Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



HARAMNYA BINATANG BUAS

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : , ,

Sudah di lihat :



Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

Alkisah suatu saat Ismail Al-Qadhi masuk kepada khalifah Abbasiyyah waktu itu, lalu disuguhkan padanya sebuah kitab yang berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para ulama. Setelah membacanya dia berkomentar : “Penulis buku ini adalah zindiq [1], sebab orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut’ah, dan orang yang membolehkan nikah mut’ah tidaklah membolehkan nyanyian, tidak ada seorang alim pun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya dibakar. [Siyar A’lam Nubala 13/465,Adz-Dzahabi]

Sejarah berulang lagi saat ini ! Betapa banyak kita jumpai manusia pada zaman sekarang yang mengikuti arus hawa nafsunya dengan mencari-cari ketergelinciran ulama. Baginya musik boleh-boleh saja karena mengikuti pendapat Ibnu Hazm!! Wanita nikah tanpa wali hukumnya boleh karena mengikuti madzhab Hanafiyyah!! Binatang buas tidak haram karena mengikuti madzhab Malikiyyah!! Melafazhkan niat boleh karena mengikuti madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah!! Demikianah dia menborong segudang bencana pada dirinya!!

Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa tidak semua pendapat yang dinisbatkan kepada suatu madzhab [2] atau seorang alim berarti pasti shahih alamatnya, bahkan tidak jarang penisbatan tersebut hanyalah anggapan semata. [Lihat At-Ta’alum wa Atsaruhu Ala Fikri wal Kitab Bakr Abu Zaid hal. 112]

Kajian kita kali ini adalah tentang hukum memakan daging binatang buas, haram atau bolehkah sebagaimana yang populer dalam madzhab Malikiyyah. Kami terdorong mengulas masalah ini karena hukum yang sudah jelas tentangnya ternyata masih samar bagi sebagian kalangan. Buktinya, masih ada sebagian da’i kondang yang mengatakan : “haditsnya hanya ahad!”, “ada kesalahan perawinya!”. Pesan saya kepada juru dakwah yang mau pergi ke Korea agar jangan memfatwakan tentang haramnya daging anjing karena penduduk disana biasa memakannya!!”. Ada juga yang mengatakan : “hukumnya boleh, kan cuma makruh [3], ditinggalkan dapat pahala dilakukan juga enggak berdosa”. Dan komentar lainnya.

Kita berdo’a kepada Alloh agar menampakkan sinar kebenaran dalam hati kita semua dan memudahkan kita untuk mengikutinya. Amiin.

TAKHRIJ HADITS
Ketauhilah wahai saudaraku seiman –semoga Alloh selalu mejagamu- bahwa hadits ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. Berikut ini kami paparkan beberapa riwayat sebagiannya yang paling shahih agar hati anda menjadi tentram tentang keshahihannya.

[1]. Riwayat Abu Tsa’labah Al-Husyani Radhiyallahu’anhu.
Dari Abu Tsa’labah Al-Husyani Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakan setiap binatang buas yang bertaring”

SHAHIH. Diriwayatkan Bukhari 5530, 5780, 5781. Muslim 1936, Tirmidzi 1477, Abu Dawud 3802, Nasai 4325, 4342, Ibnu Majah 3232, Malik dalam Al-Muwatha’ 2/496, Ahmad dalam Musnadnya 4/193, 194 Ad-Darimi 1980, 1981, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 2555, Syafi’i dalam Musnadnya 1168, 1746, Ath-Thayyalisi 1016, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 8704, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19865, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa 889, Thabrani dalam Mu’jam Kabir 22/208, 209 Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190, 206 Baihaqi dalam Sunan Kubra 9/331, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 11/233 dari Jalur Abu Idris Al-Khaulani dari Abu Tsa’labah.
Tirmidzi berkata : “hadits masyhur dari Abu Tsa’labah, hasan shahih”
Al-Baghawi berkata : “Hadits ini disepakati keshahihannya”

