Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



INTERAKSI AHLUS SUNNAH TERHADAP PENGUASA

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Bismillah,
Semoga risalah ini membawa manfaat yang positif bagiku dan bagi saudara-saudaraku yang selalu ingin selalu menegakkan Qur’an dan Sunnah. Ketahuilah saudaraku, seperti yang telah disebutkan diatas, kita tidak boleh memahami/menafsirkan Qur’an dan Sunnah sesuai Ra’yu (akal) kita apalagi hawa nafsu kita, itulah yang menjadikan kita tersesat atau keluar dari garis Ahlussunnah wal Jama’ah. Marilah kita satukan pemahaman kita diatas pemahaman yang haq, yaitu pemahaman as-salaf ash-sholeh, yang tak lain adalah para shahabat (رضون الله عليهم)

Sesungguhnya, sebaik-baik perkataan adalah Kalamulloh (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah perkara baru (dalam urusan ibadah) dan setiap perkara yang baru (dalam urusan ibadah) adalah Bid’ah dan setiap Bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. (HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain (1578))

Bab I. Tentang Penguasa

Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri diantara kalian.” (An-Nisa`: 59)

Al-Imam An-Nawawi berkata:
“Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)

Adapun Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Diantaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:

1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!

“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia)." (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)

3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:

Shahabat Aliq bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata:
“Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” (Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?”) Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…”. (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata:
“Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)

Al-Imam Al-Barbahari berkata:
“Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)

Bab II. Muamalah Dengan Penguasa

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada pemimpinnya, maka hendaknya dia bersabar dan janganlah ia membangkang kepada pemimpinnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jamaah, lalu mati, maka ia mati secara jahiliah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abdullah Ibnu Abbas berkata,
“Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar.”

Imam Nawawi berkata, “Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

Bab III. Menasehati Penguasa

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,
“Barangsiapa yang ingin menasehati pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, dia ambil tangannya (penguasa tersebut) dan berduaan dengannya. Kalau dia menerima nasihat, itu yang diharapkan. Dan bila tidak menerimanya, maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban nasihat kepadanya.” (HR Imam Ahmad, 3/403; Ibnu Abi ‘Ashim, 2/251 dengan sanad shohih).

Dan Allah pasti Maha Adil melakukan perhitungan terhadap hamba-hambanya jadi penguasa harus memikirkan ini pula.

Ketika terjadi fitnah pada zaman Utsman, sebagian orang berkata kepada Usamah bin Zaid: “Kenapa anda tidak menegur Utsman?” Beliau berkata, “Kalian beranggapan bahwa saya tidak menegurnya, kecuali kalau saya perdengarkan pada kalian? Sungguh saya telah menegurnya diantara saya dan dia (secara diam-diam) dengan tanpa membuka perkara (fitnah), yang saya tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”.

Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasehati Utsman dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.

Imam Syafi’i berkata,
“ Barangsiapa yang menasehati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasehati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasehatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,
“Orang mukmin menasehati dengan cara rahasia, dan orang jahat menasehati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Syaikh bin Baz berkata:
“Menasehati para pemimpin dengan cara yang terang-terangan melalui melalui mimbar-mimbar atau tempat2 umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf . Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasehati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasehat tersebut.”

Bekal-bekal sebelum menasehati penguasa

1. Memiliki niat yang Ikhlas dalam memberi nasehat.

Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr :
“ Wahai, Abdulloh bin Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika engkau berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang yang riya dan orang yang ingin dipuji”. (HR. Abu Dawud)

2. Menjauhi segala bentuk ambisi pribadi.

Seperti contoh ulama salaf kita, Sufyan Ats Atsauri, yang sering menolak pemberian penguasa karena khawatir pemberian tersebut menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran.

3. Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran.

Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zhalim (HR. Abu Dawud)

4. Berdoa kepada Allah.

Seperti doa yang diajarkan oleh Ibnu Abbas.

