Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



SYUBHAT SEPUTAR PINJAM MEMINJAM RIBAWIYAH

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :




Oleh : Oleh : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari - Asysyariah.com.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

“Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata:
“Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi Usamah (dalam Musnadnya, 1/500 no. 437, pen.) dan di dalam sanadnya ada seorang rawi yang gugur periwayatannya (saqith). Hadits ini memiliki syahid (pendukung) yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (di dalam As-Sunanul Kubra, 5/350 dan Ma’rifatus Sunan wal Atsar, 4/391, pen.). Pendukung lainnya adalah hadits mauquf (riwayat yang sampai pada shahabat saja tidak sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu (lihat Bulughul Maram, Kitabul Buyu’, Bab As-Salam wal Qardh war Rahn, hadits no. 812, -pen).” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish (3/997): “Dalam sanad hadits ini ada Sawar ibnu Mush’ab , dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya).”

Hadits ini didhaifkan (dilemahkan) pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir (2/78), Abdul Haq di dalam Al-Ahkam, Ibnu Abdil Hadi dalam At-Tanqih (3/192) dan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil (5/236, hadits no. 1398).

Ketahuilah, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba . Namun karena haditsnya dhaif, tentunya kita tidak boleh memakainya sebagai hujjah. Hanya saja makna hadits di atas terpakai, diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) para ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullahu (dan yang lainnya ) bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan, penambahan kualitas ataupun kuantitas, termasuk riba. Pinjam meminjam pada asalnya adalah perbuatan kebaikan dimana seseorang memberikan kepada yang lain suatu barang atau uang, untuk nantinya dikembalikan yang sama pada waktu yang telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu yang lebih bagus/baik, terjadilah riba. (Al-Muhalla bil Atsar, 6/348, dan dalam Maratibul Ijtima’, hal. 165)

Dalam hal ini ada beberapa syubhat yang beredar di tengah kaum muslimin yang sengaja disebarkan oleh ahlus syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut jawabannya dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari (hal. 146-148) yang ditulis guru kami Asy-Syaikh Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adni hafizhahullah.

Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam meminjam (qardh) yang memberi faedah. Dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:

Pertama : Riba yang diharamkan hanyalah riba jahiliah, yaitu riba dalam hutang piutang.

Misalnya, seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu, namun ternyata sampai tempo yang ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibatnya si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang, sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang tersebut (istilahnya: engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah).

Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) di awal akad pinjam meminjam, mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.

Mereka yang berpendapat seperti ini di antaranya Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar, murid Muhammad Abduh, serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri, seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:

1. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentangnya hanyalah berupa ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.

Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:
a. Hal ini tidak bisa diterima, karena sebenarnya riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:

Bentuk pertama: Bentuk yang masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’
Bentuk kedua: Penetapan adanya tambahan (ziyadah) pembayaran/ pengembalian dari jumlah yang semestinya dibayarkan sejak awal akad. Bentuk seperti ini adalah riba jahiliah, disebutkan dalam Ahkamul Qur`an (1/563-564) karya Al-Imam Al-Jashshash.

b. Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yang ada dalam surah Al-Baqarah hanya mencakup bentuk yang pertama, namun sebenarnya ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil akan haramnya ziyadah yang dipersyaratkan di awal akad. Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.

c. Ziyadah (tambahan) yang dipersyaratkan dalam akad hutang piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas dan dirham/perak) serta yang serupa dengan keduanya sebagai alat pembayaran seperti uang kertas, memang tidak dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Namun demikian, pengharamannya disebutkan dalam Sunnah.

Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata, “Berikan pinjaman kepada saya sebesar Rp. 100.000,-.” Pihak bank mengatakan, “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami catat dalam pembukuan kami jumlah Rp. 120.000,- sampai akhir tahun.”

Memang ayat-ayat tentang riba tidak menunjukkan keharaman bentuk seperti ini, namun hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan secara jelas keharamannya. Dalam hadits disebutkan tentang enam macam barang yang terkena hukum riba:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى

“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (satu jenis gandum) dengan burr, sya’ir (satu jenis gandum juga) dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus sama timbangannya, dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia jatuh dalam riba.” (HR. Muslim no. 1587)

Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000,- kepada orang tersebut namun dicatat jumlahnya Rp. 120.000,- hingga waktu setahun, berarti pihak yang berhutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu:

مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ

(harus sama timbangannya dan tangan dengan tangan (serah terima di tempat) . Mereka yang melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan dua macam riba, riba fadhl dan riba nasi`ah .

2. Menurut mereka, riba jahiliah dilarang karena mengambil ziyadah (tambahan) dari pokok harta (yang dipinjamkan). Hal itu terjadi karena tertundanya pembayaran hutang kepada pihak yang memberi piutang, bukan disebabkan ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.

Dijawab:
Sebab yang disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yang mensyaratkan pembayaran tambahan (ziyadah).

3. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata, “Huruf lif dan lam pada kata الرِّبَا adalah lil-’ahd , sehingga riba yang dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal, dimaklumi dan diketahui kalangan orang-orang jahiliah yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.