[2]. Riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
DariAbu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Setiap binatang yang bertaring maka memakannya adalah haram”

SHAHIH. Diriwayatkan Muslim 1933, Tirmidzi 4324, Nasai 7/200, Ibnu Majah 3233, Malik dalam Al-Muwatha 2/496, Ahmad dalam Musnadnya 2/236, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5278, Syafi’i dalam Musnadnya 1169, 1748, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19867, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/234 dari Ismail bin Abu Hakim dari Abidin bin Sufyan Al-Hadhrami dari Abu Hurairah.
Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan”
Al-Baghawi berkata : “Hadits ini shahih”
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid 1/139 : “Hadits ini shahih, bahkan disepakati keshahihannya”.

[3]. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam”

SHAHIH. Diriwayatkan Muslim 1934, Abu Dawud 3803, Nasai 4348, Ibnu Majah 3234, Ahmad 1/244, 289, 302, 339, 373, Darimi 1982, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 8707, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19870, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5256, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa 892, 893, Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra 9/315, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/47, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 11/234 dari Maimun bin Mihran dari Ibnu Abbas. Dan terkadang dari Maimun bin Mihran dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas.
Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih menurut syarat Bukhari-Muslim
Al-Baghawi berkata : “Hadits ini shahih”.

[4]. Miqdam bin Ma’di Karib Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu.
Dari Miqdam bin Ma’di Karib Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya aku telah mendapatkan wahyu kitab (Al-Qur’an) dan semisalnya (Hadits). Ketahuillah, hampir saja akan ada seseorang duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya dalam keadaan kenyang, sedang dia mengatakan : “Berpeganglah kalian dengan Al-Qur’an. Apa yang kalian jumpai di dalamnya berupa perkara haram, maka haramkanlah”, Ketahuilah tidaklah dihalalkan untuk kalian keledai jinak dan setiap binatang buas yang mempunyai kuku tajam. Demikian pula luqathah (barang temuan) melainkan apabila pemiliknya telah merelakannya. Dan barang siapa singgah bertamu kepada suatu kaum, hendaklah mereka menjamunya. Jika tidak, boleh baginya (tamu) mengambil haknya”.

SHAHIH.
Diriwayatkan Abu Dawud 4604, Ahmad 4/130-131, Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 1/149-150, Al-Kahthib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/79 dan Al-Kifayah hal.8, Ibnu Nashr Al-Marwazi dalam As-Sunnah hal. 116, Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah hal. 51, Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 6/549 dari jalan Hariz bin Utsman Ar-Rahabi dari Abdullah bin Abu Auf Al-Jursyi dari Miqdam bin Ma’di Karib Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sanad hadits ini shahih, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Al-Misykah 163. Hadits ini juga mempunyai syawahid (penguat-penguat) yang cukup banyak.

[5]. Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan pada hari Khaibar keledai (jinak), bighal (pernakan dari keledai dengna kuda), setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam”.

HASAN. Diriwayatkan Tirmidzi 1478, Ahmad dalam Musnadnya 3/323, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19869 dari Ikrimah bin Ammar dari Yahya bin Abu Salma dari Jabir.
Tirmidzi berkata : “Hasan gharib”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 9/813 “Sanadnya jayyid”. Dan disetujui Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 7/456

Dan masih banyak lagi riwayat lainnya dari Ali bin Abu Thalib, Khalid bin Walid, Irbadh bin Sariyah, Abu Umamah Al-Bahili, Ikrimah secara mursal. Bahkan hadits ini dihukumi mutawatir oleh sebagian ulama seperti Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190. Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 1/125, Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in 3/364, Al-Kattani dalam Nazhamul Mutanatsir hal. 161.

Setelah ini, masih adakah keraguan dalam diri kita terhadap keabsahan hadits ini?!! Dan perhatikanlah bersama hadits keempat di atas yang merupakan informasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada golongan yang mendustakan hadits beliau!!