Bab IV. Contoh Perlakuan Salaf Terhadap Penguasa

Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu mengatakan: Para pembesar shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dengan mengatakan:

لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ، وَلاَ تَغِشُّوْهُمْ وَلاَ تُبْغَضُوْهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوْا، فَإِنَّ اْلأَمْرَ قَرِيْبٌ

“Janganlah kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah mengkhianati mereka dan janganlah membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya perkara itu dekat.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim no. 1015 dalam Kitabus Sunnah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah)

Para pendahulu kita yang sholih sering mendoakan kebaikan terhadap mereka. Karena baiknya mereka bisa membuat baik keadaan kita (dengan izin Allah). Karena itulah as-salafush shalih seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Ahmad bin Hambal dan selain keduanya menyatakan:

“Seandainya kami memiliki doa yang mustajab niscaya doa tersebut akan kami tujukan untuk penguasa.”
(As-Siyasah Asy-Syar‘iyyah, hal. 129-130)

Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullah berkata:
“Ashabul hadits memandang shalat Jum’at, shalat dua ied dan shalat-shalat lainnya dilakukan di belakang setiap imam/pimpinan muslim yang baik ataupun yang fajir/jahat. Mereka memandang untuk mendoakan taufik dan kebaikan untuk penguasa serta tidak boleh memberontak, sekalipun para pimpinan tersebut telah menyimpang dari keadilan dengan berbuat kejahatan, kelaliman dan kesewenang-wenangan.” (‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hal. 106)

Itulah gambaran/dalil-dalil tentang penguasa.

Oleh sebab itu jika kita disuruh mengerjakan sesuatu maka segeralah kita katakan dan tanyakanlah kepada orang itu:

“Mana dalilnya"?? Jika itu merupakan ayat al-qur’an, coba terangkan kepadaku bagaimana shahabat memahaminya! Jika itu merupakan hadits, apakah derajatnya Shohih, Dhoif atau Maudhu?? apakah para shahabat nabi Ridwanullohu ‘alaihi Ajmaiin Melakukan itu?? karena jika itu baik, pasti mereka telah mengamalkan hal tersebut, tapi jika tidak pernah, maka katakanlah “Perbuatan ibadah itu adalah Bid’ah! Sedikit melakukan Sunnah lebih baik daripada banyak melakukan Bid’ah. Demi Allah, amalan kita akan tertolak jika kita melakukan amalan ibadah sesuatu (walaupun itu baik menurut pikiran kita) tapi tanpa petunjuk Nabi, bukan hanya itu, kita telah membuat-buat syari’at baru, untuk menandingi syari’at yang dibawa dan dituntunkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Ketahuilah, sesuatu yang kita anggap baik itu belum tentu baik dalam pandangan syar’i, begitupun sebaliknya, sesuatu yang kita anggap buruk, belum tentu itu buruk dalam kacamata syar’i”.

Oleh karena itu Ikhwan wa akhwati Fid diin marilah kita buang jauh-jauh segala macam kebid’ahan yang mewabah didalam diri kita, seperti berdemonstrasi, yang lebih banyak kerusakannya daripada kebaikannya, serta membuat takut masyarakat. Mari kita hindari juga prinsip memecah-belah tongkat kesatuan umat muslim, dengan berontak-memberontak untuk menurunkan penguasa muslim yang masih melakukan sholat, baik penguasa tersebut mendapatkan kekuasaanya dengan kudeta berdarah ataupun dengan demokrasi yang tidak sesuai islam. Karena petunjuk Islam ini sudah sempurna, dan itulah yang dipraktikkan oleh para shahabat.

Dan tidak mungkin kita dapat menghidupkan islam melalui cara-cara yang tidak Islami seperti liberalisme, komunisme, dan sekularisme. Seperti berdemokrasi, dan sejarah telah membuktikan itu! mereka-mereka yang telah terjun dalam bid’ah tersebut, terbukti tidak dapat menciptakan satu daulah/negara yang berlandaskan syari’at, bahkan mereka semakin tenggelam dalam bid’ah-bid’ah tersebut, dan malah mendukung hukum-hukum manusia yang terpraktekkan didalamnya. Coba lihat contoh di Aljazair, Afghanistan, Irak, negara kita, Indonesia, dan Palestina yang akhir-akhir ini sangat menyedihkan.

