Allah Ta’ala mengutus para rasul untuk menyampaikan syariatNya, agar menjadi hujjah bagi semua makhlukNya dan menutupnya dengan mengutus Muhammad Shallallahu’alahi Wasallam . Rasul yang menerangi manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan, membawa ke jalan yang lurus. Demikian ketetapan Allah; menunjuki manusia, sehingga mendapatkan keridhaanNya.
Allah berfirman,
“Kami berfirman,”Turunlah kamu dari jannah itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.“” (QS. Al Baqarah:38).
“Kami berfirman,”Turunlah kamu dari jannah itu! Kemudian jika datang petunjukKu kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.“” (QS. Al Baqarah:38).
Petunjuk disini bermakna: Rasul dan kitab suci.[1] Petunjuk ini merupakan sumber kebahagian dan kejayaan umat dan dapat menghilangkan kebodohan dan membawa keselamatan.
Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada kebahagian dan keselamatan di hari akhirat, kecuali dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam. FirmanNya,
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api naar sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An Nisa’: 14).”[2]
Kunci kebahagian dunia dan akhirat terletak karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Jiwa kita lebih membutuhkan mengenal ajaran dan taat kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam dibandingkan dengan kebutuhan kepada makan dan minum. Sehingga sepatutnya kita semua mengenalnya dengan mempelajari Al Qur’an dan Sunnah, yang telah diriwayatkan dan dinukilkan para ulama sejak zaman Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam hingga sekarang dan sampai hari kiamat nanti. Karena tidak cukup dengan hanya mengandalkan akal dalam mengenal ajaran Beliau Shallallahu’alahi Wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,“Dengan diutusnya Muhammad Shallallahu’alahi Wasallam, jelaslah sudah kekafiran dari keimanan, keuntungan dari kerugian, petunjuk dari kesesatan, penyimpangan dari kelurusan, kekeliruan dari kebenaran, ahli syurga dari ahli neraka, orang yang bertakwa dari orang fajir dan mendahulukan jalan orang yang Allah karuniai nikmat dari kalangan para nabi, shidiqin, syuhada dan shalihin dari jalannya orang yang dimurkai Allah dan sesat.
Sehingga jiwa lebih membutuhkan untuk mengenal ajaran dan mengikuti Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, daripada kebutuhannya kepada makan dan minum. Karena, jika tidak memiliki makan minum hanya terjadi kematian. Sedangkan jika tidak memiliki petunjuk, akan mendapatkan adzab. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang menumpahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya untuk mengenal ajaran beliau dan mentaatinya. Inilah jalan keselamatan dari adzab yang pedih dan jalan kebahagiaan ke surga. Caranya dengan mengambil riwayat dan penukilan (Al Qur’an dan As Sunnah, pen.). Karena tidak akan bisa mengenalnya, bila hanya mengandalkan akal. Sebagaimana cahaya mata, tidak dapat melihat kecuali dengan adanya cahaya yang di depannya. Demikian pula cahaya akal, tidak berfungsi kecuali jika ada cahaya terang risalah Allah Ta’ala . Oleh karena itu dakwah menyampaikan agama termasuk kewajiban Islam yang agung. Dan mengenal perintah Allah dan Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam wajib atas seluruh manusia.”[3]
Kesimpulannya, petunjuk Allah Ta’ala tidak dapat diketahui dan dicapai hanya dengan akal. Tetapi harus dilandasi dan dibangun dengan wahyu Allah Ta’ala. Itulah agama Islam yang telah Allah sempurnakan dan ridhai sebagai agama petunjuk yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS Al Maidah :3).
Semua sepakat tentang kesempurnaan petunjuk Allah Ta’ala ini. Lantas bagaimana cara mengenalnya setelah Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam meninggal dunia? Dan para sahabat yang menyaksikan penerapan petunjuk tersebut telah meninggal juga?
ULAMA PENJAGA SYARI’AT ISLAM
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjaga Al Qur’an, sehingga tidak mungkin dirubah lafadz dan hurufnya. Musuh Islam sudah putus asa dalam merubah lafadz dan hurufnya. Akan tetapi setan dan para budaknya berusaha memasukkan penyimpangan dan pengkaburan makna kandungan Al Qur’an. Sehingga penambahan dan pengurangan ini dapat menyesatkan sebagian manusia.
Mereka ingin memadamkan cahaya agama Allah Ta’ala dengan segala kemampuannya. Akan tetapi Allah Ta’ala akan selalu menyempurnakan cahayaNya dan menjaga agamaNya. FirmanNya,
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci”(QS. Ash Shaf:8).