Dijawab:
Kalaulah dianggap alif dan lam yang ada pada kata riba tersebut lil-’ahd, yakni Rabb kita menyebutkan (dalam ayat) keharaman riba atas sesuatu yang tertentu yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah, maka As-Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat Al-Qur`an). Sehingga lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka ada yang mengatakan, “Riba adalah lafadz yang global, penafsirannya disebutkan dalam As-Sunnah.”

4. Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dengan akal. Ia berkata, “Ancaman yang keras dan cercaan yang demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepada dosa-dosa yang besar. Bila ada seseorang menukar 1 real perak dengan 4 real perak dengan serah terima yang ditunda sampai waktu tertentu, apakah bisa diterima oleh akal bahwa perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat yang melarang riba berupa diperangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah bila bentuknya seperti bentuk yang awal yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.

Jawabannya:
Menggunakan akal dan pendapat dalam perkara yang telah disebutkan nash-nya secara syar’i adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal yang ditolak tersebut.

5. Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adalah riba yang menyebabkan kerusakan, kemudaratan, meruntuhkan rumah-rumah, dan memutuskan silaturahim.

Dijawab:
Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lebih besar dan lebih tampak kedzalimannya daripada tambahan yang ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dalam riba jahiliah, seseorang memberi satu pinjaman kepada orang lain untuk dikembalikan dalam tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh tempo, orang yang meminjamkan berkata kepada pihak yang dipinjami, “Engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah (didenda).” Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentunya lebih tampak dan lebih jelas kedzalimannya.

Kemudian, apa yang dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dengan nash dan tidak sepantasnya ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya menghukumi (memutuskan perkara) di antara mereka, mereka akan mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’.” (An-Nur: 51)

6. Muhammad Rasyid Ridha berargumen dengan ucapan-ucapan ulama untuk membatasi riba yang dilarang hanyalah ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yang disebutkannya adalah Malik, Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ath-Thahawi, Asy-Syathibi, Ibnu Rusyd, Al-Mawardi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.

Jawabannya:
Dalam hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dengan membatasi hukum. Tatkala ulama yang disebutkan di atas memaparkan hal itu, yang mereka maukan adalah menerangkan tentang riba yang masyhur dan dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukan untuk membatasi hokum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda halnya dengan apa yang dipegangi (diyakini) oleh Muhammad Rasyid Ridha. Dan ketahuilah, pada sebagian ucapan ulama yang disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat Muhammad Rasyid Ridha, di mana mereka menyatakan bahwa ini adalah bentuk riba jahiliah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bentuk-bentuk riba lain yang diharamkan seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.

Kedua : Membatasi riba hanya dalam jual beli saja.

Adapun dalam pinjam meminjam, riba (qardh) tidaklah berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:

1. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh haditshadits Rasulullah n. Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang berlakunya riba dalam qardh.
2. Mereka berdalil dengan penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yang membatasi riba hanya dalam jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yang lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan adanya riba dalam qardh sebagaimana dalam jual beli.
3. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma, sehingga tidak terjadi riba di dalamnya. Karena yang namanya riba hanya berlangsung pada sesuatu yang di dalamnya ada penggantian.

Jawabannya:
Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awalnya, namun pada akhirnya mereka menjadikannya perlu pengganti , yang berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.

Adapun ucapan mereka bahwa qardh adalah berderma, bila memang tujuannya untuk memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yang disyaratkan adanya ziyadah di dalamnya maka maksud atau tujuannya adalah meminta penggantian. Adanya syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli, bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh (pinjaman) hanyalah dilakukan untuk tujuan berbuat baik dan memberi manfaat bagi yang dipinjami. Beda halnya dengan qardh yang ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yang seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuannya meminta ganti, mendapat untung dan ziyadah.

4. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam masalah qardh, seperti hadits:

خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”

Jawabannya:
Hadits seperti ini dibawa pemahamannya kepada qardh yang tidak ada persyaratan minta tambah dalam pengembalian. Sebagaimana orang yang meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yang dipinjami, maka disyariatkan pula bagi orang yang dipinjami untuk berbuat ihsan kepada orang yang meminjamkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هَلْ جَزَاءُ اْلإِحْسَانِ إِلاَّ اْلإِحْسَانُ

“Tidaklah balasan kebaikan (perbuatan ihsan) melainkan kebaikan pula (perbuatan ihsan pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)

Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.

Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam (qardh) yang mengandung unsur riba. Sebagai penutup, bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata,

“Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh (pinjam meminjam) yang mensyaratkan adanya tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niatnya dalam qardh tersebut dan juga dalam melakukan amal shalih yang lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah untuk menambah harta secara hakiki, namun hanyalah untuk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memenuhi hajat orang-orang yang membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yang sesuai dengan besarnya pinjaman (tanpa ada syarat minta tambah atau syarat mendapatkan kemanfaatan lainnya, pent.). Bila yang seperti ini menjadi tujuan dalam qardh niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan barakah (keberkahan), penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/53)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Sumber : http://assunnah-qatar.com/component/content/article/56-hadits/679-syubhat-seputar-pinjam-meminjam-ribawi.html


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.