Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



FATWA - PENETAPAN 'IDUL ADHA

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :




Oleh : Asy-Syaikh Ibrohim bin ‘Amir ar-Ruhaili –hafidzohulloh-

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh,
Syaikh, tentang dengan penetapan hari Idul Adha di daerahku, Salafiyyun terbagi menjadi 2 bagian; sebagian mereka mengikuti Saudi dan sebagian lainnya mengikuti pemerintah. Yang mengikuti Saudi berhujjah dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa bahwa kaum muslimin selalu mengambil rukyahnya jama’ah haji. Apakah ini benar?

Jawaban:
Wa’alaikumussalaam wa rohmatulloh wa barokaatuh,
Pertama-tama, para ‘ulama telah berbicara tentang masalah ini. Adapun tentang Romadhon : puasa dan iedul fithri, maka pada setiap negeri punya rukyah masing-masing. Dan tidak boleh bagi penduduk negeri ini atau yang selainnya berpuasa mengikuti Saudi dan negeri-negeri lainnya, bahkan setiap negeri memiliki rukyah masing-masing. Jika orang-orang berpuasa, mereka berpuasa bersamanya dan jika orang-orang berbuka (iedul Fithri, pent) mereka berbuka bersamanya, jika kalian berada di negeri muslim seperti negeri ini.

Adapun pada Iedul Adha, pada penetapan hari Arofah, sebagian ‘ulama menyebutkan masalah ini bahwa yang dianggap adalah rukyahnya negeri yang ditegakkan haji padanya. Karena hari Arofah adalah hari wukufnya manusia di Arofah. Ini dikatakan oleh sebagian ahlul ilmi.

Dan masalahnya khilafiyyah antara ahlul ilmi. Akan tetapi tidak diragukan bahwa tarjih suatu pendapat atas pendapat lainnya jika hal ini akan menyebabkan keburukan dan fitnah, maka persatuan kaum muslimin atas sebagian pendapat yang akan menghasilkan kesatuan kata dari pendapat para mujtahidin dan bukan dari pendapat ahli bid’ah, maka itu lebih baik daripada perpecahan kaum muslimin.

Kalian di negeri ini, jika pemerintah memberitahukan tentang sesuatu, maka ijtihadnya mengangkat khilaf. Dan jika kalian melihat ahlul ilmi wal fadhl, Ahlus Sunnah dan thullabul ilmi di kalangan mereka, jika mereka bersatu atas satu pendapat, jangan selisihi mereka.

Salah seorang peserta dauroh bertanya menimpali :

Akan tetapi musykilahnya pemerintah kami memberikan kebebasan yang sempurna bagi siapa yang ingin memilih pendapat ini, bagaimana pendapat anda?

Asy-Syaikh menjawab:
Jika mereka memberikan kebebasan maka ikutilah kebanyakan kaum muslimin yang mereka Ahlus Sunnah yang mereka menegakkan al-haq di setiap tempat dan waktu, jika kebanyakan dari mereka dan jama’ah mereka berada di atas sesuatu maka ikutilah mereka dan jangan bersikap syadz (nyeleneh, pent) dari mereka. Na’am.


Catatan : Yang dimaksud dengan keputusan pemerintah adalah KEPUTUSAN RESMI dari pemerintah. Allahu Ta'ala a'lam.

[Diterjemahkan dari rekaman Dauroh Masyayikh Madinah di Kebun Teh Wonosari Lawang – Malang Juli 2007. File : syaikh ibrohim 4.mp3 >> 71:50 – 74:26]

---------------------

RENUNGAN BAGI SALAFIYYIN DI INDONESIA :

Untuk permasalahan KHILAF MU'TABAR seperti ini, perlu sekiranya kita berlapang dada. benar, kita SALING MENYELISIHI berdasarkan dalil yang kita miliki. akan tetapi janganlah PERSELISIHAN tersebut meruncing menjadi PERPECAHAN. Akan tetapi, CONTOHILAH SIKAP PARA ULAMA yang saling berbeda pendapat itu! jika mereka saling berkasih sayang, maka kenapa kita -sebagai MUQALLID- saling membenci!?

