Bismillah,
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah radhiallahu anha bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
“Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik”. (HR. Al-Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605)
Maksudnya : Walaupun apa yang dia sampaikan atau katakan itu tidak benar, akan tetapi dia mengucapkannya agar terwujud perdamaian di antara kedua belah pihak.
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
“Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal: Dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.”
Penjelasan ringkas:
Dusta merupakan dosa yang sangat besar dan amalan yang sangat jelek. Hanya saja, jika pada suatu keadaan tertentu, kedustaan bisa membawa kemaslahatan syar’i yang lebih besar daripada mudharat kedustaan itu, maka ketika itu dusta diperbolehkan sebutuhnya. Hanya saja ini bukan berarti setiap orang bisa berijtihad dengan pemikirannya untuk menilai suatu dusta itu boleh atau tidak, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah menegaskan bentuk dusta yang diperbolehkan dalam syariat. Karenanya kita wajib terbatas pada apa yang beliau sebutkan dan selainnya tetap dalam hukum haram dan merupakan dusta yang tercela.
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah radhiallahu anha bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا
“Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik”. (HR. Al-Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605)
Maksudnya : Walaupun apa yang dia sampaikan atau katakan itu tidak benar, akan tetapi dia mengucapkannya agar terwujud perdamaian di antara kedua belah pihak.
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
“Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal: Dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.”
Penjelasan ringkas:
Dusta merupakan dosa yang sangat besar dan amalan yang sangat jelek. Hanya saja, jika pada suatu keadaan tertentu, kedustaan bisa membawa kemaslahatan syar’i yang lebih besar daripada mudharat kedustaan itu, maka ketika itu dusta diperbolehkan sebutuhnya. Hanya saja ini bukan berarti setiap orang bisa berijtihad dengan pemikirannya untuk menilai suatu dusta itu boleh atau tidak, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah menegaskan bentuk dusta yang diperbolehkan dalam syariat. Karenanya kita wajib terbatas pada apa yang beliau sebutkan dan selainnya tetap dalam hukum haram dan merupakan dusta yang tercela.
Adapun kedustaan yang diperbolehkan adalah:
1. Dusta untuk mendamaikan pihak yang bertikai.
2. Dusta dalam perang. Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَرْبُ خَدْعَةٌ
“Perang adalah tipu daya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun lafazh tambahan dalam riwayat Muslim di atas, maka ada perselisihan di antara para perawi hadits tersebut: Apakah ucapannya itu merupakan ucapan Ummu Kultsum ataukah dia merupakan ucapan Muhammad bin Muslim Az-Zuhri (Tabi’in). Dan Imam Muslim telah mengisyaratkan perbedaan riwayat ini dalam kitab Shahihnya. Jika ucapan itu adalah ucapan Ummu Kultsum, maka ucapan ini mempunyai hukum marfu’ (sabda Nabi) dan bisa dijadikan hujjah. Tapi jika dia adalah ucapan Az-Zuhri maka dia hanya mempunyai hukum mauquf (ucapan sahabat) yang tidak bisa dijadikan hujjah untuk membolehkan sebagian bentuk kedustaan.
Ala kulli hal, jika hukumnya marfu’ maka kita bisa menambahkan dusta suami istri dalam dusta yang diperbolehkan. Akan tetapi jika hukum ucapan itu hanya mauquf maka dusta yang diperbolehkan hanya dua dan dusta suami istri tetap merupakan dusta yang diharamkan, wallahu a’lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/dusta-yang-diperbolehkan.html
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.