Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



ILMU LADUNI ANTARA HAKIKAT DAN KHURAFAT

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :


Bismillah,
Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah adza wa jalla dengan penuh kesadaran dan pengertian. 
Allah adza wa jalla berfirman, artinya : 
”Dan Allah mengeluarkankamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”(QS. An-Nahl: 78).

Pada hakekatnya, semua ilmu makhluk adalah ”Ilmu Laduni” artinya ilmu yang berasal dari Allah adza wa jalla. Para malaikat-Nya pun berkata ”Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah 32).

Ilmu Laduni Dalam Pengertian Umum Ini Terbagi Menjadi Dua Bagian.

PERTAMA : Ilmu Yang Di Dapat Tanpa Belajar (Wahbiy),
KE DUA     : Ilmu Yang Didapat Karena Belajar (Kasbiy).

BAGIAN PERTAMA :
Adapun ilmu yang diturunkan dan didapat tanpa belajar (Wahbiy) terbagi menjadi dua macam :

1). Ilmu Syari’at
Yaitu ilmu tentang perintah Allah adza wa jalla yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan wahyu (wahyu yang tasyri’), baik yang langsung dari Allah adza wa jalla maupun yang menggunakan perantara malaikat Jibril ’alaihi sallam. Jadi semua wahyu yang diterimaoleh para nabi semenjak Nabi Adam ’alaihi sallam hingga Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wa sallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa ’alaihi sallam dari Nabi Khidhir ’alaihi sallam, artinya :”Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari Sisi Kami, dan telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami.” (QS. Al-Kahfi: 65).

Di dalam hadits Imam Al-Bukhari, Nabi Khidhir ’alaihi sallam berkata kepada Nabi Musa ’alaihi sallam, ”Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.” (Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalani: I/141.167).

Ilmu syari’at ini mutlak kebenarannya, wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf (baliqh) sampai datang ajal kematiannya.

2. Ilmu Ma’rifat (Hakikat)
Yaitu ilmu tentang sesuatu yang qhaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib) atau ru’ya (mimpi) yang di berikan oleh Allah adza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan ”Ilmu Laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub di dalam mushaf Al- Qur’an maupun kitab-kitab hadits yang shahih. Menyalahi disini bisa berbentuk menentang, menambahi atau mengurangi.


BAGIAN KEDUA :
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah adza wa jalla yang diberikan kepada semua makhluk-Nya melalui jalan Kasb(usaha) seperti dari hasil membaca, menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.

Dari ketiga ilmu ini (Syari’at, Ma’rifat, dan Kasb) yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu Syari’at, karena ia adalah guru. Ilmu Kasyf dan ilmu Kasb tidak dianggap apabila menyalahi Syari’at. Inilah hakikat pengertian yang sebenarnya Ilmu Laduni di dalam islam.

KHURAFAT SHUFI
Istilah ilmu laduni secara khusus tadi telah terkontaminasi (tercemari) oleh virus khurafat shufiyyah. Sekelompok sufi mengatakan bahwa :

”Ilmu Laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus di berikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para wali sufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli hadits (sunnah), tidak mendapatkannya.

”Ilmu Laduni” atau ilmu hakikat lebih utama daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi Khidhir ’alaihi sallam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa ’alaihi sallam adalah ilmu wahyu, sedangkan ilmu Nabi Khidhir ’alaihi sallam adalah ilmu kasyf (hakikat). Sampai-sampai  seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al-Busthami (261 H). Mengatakan, ”Seorang yang alim itu bukanlah orang yang menghafal dari kitab, maka jika ia lupa apa yang ia hafal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”

Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan AS-Sunnah) itu merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah adza wa jalla.”

Dengan ”ilmu laduni” saja sudah cukup, tidak perlu lagi kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf, langsung didikte dan di ajari langsung oleh Allah adza wa jalla, yang wajib diyakini kebenarannya. Seperti Abdul Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul kamil fi Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab al-Futuhatul Makkiyyah.

Untuk menafsiri ayat atau utuk mengatakan derajat hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup dengan kasyf sehinga terkenal ungkapan di kalangan mereka , ”Hatiku memberitahu aku dari Tuhanku.” atau ”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri, langsung tanpa perantara apapun.” Sehingga akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya.

