Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



Bantahan Terhadap Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” Karangan Agus Mustofa

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh : ‘Abu Zaid’ Faidzin Firdhaus al Banyumasiy

Di mana Surga dan Neraka?
Hal 189 buku Ternyata Akhirat Tidak Kekal” (TATK) dikatakan: :”Bagaimana menjelaskan bahwa langit dan Bumi itu ada tujuh? Hal ini memang sangat abstrak tetapi sebenarnya bisa dijelaskan dengan teori dimensi.”

Penulis buku juga mengatakan kurang lebih bahwa langit pertama yang berdimensi tiga ini tidak bertepi tapi terbatas oleh dimensi ke empat. Keempat dimensi itulah yang merupakan titik tolak langit ke dua. Begitu pula seterusnya untuk langit-langit berikutnya.

Di sini dia mendasarkan pendapatnya itu hanya pada satu dalil, yaitu teori dimensi. Saya tidak menemukan satupun nash (yang benar-benar bisa dipakai sebagai dalil) yang menyertai pendapatnya itu. Bagaimana mungkin suatu kebenaran dalam hal yang ghoib hanya ditarik kesimpulannya (di-inferensi) dari TEORI.

Hal ini sangat fatal, karena dari pendapat inilah disusun pendapat berikutnya bahwa surga neraka terletak di bumi ini pula namun pada dimensi ke sembilan.

Tidak ada satupun nash pun yang secara qath’i dan muhkam menyatakan bahwa surga neraka berada di bumi ini pula namun pada dimensi ke sembilan. Semua yang Sdr. Agus ungkapkan hanya berdasarkan pada teori saja.

Kalaupun dia mengungkapkan dalil Al A’raf ayat 25 “Katakanlah: di Bumi itulah kalian hidup, dan di Bumi itu kalian mati, dan dari Bumi itu pula kalian akan dibangkitkan” itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa Akhirat, Surga dan Neraka berada di Bumi. Ayat itu hanya menunjukkan urut-urutan hidup di atas bumi, mati di atas bumi (dan dikubur di dalam bumi) kemudian dibangkitkan DARI dalam bumi. Masalah setelah dibangkitkan DARI bumi itu manusia akan ditaruh di akhirat mana, Allah tidak mengatakannya.

Allah tidak mengatakan fihaa tukhrajuun (di bumi kalian dibangkitkan) tapi minhaa tukhrajun (dari bumi kalian dibangkitkan). Di sini kita dapat mengetahui kesalahan Sdr. Agus dalam mengambil kesimpulan. Seperti misalnya pada halaman 191 buku TATK di mana dia mengatakan berdasarkan Al A’raf: 25 bahwa Di Bumi itulah kita hidup, di Bumi itu kita mati, dan DI Bumi itu pula kita dibangkitkan.

Kemudian Sdr. Agus membuat kesalahan lain ketika menjadikan ayat-ayat yang menggambarkan surga sebagai dalil bahwa surga berada di Bumi. Ini terlihat pada buku TATK halaman 193 sampai 196. Kalau diperhatikan, semua ayat-ayat yang disebutkan hanya menggambarkan Surga sebagai suatu tempat yang menyerupai kondisi ideal dari Bumi. Tapi tidak ada satu pun ayat yang menyebutkan bahwa suatu tempat yang menyerupai Bumi itu adalah Bumi itu sendiri dalam dimensi yang lain. Kemiripan tempat tidak mengharuskan kesamaan tempat. Kalau Allah bisa menciptakan Bumi yang tidak ideal, tentunya Allah juga bisa dengan mudah menciptakan tempat lain di luar Bumi yang mirip Bumi dengan versi yang lebih sempurna, lengkap dengan sungainya, gunungnya, siang-malamnya dan lain-lainnya.

Lalu bagaimana solusinya?

