Oleh: Abu Nu'aim Al Atsari
Golongan Asy 'ariyah yaitu sekelompok orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abul Hasan Ali bin Isma'il Al Asy'ari dalam masalah aqidah khususnya sifat-sifat Allah, menetapkan sifat Allah hanya duapuluh. Padahal beliau hanya menetapkan tujuh sifat (sebelum kembali ke manhaj salaf, ahlussunnah wal jama'ah). Yang tiga belas itu sebenarnya tambahan dari kelompok Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad bin Muhammad Al Maturidi As Samarqondi (wafat 333 H)
Golongan Asy 'ariyah yaitu sekelompok orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abul Hasan Ali bin Isma'il Al Asy'ari dalam masalah aqidah khususnya sifat-sifat Allah, menetapkan sifat Allah hanya duapuluh. Padahal beliau hanya menetapkan tujuh sifat (sebelum kembali ke manhaj salaf, ahlussunnah wal jama'ah). Yang tiga belas itu sebenarnya tambahan dari kelompok Maturidiyyah, pengikut Abul Manshur Muhammad bin Muhammad Al Maturidi As Samarqondi (wafat 333 H)
Adapun sifat duapuluh itu adalah Wujud, Qidam, Baqa', Mukholafatuhu Ta'ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam, Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu 'Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami'an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu Mutakalliman. Inilah yang dinamakan sifat wajib duapuluh bagi Allah yang wajib diyakini menurut Asy 'Ariyah.
Dalam menetapkan sifat tujuh (ditambah menjadi dua puluh oleh Maturidiyyah) mereka (Asy 'Ariyah) hanya berdasarkan akal. Kata mereka: "Adanya makhluk ini menunjukkan adanya qudroh, lalu adanya sifat khusus bagi masing-masing akhluk menunjukkan adanya irodah, teraturnya alam ini tanda adanya 'ilmu. Ketiga sifat ini tanda adanya sifat Hayyu(hidup) karena ketiga sifat itu tidak akan terwujud tanpan Al Hayyu. Dan sifat hayyu harus memiliki sifat berbicara, mendengar dan melihat. Ini adalah sifat sempurna. Atau tersifati dengan bisu, tuli atau buta, namun karena ini sifat tercela maka tidak mungkin Allah tersifati dengannya".
Bantahan Ahlussunnah (manhaj salaf) : Berbicara dalam masalah ini hanya berdasarkan akal mengandung konsekwensi sebagai berikut :
1. Menyelisihi metode yang diterapkan oleh salaful ummah, generasi awal, dari kalangan shahabat, tabi'in, atba'uttabi'in dan para ulama setelah mereka. Mereka mengembalikan masalah ini kepada Al Qur'an dan Sunnah. Mereka menetapkan semua nama-nama dan sifat sebagaimana Allah tetapkan dalam Al Qur'an atau melalui sunnah Nabi-Nya tanpa diserupakan dan dita'thil. Imam Ahmad berkata: "Kita mensifati Allah sesuai yang telah Allah tentukan, tidak boleh melampaui Al Qur'an dan Hadits".
2. Juga menyelisihi akal itu sendiri. Karena masalah ini termasuk urusan ghoib. Sehingga akal tidak bisa campur tangan. Yang bisa dilakukan hanyalah menerima.
3. Akan menyebabkan perselisihan dan kontradiksi yang tiada henti. Karena setiap orang mempunyai akal. Lalu akal mana yang dipakai? Si Fulan akan menetapkan sesuatu yang dinafikan oleh Fulan yang lain, begitu seterusnya. Maka tidak ada mizan (timbangan) yang kongkrit sebagai pijakan baku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : "Aduhai, dengan akal siapa Kitab dan Sunnah akan ditimbang? Semoga Allah meridhoi Imam Malik bin Anas dimana beliau berkata: 'Atau apakah setiap kali ada seseorang yang lebih lihai berdebat mendatangi kita, lalu kita akan campakkan apa yang disampaikan Jibril kepada Muhammad y hanya karena mengikuti pendapatnya? Padahal sudah dimaklumi bahwa kontradiktifnya perkataan merupakan bukti kebatilannya".
