Kitab Barzanji ditulis oleh Ja’far al-Barzanji al-Madani, dia adalah khatib di Masjidil Haram dan seorang mufti dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan diatara karyanya adalah Kisah Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Munjid fii al A’laam, 125)
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermahzab Syiah tentu  Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi  Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam do’anya “Dan  berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi  para pemimpin dari keturunan az-Zahra di bumi Nu’man”. (Majmuatul  Mawalid, hal. 132)
Kesalahan Umum Kitab Barzanji
Kesalahan kitab Barzanji tidak separah yang ada pada kitab Daiba dan  Qasidah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika kitab  Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Quran. Bahkan, dianggap  lebih mulia daripada al-Quran. Padahal, tidak ada nash syar’i yang  memberi jaminan pahala bagi orang yang memabca Barzanji, Daiba atau  Qasidah Burdah. Sementara, membaca al-Quran yang jelas pahalanya, kurang  diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering membaca kitab  Barzanji daripada membaca al-Quran apalagi pada saat perayaan maulid  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda : “Barangsiapa membaca 1 huruf dari al-Quran maka dia  akan mendapatkan 1 kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan  menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim satu huruf.  Tetapi, Alif 1 huruf, Laam 1 huruf, Miim 1 huruf .” (HR. Tirmidzi dan  dishahihkan oleh al-Albani di dalam shahihul jam’i hadits ke 6468)
Kesalahan Khusus Kitab Barzanji
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain :
Pertama : Penulis kitab Barzanji menyakini melalui ungkapan syairnya  bahwa kedua orang tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk  ahlul iman dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahwa ia  mengungkapkan dengan sumpah.
وَقَدْ أَسْبَحَاوَاللهِ مِنْ أَهْلِ اْلإِ يْمَانِ
وَجَاءَلِهَذَا فِي اْلحَدِيْثِ شَوَا هِدُ
وَمَالَ إِلَيْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ
فَسَلَّمْ فَإِنََّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَ شْعَرِيَ لَمُثْبِتُ
نَجَاتَهُمَانَصَّابِمُحْكَ
وَجَاءَلِهَذَا فِي اْلحَدِيْثِ شَوَا هِدُ
وَمَالَ إِلَيْهِ الْجَمُّ مِنْ أَهْلِ الْعِرْفَانِ
فَسَلَّمْ فَإِنََّ اللهَ جَلَّ جَلاَلُهُ
وَإِنَّ اْلإِمَامَ اْلأَ شْعَرِيَ لَمُثْبِتُ
نَجَاتَهُمَانَصَّابِمُحْكَ
“Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Ta’ala termasuk ahli iman
Dan telah datang dalil dari hadits sebagai bukti-buktinya.
Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat ini
Maka ucapkanlah salam, karena sesungguhnya Allah Maha Agung.
Dan sesugguhnya Imam al-Asy’ari menetapkan bahwa keduanya selamat  menurut nash tibyan (al-Quran).” (Lihat Majmuatul Mawalid Barzanji, hal  101)
Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadits dari Anas  radliyallahu’ahu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya “Wahai  Rasulullah, dimanakah ayahku (setelah mati)?” Beliau shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda “Dia berada di neraka.” Ketika orang itu pergi,  beliau memanggilnya dan bersabda : “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu  berada di neraka”. (HR. Muslim dalam shahihnya (348) dan Abu Daud dalam  sunannya (4718))
Imam Nawawi berkata : “Makna hadits ini adalah bahwa, barangsiapa yang  mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka dan kedekatan  kera”bat tidak berguna baginya. Begiu juga orang Arab penyembah berhala  yang mati pada masa fatrah (jahiliyah), maka ia berada di Neraka. Ini  tidak menafikan penyimpangan dakwah mereka, kaena sudah sampai kepada  mereka dakwah Nabi Ibrahim ‘alahissalam dan yang lainnya.” (Lihat Minhaj  Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi. 3/74)
Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang  tua Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keduanya beriman dan selamat  dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah sekali  serta tidak ada satupun yang shahih. Para ahli hadits sepakat akan  kedhaifannya seperti Daruquthni, al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, al-Khatib,  Ibnu Asaki, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili, al-Qurtubi, ath-Tabhari  dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari berpendapat bahwa kedua orang tua  Nabi beriman, harus dibuktikan kebenarannya. Memang benar, Imam Suyuthi  berpendapat bahwa kedua orang tua Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam  beriman dan selamat dari Neraka, namun hal ini menyelisihi para hafidz  dan para ulama peneliti hadits. (Aunul Ma’bud, Abu Thayyib (12/324))
Kedua : Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka  meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada saat  membaca shalawat, terutam ketika Mahallul Qiyam (posisi berdiri), hal  itu sangat nampak sekali di awal qiyam (berdiri) mambaca :
مَرْحَبًَايَامَرْحَبًَا يَامَرْحَبًَا
مَرْ حَبًَايَا الْحُسَيْنِ مَرْحَبًَا
“Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai  kakek Husain selamat datang“
Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang  hadir secara fisik? Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan, apakah  yang hadir jasad Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama  ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang pembela  perayaan Maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang menyatakan  bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir hanyalah  ruhnya.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di alam  Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Ta’ala di surga, sehingga  tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.
Pada bait berikutnya semakin jelas nempak bahwa Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini yang  hadir adalah ruhnya.
يَانَبِنيْ سَلاَمٌُ عَلَيْكَ
يَارَسُوْل سَلَمٌُ عَلَيْكَ
يَاحَبِبُ سَلاَمٌُ عَلَيْكَ
صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
“Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu.
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah  atasmu.”