FIQIH HADITS [4]
Setelah kita ketahui bersama keabsahan hadits pembahasan, sekarang kami ingin mengajak pembaca yang kami cintai –semoga Alloh menjadikan kita hamba-hamba Alloh yan saling mencintai- untuk mempelajari fiqih hadits ini. Berikut beberapa pembahasan yang ingin kami uraikan mengenai hadits pembahasn di atas.

[1]. Definisi
Nab secara bahasa adalah gigi taring yang berada di belakang gigi seri. [Nailul Author Asy-Syaukani 8/120]

Adapun yang dimaksud dalam pembahasan ini, kalau menurut Syafi’iyyah dan Hanabillah adalah gigi yang dijadikan oleh binatang buas untuk menyerang manusia dan hewan. (Mughni Muhtaj Asy-Syirbini 4/300, Al-Mughni Ibnu Qudamah 11/66). Sedangkan menurut Hanafiyyah maksudnya adalah hewan yang biasa melukai atau membunuh. [Hasyiyah Ibni Abidin 5/193, Takmilah Fathul Qadir 9/499]

Dua definisi ini sekalipun berbeda redaksinya, namun maknanya sama. Oleh karenanya, Ibnu Hubairah mengatakan : “Mereka (imam empat) bersepakat bahwa semua binatang buas bertaring yang menyerang selainnya, seperti singa, serigala, macan kumbang, macan tutul, semuanya hukumnya haram, kecuali Malik dia hanya berpendapat makruh, tidak sampai haram” [Al-Ifshah 1/457]

Jadi yang menjadi patokan keharaman binatang buas adalah apabila dia memiliki dua sifat : Pertama : Memiliki gigi taring, Kedua : Melawan dengan taringnya.

[2]. Hukumnya
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum binatang buas.

[a]. Makruh Dan Tidak Haram
Hal ini merupakan riwayat dari Imam Malik rahimahullah dan pendapat yang popular dalam madzhab Malikiyyah [Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd 1/343, Adhwaul Bayan Asy-Syinqithi 2/250]

Riwayat kedua dari Imam Malik rahimahullah adalah haram seperti pendapat imam madzhab lainnya. Pendapat inilah yang beliau tegaskan dalam kitabnya Al-Muwatha 2/42 : “Bab haramnya memakan binatang buas bertaring”, kemudian beliau membawakan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan Abu Tsa’labah Radhiyallahu ‘anhu, seraya berkomentar : “Inilah pendapat kami”. Landasan riwayat pertama dari Imam Malik rahimahullah adalah tekstual surat Al-An’am : 145.

“Artinya : Katakanlah : “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Alloh….”

Mereka menyatakan bahwa ayat ini secara tegas membatasi makanan yang haram hanya pada perkara-perkara di atas saja.(Al-Jami li Ahkamil Qur’an Al-Qurthubi 7/117). Atau maksimalnya adalah makruh hukumnya, demi mengkompromikan antara ayat dengan hadits. [Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd 1/343]

[b]. Haram
Hal ini merupakan pendapat Hanabilah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah (Al-Mughni Ibnu Qudamah 11/66, Mughni Muhtaj Asy-Syirbini 4/300, Syarh Tanwir Abshar 5/193). Dalil mereka adalah hadits-hadits pembahasan yang tegas menunjukkan tentang haramnya, bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah keliru. [Lihat pula At-Tambihat Ibnu Abdil Barr 1/140, I’lamul Muwaqqi’in Ibnul Qayyim 3/356, Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani 476]

Tidak diragukan lagi bahwasanya pendapat inilah yang rajih (lebih kua) dan tidak seharusnya diselisihi karena begitu kuatnya agumen yang dibawakan. Adapun dalil yang digunakan oleh pendapat yang membolehkan yaitu surat Al-An’am : 145 maka jawabannya dari beberapa segi yang akan kami sebutkan di akhir pembahasan.

