Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



MEMAKNAI BEKERJA MENCARI NAFKAH SEBAGAI IBADAH

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : ,

Sudah di lihat :



MUQADDIMAH :
Sering kita mendengarkan istilah, atau perkataan teman2 dalam kehidupan sehari2 mengenai, bekerja adalah ibadah, mencari nafkah itu ibadah, bahkan ada yang mengatakan sebagai jihad. Lalu pertanyaannya, ibadah yang bagaimana? dan seperti apa?
Untuk memperjelas masalah tersebut, berikut ini adalah rinciannya :

Dalam Kitab Tauhid jilid 1, Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan menjelaskan tentang makna Ibadah :

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk
Di dalam syara', ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para rasulNya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhannahu wa Ta'ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.

B. Macam-Macam Ibadah Dan Keluasan Cakupannya
Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan membaca Al-Qur'an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma'ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Begitu pula cinta kepada Allah dan RasulNya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hu-kumNya, ridha dengan qadha'-Nya, tawakkal, mengharap nikmatNya dan takut dari siksaNya.

Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi'ar-syi'ar yang biasa dikenal.

Maka sekali lagi, bekerja mencari nafkah, baik itu untuk diri sendiri terutama jika untuk menafkahi keluarga, maka perbuatan ini dapat bernilai ibadah.

Adapun meminta2, menyandarkan hidup menjadi beban orang lain adalah terlarang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengecam perbuatan itu dalam sabda beliau

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada manusia hingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” [1]

Seorang penuntut ilmu harus mencari nafkah guna menjaga kehormatannya meskipun harus dengan menjual kayu bakar di pasar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak memberinya.” [2]

‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan, “Wahai para pembaca Al-Qur-an, berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan, carilah sebagian dari karunia Allah, dan janganlah kalian menjadi beban bagi manusia.” [3]

Sa’id bin al-Musayyib rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mengumpulkan harta (mencari nafkah), yang dengan harta itu ia bisa menjaga kehormatan dirinya dan melaksanakan amanatnya.” [4]

Foote Notes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (104), lafazh ini milik al-Bukhari, dari Sha-habat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1471, 2075), dari Shahabat az-Zubair bin al-‘Awwam rahdiyallaahu ‘anhu.
[3]. Atsar hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/725, no. 1330).
[4] Ibid (I/720, no. 1312).

___________________________

Bekerja yang diniatkan semata-mata karena Allah dalam rangka mengamalkan firman-Nya (untuk melaksanakan kewajiban menafkahi keluarga):

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا

"...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya." (Al-Baqarah: 233)

Maka itu jelas termasuk kerja yang bernilai ibadah. Namun demikian, jenis pekerjaan tersebut haruslah yang dibolehkan oleh syari'at. Tidak termasuk kerja yang bernilai ibadah apabila jenis pekerjaan tersebut dilarang oleh syari'at meskipun untuk menafkahi keluarga, semisal: kerja di bank, bermain musik, di perusahaan rokok, di diskotik, dll.

Setiap yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada keluarganya, karena bernilai ibadah, maka akan diberi ganjaran oleh Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"...Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan ke mulut istrimu akan mendapat ganjaran." (HR. Bukhari no. 1295 dan Muslim no. 1628)

Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dan anak2nya, maka ia berdosa (karena meninggalkan kewajibannya). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia beri makan (nafkah)." (Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1692. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Daud (V/376, no. 1485)

Allah hanya menghalalkan usaha yang bersih dan mengharamkan usaha yang kotor. Seorang muslim tidak boleh menghalalkan segala cara dalam mengais rezeki, demi mengejar keuntungan semu yang memikat serta menggiurkan.

Harta yang bersih dan halal sangat berpengaruh positif pada gaya hidup dan perilaku manusia, bahkan menentukan diterimanya ibadah dan terkabulnya doa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wahai, manusia! Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para utusan-Nya", maka Allah berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Mukminun: 51).

Kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kisah seseorang yang sedang bepergian sangat jauh, berpakaian compang-camping, berambut kusut, mengangkat
tangan ke atas langit tinggi-tinggi dan berdoa: "Ya, Rabbi!
Ya, Rabbi!" sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya terkabul?" (HR. HR Muslim dalam Kitab Zakat; At Tirmidzi, Ad Darimi dan Ahmad dalam Musnad-nya).