Mengapa kita tidak memprioritaskan saja dakwah kita kepada orang-orang dekat kita yang mungkin memilki keyakinan syirik? (atau bahkan Syirik besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, yang jika ia mati sebelum bertaubat maka akan disiksa di neraka jahannam kekal selama-lamanya, wa iyya udzu billah..)

Seperti yang berdo’a kepada kuburan-kuburan orang (yang dianggap) sholih, yang percaya jimat-jimat, yang percaya dukun-dukun, yang membangun masjid diatas Kuburan. Begitupun dengan yang melakukan bid’ah-bid’ah, yang menyembelih kurban untuk selain Allah dll (Oleh karena itu marilah kita prioritaskan dakwah kita kepada Tauhid yang benar-benar shohih karena inti dakwah SELURUH Nabi dan rasul adalah Tauhid bukan kekuasaan. Jadi, tauhid merupakan landasan prioritas utama bukan yang lain.

Dan juga janganlah kita memberikan kecintaan/ loyalitas kita terhadap orang yang aqidahnya jelek seperti yang berpemahaman wahdatul wujud, yang mencaci maki shahabat Nabi, yang berpikiran/berpemahaman jabariyyah (pemahaman sesat terhadap qadha’ dan qadar, yang menafikkan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada Allah. singkatnya, segala perbuatan manusia ini adalah dipaksa oleh Allah, wa iyya ’udzu billah) sematadan terlebih yang mengkafirkan umat muslimin, saudara seaqidah kita.

Bab V Dalil-dalil yang tegas tentang bid’ahnya berdemonstrasi kepada pemerintah muslim

Imam Asy-Syaukani yang berkata:
“Bagi orang-orang yang hendak menasehati Imam (pemimpin) dalam beberapa masalah (lantaran pemimpin itu telah berbuat salah), seharusnya ia tidak menempatkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai. Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya, kemudian menasehatinya tanpa merendahkan penguasa Allah.

Kami telah menyebutkan pada awal kitab As-Sair: Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir. Akan tetapi wajib atas makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As-Sailul Jarar 4/556)

Bedakanlah kelakuan sahabat dengan kelakuan Khawarij pada kisah dibawah ini. Dan kemudian renungkanlah, tanyakan kepada diri kita secara jujur, mana yang ingin kita contoh!

Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al-Adawi. Beliau berkata:
“Aku di samping Abu Bakrah, berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal (Mirdas bin Udayah, seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al-Mizzi 7/399.) berkata, “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.” Lantas Abu Bakrah berkata, “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.’”. (Sunan At-Tirmidzi no. 2224).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasehati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani, sampai pada perkataannya:

“…sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasehati. Oleh karena itu, jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya, walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara salafus shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam hal. 395)

Manhaj Khawarij ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said bin Jahm, beliau berkata:

“Aku datang kepada Abdullah bin Abu Aufa, beliau matanya buta, maka aku mengucapkan salam.

Beliau bertanya kepadaku: “Siapa engkau?” “Said bin Jahman,” jawabku.

Beliau bertanya: “Kenapa ayahmu?” Aku katakan: “Al-Azariqah (Satu aliran dari aliran-aliran Khawarij) telah membunuhnya.”

Beliau berkata: “Semoga Allah melaknat Al-Azariqah, semoga Allah melaknat Al-Azariqah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing neraka.” Aku bertanya: “(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al-Azariqah saja atau Khawarij semuanya?”

Beliau menjawab: “Ya, Khawarij semuanya.” Aku katakan: “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kedhaliman kepada rakyatnya.”

Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya dengan sangat kuat, kemudian berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jahman, wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika kau ingin pemerintah mau mendengar nasehatmu, maka datangilah dan kabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad dalam musnadnya 4/383)

Demonstrasi Termasuk tasyabuh dengan kafir & Ikhtilath antara Ikhwan dan Akhwat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku diutus dengan pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Allah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.” (HR. Abu Dawud)

Bahkan dalam islam yang pertama kali mengadakan demonstrasi adalah Ibnu Saba’ seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam yang fitnahnya menyebabkan terbunuhnya Khalifah ar-rosyid Utsman bin Affan.