[3]. Hikmahnya
Makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi orang yang memakannya, Makanan yang halal dan bersih akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, para ulama menyebutkan hikmah diharamkannya makan daging binatang buas yang bertaring dan burung berkuku tajam yaitu karena tabiat binatang-binatang tersebut adalah menyerang, sehingga apabila dimakan dagingnya oleh manusia maka akan menjadikan akhlak manusia terpengaruh dan menirunya. Tentu saja hal ini sangat membahayakan agamanya. Oleh karenanya, Alloh mengharamkan hal itu. [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 20/523, Madarijus Salikin Ibnul Qayyim 1/484]

[4]. Musang Haram?
Ada faktor penting lain yang sangat mendorong hati kami menulis bahasan ini yaitu ketergelinciran penulis pada tulisan “Makanan Haram” yang dimuat dalam majalah Al-Furqon edisi 12 th. 2, dimana pada halaman 29, penulis menterjemahkan hewan “dhabu’ dengan “musang”. Terjemahan ini adalah ketergelinciran yang cukup fatal. Kami memohon ampun kepada Alloh dan meminta maaf kepada semunya. Oleh karenanya, perkenankanlah kami mengulas secara tersendiri tentang hukum dua hewan ini sebagai tanggung jawab kami untuk meralat kesalahan tersebut.

[a]. Dhabu (Hyena, hewan sejenis Serigala) [5]
Termasuk keajaiban hewan ini adalah dia setahun jantan untuk mengawini dan setahun betina untuk melahirkan, dan dia amat suka membongkar kuburan karena sangat berambisi dengan daging anak Adam. [Hayah Hayawan Ad-Dimyari 2/81-82]

Pertama : Halal
Ini pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal [Mughni Muhtaj 4/299 dan Al-Muqni 3/52]

Dalil pendapat ini adalah hadits berikut.
“Artinya : Dari Ibnu Abi Ammar berkata : Aku bertanya kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu tentang dhabu ; apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya : “Ya” Saya bertanya : “Bolehkah saya memakannya? Jawabnya : “Ya” Saya bertanya : “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu?” Jawabnya : “Ya”. [Hadits Riwayat Abu Dawud 3801, Tirmidzi 851, Nasai 5/191 dll. Dishahihkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khzuaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar dalam At-Talkish 1/1507]

Hadit ini jelas menujukukkan bolehnya makan dhabu. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan : “Manusia biasa memakannya dan menjualnya antara Shafa dan Marwah”

Kedua : Haram
Ini pendapat Abu Hanifah dan lainnya, (Ad-Durrul Mukhtar 5/194). Dalil mereka karena dhabu termasuk binatang buas.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Adapun alasan pendapat kedua ini dinilai lemah karena dua segi.

• Hadits binatang buas bersifat umum, sedangkan hadits yang membolehkan dhabu lebih khusus, maka ini lebih didahulukan. [Nailul Authar 8/127]

• Dhabu bukan termasuk binatang buas, karena sekalipun dia memiliki gigi taring tetapi dia tidak menyerang seperti binatang buas lainnya ; sedangkan patokan buas adalah apabila dia memiliki dua sifat : gigi taring dan melawan. Hal ini seperti dijelaskan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in 3/367 bahkan beliau mengatakan : “Dhabu tidaklah termasuk binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun urf (kebiasaan) manusia”. [Lihat pula Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/335, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 5/411 dan At-Taliqat Ar-Radhiyyah Al-Albani 3/28]

[b]. Musang
Musang adalah binatang pengecut dan sangat licik. Dengan kelicikannya dia bisa sering bersama binatang-binatang buas menyeramkan lainnya. Di antara keajaiban kelicikannya dalam mencari rezeki dia berpura-pura mati dan menggelembungkan perutnya serta mengangkat kaki dan tangannya agar disangka mati. Kalau ada hewan yang mendekatinya, seketika itu dia langsung menerkamnya. [Miftah Dar Sa’adah Ibnul Qayyim 2/153]

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum memakannya menjadi dua pendapat.