Imani saja semua nash tanpa ta’til, ta’wil, takyif, dan seterusnya. Itulah yang Insya Allah lebih selamat. Kita tidak berhak untuk menta’wilnya sementara Rasulullah sebagai manusia yang paling mengetahui dalam masalah ini tidak menta’wilnya dan Para Shahabat Rasul sebagai generasi terbaik dalam pemahaman agama tidak menta’wilnya.
Apakah Sdr.Agus menganggap dirinya lebih tahu dari Rasulullah dalam hal ini sementara Rasulullah adalah orang yang paling ‘alim dalam hal yang ghoib.

Apakah Sdr. Agus menganggap bahwa pada zaman Rasul, Rasulullah sebenarnya sudah tahu (bahwa Surga dan Neraka di Bumi) namun tidak mengungkapkannya pada para Shahabat? Kalau seperti itu anggapan dia, sungguh dia telah menuduh Rasulullah mengkhianati Risalah.

Akhirat tidak kekal ?.
Agus memberikan dalil pada halaman 233 tentang ketidakkekalan akhirat dengan QS Huud ayat 106-108.

Memang bacaan kita akan Al Qur’an harus secara komprehensif. Namun permasalahannya tidak sesimpel ayat Al Qur’an akan dikhususkan dengan ayat Al Qur’an lain. Kita juga harus mampu memahami bagaimana tafsir hadits, tafsir para sahabat dan tafsir para ulama pembela Assunnah atas ayat Al Qur’an tersebut.

Memang – setahu saya – Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim rahimahumallah berpendapat bahwa Neraka tidak kekal. Namun pendapat mereka itu hanya terbatas pada Neraka saja, bukan pada konsep Akhirat secara keseluruhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendapat bahwa surga dan neraka – dua-duanya – tidak kekal, adalah pendapat baru yang belum dikenal sebelumnya.

Bagaimana mungkin kita sebagai pengikut Rasulullah akan mengatakan bahwa akhirat tidak kekal sementara Rasulullah sendiri telah mengatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang bagus sebagaimana dikatakan oleh Al Mundziri dan telah dikatakan shahih oleh Ibnu Hibban (2614) dan Ahmad (2/261) sebagai berikut :

“Kelak maut akan didatangkan pada hari kiamat, lalu ia berhenti di atas jembatan (shirat). Maka dipanggillah penghuni surga, ‘Hai penghuni surga!’ Mereka pun nampak ketakutan untuk keluar dari tempat mereka sekarang. Lalu dipanggillah penghuni neraka, ‘Hai penghuni neraka!’ Mereka pun muncul kegirangan dan riang gembira keluar dari tempat mereka sekarang. Lantas ditanyakanlah kepada mereka, ‘Tahukah kalian siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya, kematian!’ Selanjutnya sang kematian pun diikat dan disembelih di atas jembatan (shirath). Kemudian dikatakanlah kepada masing-masing kelompok, ‘Kekallah di dalam apa-apa yang kalian temukan, tidak akan ada kematian lagi di dalamnya selama-lamanya!’” [1]

Hadits di atas didukung oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim dalam kitab shahihnya berikut ini :

“Allah memasukkan penghuni surga ke surga dan penghuni neraka ke neraka. Kemudian bangkitlah seorang muadzin (orang yang berseru) di antara mereka sembari berseru, ‘Hai penduduk surga, tidak ada kematian (di surga)! Hai penduduk neraka, tidak ada kematian (di neraka), masing-masing kekal di dalamnya!”

Kalau kita mengacu pada tafsir Ibnu Katsir (murid dari Ibnu Taimiyyah), dimana tafsirnya termasuk tafsir paling standar dan biasa dipakai oleh beginner tholabul ‘ilm sampai advanced ulama’, kita bisa mendapat penjelasan tentang bagaimana menafsirkan dan apa penafsiran “maadaamatissamawatu wal ardhu” yang benar.

