Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



MENYINGKAP KEBOHONGAN KCB

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Oleh: Abu Aqil al-Atsary

Dalam sebuah iklan film yang banyak disiarkan dalam berbagai media, sebuah film berjudul “Ketika Cinta Bertasbih” yang digarap oleh Habiburrahman el-Siraji yang juga telah sukses dengan filmnya “Ayat-ayat Cinta”. Konon katanya film ini menjelaskan dalil-dalil yang sangat jelas yang menentang poligami. Pantas saja jika film ini digandrungi oleh banyak kaum hawa bahkan banyak para tokoh yang katanya “ulama” juga menyambut baik film tersebut.

Memang penulis belum menonton langsung film tersebut, akan tetapi dari iklan yang ditayangkan di telivisi, ada satu kalimat dalam film tersebut yang penulis anggap penting dan menarik untuk diungkap kebenarannya, kalimat tersebut diucapkan oleh salah seorang gadis yang berkata,

“aku ingin seperti Fatimah, yang tak mau dimadu sayyidina Ali“

Hal ini menjadi menarik karena ungkapan ini digunakan untuk menolak poligami. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, tulisan ini penulis suguhkan guna menyingkap kebohongan akan klaim bahwa Fatimah menolak poligami yang telah jelas hukum kebolehannya dalam Islam.

Hukum Poligami dalam al-Quran dan al-Hadits

Sebenarnya berpoligami telah jelas bagi kita hukumnya adalah boleh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا

" Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". [QS. Al-Nisa’: 3]

Dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi memiliki istri 10 orang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pilihlah 4 orang dan ceraikan yang lainnya.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, dan al-Baihaqi, Lihat Tafsir ad-Durul Mantsur, Jalaluddin as-Suyuti, Juz IV, hal. 221]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan,
عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما أحل الله في كتابه فهو حلال، وما حرم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئاً، ثم تلا “وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا”

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apa saja yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa saja yang diharamkan-Nya maka hukumnya Haram, dan Apa saja yang didiamkan-Nya maka hal itu dimaafkan, maka terimalah apa saja dari Allah yang dimaafkan-Nya, karena Sesungguhnya Allah tidak melupakan sesuatu pun.” Kemudian beliau SAW. Membaca “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam: 64).” [HR. ath-Thabraniy, al-Bazar dan al-Hakim, sanadnya Mutsiqun (orang-orang tsiqoh). Lihat Majma’ az-Zawaid, al-Hatsamiy]

لا يضل ربي ولا ينسى

“Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” [QS. Thaha: 52]

Demikianlah beberapa dalil yang qathi’ (tegas) yang menetapkan hukum seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari 1 (satu) istri hingga 4 (empat) orang. Namun anehnya, masih saja ada orang-orang yang ragu bahkan membuat keragu-raguan tentang hukum masalah ini yang telah jelas. Berbagai macam cara dilakukan guna mengaburkan hukum poligami ini, dengan menyimpangkan makna ayat, menafsirkannya dengan ro’yu (akal semata), hingga seperti apa yang dilakukan oleh Habiburrahman el-Siraji dengan film-nya “Ketika Cinta Bertasbih”.

لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ

“Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu” [QS. At-Tahrim: 1]

Benarkah Fatimah Menolak Poligami?
Fatimah az-Zahra’ adalah putri bungsu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari Khadijah. Pada tahun kedua sesudah hijrah (Juni 624), Fatimah dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib. Ketika melamar, disebutkan dari berbagai sumber, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki apa-apa. Sehingga akhirnya Rasulullan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta ‘Ali menjual baju perang yang pernah ia berikan.

عن ابن عباس قال: لما تزوج عليٌّ فاطمة قال له رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “أعطها شيئاً” قال: ما عندي شىء، قال: “أين درعك الحطمية؟

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Ketika ‘Ali hendak menghendaki Fatimah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Ali, “berikan sesuatu (sebagai maharnya)”, Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa, Rasulullah berkata, “Kemana Baju besi/perang (yang aku berikan kepadamu)? [HR. Abu Daud, Kitab Nikah, no hadits 2125]

Hingga suatu saat Ali bin Abi Thalib memiliki niat untuk menikah lagi. Mendengar niat Ali radhiyallahu ‘anhu tersebut, Fatimah pun menolak, Rasulullah juga menentang keras keinginan Ali bin Abi Thalib untuk menikah lagi. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru sebagaimana dalam hadits berikut,

حدثنا عبدالله بن عبيدالله بن أبي مليكة القرشي التيمي؛ أن المسور بن مخرمة حدثه؛
أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر، وهو يقول “إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم، علي بن أبي طالب. فلا آذن لهم. ثم لا آذن لهم. ثم لا آذن لهم. إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم. فإنما ابنتي بضعة مني. يريبني ما رابها. ويؤذيني ما آذاها”.

