Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



HUKUM TERLALU BERSEMANGAT YANG MENGARAH KEPADA SIKAP EKSTREM

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : , , ,

Sudah di lihat :


Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?

Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,

"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." [Al-Ma’idah : 77]

Demikian juga firmanNya,
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu "[Ali Imran : 159]

Dan firmanNya kepada Musa, dan Harun, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,
"Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." [Thaha : 44]

Di dalam hadits Nabi, Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

"Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas."

Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali.[1]

Dalam sabdanya yang lain,
"Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas) di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama."[2]

Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya.

[Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, edisi 32, h. 120, dari fatwa Syaikh ibn Baz]

HUKUM MEREMEHKAN SYARI'AT ALLAH DAN KEENGGANAN UNTUK MENERAPKANNYA
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Banyak di antara kaum muslimin yang meremeh-remehkan dalam hal berhukum kepada selain syari'at Allah; sebagian berkeyakinan bahwa sikap meremeh-remehkan tersebut tidak berpengaruh terhadap komitmen keislamannya. Sebagian yang lain malah menganggap boleh-boleh saja berhukum kepada selain syari'at Allah dan tidak peduli dengan implikasinya. Bagaimana pendapat yang haq dalam masalah ini?

Jawaban:
Masalah ini harus dirinci, yaitu barangsiapa yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah sementara dia mengetahui bahwa wajib baginya berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dan dengan perbuatannya itu, dia telah melanggar syari'at akan tetapi dia menganggap boleh hal itu dan memandangnya tidak apa-apa melakukannya dan juga boleh saja hukumnya berhukum kepada selain syari'at Allah; maka orang seperti ini hukumnya adalah kafir dengan kekufuran Akbar menurut seluruh ulama, seperti berhukum kepada undang-undang buatan manusia, baik oleh kaum Nashrani, Yahudi ataupun orang-orang selain mereka yang mengklaim bahwasanya boleh berhukum dengannya, bahwa ia adalah lebih utama ketimbang hukum Allah, bahwa ia sejajar dengan hukum Allah atau mengklaim bahwa manusia

diberi pilihan; bila menginginkan, dia boleh berhukum kepada al-Qur'an dan As-Sunnah dan bila dia menginginkan, boleh berhukum kepada undang-undang buatan manusia tersebut. Jadi, barangsiapa berkeyakinan demikian, maka dia telah berbuat kekufuran menurut ijma’ para ulama sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.

Adapun orang yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah karena dorongan hawa nafsu atau keuntungan sesaat sementara dia mengetahui bahwa dengan perbuatan itu telah berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya, bahwa dia telah melakukan kemungkaran yang besar dan yang wajib atasnya adalah berhukum kepada syari'at Allah; maka dia tidak berbuat kekufuran yang besar tersebut akan tetapi dia telah melakukan suatu kemungkaran dan maksiat yang besar serta kekufuran kecil sebagaimana pendapat Ibn Abbas, Mujahid dan ulama selain keduanya. Dia telah melakukan kekufuran di bawah kekufuran (Kufr duna Kufr) dan kezhaliman di bawah kezhaliman dan kefasikan di bawah kefasikan, bukan kekufuran akbar. Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat berikut:

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. " [Al-Ma’idah : 49]

"Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." [Al-Ma’idah : 44]

"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim "[Al-Ma’idah : 45]

"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik."[Al-Ma’idah : 47]

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya"[An-Nisa : 65]

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?"
[Al-Ma’idah : 50]

Jadi, hukum Allah lah yang merupakan hukum paling baik, yang wajib diikuti dan dengannya tercipta keshalihan umat dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat serta keshalihan alam semesta ini akan tetapi kebanyakan makhluk lalai dari realitas ini.

Kepada Allah lah kita tempat memohon pertolongan, tiada daya dan kekuatan kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.

[Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, Juz.V, h.355-356, dari fatwa Syaikh Ibn Baz]

__________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-'Ilm (2670).
[2]. Imam Ahmad (1854), dan juga diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab As-Sunan dengan sanad Hasan; an-Nasa'i, kitab AI-Hajj (3057), Ibn Majah, kitab Al-Manasik (3029).

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2103/slash/0


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.