Bahkan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi setiap orang :
1. Agar ia mengetahui suatu permasalahan dengan baik dan benar
2. Agar ia rujuk kepada kebenaran dan BERPEGANG diatasnya
3. Agar ia mengetahui SIKAP yang baik dan benar dalam permasalahan tersebut

Ingatlah, khilaf mu'tabar bukan hanya masalah ini saja, tapi SANGAT BANYAK masalah yang lain...

Kita perlu mengetahui akar suatu permasalahan dengan baik dan benar, dan mencoba MENCARI KEBENARAN dengan bertanya kepada AHLInya, kemudian merujuk kepada kebenaran berdasarkan DALIL-DALIL yang diberikan oleh AHLI ILMU.

Jika ternyata pada permasalahan tersebut terdapat perselisihan yang KUAT, maka hendaknya kita BERSIKAP DEWASA; tidak BERKACAMATA KUDA.

Adanya orang yang MENYELISIHI kita dalam permasalahan tersebut JANGAN KITA ANGGAP sebagai orang yang MENYIMPANG! apakah kita akan mengatakan ULAMA yang berada dibelakangnya juga MENYIMPANG?!!

Adanya orang yang MENYELISIHI kita dalam permasalahan tersebut JANGAN KITA ANGGAP sebagai orang yang MENDAHULUKAN HAWA NAFSUNYA!! apakah kita SUDAH MEMBEDAH hatinya sehingga kita tahu ia mengikuti hawa nafsu?!

Bahkan khilaf mu'tabar itu banyak sekali, bukan hanya dalam permasalahan penentuan puasa arafah dan 'idul adha saja...

Tapi juga tentang HUKUM QURBAN (apakah wajib ataukah sunnah muakkadah), juga masalah-masalah lain, seperti HUKUM SHALAT BERJAMA'AH (yang selama ini KEBANYAKAN dari kita, mungkin menganggap dalam masalah ini HANYA ADA SATU PENDAPAT SAJA yang TIDAK BOLEH DISELISIHI, yakni WAJIB (fardhu 'ain), bagi yang tidak berpendapat wajib, maka ia munafik?! Allahul musta'aan....)

dan juga BERBAGAI MASALAH YANG LAIN..

maka -sekali lagi- perlu bagi kita untuk :

1. mengetahui (BERILMU) suatu permasalahan dengan baik dan benar
2. rujuk kepada kebenaran dan BERPEGANG diatasnya
3. mengetahui (BERILMU) bagaimana seharusnya SIKAP kita dalam permasalahan tersebut

Berkata asy-Syaikh al-'Utsaimin rahimahullåhu ta'ala dalam kibatul 'ilm dalam permasalahan sedekap atau tidak dalam i'tidal :

"Tetapi kita wajib untuk tidak menjadikan perselisihan di antara ulama' ini sebagai penyebab perpecahan, karena kita seluruhnya menghendaki al-haq, dan kita seluruhnya telah melakukan segala usaha yang ijtihad-nya membawa ke sana.

Maka selama perselisihan itu (--seperti ini, yakni khilaf mu'tabar--), sesungguhnya kita tidak boleh menjadikannya sebagai sebab permusuhan dan perpecahan diantara ahlul ilmi, karena sesungguhnya para ulama' itu selalu berselisih, walaupun di zaman Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam..

Kalau begitu, maka yang menjadi kewajiban bagi thalibul ilmi hendaklah mereka bersatu, dan janganlah mereka menjadikan perselisihan semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling membenci.

Bahkan jika engkau berbeda pendapat dengan temanmu berdasarkan kandungan dalil yang engkau miliki, sedangkan temanmu menyelisihimu berdasarkan kandungan dalil yang ada padanya, maka kalian wajib untuk menjadikan diri kalian diatas satu jalan dan hendaklah kecintaan bertambah di antara kalian berdua."

(Kitabul ilmi, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 28-30, penerbit: Daar ats-Tsurayya, cet: I, th:1417 H. 1996 M)

Demikianlah nasehat ahli ilmu terhadap para penuntut ilmu, yang seharusnya kita teladani.
[Dinukil dari nasehat Al akh Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifliy dalam perkara pembahasan semisal].

Sumber : http://abufathurrahman.wordpress.com/2007/12/18/fatwa-syaikh-ibrahim-ar-ruhaili-tentang-penetapan-idul-adha/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.