Dari Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abu Mulikah al-Qurasyi at-Taimi, Sesungguhnya Miswar bin Makramah mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri diatas mimbar dan beliau bersabda “Keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan ia mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” [HR. Muslim no hadits 2449 bab Fadhailul shahabah]

Akan tetapi, hadits ini yang menceritakan kejadian ini tidak hanya satu, sehingga mengambil kesimpulan menentang poligami hanya bermodalkan hadits tersebut sangatlah picik dan jauh dari sikap ilmiah –jika tidak ingin dikatakan jahil/bodoh-. Karena masih ada hadits lain yang menjadi penjelas atas hadits tersebut, kenapa Rasulullah bisa sangat emosi hanya karena anaknya hendak dimadu.

أن علي بن أبي طالب خطب بنت أبي جهل وعنده فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم فلما سمعت بذلك فاطمة أتت النبي صلى الله عليه و سلم فقالت له إن قومك يتحدثون أنك لا تغضب لبناتك وهذا علي ناكحا ابنة أبي جهل قال المسور فقام النبي صلى الله عليه و سلم فسمعته حين تشهد ثم قال أما بعد فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع فحدثني فصدقني وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني وأنما أكره أن يفتنوها وإنها والله لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا قال فترك علي الخطبة

“Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal.” Kemudian Miswar bin Makhramah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, maka dia (Miswar) pun berdiri, ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, “Amma Ba’d, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî’ kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. “Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki.” Kemudian Ali meninggalkan pinangannya. [HR. Muslim (lihat Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim, Juz 9, hal 412 no. 5489), Abu Daud (nomor 2069), Ibnu Majah (hadits (1999) dan al-Muzzi menisbatkannya juga kepada riwayat Nasa`i]

Dari hadits ini nampak jelas sebuah kebenaran bahwa alasan Fatimah menolak dipoligami adalah karena ia tidak ingin dikumpulkan dengan putri Abu Jahal musuh Allah. Jelaslah keputusan Fatimah dan Rasulullah ini bukanlah sebuah penolakan akan poligami, melainkan penolakan terhadap Abu Jahal yang notabene memusuhi Rasulullah dan Dakwah Islamiyah kala itu.

Dan jika kita perhatikan hadits lain yang juga menceritakan kejadian ini, disana jelas disebutkan bahwa tindakan penolakan dari Rasulullah ini bukanlah sebuah penentangan akan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam shahihnya, Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإني لست أحرم حلالا ولا أحل حراما. ولكن، والله! لا تجتمع بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وبنت عدو الله مكانا واحدا أبدا

Dan sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan, dan juga tidak mengharamkan apa yang telah dihalalkan, akan tetapi, Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri musuh Allah dalam satu tempat selama-lamanya. [HR. Muslim no. 5488]


Dalam hadits ini, semakin tegas pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan “Aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan….” Tentunya hal ini menjadi senjata pamungkas untuk membungkam mulut orang-orang yang menggunakan hadits penolakan Fatimah tersebut untuk menolak hukum poligami yang telah ditetapkan dengan jelas hukum kebolehannya oleh Allah Dzat yang Maha Kuasa.

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” [QS. Al-Baqarah: 89]

Kesimpulan yang dapat kita petik dari pembahasan singkat ini adalah, jika suatu hukum telah jelas disebutkan dalam al-Quran dan al-Hadits, sekuat apapun orang berusaha untuk mengaburkannya, menentangnya dan menolaknya maka hasilnya adalah sia-sia belaka dan hanya murka Allah sajalah yang akan didapatnya kelak.

Film “Ketika Cinta Bertasbih” yang sedang populer dan diminati banyak orang, tanpa disadari memuat sebuah kebohongan atas nama putri Rasulullah dan menggunakannya untuk menolak hukum Allah. Dan seharusnya kita lebih berhati-hati akan upaya-upaya musuh-musuh Allah yang senantiasa ingin menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Allah yang sebenarnya. Sikap selektif seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita tetap berada diatas jalan yang lurus yang senantiasa kita harap-harapkan dalam setiap shalat kita.

Mudah-mudahan tulisan ini membuka mata kita semua bahwa serangan terhadap kaum muslimin itu tidak hanya dari segi serangan fisik akan tetapi serangan pemikiran lebih gencar dilakukan bahkan oleh orang-orang Islam sendiri. Wallahul Musta’an

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

"Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” [QS. At-taubah: 65-66]



Sumber : Notes dari al akh Muzaffar Arief
http://www.facebook.com/note.php?note_id=112256274982&ref=mf


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.