Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



MEMAHAMI MAKNA KUFRUN DUNNA KUFRIN

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : Syaikh Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullah

Pertanyaan :
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali ditanya : Bagaimana pendapat Anda tentang sebagian da’i yang mengatakan bahwa perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, yaitu kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam,-red) berlaku bagi pemerintah yang menjadikan Islam sebagai hukum, lalu dalam beberapa masalah dia menyeleweng ; bukan pada pemerintah yang memang undang-undang mereka tidak menjadikan Islam sebagai sumber hukum, walaupun dia beragama Islam, maka itu adalah kufur Akbar.

Jawaban :
Tentang riwayat Ibnu Abbas, Pertama ; riwayat yang jelas dan sharih (nyata), dalam masalah membedakan antara dua jenis kekafiran, yaitu kufur akbar dan kufur ashghar. Kekafiran yang mengeluarkan dari agama dan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama.

Karena sesungguhnya, masalah berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan termasuk kufur ashghar, permulaannya. Dan tidaklah keluar dari kufur ashghar kepada kufur akbar yang mengeluarkan dari agama, kecuali dengan istihlal (meyakini kehalalan berhukum dengan selain yang Allah turunkan).

Kemudian kita kembali kepada pertanyaan. Perkataan sebagian da ’i atau sebagian penulis bahwa perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berlaku bagi orang yang menghukumi dengan selain yang Allah turunkan dalam satu masalah atau dua masalah, atau tiga masalah, atau semacam itu.

Adapun pemerintah yang menggantikan syari’at Allah dengan syari’at selain-Nya, maka perkataan Ibnu Abbas tidaklah mengenainya. Perkataan ini, zhahirnya teori yang bagus. Namun menurut penelitian tidak memiliki dalil yang dijadikan sandaran padanya.

Pertama : Perkataan Ibnu Abbas ini diriwayatkan turun temurun oleh Salaf,dari satu generasi kepada generasi berikutnya, sehingga sampai kepada para ulama dakwah yang baik dan diberkahi pada zaman kita ini. Dan mereka tidaklah berpendapat dengan syarat ini (yaitu perincian yang mereka sebutkan, -red) pada riwayat Ibnu Abbas. Apakah mereka (para ulama kita itu) di atas ilmu, atau mereka di atas kesesatan dan kebodohan? Tidak ada keraguan bahwa ulama Islam berada di atas ilmu dan petunjuk sedangkan mereka ini, para hizbiyyun (fanatikus golongan, organisasi) di atas kesesatan dan kebodohan. Maka perkataan mereka ini tertolak.

Kedua : Apakah yang menjadikan mereka membedakan antara menghukumi dalam satu masalah dengan menghukumi dalam seratus masalah? Maka berikanlah kepada kami batas pemisah, antara orang yang disamakan sehingga mereka terkena riwayat ini, dengan orang yang tidak disamakan sehingga tidak terkena riwayat ini. Yaitu satu masalah, dua masalah, tiga,empat ratus, atau seribu, tidak ada batasan pada mereka. Ini menunjukkan jauhnya perkataan mereka (dari kebenaran).

Ketiga : Bahwa istibdal (penggantian syari ’at oleh penguasa muslim) secara menyeluruh tidaklah didapati di muka bumi ini di antara kaum muslimin. Yaitu menghukumi seratus persen dengan selain yang Allah turunkan. Pada semua negara, hukum-hukum warisan, hukum-hukum pernikahan, hukum-hukum shalat, hukum-hukum adzan ; semua ini dengan syari ’at Islam. Dan selain itu, seperti hukum-hukum wakaf, semuanya dengan hukum-hukum syari’at. Maka tidak didapati satu
negara yang mengganti syari ’at Allah (seratus persen). Misalnya kita katakan, negara ini, yaitu dahulu negara Islam, kemudian mengganti syari’at Allah, menghukumi sebagaimana negara Inggris menghukumi dengan undang-undang yang kekafirannya nyata.

Wahai saudara-saudaraku, cukuplah kita membedakan antara negara Islam dengan negara kafir dengan manhaj Ahlus Sunnah, yaitu dengan syi ’ar shalat dan iqamat . Maka negara yang ditempati semisal ini, maka itu negara Islam, dan jika dilarang maka itu negara kafir, kita mohon perlindungan kepada Allah Tabaraka wa Ta ’ala. Ini diketahui oleh orang-orang yang pergi ke negara-negara Barat, yaitu anda tidak mendengar adzan shalat. Ini terlarang (di negara mereka). Ini adalah nergara kafir. Oleh karena itulah, perkataan mereka terhadap riwayat Ibnu Abbas tersebut merupakan perkataan yang mengada-ada terhadap riwayat tersebut ; tidak ada kebenaran dan tidak ada ilmu padanya, dan Allah Ta ’ala yang lebih tahu.


 [Ceramah Syaikh Salim bin Id Al-Hilali di Masjid Iatiqlal, Jakarta, Ahad 22 Muharram 1428H/10 Pebruari 2007M]

Sumber : Catatan Al akh Budi Al Jawiy
http://www.facebook.com/note.php?note_id=466271487890


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.