Waktu-waktu Shalat
Oleh : Ust. Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)
Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq[1]. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
“Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali[2]. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka[3]. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa[4]. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfar[5]kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)
1. Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.
2. Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
3. Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.”
4. Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam dari fajar (jelas terbitnya fajar).”
5. Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.
6. Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
7. Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:
Shalat pertama : shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga: shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima: shalat isya.
Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan, sehingga diistilahkan shalat wustha.
Shalat Fajar atau Shalat Subuh
Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)
Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
“Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4
Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Mendapati Satu Rakaat Fajar
Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah ketika matahari terbit, sehingga keadaan seseorang yang baru mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk pada rakaat kedua matahari terbit maka dia mendapati shalat subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas tentang orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar kemudian keluar waktu kedua shalat tersebut sebelum orang itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan shalatnya, pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan adanya kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam shalat subuh ada perselisihan. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga demikian, menyelisihi Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan shalat, beda halnya dengan tenggelamnya matahari.’ Namun hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj, 5/109)
Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai ke waktu yang sempit tersebut. Adapun bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya waktu shalat selama-lamanya walaupun telah keluar dari seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya karena tertidur atau karena lupa. Waktu mereka mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari tidur.
Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain pun berbaring tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِيْنَ شَاءَ، وَردَّهَا عَلَيْكُمْ حِيْنَ شَاءَ، يَا بِلاَلُ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ. فَتَوَضَّأَ، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قاَمَ فَصَلَّى
“Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia inginkan dan Dia mengembalikannya pada kalian kapan Dia inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk memanggil manusia guna mengerjakan shalat.” Beliau lalu berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيْءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الْأُخْرَى، فَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِيْنَ تَنَبَّهَ لَهَا
“Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah merupakan tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain (dalam keadaan ia terjaga dan tidak lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum mengerjakan shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ
“Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR. Muslim no. 1558)
1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.
2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar, 1/466)
3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu, sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam keadaan gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di sebelahnya. Beda halnya dengan keadaan masjid-masjid di zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya lampu.
Shalat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
“Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)
Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?
Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)
Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi, 1/120)
Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah teranggap. Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda pada tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)
Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.
Shalat Isya
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 1696)
Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَصَلىَّ بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ
“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi no. 167, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعَتَمَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقَالَ: خُذُوْا مَقَاعِدَكُمْ. فَأَخَذْنَا مَقَاعِدَنَا فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلُّوا وَأَخَذُوْا مَضَاجِعَهُمْ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِي صَلاَةٍ ماَ انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ ،وَلَوْلاَ ضَعْفُ الضَّعِيْفِ وَسَقْمُ السَّقِيْمِ لَأَخَّرْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ إِلىَ شَطْرِ اللَّيْلِ
Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak keluar dari tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar pertengahan malam. Beliau lalu berkata, “Tetaplah di tempat duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring (tempat tidur) mereka. Dan sungguh kalian terus menerus teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat. Seandainya bukan karena kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)
Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya.
Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.
Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ
Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)
Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:
أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ
Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya….” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)
Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)
Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya
Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam, maka ia terhitung dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya di atas:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4. Dalam hal ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau membenci tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 701, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَدَبَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah isya.” (HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2435)
At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal ini. Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata, ‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/110)
Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja melakukannya. Adapun orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)
Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً، فَأَخَّرَهَا حَتَّى رَقَدْنَا فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرُكُمْ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُبَالِي أَقَدَّمَهَا أَوْ أَخََّرَهَا، إِذَا كَانَ لاَ يَخْشَى أَنْ يَغْلِبَهَا النَّوْمُ عَنْ وَقْتِهَا وَكَانَ يَرْقُدُ قَبْلَهَا
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal waktu, maka beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid kemudian kami terbangun, lalu kami tidur lagi kemudian terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 570)
Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)
Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)
Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya, maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang sebenarnya mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan makruh diperbincangkan pada waktu lain selain setelah isya, tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah isya. Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya. Demikian pula berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diskusi ilmu, cerita tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/135)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini adalah dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya), kecuali dalam perkara mengandung kebaikan bagi orang yang berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)
Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian dari kemakruhan tersebut:
1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمُرُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فِي الْأَمْرِ مِنْ أََمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَنَا مَعَهُمَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu Bakr dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama keduanya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةً كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ، قَالَ: فَتَحَدَّثَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
“Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas, pent.) pada suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada (giliran bermalam, pent.) di rumah Maimunah. Aku sengaja bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)
3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga ketika keduanya berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)
4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya orang yang berbicara setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)
Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
“Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim no. 1454)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai malam sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya, pent.).” (Kata Al-Imam Albani rahimahullahu: “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)
Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah (secara berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut ‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.
Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
________
FooteNote
[1]. Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq dengan humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.
[2]. Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di masjid. ‘Umar menyeru demikian karena menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena lupa. (Al-Minhaj, 5/139)
[3]. Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.
[4]. Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan sampai hal itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat malam), atau ia tenggelam dalam obrolan kemudian tertidur pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’ 3/44, Fathul Bari, 2/66)
[5] Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 58:
وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
Sumber: http://drussalaf.or.id
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)
Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq[1]. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
“Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali[2]. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka[3]. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa[4]. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfar[5]kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)
1. Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.
2. Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
3. Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.”
4. Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam dari fajar (jelas terbitnya fajar).”
5. Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.
6. Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
7. Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:
Shalat pertama : shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga: shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima: shalat isya.
Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan, sehingga diistilahkan shalat wustha.
Shalat Fajar atau Shalat Subuh
Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)
Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
“Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4
Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Mendapati Satu Rakaat Fajar
Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah ketika matahari terbit, sehingga keadaan seseorang yang baru mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk pada rakaat kedua matahari terbit maka dia mendapati shalat subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas tentang orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar kemudian keluar waktu kedua shalat tersebut sebelum orang itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan shalatnya, pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan adanya kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam shalat subuh ada perselisihan. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga demikian, menyelisihi Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan shalat, beda halnya dengan tenggelamnya matahari.’ Namun hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj, 5/109)
Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai ke waktu yang sempit tersebut. Adapun bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya waktu shalat selama-lamanya walaupun telah keluar dari seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya karena tertidur atau karena lupa. Waktu mereka mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari tidur.
Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain pun berbaring tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِيْنَ شَاءَ، وَردَّهَا عَلَيْكُمْ حِيْنَ شَاءَ، يَا بِلاَلُ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ. فَتَوَضَّأَ، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قاَمَ فَصَلَّى
“Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia inginkan dan Dia mengembalikannya pada kalian kapan Dia inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk memanggil manusia guna mengerjakan shalat.” Beliau lalu berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيْءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الْأُخْرَى، فَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِيْنَ تَنَبَّهَ لَهَا
“Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah merupakan tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain (dalam keadaan ia terjaga dan tidak lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum mengerjakan shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ
“Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR. Muslim no. 1558)
1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.
2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar, 1/466)
3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu, sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam keadaan gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di sebelahnya. Beda halnya dengan keadaan masjid-masjid di zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya lampu.
Shalat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
“Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)
Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?
Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)
Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi, 1/120)
Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah teranggap. Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda pada tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)
Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.
Shalat Isya
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 1696)
Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَصَلىَّ بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ
“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi no. 167, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعَتَمَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقَالَ: خُذُوْا مَقَاعِدَكُمْ. فَأَخَذْنَا مَقَاعِدَنَا فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلُّوا وَأَخَذُوْا مَضَاجِعَهُمْ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِي صَلاَةٍ ماَ انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ ،وَلَوْلاَ ضَعْفُ الضَّعِيْفِ وَسَقْمُ السَّقِيْمِ لَأَخَّرْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ إِلىَ شَطْرِ اللَّيْلِ
Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak keluar dari tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar pertengahan malam. Beliau lalu berkata, “Tetaplah di tempat duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring (tempat tidur) mereka. Dan sungguh kalian terus menerus teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat. Seandainya bukan karena kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)
Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya.
Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.
Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ
Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)
Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:
أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ
Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya….” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)
Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)
Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya
Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam, maka ia terhitung dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya di atas:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4. Dalam hal ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau membenci tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 701, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَدَبَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah isya.” (HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2435)
At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal ini. Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata, ‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/110)
Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja melakukannya. Adapun orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)
Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً، فَأَخَّرَهَا حَتَّى رَقَدْنَا فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرُكُمْ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُبَالِي أَقَدَّمَهَا أَوْ أَخََّرَهَا، إِذَا كَانَ لاَ يَخْشَى أَنْ يَغْلِبَهَا النَّوْمُ عَنْ وَقْتِهَا وَكَانَ يَرْقُدُ قَبْلَهَا
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal waktu, maka beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid kemudian kami terbangun, lalu kami tidur lagi kemudian terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 570)
Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)
Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)
Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya, maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang sebenarnya mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan makruh diperbincangkan pada waktu lain selain setelah isya, tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah isya. Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya. Demikian pula berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diskusi ilmu, cerita tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/135)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini adalah dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya), kecuali dalam perkara mengandung kebaikan bagi orang yang berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)
Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian dari kemakruhan tersebut:
1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمُرُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فِي الْأَمْرِ مِنْ أََمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَنَا مَعَهُمَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu Bakr dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama keduanya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةً كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ، قَالَ: فَتَحَدَّثَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
“Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas, pent.) pada suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada (giliran bermalam, pent.) di rumah Maimunah. Aku sengaja bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)
3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga ketika keduanya berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)
4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya orang yang berbicara setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)
Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
“Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim no. 1454)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai malam sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya, pent.).” (Kata Al-Imam Albani rahimahullahu: “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)
Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah (secara berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut ‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.
Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
________
FooteNote
[1]. Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq dengan humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.
[2]. Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di masjid. ‘Umar menyeru demikian karena menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena lupa. (Al-Minhaj, 5/139)
[3]. Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.
[4]. Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan sampai hal itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat malam), atau ia tenggelam dalam obrolan kemudian tertidur pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’ 3/44, Fathul Bari, 2/66)
[5] Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 58:
وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ
Sumber: http://drussalaf.or.id
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.