Di dalamnya misalnya kita dapati penafsiran Imam Abu Ja’far Ibn Jarir bahwa ungkapan “maadaamatissamawatu wal ardhu” adalah sebagaimana kebiasaan orang Arab untuk menegasan akan kekekalan Akhirat. Dalam arti bahwa Allah menurunkan pertama kali Al Qur’an pada orang Arab dalam bahasa yang dipahami dan biasa dipakai orang Arab. Dan oleh karena itu kita harus memahami sebagaimana orang Arab waktu itu memahami pertama kali.

Di dalam tafsir ibn Katsir juga dikemukakan berbagai penafsiran lain selain di atas. Namun tidak ada satupun di antara penafsiran mu’tabar itu yang mengatakan bahwa “maadaamatissamawatu wal ardhu” merupakan hujjah ketidakkekalan Akhirat.

Oleh karena itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Sdr Agus telah membuat-buat ide baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah, para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin. Padahal di masa merekalah pemahaman agama yang paling murni dan benar.

Apakah Sdr.Agus menganggap dirinya lebih tahu dari Rasulullah dalam hal ini sementara Rasulullah adalah orang yang paling ‘alim dalam hal yang ghoib.

Apakah Sdr. Agus menganggap bahwa pada zaman Rasul, Rasulullah sebenarnya sudah tahu (bahwa akhirat itu tidak kekal) namun tidak mengungkapkannya pada para Shahabat? Kalau seperti itu anggapan dia, sungguh dia telah menuduh Rasulullah mengkhianati Risalah.

Secara logika juga, “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebenarnya lebih bergantung pada asumsi apa yang SUDAH ada di dalam pikiran kita.
Seandainya seseorang SUDAH mengasumsikan bahwa Akhirat itu tidak kekal (seperti Sdr. Agus) maka dia pasti mengasumsikan bahwa samaawaat dan ardh yang dimaksud di ayat itu adalah samaawaat dan ardh yang itu-itu saja, yaitu samaawaat dan ardh dunia yang kita rasakan sekarang namun dalam dimensi yang lain. Dan karena samaawaat dan ardh dunia maka tidak kekal. Ini membuat seolah-olah kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebagai kata yang memperkuat ketidakkekalan Akhirat.

Namun seandainya kita SUDAH mengasumsikan (sesuai nash-nash yang muhkam) bahwa Akhirat itu kekal abadi selama-lamanya (sebagai ketetapan dari Allah yang Maha Kekal yang menentukan kekekalan), maka kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu seolah-olah hanya menegaskan tentang samaawaat dan ardh yang ada di Akhirat nanti. Dan karena Akhirat sudah diimani bersifat kekal maka samaawaat dan ardh yang ada di Akhirat nanti pun pasti ikut kekal. Maka jadilah kata “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” itu sebagai penegasan kekekalan Akhirat.

Syaikh Asshun’ani rahimahullah pernah menjelaskan mengenai “maadaamatissamaawaatu wal ardhu” dalam manuskripnya yang telah ditahqiq oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul “Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf Tentang Keabadian Neraka” ketika membahas mengenai kefanaan atau keabadian neraka (sekali lagi saya ingatkan bahwa perdebatan yang dikenal di kalangan ulama adalah mengenai ‘apakah neraka itu abadi atau fana’, bukan mengenai konsep keabadian akhirat secara umum) sebagai berikut : Menurut saya, pendapat ini lebih didasarkan pada asumsi bahwa yang dimaksudkan mereka dengan langit dan bumi dalam ayat tersebut adalah langit dan bumi dunia, sehingga ayat tersebut berarti “selama kadar kekekalan dunia”. Namun jika mereka asumsikan hal itu sebagai langit dan bumi akhirat, maka ujaran “kecuali jika Allah menghendaki pertambahan masa keduanya” tidak akan terlontar, sebab keduanya abadi dan tidak mungkin dibayangkan ada pertambahan bagi sesuatu yang abadi. Jadi, yang tepat adalah mengasumsikan langit dan bumi dalam ayat tersebut sebagai langit-langit dan bumi akhirat, sebab ayat-ayat pengekalan bagi kedua golongan (yang celaka dan bahagia) memutuskan keharusan kekekalan bumi dan langitnya, dimana mau tidak mau harus ada sesuatu yang berada di bawah dan di atas mereka, dan itulah yang dimaksud dengan langit dan bumi akhirat. Firman Allah “selama ada langit dan bumi” pun juga mengunggulkan hal itu, sebab bumi dan langit-langit dunia tentu telah binasa (seiring dengan binasanya dunia oleh kiamat). Jika yang dimaksudkan demikian (bumi dan langit dunia), maka akan dikatakan “maakaanatissamaawaatu wal ardhu” bukan “maadaamatissamaawaatu wal ardhu”. [1]