Abu Umar Ibnu Abdul Bar berkata:
"Setiap harta yang tidak menopang ibadah kepada Allah, dan dikonsumsi untuk kepentingan maksiat serta mendatangkan murka Allah, tidak dimanfaatkan untuk menunaikan hak Allah dan kewajiban agama, maka harta tersebut tercela. Adapun harta yang diperoleh lewat usaha yang benar sementara hak-hak harta ditunaikan secara sempurna, dibelanjakan di jalan kebaikan untuk meraih ridha Allah, maka harta tersebut sangat terpuji". (Jami’ul bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul Bar, juz 2, hlm. 26)

Allah Ta'ala berfirman:

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur." (Al A'raaf: 10)

Sehubungan dengan ayat tsb, Al-Imam Ibnu Katsir berkata:
"Allah mengingatkan kepada seluruh umat manusia tentang karunia-Nya berupa kehidupan yang mapan di muka bumi, dilengkapi dengan gunung2 yang terpancang kokoh, sungai2 yang mengalir indah, dan tanah yang siap didirikan tempat tinggal dan rumah hunian, serta Allah menurunkan air hujan berasal dari awan. Dan Allah juga memudahkan kepada mereka untuk mengais rezeki dan membuka peluang maisyah (penghidupan) dengan berbagai macam usaha, bisnis dan niaga, namun sedikit sekali mereka yang mau bersyukur". (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3,hlm. 282).

Dari Ayyub, bahwa Abu Qilabah berkata: "Dunia tidak akan merusakmu selagi kamu masih tetap bersyukur kepada Allah," maka Ayyub berkata bahwa Abu Qilabah berkata kepadaku: "Wahai, Ayyub! Perhatikan urusan pasarmu dengan baik, karena hidup berkecukupan termasuk bagian dari sehat wal afiat". (Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 2/286).

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas:
"Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, (itu) lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain". (HR. Bukhari no. 2742, Muslim no. 1628, Tirmidzi no. 2116).

Beberapa atsar (riwayat) dari para ulama mulia di atas, menepis anggapan bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian. Abu Darda berkata: "Termasuk tanda pemahaman seseorang terhadap agamanya, adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya". (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223, Ibnu Abi Syaibah no.34606 dan Al Baihaqi dalam Asy Syuab, 2/365)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
"Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja, melainkan berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal, sehingga hidupnya menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa, kecuali orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri. hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Boleh jadi seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan utk berusaha." (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 303).

Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, semangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri, tidak menjadi beban orang lain. Sebab, pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri, merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun." (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i dalam sunan-nya)

Meninggalkan anak cucu dalam kondisi berkecukupan lebih baik dari pada mereka hidup terlunta-lunta menjadi beban orang lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

"Dan hendaklah TAKUT kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (An- Nisaa': 9).

Imam Al Baghawi berkata, bahwa yang dimaksud dg "dzurriyatan dhi’afan" adalah anak-anak yang masih kecil, yang dikhawatirkan tertimpa kefakiran." (Tafsir Maalimut Tanzil Al Baghawi, Juz 2,hlm. 170. Lihat juga tafsir Al Qurthubi, Juz 4. hlm. 35).

Ali bin Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata:
"Ayat di atas turun untuk seseorang saat menjelang ajalnya berwasiat yang merugikan ahli warisnya. Maka Allah menganjurkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut agar bertakwa kepada Allah dan mengarahkan kepada wasiat yang benar dan lurus. Dan hendaknya orang tersebut prihatin terhadap kondisi ahli warisnya, jangan sampai mereka terlantar dan menjadi beban orang lain sepeninggalnya". (Tafsir Ath Thabari, Juz 4 hlm. 181).

Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata:
"Wahai ahli qira’ah. Berlombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dan rezeki Allah, dan janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain". (Jami’ul bayanul Ilmi wa Fadhlih, Ibnu Abdul bar, Juz 2, hlm. 35).

Said bin Musayyib berkata:
"Barangsiapa berdiam di masjid dan meninggalkan pekerjaan, lalu menerima pemberian yang datang kepadanya, maka (ia) termasuk mengharap sesuatu dengan cara meminta-minta". (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 300).

Abu Qasim Al Khatli bertanya kepada Imam Ahmad:
"Apa pendapat anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang’?" Maka beliau menjawab: "Orang tersebut bodoh terhadap agama. Apakah (ia) tidak mendengarkan sabda Rasulullah ‘Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad)’."
(Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302).

Sahl bin Abdullah At Tustari berkata,
"Barangsiapa yang merusak tawakkal, berarti telah merusak pilar keimanan. Dan barangsiapa yang merusak pekerjaan, berarti telah membuat kerusakan dalam Sunnah." (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299).

Wallaahu a’lam bish shawab.

[Materi artikel ini adalah kontribusi dari akh Abu Muhammad Herman dan Akh Tonybudisantosa Ahmadfathony dalam komen2nya di status Facebook Abu Ayaz]


Share

Comment (1)

Assalamualaikum
artikel yang bermanfaat akhi.
gabung ya di INDONESIA MUSLIM SOCIAL NETWORKING - Ikhwahfillah.com
jazakallah khairan katsiran.

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.