4. Jika mereka(Asy 'Ariyah dan ahlikalam) mengatakan bahwa makna tangan Allah adalah kekuatan karena takut dikhawatirkan menyerupai tangan makhluk, maka mereka juga harus menta'wilkan makna kekuatan supaya tidak terjadi penyerupaan karena makhluk juga punya kekuatan. Jika mereka berkelit (dgn mengatakan) kekuatan Allah tidak sama dengan kekuatan makhluk. Kita jawab: Demikian pula tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Jadi tidak ada jalan untuk menta'wil.(Majmu' Fatawa, bagian Taqrib At Tadamuriyah, Sayikh Ibnu Utsaimin, 4/123-124). Allahu A'lam bish showab.
Uraian berikut akan mencoba mengulas kesalahan madzhab mereka yang sudah mengakar di masyarakat. Semoga Allah masih membuka jalan bagi mereka untuk kembali ke manhaj ahsunnah yang hakiki.
Nama dan sifat Allah tidak terbatas karena tidak ada dalil yang membatasi. Bahkan ketidak terbatasan asma' dan sifat Allah disabdakan oleh Rasulullah sendiri:
"Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya"
[Hadits shohih riwayat Ahmad dalam Musnad, Ibnu Hibban dalam Mawaridu Dhom'an, Al-Hakim dalam Mustadrok. Dishohihkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Sifa'ul 'Alil, Ahmad Syakir, Al-Albani dalam Shohihah, dan Al-Arnauth dalam takhrij Zadul Ma'ad]
Sesuatu yang masih berada dalam ilmu ghoib tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah, sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mengetahuinya, apalagi menghitungnya. Jelas sekali bahwa nama Allah itu tidak terbatas.
Lalu bagaimana dengan hadits:
"Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya
[Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677]
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka susunan kalimatnya adalah:
"Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah"
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan untuk menghapalnya. Selain itu kalimat "…barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah" bukan merupakan kalimat tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal dengannya, seperti ucapan: "Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya persiapkan untuk shodaqoh". Berarti anda masih mempunyai uang yang lain yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya. [Al-Qowa'idul Mutsla Fi Sifatillahi Wa Asma'ihi Al-Husna, Ibnu Utsaimin, hal.17. dan Al-Qowa'idul Muhimmat Fil Asma'I was Sifat, Ibnul Qoyyim, hal.32]
Imam Nawawi berkata: "Ulama telah bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal 99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya" [Syarah Muslim, 6/177]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Inilah pendapat jumhur ulama' "[lihat Dar'u Ta'arudhil 'Aqli Wa Naqli, juz 3 hal.323]
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Tentang penyebutan 99 nama ini para ulama berselisih, apakah nama Allah sebatas itu atau lebih, namun disebutkannya sejumlah nama itu merupakan kekhususan sebab bagi yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah. Jumhur ulama memilih pendapat kedua (nama Allah lebih dari 99 nama). Dan An-Nawawi menukil adanya kesepakatan ulama' tentang masalah ini (seperti yg disebutkan diatas). Al-Khothobi berkata: "Dalam hadits ini terdapat penetapan sejumlah 99 nama, namun bukan merupakan halangan adanya tambahan nama yang lain. Pengkhususan ini dikarenakan nama-nama ini sering muncul dan maknanya paling jelas". Al-Qurthubi berpendapat sama dalam kitabnya Al Mufhim. Ibnu bathal menukil pendapat Al-Qodhi Abu Bakar bin Thoyyib, katanya: "Dalam hadits ini tidak ada bukti pembatasan nama Allah hanya 99. Namun makna hadits ini adalah siapa yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah, dan yang menunjukkan tiadanya pembatasan adalah kebanyakan dari nama-nama itu berupa sifat, sedangkan sifat Allah tidak terbatas".[Fathul Bari, 12/521]
Kesimpulannya bahwa nama Allah tidak terbatas. Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti sifat Allah juga tidak terbatas. Ibnul Qoyyim berkata: "Allah mempunyai nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus, seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya".[Al Qowa'idul Muhimmat fil Asma' Was Sifat, hal.32]
Wallahu ta'ala a'lam
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.