Apakah Nabi Pernah Berbuat Salah?
Bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu? Sedangkan kalau kita merujuk kepada al-Qur’an dan as-sunnah, maka akan kita temukan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang isinya menegur beliau (misalnya QS. at-Tahrim: 1 dan QS. Abasa: 1-11) dan di dalam as-sunnah maka akan kita temukan juga hal yang semisal, seperti beliau pernah shalat dzuhur 2 rakaat karena lupa, yang akhirnya beliau melakukan sujud sahwi. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam juga ditegur oleh Allah berkenaan dengan fitnah yang terjadi pada ‘Aisyah. Mohon kiranya pa’ Ustad berkenan menjelaskan, apa dan bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Jazakumullah khairan katsiran.
Ubaid
Alamat: Jakarta Timur
Email: aerxxxx@yahoo.com
Jawaban :
Mengenai kema’shuman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para Nabi dan Rasul secara umum, perlu dibagi menjadi dua macam :
Bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu? Sedangkan kalau kita merujuk kepada al-Qur’an dan as-sunnah, maka akan kita temukan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang isinya menegur beliau (misalnya QS. at-Tahrim: 1 dan QS. Abasa: 1-11) dan di dalam as-sunnah maka akan kita temukan juga hal yang semisal, seperti beliau pernah shalat dzuhur 2 rakaat karena lupa, yang akhirnya beliau melakukan sujud sahwi. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam juga ditegur oleh Allah berkenaan dengan fitnah yang terjadi pada ‘Aisyah. Mohon kiranya pa’ Ustad berkenan menjelaskan, apa dan bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Jazakumullah khairan katsiran.
Ubaid
Alamat: Jakarta Timur
Email: aerxxxx@yahoo.com
Jawaban :
Mengenai kema’shuman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para Nabi dan Rasul secara umum, perlu dibagi menjadi dua macam :
1. Kema’shuman dari kesalahan dalam menyampaikan ajaran agama
Yaitu apakah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam serta para Nabi dan Rasul terjaga dari melakukan kesalahan dalam menyampaikan agama? Jawabnya : ya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. (QS. Al Baqarah: 285)
Pada ayat di atas, setiap mu’min diwajibkan untuk beriman kepada apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, ini menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terbebas dari kesalahan, kealpaan dan kecacatan.
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. (Mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. (QS. Al Baqarah: 285)
Pada ayat di atas, setiap mu’min diwajibkan untuk beriman kepada apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, ini menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terbebas dari kesalahan, kealpaan dan kecacatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata:
“Para Nabi Shalawatullah ‘alaihim mereka ma’shum dalam mengabarkan dan menyampaikan ajaran agama dari Allah, ini disepakati para ulama. Oleh karena itulah mengimani apa yang mereka bawa adalah wajib” (Majmu’ Fatawa, 289-290/10)
2. Kema’shuman dari dosa dan maksiat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- juga menjelaskan bahwa kema’shuman para Nabi dan Rasul dari dosa dan maksiat terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat mereka ma’shum secara mutlak. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka ma’shum dari dosa besar saja. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka hanya ma’shum dalam penyampaian risalah namun tidak ma’shum dari dosa dan maksiat.
Sebagian ulama yang berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul ma’shum secara mutlak berdalil dengan alasan logika, yaitu bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk meneladani dan mentaati para Nabi dan Rasul jika mereka pernah berbuat dosa. Alasan logika yang lain adalah, para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia sempurna, jika mereka berbuat dosa dan maksiat, tentu tidak sempurna lagi. Pendapat ini lemah karena hanya didasari oleh logika saja. Maka Syaikhul Islam pun menyanggahnya:
“Logika tersebut bisa saja benar jika para Nabi dan Rasul terus-menerus berbuat dosa lalu tidak ruju’, padahal tidak demikian. Dan taubat nasuha yang diterima oleh Allah dapat mengangkat orang yang bertaubat tersebut kepada martabat yang lebih tinggi daripada sebelum ia bertaubat. Sebagaimana perkataan para salaf:
‘Nabi Daud ‘Alaihissalam keadaannya lebih mulia setelah bertaubat daripada sebelum ia berbuat kesalahan‘” (Majmu’ Fatawa, 294/10)
Oleh karena itu kita jumpai banyak dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul pernah berbuat dosa. Namun jika kita perhatikan setiap dalil yang menunjukkan para Nabi dan Rasul berbuat dosa selalu digandengkan dengan taubat dan ruju’nya mereka.
