para ulama ini menunjukkan bahwa mereka tidak pernah keluar dari pendapat para shahabat. Tetapi mengikuti Ijma’ mereka atau memilih salah satu pendapat dari para shahabat jika mereka berselisih.[2]
[selesai – dengan sedikit tambahan dari Abul-Jauzaa’].
_________
FooteNote
[1]Ada perkataan dari Al-Imam Asy-Syafi’iy sejenis dimana beliau mengingkari adanya ijma’. Beliau berkata :
لستُ أقولُ ولا أحدٌ من أهل العلم : ((هذا مجتمعٌ عليه))، إلا لِما تلقى عالماً أبداً إلا قاله لك وحكاهُ عن من قبلك، كالظهرُ أربعٌ، وكتحريم الخمر، وما أشبه هذا، وقد أجِدُهُ يقولُ : ((المجمع عليه))، وأجدُ من المدينة من أهل العلم كثيراً يقولون بخلافه، وأجِدُ عامَّةَ أهل البلدان على خلاف ما يقول : ((المجتمع عليه)).
”Aku dan juga tidak seorang ulamapun mengatakan : ’Hal ini telah disepakati’, kecuali apa yang dikatakan oleh seorang ulama kepadamu dan ia menceritakan dari ulama sebelummu, seperti shalat Dhuhur itu empat raka’at, haramnya khamr, dan yang semisal dengannya. Dan aku kadang mendapatinya seorang mengatakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya’; kemudian aku mendapati banyak ulama Madinah yang menyelisihinya, dan aku juga mendapati banyak di antara penduduk negeri-negeri menyelisihi apa yang ia katakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya” [Ar-Risaalah, hal. 534-535, tahqiq & syarh : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ini juga bukan merupakan penafi’an adanya ijma’ dari Al-Imam Asy-Syafi’iy. Namun apa yang dimaksudkan beliau ini adalah penafian adanya ijma’ kecuali pada perkara yang telah diketahui secara pasti. Beliau mengingkari orang yang bermudah-mudah untuk mengklaim adanya ijma’. Pengingkaran itu juga beliau lakukan terhadap sebagian orang yang mengklaim ijma’ dimana klaim ijma’ tersebut ternyata menyelisihi pendapat shahabat yang tidak ternukil adanya penyelisihan dari shahabat yang lainnya. Mereka ingin membatalkan pendapat shahabat dan membenarkan pendapat mereka yang bathil.- Abul-Jauzaa’.
[2]Hal itu ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka ia telah menentang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Tidak akan terealiasi sikap ittiba’ yang sempurna kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam kecuali dengan mengikuti jalan orang-orang mukmin, yaitu para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Konsekuensinya, tidak mungkin dibenarkan pendapat yang ketiga jika hanya dua pendapat yang ternukil dari kalangan shahabat dalam satu permasalahan.
FooteNote
[1]Ada perkataan dari Al-Imam Asy-Syafi’iy sejenis dimana beliau mengingkari adanya ijma’. Beliau berkata :
لستُ أقولُ ولا أحدٌ من أهل العلم : ((هذا مجتمعٌ عليه))، إلا لِما تلقى عالماً أبداً إلا قاله لك وحكاهُ عن من قبلك، كالظهرُ أربعٌ، وكتحريم الخمر، وما أشبه هذا، وقد أجِدُهُ يقولُ : ((المجمع عليه))، وأجدُ من المدينة من أهل العلم كثيراً يقولون بخلافه، وأجِدُ عامَّةَ أهل البلدان على خلاف ما يقول : ((المجتمع عليه)).
”Aku dan juga tidak seorang ulamapun mengatakan : ’Hal ini telah disepakati’, kecuali apa yang dikatakan oleh seorang ulama kepadamu dan ia menceritakan dari ulama sebelummu, seperti shalat Dhuhur itu empat raka’at, haramnya khamr, dan yang semisal dengannya. Dan aku kadang mendapatinya seorang mengatakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya’; kemudian aku mendapati banyak ulama Madinah yang menyelisihinya, dan aku juga mendapati banyak di antara penduduk negeri-negeri menyelisihi apa yang ia katakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya” [Ar-Risaalah, hal. 534-535, tahqiq & syarh : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ini juga bukan merupakan penafi’an adanya ijma’ dari Al-Imam Asy-Syafi’iy. Namun apa yang dimaksudkan beliau ini adalah penafian adanya ijma’ kecuali pada perkara yang telah diketahui secara pasti. Beliau mengingkari orang yang bermudah-mudah untuk mengklaim adanya ijma’. Pengingkaran itu juga beliau lakukan terhadap sebagian orang yang mengklaim ijma’ dimana klaim ijma’ tersebut ternyata menyelisihi pendapat shahabat yang tidak ternukil adanya penyelisihan dari shahabat yang lainnya. Mereka ingin membatalkan pendapat shahabat dan membenarkan pendapat mereka yang bathil.- Abul-Jauzaa’.
[2]Hal itu ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka ia telah menentang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Tidak akan terealiasi sikap ittiba’ yang sempurna kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam kecuali dengan mengikuti jalan orang-orang mukmin, yaitu para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Konsekuensinya, tidak mungkin dibenarkan pendapat yang ketiga jika hanya dua pendapat yang ternukil dari kalangan shahabat dalam satu permasalahan.
Sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/konsekuensi-adanya-ijma.html
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.