Bebarapa sebab kesalahan pemikiran:

Sdr. Agus masih kurang memahami konsep kekekalan Allah dan akhirat. Dia masih membenturkan vis a vis konsep kekekalan Akhirat dengan dengan kekekalan Allah sebagai dua konsep yang bertentangan. Padahal sebenarnya konsep kekekalan tidak bisa dilihat selinear itu.

Sebenarnya, sifat kekalnya Akhirat bukanlah sifat yang “wajib bi dzatihi” namun bergantung pada “masyiatullah” (CMIIW). Artinya Akhirat kekal bukan karena Akhirat itu sendiri yang kekal, namun karena Allah menghendaki Akhirat itu kekal. Artinya kekekalan Akhirat adalah bergantung pada Allah. Sehingga sangatlah tidak pas kalau Sdr. Agus menabrakkan kekekalan Akhirat dengan kekekalan Allah sehingga seolah-olah jika Allah Kekal maka Akhirat harus tidak kekal, dan jika ada orang yang menganggap Akhirat kekal berarti orang itu menyekutukan sifat yang merupakan kekhususan Allah.

Secara mudah bisa dikatakan bahwa kalau memang Allah yang Maha Kekal berkehendak agar Akhirat kekal maka tidak ada yang bisa menentangnya!

Pada kesempatan bedah buku di Masjid BI, Sdr. Agus mengatakan bahwa dasar dia menulis buku ini adalah karena keprihatinannya akan fenomena (menurutnya) orang yang beribadah karena mengharap Surga dan takut Neraka saja, bukan karena mengharap cinta Allah dan takut pada murka Allah.

Sesungguhnya saya tidak menjumpai konsep pemisahan antara cinta Allah dan Surga serta antara murka Allah dan Neraka kecuali dalam agama Sufi.

Rasulullah, Para Shahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidaklah pernah dipusingkan dengan pembedaan tersebut seperti orang-orang Sufi memusingkannya. Maka di antara mereka para Shahabat, dan orang-orang shalih ada yang menangis dan pingsan ketika mendengar mengenai Surga dan Neraka. Mereka begitu berharap akan Surga dan takut pada Neraka. Tapi apakah berarti mereka tidak cinta dan takut pada Allah?

Rasulullah juga memerintahkan kita untuk berlindung dari siksa kubur, siksa neraka, mengharap akan Surga, mengharap akan Ridha Allah. Semua Rasulullah sebutkan tanpa membeda-bedakan. Kalau memang kita tidak berhak untuk takut pada neraka, berarti Rasulullah telah melakukan hal yang sia-sia ketika beliau memerintahkan kita untuk mengulang-ulang doa setelah shalawat pada saat duduk tawarruk di akhir shalat. Sungguh kezaliman besar pada sunnah Rasul.

Intinya adalah kita tidak usah dipusingkan dengan pembedaan antara Surga Neraka, Ridha dan Murka Allah. Surga adalah perwujudan masyiah (kehendak) Allah atas Ridha-Nya. Neraka adalah perwujudan masyiah Allah atas murkanya. Kalau seseorang ingin masuk Surga dan menghindar dari Neraka, pada hakikatnya dia sedang berlari meninggalkan Murka Allah menuju Ridha Allah.