Allah Ta’ala menceritakan Nabi Adam dan istrinya:
“Keduanya berkata: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 23)
Allah Ta’ala menceritakan Nabi Nuh ‘Alaihissalam:
“Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (QS. Hud: 47)
Allah Ta’ala menceritakan tentang Nabi Daud ‘Alaihissalam :
“Nabi Daud meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik” (QS. Shad: 24-25)
Begitu juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Banyak terdapat hadits dari yang menunjukkan bahwa beliau tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana hadits:
“Aisyah ditanya tentang doa yang biasa diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia menjawab: ‘Beliau sering berdoa: ‘Ya Allah, aku berlindung dari keburukan yang telah aku perbuat dan keburukan yang belum aku perbuat’. Dalam riwayat lain: ‘Dari keburukan yang aku belum tahu’‘” (HR. Muslim no.2716)
Oleh karena itu beliau tidak pernah bosan bertaubat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sungguh aku biasa bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim no.7034)
Sehingga pendapat yang kuat adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
“Pendapat yang menyatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa besar namun tidak ma’shum dari dosa kecil adalah pendapat mayoritas ulama dan seluruh aliran-aliran Islam yang ada, bahkan sampai-sampai ini pun merupakan pendapat mayoritas ahlul kalam” (Majmu’ Fatawa, 319/4)
Kesimpulan : pendapat yang benar -wallahu’alam-, para Nabi dan Rasul ma’shum dari dosa besar dan ma’shum dari terus-menerus melakukan dosa kecil. Mereka pernah berbuat kesalahan yang tergolong dosa kecil namun segera bertaubat dan pasti ditegur dan diampuni oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian akan selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18)
Wallahu Ta’ala A’lam
Rujukan:
[A’ Irsyad Fii Shahil I’tiqad Wa Raddu Wa Raddu ‘Ala Ahlis Syirki Wal Ilhaad, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan -hafizhahullah- , cetakan kedua, penerbit Dar Ash Shahabah Mesir].
“Para Nabi Shalawatullah ‘alaihim mereka ma’shum dalam mengabarkan dan menyampaikan ajaran agama dari Allah, ini disepakati para ulama. Oleh karena itulah mengimani apa yang mereka bawa adalah wajib” (Majmu’ Fatawa, 289-290/10)
2. Kema’shuman dari dosa dan maksiat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- juga menjelaskan bahwa kema’shuman para Nabi dan Rasul dari dosa dan maksiat terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat mereka ma’shum secara mutlak. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka ma’shum dari dosa besar saja. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka hanya ma’shum dalam penyampaian risalah namun tidak ma’shum dari dosa dan maksiat.
Sebagian ulama yang berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul ma’shum secara mutlak berdalil dengan alasan logika, yaitu bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk meneladani dan mentaati para Nabi dan Rasul jika mereka pernah berbuat dosa. Alasan logika yang lain adalah, para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia sempurna, jika mereka berbuat dosa dan maksiat, tentu tidak sempurna lagi. Pendapat ini lemah karena hanya didasari oleh logika saja. Maka Syaikhul Islam pun menyanggahnya:
“Logika tersebut bisa saja benar jika para Nabi dan Rasul terus-menerus berbuat dosa lalu tidak ruju’, padahal tidak demikian. Dan taubat nasuha yang diterima oleh Allah dapat mengangkat orang yang bertaubat tersebut kepada martabat yang lebih tinggi daripada sebelum ia bertaubat. Sebagaimana perkataan para salaf:
‘Nabi Daud ‘Alaihissalam keadaannya lebih mulia setelah bertaubat daripada sebelum ia berbuat kesalahan‘” (Majmu’ Fatawa, 294/10)
Oleh karena itu kita jumpai banyak dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul pernah berbuat dosa. Namun jika kita perhatikan setiap dalil yang menunjukkan para Nabi dan Rasul berbuat dosa selalu digandengkan dengan taubat dan ruju’nya mereka.
Allah Ta’ala menceritakan Nabi Adam dan istrinya:
“Keduanya berkata: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 23)
Allah Ta’ala menceritakan Nabi Nuh ‘Alaihissalam:
“Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (QS. Hud: 47)
Allah Ta’ala menceritakan tentang Nabi Daud ‘Alaihissalam :
“Nabi Daud meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik” (QS. Shad: 24-25)
Begitu juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Banyak terdapat hadits dari yang menunjukkan bahwa beliau tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana hadits:
“Aisyah ditanya tentang doa yang biasa diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia menjawab: ‘Beliau sering berdoa: ‘Ya Allah, aku berlindung dari keburukan yang telah aku perbuat dan keburukan yang belum aku perbuat’. Dalam riwayat lain: ‘Dari keburukan yang aku belum tahu’‘” (HR. Muslim no.2716)
Oleh karena itu beliau tidak pernah bosan bertaubat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sungguh aku biasa bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim no.7034)
Sehingga pendapat yang kuat adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
“Pendapat yang menyatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa besar namun tidak ma’shum dari dosa kecil adalah pendapat mayoritas ulama dan seluruh aliran-aliran Islam yang ada, bahkan sampai-sampai ini pun merupakan pendapat mayoritas ahlul kalam” (Majmu’ Fatawa, 319/4)
Kesimpulan : pendapat yang benar -wallahu’alam-, para Nabi dan Rasul ma’shum dari dosa besar dan ma’shum dari terus-menerus melakukan dosa kecil. Mereka pernah berbuat kesalahan yang tergolong dosa kecil namun segera bertaubat dan pasti ditegur dan diampuni oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian akan selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18)
Wallahu Ta’ala A’lam
Rujukan:
[A’ Irsyad Fii Shahil I’tiqad Wa Raddu Wa Raddu ‘Ala Ahlis Syirki Wal Ilhaad, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan -hafizhahullah- , cetakan kedua, penerbit Dar Ash Shahabah Mesir].
Sumber : http://ustadzkholid.com/manhaj/apakah-nabi-pernah-berbuat-salah/#more-1589
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.