Untuk itulah Allah Ta’ala membangkitkan para ulama Islam untuk memerangi sethan dan para budaknya. Menjelaskan kebenaran dan kebatilan kepada umat manusia. Sehingga petunjuk dan ajaran Islam ini terjaga dan terpelihara hingga hari kiamat nanti.
Syaikhul Islam dengan gamblang menyatakan, ”Al Qur’an berbeda dengan yang lainnya -karena pengkhususan dari Allah; sebagai mu’jizat yang berbeda dengan perkataan manusia, sebagaimana firman-Nya
“Katakanlah,”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS Al Isra’:88)
dan diriwayatkan secara mutawatir, maka tidak ada seorangpun yang bersemangat merubah lafadz dan hurufnya; tetapi sethan bersemangat memasukkan pengkaburan dan penyimpangan dalam makna-maknanya dengan perubahan dan ta’wil. bersemangat memasukkan tambahan dan pengurangan yang dapat menyesatkan sebagian manusia dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu’alahi Wasallam . Lalu Allah membangkitkan para ulama pengkritik, ahli petunjuk dan kebenaran. Mereka memerangi tentara syethan dan membedakan antara kebenaran dan kebathilan, serta bersemangat menjaga sunnah dan makna-makna Al Qur’an dari tambahan dan pengurangan.”[4]
ULAMA MERUPAKAN NARA SUMBER DAN RUJUKAN DALAM MEMAHAMI AGAMA
Demikianlah Allah Ta’ala menciptakan para ulama sebagai pewaris Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam . Mengikuti jejak langkah Beliau dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala . Mereka menjadi pemikul ilmu dan pengemban risalah Islam. Sehingga Allah Ta’ala menjaga ilmu dengannya, dan menghilangkan ilmu dengan mencabut mereka. Dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, diantaranya :
Firman Allah Ta’ala ,
“Katakanlah,”Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf:108).
Berkata (Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah), “Baik makna ayat,‘aku dan orang yang mengikuti di atas hujjah dan aku berdakwah kepada Allah,’ atau maknanya,‘aku berdakwah kepada Allah Ta’ala di atas hujjah (bashirah) sebagaimana yang diikutinya berbuat’, maka merekalah pengganti Rasul dan pewarisnya yang benar. para ulama yang melaksanakan ajaran Beliau Shallallahu’alahi Wasallam baik secara ilmu, amal, petunjuk, mengajar, sabar dan jihad. Merekalah para shidiqin dan merekalah sebaik-baik pengikut para nabi. Tokoh dan imam mereka ialah Abu Bakar Radhiallahu’anhu.”[5]
(Imam Ibnul Qoyyim) berkata dalam kitab yang lain, “Ayat ini menunjukkan, bahwa pengikutnya adalah para ulama yang berdakwah kepada Allah Ta’ala di atas bashirah(hujjah). Barangsiapa tidak termasuk mereka, maka bukan termasuk pengikutnya secara hakikat dan sempurna, walaupun termasuk pengikutnya secara penisbatandan dakwah.”[6]
Jelaslah disini, bahwa pengikut Beliau Shallallahu’alahi Wasallam yang pasti yaitu para ulama, yang menjadi pewaris Beliau Shallallahu’alahi Wasallam. Sebagaiman telah ditegaskan dalam sabda Beliau Shallallahu’alahi Wasallam,
“Barang siapa yang berjalan mencari ilmu, niscaya Allah Ta’ala jalankan ia dengannya salah satu jalan syurga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya, ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang ulama akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi sampai ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan seorang ulama atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Dan para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, mereka mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambil ilmu, berarti telah mengambil bagiannya dengan sempurna.”[7]
Dengan demikian, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengatakan bahwa para ulama[8] bukanlah da’i. Atau melecehkannya dengan memberi perumpamaan para ulama, hanya memberi manfaat kepada orang yang ada di sekelilingnya; seperti sumur. Sedangkan para da’i [9] dapat memberi manfaat kepada seluruh umat, karena mereka seperti awan yang berisi air hujan yang mendatangi manusia di rumah-rumah mereka dan memberikan hidayah di manapun berada.[10]
Ini adalah pelecehan terhadap para ulama sebagai pewaris para nabi. Dan para nabi adalah imam dalam dakwah. Maka, mestinya merekalah yang berhak dikatakan imam dakwah, karena mereka pewarisnya.
Bahkan Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai simbol ilmu dan mencabut ilmu dengan cara mewafatkannya, sebagaimana sabda Beliau Shallallahu’alahi Wasallam ,
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ‘alimpun, maka manusia mengambil para tokoh yang bodoh, lalu bertanya (tentang urusan mereka) dan mereka menjawab tanpa ilmu. Sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari).