Dari sini kita bisa mengetahui mengapa ahli Hadits (Sunnah) tidak pernah bertemu (sependapat) dengan ahli Kasyf (Tasawwuf).

BANTAHAN SINGKAT TERHADAP KESESATAN DI ATAS
Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tsawwuf. Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimuliakan oleh Allah adza wa jalla dengan ilham. Abu Bakar radhiallahu ’anhu di ilhami oleh Allah adza wa jalla bahwa anak yang sedang di kandung oleh istrinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu Abdus Salam mengatakan, bahwa ilham atau ilmu ilahi itu termasuk sebagian dari balasan amal shalih yang diberikan oleh Allah adza wa jalla di dunia ini. Jadi tidak ada dalil pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, ” Barang siapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui .” (al-Iraqy berkata: HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dari Anas radhiallahu ’anhu, Hadits Dha’if).

Yang benar menurut ahlus sunnah wal jama’ah adalah Nabi Khidhir ’alaihi sallam memiliki syariat tersendiri sebagaimana Nabi Musa ’alaihi sallam. Dan hal ini di benarkan Di dalam hadits Imam Al-Bukhari, Nabi Khidhir ’alaihi sallam berkata kepada Nabi Musa ’alaihi sallam, ”Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang dia ajarkan kepadamu yang aku tidak mengetahuinya juga.” (Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalani: I/141.167).

Bahkan ahlus sunnah sepakat kalau Nabi Musa ’alaihi sallam lebih utama daripada Nabi Khidhir ’alaihi sallam, karena Nabi Musa ’alaihi sallam termasuk ulil azmi (lima Nabi yang memiliki keteguhan hati dan kesabaran yang tinggi, yaitu Nabi Nuh ’alaihi sallam, Ibrahim ’alaihi sallam, Musa ’alaihi sallam, Isa ’alaihi sallam dan Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam).

Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu kesalahan yang nyata karena Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam hanya mewariskan ilmu syari’at (ilmu wahyu), yaitu AL-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para ulama yang memahami al-Kitab dan as-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan anggapan bahwa ada orang selain Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang mengambil ilmu langsung dari Allah adza wa jalla kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.

Anggapan bahwa ilmu syariat itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu daya syetan untuk merusak islam. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda ”Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu, yang jika kalian memegangnya erat¬-erat, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Wahai manusia! Dengarkanlah baik-baik apa yang kuucapkan kepada kalian, niscaya kalian bahagia untuk selamanya dalam hidupmu.” HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar dan sebuah kisah yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-Sirah Al-Nabawiyyah dalam Teladan indah Rasullulah dalam ibadah.

Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam memalingkan mereka dari Cahaya Islam.

Anggapan bahwa dengan ilmu laduni sudah cukup adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama ahlu sunnah termasuk Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan, ”setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan) oleh syari’at adalah zindiq (sesat).”

Inilah penyebab lain dari kesesatan tasawwuf. Banyak sekali kesyirikan dan kebid’ahan dalam tasawwuf yang didasarkan kepada hadits-hadits palsu. Dan ini pula yang menyebabkan orang-orang sufi dengan mudah dapat mendatangkan dalil dalam setiap masalah karena mereka menggunakan metode tafsir bathin dan metode kasyf dalam menilai hadits, Dua metode bid’ah yang menyesatkan.

Tiada kebenaran kecuali apa yang telah diajarkan oleh Rsulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda : ”Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barang siapa yang di kehendaki baik oleh Allah, maka ia akan di faqihkan (difahamkan) dalam urusan agama ini.” (HR: Ibnu Abi Hashim, Thabrani, al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan).

MARAJI’:
o Al-Fathur Rabbaniy, Abdul Qadir Al-Jailani (hal. 143, 159, 232).
o Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Al-Haitamiy (hal. 128, 285, 311).
o Ihya “Ulumuddin, Al-Ghazali (jilid 1/71) dan (jilid 3/22-23).
o At-Tasawwuf, Muhammad Fihr Shaqfah (hal. 26, 125, 186, 227).
o Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-Asqalaniy (I/141, 167).
o Fiqhut Tasawwuf, Ibnu Taimiah (218).
o Mawaqif Ahlusunnah, Utsman Ali Hasan (60, 76).
o Al-Hawi, Suyuthiy (2/197).

Sumber : Catatan Al Akh Wira Admaga
http://www.facebook.com/home.php?#!/note.php?note_id=406665402082


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.