Adapun tentang riwayat bahwa setelah masuk Islamnya Umar radliyallahu ‘anhu kaum muslimin keluar karena perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua shaf (barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan. Dalam satu barisan terdapat Hamzah radliyallahu ‘anhu, sedang barisan yang lain ada Umar bin Al-Khattab radliyallahu ‘anhu beserta kaum muslimin.” Maka kita perlu tahu bahwa riwayat tersebut bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Mungkinkah kita bersandar kepada hadis yang tidak Shohih?? Sedangkan hadis yang shohih melarang kita Demonstrasi mencaci pemimpin muslim!?

Adapun jika mereka bersandar pada hadis Salman al Farisi yang menggugat Umar bin Khattab karena kelebihan kain ghanimah selimut dari Yaman maka ketahuilah saudaraku bahwa Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, dalam terjemah salah satu kitabnya, bahwa riwayat tersebut adalah DUSTA, setelah diketahui ada salah seorang rowi’ yang munkar, pemalsu hadits, dan juga tidak mungkin Shahabat yang mulia akan menyelisihi tuntunan sunnah yang telah diajarkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan mana mungkin ’umar dalam pembagian harta seperti orang sosialis yang menyamakan semua bagian?

Penutup
Renungkanlah dalam-dalam ya Ikhwani wa akhwati Fiddiin janganlah kita termakan hawa nafsu kita. Dan janganlah kita mempunyai sifat Hizbiyyah (mengukur kebenaran hanya dengan fanatisme buta kelompoknya walaupun dalil sudah ditegakkan.. yang akhirnya menghancurkan Islam dari dalam dengan bid’ah-bid’ah Hizbiyyah) Jadi manakah hadis yang menunjukkan kita boleh berdemonstrasi?

Suatu negara yang dipimpin oleh pemimpin yang dhalim, yang di dalamnya ditaburi praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan buah dari tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khulafaur rasyidin.

Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi, tetapi dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar dalam pandangan syar’i. Hingga kemudian menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya, diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan demikian akan musnahlah virus kolusi, korupsi, dan virus-virus yang lainnya dengan sendirinya insya Allah.

Semoga risalah diatas menjadi renungan bagi kita semua. Ana pribadi berharap agar risalah ini dapat dijadikan kritik yang membangun bagi ana pribadi dan bagi para pembaca, yang semoga bisa bermanfaat bagi kita semua dalam tujuan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Semoga kita membuka hati dan pikiran kita dalam-dalam dan sejernih-jernihnya sehingga memudahkan kita untuk memahami ilmu yang haq dan semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua. Jazakallah khair.

Silahkan bagi yang ingin menyebarkan risalah singkat ini (dalam rangka berjihad dengan ilmu), yang insya Allah dengan harapan tak lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya untuk mendapatkan pahala dan ridho-Nya, serta untuk menegakkan hujjah kepada segenap kaum muslimin.

Karena sesuai dengan sabda shallallahu ’alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang menyebarkan sunnah yang baik (amalan yang sesuai syar’i) maka dia mendapat pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikuti. Barangsiapa yang menyebarkan sunnah yang buruk (amalan yang bertentangan dengan syari’at Allah, seperti syirik, bid’ah, maksiat) maka dia menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa orang tersebut.” (HR. Muslim 2/704)
Billahit taufiq,
Wallahu ’alam bish showwab


Maraji’/ Sumber:
- Majalah As Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M
- Majalah Salafy rubrik Mabhats edisi XXVII/1419 H/ 1998 M
- http://diqra.wordpress.com/2007/08/31/manhaj-ahlussunnah-wal-jama%E2%80%99ah-terhadap-penguasa/ (dengan beberapa perubahan)

Sumber : Catatan al akh Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifliy
http://www.facebook.com/note.php?note_id=77462057076


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.