Hadits ini mengisyaratkan, apabila para ulama tidak ada, maka manusia merujuk permasalahannya kepada orang bodoh dan mengikuti fatwa mereka yang tidak berlandaskan ilmu. Hal ini menjadi penyebab tersesatnya mereka. Bila demikian, maka merujuk permasalahan umat kepada para ulama merupakan satu kewajiban sebagai satu konsekwensi yang logis. Lebih lagi, bahwa tugas mereka yaitu untuk menolak sikap melewati batas, menghancurkan kebatilan dan menghilangkan kebodohan. Disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam dalam sabdanya,
“Ilmu ini akan dibawa oleh orang yang adil dari setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan)[11] orang yang melampaui batas, menolak intihal [12] ahlil batil dan ta’wil orang yang bodoh.”[13]
Demikianlah, para ulama adalah pemimpin yang mengendalikan dakwah. Mengarahkan dan membimbing umat. Bila tidak, maka umat ini akan tersesat dan mengambil orang bodoh sebagai pemimpin dan pengarah mereka.
Dalil-dalil lain yang menunjukkan wajib merujuk kepada para ulama -dalam agama ini- di antaranya ialah :
Pertama. Ulama adalah pemimpin agama dan penjaga syari’at. FirmanNya,
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS As Sajdah : 24).
Mereka dijadikan pemimpin karena kesabaran dan keyakinan mereka kepada ayat-ayat Allah. Keyakinan tersebut tidak akan mereka dapati kecuali dengan ilmu.
Syaikhul Islam Ibnu taimiyah berkata,“Dengan kesabaran dan yakin, dicapai imamah (kepemimpinan) dalam agama.”
Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan hal ini dengan pernyataannya,“Allah telah menjadikan para ulama penjaga dan pengaman agama dan wahyuNya. Meridhai mereka untuk menjaga, menegakkan dan membelanya. Cukuplah itu sebagai kedudukan yang tinggi dan keutamaan yang agung. Allah berfirman,
“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah (pemahaman agama) dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya”. (QS. Al An’am : -89).[14]
Kedua. Ulama adalah hujjah Allah terhadap hambaNya di dunia. Hujjah tidak dapat ditegakkan, kecuali melalui seorang ‘alim yang berilmu. Tentang hal ini Allah berfirman,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syetan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS An Nisa’ : 83).
Ketiga. Ulama termasuk dalam ulil amri, sebagaimana tafsir kebanyakan ulama salaf mengenai firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An Nisa : 59).
Keempat. Ulama adalah ahli dzikri, sebagaimana difirmankan Allah,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS An Nahl : 43).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah kewajiban merujuk kepada ulama dalam memahami agama ini, agar tidak tersesat dan menyimpang.
Mudah-mudahan kita dapat menjadikan para ulama sebagai nara sumber dan rujukan dalam memahami agama ini. Tentu saja, melihat dan menimbang semua pendapat mereka dengan Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ para sahabat dan pemahaman para salafush shalih.
Foote Note :
[1] Taisir Karimir Rahman, Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 32.
[2] Majmu’ Fatawa 1 /4
[3] Ibid, 1 /5-6.
[4] Majmu’ Fatawa, 1/7.
[5] Miftah Daris Saadah hal.167-168. Dinukil dari Badai’ Tafasir Al Jami’ Li Tafsir Ibnil Qayyim, Karya Yusri Sayid Ahmad 2/477.
[6] Madarijus Salikin 2/482.
[7] Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud no.3641, At Tirmidzi no.3682, Ibnu Majah no.223, Ahmad 5/196 dan Ad Darimi 1/98. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Bashair Dzawi Syaraf Bi Syarhi Marwiyati Manhajis Salaf , hal.33.
[8] Yang mereka juluki ulama masail.
[9] Dalam istilah mereka ulama dakwah, yang berkeliling melakukan jaulah dari rumah ke rumah dan dari masjid ke masjid.
[10] Pembagian dan pengelompokan ulama dakwah dan ulama masa’il merupakan hal yang tidak ada dasarnya, bahkan tidak ada sebelumnya dari kalangan para salaf. Pembagian ini dilakukan sebagian orang bodoh yang belum mengenal arti penting dan peran ulama dalam perbaikan umat.
[11] Pengkaburan ajaran yang benar.
[12] Kedustaan ahlil bathil.
[13] Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Ali Hasan dalam Tasfiyah Wa Tarbiyah, hal 24
[14] Dinukil dari Bashair Dzawi Syaraf Bi Syarhi Marwiyati Manhajis Salaf, hal.37.
Sumber : http://ustadzkholid.com/manhaj/kewajiban-merujuk-pada-ulama/
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.