Lagi pula sepanjang pengetahuan saya tidak pernah ada pembuktian ilmiah bahwa fenomena orang yang beribadah semata hanya karena mengharap surga dan menghindar dari neraka saja. Sepanjang pengetahuan saya tentang ulama-ulama sholih dan atsar-atsar (peninggalan) mereka, tidak ada di antara mereka yang membeda-bedakan secara khusus, ini untuk Allah, ini untuk surga, ini untuk neraka, kecuali sedikit sekali di antara sufiyyun yang tidak bisa digolongkan sebagai ulama dan sholihin. Para ulama ahlussunnah itu dalam beribadah, mereka beribadah saja, mereka mengharap ridha Allah, mereka meminta surga dan berusaha menghindar dari neraka. Sebegitu simpel, lalu mengapa harus dipersulit dengan putaran lidah penganut filsafat sufi?

Saran saya untuk kita semua Pelajarilah Islam dari Al Qur’an dan Assunnah seperti apa yang dipahami oleh generasi terbaik Islam, para Shahabat, Tabiin dan tabiut Tabiin. Berinteraksilah dengan pemahaman-pemahaman mereka melebihi intensitas kita dalam mempelajari logika dan Astronomi. Jauhilah pemahaman-pemahaman baru dalam hal Agama. Sebegitu mudah, lalu mengapa kita harus mencampur adukkan yang simpel dengan kerumitan filsafat sufi?

Logika dan ilmu pengetahuan kita bukanlah tempat yang pas untuk mengeksplorasi hal-hal yang ghoib. Dalam hal ini kita harus secara murni dan konsekuen memakai nash. Gunakan logika dan ilmu pengetahuan hanya sampai tingkat tadabbur akan penciptaan Alam ini dan keyakinan bahwa hanya Allah lah yang mampu menciptakan semua ini (seperti yang yang telah dituntunkan oleh Nash-nash tentang tadabbur), yaitu tentang begitu besarnya matahari, begitu luasnya tata surya, bima sakti dan lain-lain. Dan dari semua itu timbulkan rasa takut pada Allah, pada murka Allah dan rasa takut dijatuhkan ke Neraka karena murka Allah.

Teori sains bersifat relatif. Sesuatu yang saat ini seolah seperti kebenaran yang nyata, bisa jadi kelak akan dibantah dengan bukti yang lebih kuat. Pengetahuan sains manusia tentang alam semesta ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh para astronom, baru mencapai satu persen dari total alam semesta ini. Masih ada 99 persen alam semesta ini beserta fenomenanya yang belum terjamah ilmu pengetahuan manusia. Lalu apakah kita hendak menggunakan yang satu persen itu dan yang relatif itu, untuk mengeksplor dan bahkan menjustifikasi sesuatu yang secara absolut diungkapkan dalam nash-nash agama?Bagaimana mungkin yang relatif menentukan yang absolut. Bagaimana mungkin yang nisbi menentukan yang mutlak.

Yang perlu kita lakukan adalah tetapkan saja Surga dan Neraka seperti apa yang Allah katakan, yang Rasulullah katakan, dan yang para Shahabat pahami. Tetapkan itu dalam keimanan kita sebagai sesuatu yang MUTLAK pasti akan kita alami, persis seperti apa yang Allah katakan, Rasulullah katakan dan para Shahabat pahami. Kemudian ketika kita belajar sains, tentang segala macam teorinya. Gunakan semua itu untuk merenungi kebesaran Allah dan menimbulkan rasa takut pada-Nya. Seperti itulah sikap yang Insya Allah terbaik bagi kita.

Wallahu a’lam



[1] Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf tentang Keabadian Neraka, Muhammad bin Ismail Al Amir Ashun’ani, hal 39-40.

Sumber : http://faidzin.wordpress.com/2007/09/04/bantahan-terhadap-buku-%E2%80%9Cternyata-akhirat-tidak-kekal%E2%80%9D-karangan-agus-mustofa/


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.