Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



KAIDAH TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH JALLA JALALUHU MENURUT AHLUS SUNNAH

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : ,

Sudah di lihat :


Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Sifat-sifat yang disebutkan Allah tentang Diri-Nya ada dua macam: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.

Pertama: Sifat Tsubutiyah.

Sifat Tsubutiyah, ialah setiap sifat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Diri-Nya di dalam al-Qur'an atau melalui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat-sifat ini semuanya adalah sifat kesempurnaan, tidak menun-jukkan sama sekali adanya cela dan kekurangan. Contohnya: Hayaah (hidup), Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Istiwaa’ (bersema-yam) di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya.

Sifat-sifat Allah tersebut wajib ditetapkan benar-benar sebagai milik Allah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, berda-sarkan dalil naqli dan ‘aql.

Sifat Tsubutiyah ada dua macam: Dzaatiyah dan Fi’liyah.

Sifat Dzaatiyah, ialah sifat yang senantiasa dan selamanya tetap berada pada diri Allah Azza wa Jalla. Seperti: Hayat (hidup), Kalam (berbicara), ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Iradah (keinginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan), ‘Uluww (ketinggian, di atas makhluk), ‘Azhamah (keagungan). Dan termasuk dalam sifat ini adalah sifat Khabariyah seperti adanya wajah, yadain (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).

Sifat Fi’liyah, ialah sifat yang terikat dengan masyi’ah (kehendak) Allah Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, dilakukan-Nya, dan jika tidak, dilakukan-Nya. Seperti; Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan nuzul (turun) ke langit terendah, ataupun datang pada hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

“Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat berbaris-baris.” [Al-Fajr: 22]

Bisa juga suatu sifat menjadi dzaatiyah-fi’liyah, ditinjau dari dua segi, seperti kalaam (pembicaraan) ditinjau dari segi asal atau pokoknya adalah sifat dzaatiyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan tetap berbicara, tetapi ditinjau dari segi satu persatu terjadinya kalam adalah sifat fi’liyah karena terikat dengan masyi-ah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara apa saja yang Dia kehendaki bila Dia menghendaki. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ maka terjadilah.” [Yaasin: 82]

Dan setiap Sifat Allah yang terikat dengan masyi’ah adalah mengikuti hikmahNya. Hikmah ini kadangkala dapat kita ketahui, tetapi kadangkala kita tidak mampu memahami, namun kita benar-benar yakin bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki sesuatu melainkan apa yang dikehendaki-Nya itupun sesuai hikmah-Nya, seperti yang diisyaratkan Allah melalui firman-Nya.

“Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana" [Al-Insaan: 30]

Kedua: Sifat Salbiyah

Sifat Salbiyah, ialah setiap sifat yang dinafikan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Diri-Nya melalui Al-Qur’an atau sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh sifat ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, contohnya; maut (mati, tidak hidup), naum (tidur), jahl (bodoh), nisyan (kelupaan), ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kecapekan, kelelahan). Sifat-sifat tersebut wajib dinafikan dari Allah Azza wa Jalla berdasarkan keterangan di atas, dengan disertai penetapan sifat kebali-kannya secara lebih sempurna. Misalnya, menafikan maut (mati) dan naum (tidur) berarti menetapkan kebalikannya bahwasanya Allah Dzat Yang Mahahidup dengan sempurna, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Allah Dzat Yang Mahamengetahui dengan ilmu-Nya yang sempurna.[1]

_________
Foote Note
[1]. Lihat at-Tanbiihat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Wasithiyah min al-Mabaahits al-Muniifah (hal. 40, 47) karya Syaikh as-Sa’di dan al-Qawaaidul Mutsla fii Shiffatilaahi wa Asmaa’ihil Husna (hal.59-63) karya Syaikh Muhammad al-Utsaimin serta Syarah ‘Aqiidah Wasithiyyah oleh Khalil Hiras hal. 159-160.


[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.