Pertama : Halal
Ini madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad. [Mughni Muhtaj 4/299, Al-Muqni 3/528]

Alasan pendapat ini karena musang termasuk binatang yang tidak menjijikan dan dia tidak menyerang dengan taringnya.

Kedua : Haram
Ini pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab Ahmad. [Badai Shanai 5/39, Al-Mughni 11/67]

Alasan pendapat ini karena musang termasuk binatang buas yang dilarang dalam hadits.

Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua karena musang termasuk binatang buas. Alasan pendapat pertama tidak bisa diterima karena menyelisihi fakta. Wallahu A’lam


SYUBHAT DAN JAWABANNYA
Seperti diutarakan di muka, ada sebagian kalangan yang berpendapat bolehnya makan binatang buas dengan alasan surat Al-Maidah : 145. landasan ini sangat lemah ditinjau dari beberapa segi.

Pertama : Anggapan Batil Dengan Kesepakatan Ulama
Syaikh Al-Allamah Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan : “Ketahuilah bahwa anggapan tidak ada yang diharamkan selain hanya empat perkara yang tersebut dalam ayat ini merupakan anggapan batil dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sebab seluruh kaum muslimin telah bersepakat dengan bimbingan Al-Qur’an dan Hadits akan haramnya khamr. Hal ini merupakan dalil yang kuat akan haramnya selain empat perkara yang tersebut dalam ayat ini. Barangsiapa yang mengatakan bahwa khamr hukumnya halal berdasarkan ayat ini maka dia kafir tanpa perselisihan di kalangan ulama “ [Adhwa’ul Bayan 2/221]

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata : ‘Hal yang menguatkan pendapat ini adalah ijma (kesepakatan ulama tentang haramnya makan kotoran, minum kencing, binatang-binatang menjijikan, dan khamr padahal tidak tersebut dalam ayat ini” [Al-Jami li Ahkamil Qur’an 7/118-19]

Kedua : Tidak Ada Kontradiksi Antara Ayat Dengan Hadits
Beragam jawaban para ulama dalam menjawab ayat diatas, tetapi yang terbagus bahwa pada saat turunnya ayat tersebut, memang hanya empat perkara yang diharamkan, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengharaman setelahnya yang harus diterima. Berikut ini komentar para ulama yang menguatkan jawaban ini.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Mayoritas ahli ilmu dari ahli hadits dan selainnya mengatakan bahwa ayat ini adalah muhkam tidak terhapus hukumnya. Dan setiap yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditambahkan padanya, karena itu adalah tambahan hukum dari Alloh melalui lisan rasulNya, sedangkan tidak ada bedanya antara apa yang diharamkan Alloh dalam KitabNya dan apa yang Dia haramkan melalui lisan rasulNya, berdasarkan firman Alloh.

“Artinya : Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Alloh …..” [An-Nisa : 80]

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Alloh dan hikmah …” [Al-Ahzab : 34]

Ahli ilmu mengatakan yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam ayat ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perkara haram hanya terbatas pada empat perkara saja, yang ada hanyalah perintah Alloh kepada rasulNya agar beliau mengkhabarkan kepada para hambaNya bahwa beliau tidak menjumpai dalam Al-Qur’an makanan atau minuman yang ditegaskan keharamannya kecuali apa yang tersebut dalam ayat ini. Hal ini tidak menutup kemungkinan kalau Alloh mengharamkan dalam kitabNya setelah itu atau melalui lisan rasulNya perkara-perkara lain selain yang tersebut dalam ayat ini ..” [At-Tamhid 1/145-146]

An-Nawawi rahimahullah berkata : “Para sahabat kami (Syafi’iyyah) berdalil dengan hadits-hadits ini seraya mengatakan ; ‘Ayat di atas hanyalah menunjukkan bahwa beliau tidak mendapati waktu itu sesuatu yang diharamkan kecuali hanya empat perkara tersebut, kemudian setelah itu diwahyukan pada beliau haramnya binatang buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan konsekuensinya” [Syarh Shahih Muslim 3/82-83]