Para pembela Barzanji seperti penulis “Fikh Tradisional” berkilah, bahwa  tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara mengagungkan  seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk menghormati  sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang hal  itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali  upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus,  maupun pada waktu yang lain, ketiak bendera merah putih dinaikkan dan  lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara diharuskan  berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati bendera merah  putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam upacara bendera  saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati Nabi lebih layak  dilakukan, sebagai ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau. Bukankah  Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia teragung yang  lebih layak dihormati dari pada orang lain? (Lihat Fikh Tradisional,  Muhyiddin Abdusshamad (277-278))
Ini adalah qiyas yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin  menghormati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam disamakan dengan hormat  bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau  Shalallahu’alahisasalam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik  saat hidup atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan  cara seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak  mungkin kembali dan hadir ke dunia lagi. Di samping itu, kehadiran Rasul  shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan bathil  karena termasuk perkara gaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali  berdasarkan wahyu Allah Ta’ala, dan bukan dengan logika atau qiyas.  Bahkan, pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid’ah.  Pengagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan cara  menaatinya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan  mencintainya.
Melakukan malan bid’ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan  bentuk pengagungan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian  juga dengan cara perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang tercela.
Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam adalah para shahabat, sebagimana perkataan Urwah bin Mas’ud  kepada kaum Quraisy : “Wahai kaumku, demi Allah, aku pernah menjadi  utusan kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada Kaisar, aku  pernah menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum  pernah melihat seorang Raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana  pengikut Muhammad. Tidaklah Muhammad meludah kemudia mengenai telapak  tangan seseorang di antara mereka, melainkan mereka langsung  mengusapkannya ke wajah dan kulit mereka. Apabila ia memerintahkan suatu  perkara, mereka bersegera melaksanakannya. Apabila beliau berwudhu,  mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabilamereka berkata, mereka  merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung  kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka.” (HR. Bukhari : 3/187, no.  2731, 2732, al-Fath 5/388)
Bentuk pengagungan para shahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan acara  maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul shallallahu  ‘alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya perbuatan  tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadits Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berdirilah kalian untuk tuan atau orang  yang paling baik di antara kalian” (Shahih HR. Bukhari-Muslim dalam  shahihnya), maka alasan ini tidak tepat.
Memang benar Imam Nawawi berpendapat bahwa pada hadits di atas terdapat  anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan orang yang  mempunyai keutamaan, (Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi,  juz XII, hal. 313). Namun, tidak dilakukan kepada orang yang telah wafat  meskipun terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan  pendapat yang benar, hadist tersebut sebagai anjuran dan perintah Rasul  kepada orang-orang Anshar agar berdiri dalam rangka membantu Sa’ad bin  Mu’adz radliyallahu’anhu turun dari keledainya, karena ia sedang terluka  parah, bukan menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya  secara berlabihan. (Lihat Ikmalil Mu’lim bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi  ‘Iyadh, 6/105).
Ketiga : Penulis Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat  untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.
فِيكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّيْ
يَابَشِيْرُ يَانَذِيْرُ
فَأَغِثْنِيْ وَ أَجِن
يَامُجِيْرُمِنَ السَّعِيْرِ
يَاغَيَاثِيْ يَامِلاَذِيْ
فِيْ مُهِمَّاتِ اْلأُمُوْرِ
“Padamu sungguh aku telah berbaik sangka.
Wahai pemberi kabar gembira wahai pemberi peringatan
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku.
Wahai pelindung dari neraka sa’ir.
Wahai penolongku dan pelindungku.
Dalam perkara-perkara yang sangat penting (suasana susah dan genting)”
Sikap berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,  mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi  Allah Ta’ala dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau dan  bersumpah dengan nama beliau merupakan sikap yang sangat dibenci  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan  syirik. Do’a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk  dan manhaj dakwah beliau Shalallahu’alahisasalam, bahkan menyelisihi  pokok ajaran Islam yaitu Tauhid. Nabi telah mengkhawatirkan akan  terjadinya hal tersebut., sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda : “Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana  kaum Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. AKu hanyalah  seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR.  Bukhari dalam shahihnya 3445)
Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa ‘alahissallam  sebagai sekutu bagi Allah dalam peribadatan mereka. Mereka berdoa kepada  Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Ta’ala, padahal ibadah  tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah Ta’ala. Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan kepada umatnya agar tidak  menjadikan kuburan beliau sebagai tempat berkumpul dan berkunjung,  sebagaimana dalam sabdanya : “Janganlah kalian jadikan kuburanku tempat  berkumpul, bacalah shalawat atasku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai  kepadaku dimanapun kaum berada”. (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih  (2042) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram : 125)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada  umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan  beliau. Bahkan, ketika ada orang yang berlebihan dalam mengagungkan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata : “Engkau Sayyid kami dan  anak sayyid kami, engakau adalah orang terbaik di antara kami, dan anak  dari orang terbaik di antara kami”, maka Nabi Shalallahu’alahisasalam  bersabda kepada mereka : “Katakanlah dengan perkataanmu atau  sebagiannya, dan jangan biarkan syaitan mengelincirkanmu.” (Shahih,  disahhihkan oleh al-Albani dalam Ghayatul Maram 127, lihat takhrij  beliau di dalamnya).
Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampaui batas terhadap Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau,  karena adalah bentuk pengagungan yang tidak boleh diberikan kecuali  kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  “Barangsiapa bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah Ta’ala,  jikalau tiadk bisa hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari-Muslim dalam  shahihnya 2679 dan 1646)
Cukuplah dengan hadist tentang larangan bersikap berlebihan dalam  mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dalil yang tidak  membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang ingin  mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan hadist  tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.
Keempat : Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid’ah  yang mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam.
Para pengagum kitab Barzanji mengagngap bahwa membaca shalawat kepada  Nabi Muhammad merupakan ibadah yang sangat terpuji. Sebagaimana firman  Allah Ta’ala
Ayat ini yang mereka jadikan dalil untuk membaca kitab tersebut pada  setiap peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal,  ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar mereka  membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat tertentu  seperti pada perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak dipungkiri bahwa bershalawat atas Nabishallallahu ‘alaihi wa  sallam terutama ketika mendengar nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan shalawat  atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari  melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan  akhirat, karena :
1) Terkena doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamyaitu sabda beliau :  “Sungguh celaka bagi seseorang yang disebutkan namaku disisnya, namun ia  tidak bershalawat atasku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 2/254,  At-Tirmidzi dalam Sunannya 3545 dan dishahihkanoleh al-Albani dal ‘Irwa :  6)
2) Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  beliau bersabda : “Orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku  disisinya, ia tidak bershalawat atasku”. (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam  Sunannya 3546, Ahmad dalam Musnadnya 1/201, dan dishahihkan oleh  al-Albani dalam ‘Irwa : 5)
3) Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Ta’ala,  karena meninggalkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa membaca shalawat  atasku skali, maka Allah Ta’ala bershalawat atasku 10 kali”. (HR. Imam  Muslim dalam Shahinya 284)
4) Tidak mendapatkan keutamaan shalawat dari Allah Ta’ala dan para  malaikat. Allah Ta’ala berfirman : “Dialah yang memberi rahmat kepadamu  dan malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan  kamu dari kegelapan kepada cahaya yang teramg dan Dia Maha Penyayang  kepada orang-orang yang beriman”(QS. Al Ahzab 33:34)
Bahkan membaca shalawat menyebabkan hati menjadi lembut, karena membaca  shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi  tentram dan damai sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Orang-orang yang  beriman dan hati mereka menjadi tentram dangan mengingat Allah Ta’ala.  Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.(QS.  Ar-Ra’du 13:28). Tetapi dengan syarat membaca shalawat secara benar dan  ikhlas karena Allah Ta’ala semata, bukan shalawat yang dikotori oleh  bid’ah dan khurafat serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan mendapat ketentraman di  dunia dan pahala di akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan  siksaan dari Allah Ta’ala. Siksaan tersebut bukan karena mambaca  shalawat, namun karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi,  dikhususkan pada malam peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam saja, yang jelas-jelas merupakan perayaan bid’ah dan penyimpangan  terhadap syariat.
Kelima : Penulis kitab Barzanji juga meyakini tentang Nur Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya  :
وَمَازَالَ نُوْرُالْمُسْطَفَى مُتَنَقِّلاًَ
مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطَاهِرِأَرْدَانٍِ
“Nur musthafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih  kepada yang sulbi suci nan murni”
Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj  yang berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilik cahaya yang  kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua  cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi  sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya  tersebut”.
Demikian juga perkataan Ibnu Arabi Attha’i bahwa semua Nabi sejak Nabi  Adam ‘alahissallam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya  kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi.  (Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasulullah oleh Abdur Rauf  Utsman (169-192))
Perlu diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya. Kesyirikan  ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya terbatas  pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka juga  berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan kaum  jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan merek  seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa ‘alahissallam, seperti ;  dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip Trinitas mereka.  Bahkan mereka adalah kepunyaan Allah Ta’ala dan di bawah kekuasaan-Nya.  Namun, mereka menyembah Tuhan-Tuhan mereka dengan keyakinan bahwa  Tuhan-Tuhan mereka itu mempu memberi syafaat dan menolong mereka.  Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalah kitab Barzanji, semoga  bermanfaat.
[Disalin dari Majalah AS-SUNNAH Edisi 12 Th. XII Rabiul Awal 1430/Maret  2009 oleh Al-Ustadz Zainal Abidin, Lc].
 
 
 
 

 
















 

 
 
 Posts
Posts
 
 
 
 
 












 











Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.