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata : “Pendapat terkuat yang didukung oleh dalil adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa setiap perkara yang ditegaskan keharamannya berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah maka hukumnya adalah haram yang ditambahkan pada empat perkara tersebut. Hal ini tidak bertentangan sama sekali dengan Al-Qur’an, karena perkara-perkara haram itu ditambahkan pada empat perkara tersebut setelahnya”. Lanjutnya : “Waktu turunnya ayat tersebut tidak ada yang diharamkan kecuali empat perkara saja. Namun apabila muncul pengharaman baru lainnya maka hal itu tidaklah betentangan dengan pembatasan pertama karena yang ini datang setelahnya. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini, insya Allah” (Adhwaul Bayan 2/224) [Lihat pula Ar-Risalah Imam Syafi’i 206-208, Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 3/304, Nailul Authar 10/42 dan Fathul Qadir Asy-Syaukani 2/172, Subulus Salam 7/279 Ash-Shan’ani]

Ketiga : Berdalil dengan ayat ini bisa dikatakan benar dalam hal-hal yang belum ditegaskan keharamannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan binatang buas telah shahih dalil yang menegaskan keharamannya. Maka ketegasan ini harus lebih didahulukan daripada keumuman ayat di atas. [Fathul Bari Ibnu Hajar 9/655, Nailul Authar Asy-Syaukani 8/118]

Keempat : Ayat ini mencakup seluruh makanan yang diharamkan, sebagiannya dengan ketegasan nash, dan sebagiannya secara makna dan keumuman lafazh. Sebab dalam ayat tersebut Alloh menegaskan bahwa Dia mengharamkan hal-hal tersebut karena barang-barang tersebut adalah “kotor”. Hal ini merupakan sifat yang mencakup seluruh perkara haram, sebab semua yang haram itu adalah kotor yang diharamkan oleh Alloh kepada hambaNya sebagai penjagaan dan kemuliaan bagi mereka. Adapun perincian perkara yang haram diambil dari hadits, karena hadits merupakan penjelas Al-Qur’an” [Taisir Karimir Rahmah, As-Sa’di 1/228]

Demikianlah pembahasan kita kali ini. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.Amiin.

__________
Foote Note
[1]. Zindiq dalam definisi para fuqaha adalah seorang yang menampakkan ke Islaman dan menyembunyikan selain Islam atau orang yang mengingkari Pencipta, hari akhir dan amal shaleh. Adapun menurut definisi ahli kalam dan umumnya manusia zindiq adalah pengingkar dan penentang” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 7/471]
[2]. Ketahuilah bahwa maksud ucapan ulama “Madzhab fulan” adalah dua perkara : Pertama : Madzhab pribadi. Kedua : Madzhab istilahi. Pada umumnya yang dimaksud oleh orang-orang belakangan : madzhab Syafi’i, madzhab Ahmad dan sejenisnya adalah madzhab istilahi, yang bisa jadi terkadang imam mereka sendiri menyelisihi pendapat madzhab tersebut” [Syarh Mumti Ibnu Utsaimin 1/20-21]
[3]. Al-ustadz A.Hassan –semoga Alloh merahmatinya- berkata dalam Soal jawabnya (hal. 304) “ Menurut hadits, ada beberapa macam binatang terlarang dimakan, tetapi larangan itu dipandang sebagai larangan makruh oleh sebagian daipada ulama”.
[4]. Penulis banyak mengambil manfaat pembahasan ini dari kitab Al-Ath’imah wa Ahkam Shaid wa Dhabaih hal. 56-63 oleh Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, cet. Maktabah Ma’arif, dengan beberapa tambahan penting dari referensi lainnya.
[5]. Demikian diterjemahkan dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia hal. 1203 dan Kamus Muhammad Yunus hal. 226. Lebih jelas, lihat gambarnya dalam kamus tersebut.


[Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 1 Tahun VI/Sya’ban 1427H/Sept 2006M. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat : Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.