Oleh : Ust. Fariq Bin Gasim Anuz
Al-Imam Ibnu Nashr Al-Marwazi rahimahullah berkata.
"Sedangkan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin dengan cinta akan ketaatan mereka kepada Allah, cinta akan kelurusan dan keadilan mereka, dan cinta bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, dan benci kepada perpecahan umat dengan melawan mereka, dan mengimani bahwa dengan taat kepada mereka dalam rangka taat kepada Allah dan benci kepada orang yang keluar dari ketataatan kepada mereka (yaitu dengan tidak mengakui kekuasaan mereka dan menganggap halal darah mereka, pent). Dan cinta akan kejayaan mereka dalam taat kepada Allah." [1]
Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah berkata
"(Dan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin), yaitu kepada para penguasa mereka, maka dia menerima perintah mereka, mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat dikarenakan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq [2] dan tidak memerangi mereka selama mereka belum kafir, dan dia berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka dan membersihkan kerusakan mereka dan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran dan mendoakan agar mereka mendapatkan kebaikan dikarenakan dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat, dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat."[3]
Al-Imam Ibnu Nashr Al-Marwazi rahimahullah berkata.
"Sedangkan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin dengan cinta akan ketaatan mereka kepada Allah, cinta akan kelurusan dan keadilan mereka, dan cinta bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, dan benci kepada perpecahan umat dengan melawan mereka, dan mengimani bahwa dengan taat kepada mereka dalam rangka taat kepada Allah dan benci kepada orang yang keluar dari ketataatan kepada mereka (yaitu dengan tidak mengakui kekuasaan mereka dan menganggap halal darah mereka, pent). Dan cinta akan kejayaan mereka dalam taat kepada Allah." [1]
Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah berkata
"(Dan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin), yaitu kepada para penguasa mereka, maka dia menerima perintah mereka, mendengar dan taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat dikarenakan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq [2] dan tidak memerangi mereka selama mereka belum kafir, dan dia berusaha untuk memperbaiki keadaan mereka dan membersihkan kerusakan mereka dan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran dan mendoakan agar mereka mendapatkan kebaikan dikarenakan dalam kebaikan mereka berarti kebaikan bagi rakyat, dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi rakyat."[3]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat tahun 677 H) berkata.
"Sedangkan nasehat kepada pemimpin kaum muslimin adalah dengan menolong mereka di atas kebenaran dan taat kepada mereka dalam hal kebenaran, dan mengajak, memperingatkan dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut kepada kebenaran dan memberi tahu mereka akan kelalaian mereka, dan barangkali belum sampai berita kepada mereka akan kelalaian mereka yang berkenaan dengan hak-hak kaum muslimin, dan tidak keluar dari ketaatan kepada mereka dan melunakkan hati-hati manusia untuk taat kepada mereka.
Al-Khaththabi rahimahullah berkata.
"Dan termasuk dari menasehati kepada mereka adalah dengan shalat di belakang mereka dan berjihad bersama mereka (ketika penguasa berperang dengan orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah, pent.), dan menunaikan zakat kepada mereka (ditampung dalam baitul mal kaum muslimin, pent.), dan tidak keluar mengangkat senjata melawan mereka, meskipun mereka berbuat zalim, dan agar tidak menipu mereka (sekaligus menipu umat, pent) dengan puji-pujian yang penuh kedustaan, dan dengan mendoakan mereka agar mendapatkan kebaikan, dan ini semua menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan para pemimpin kaum muslimin adalah para khalifah dan selain mereka dari para penguasa yang bertugas mengurusi urusan kaum muslimin, dan makna ini yang masyhur." Al-Khaththabi setelah menyebutkan hal ini, kemudian beliau berkata, "Dan mungkin pula untuk ditafsirkan dengan makna para ulama dien, dan nasehat kepada mereka, yaitu dengan menerima apa yang mereka riwayatkan dan mengikuti mereka dalam masalah syariat dan berprasangka baik kepada mereka."[4]
Setelah kita membaca penjelasan dari para ulama tentang arti nasehat kepada para penguasa muslim, timbul pertanyaan, "Apakah para penguasa kaum muslimin di belahan bumi yang tidak berhukum dengan apa-apa yang telah Allah turunkan telah kafir keluar dari Islam? Apabila mereka telah kafir keluar dari Islam, apakah boleh kita mengangkat senjata melawan mereka sekarang ini?"
Permasalahan ini penting untuk diketahui, maka kita tidak boleh ceroboh dalam membuat kesimpulan, kita tidak boleh memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemikiran dan hawa nafsu kita, tetapi harus memahaminya dengan pemahaman para shahabat, kita tidak boleh mengutamakan emosi dan perasaan di atas mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah.
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid mengatakan.
"Kenyataan yang menyakitkan yang sedang kita hadapi pada hari ini, telah mendorong sebagian dari orang-orang yang menaruh perhatian besar kepada permasalahan-permasalahan umat dan mempunyai kecemburuan yang tinggi terhadap dien Allah ini kepada perbuatan ghuluw (belebih-lebihan) dalam dien ini tanpa adanya pembahasan yang teliti terhadap apa-apa yang mereka yang lakukan, atau tanpa penelitian yang mendalam terhadap apa-apa yang mereka katakan! Tidak ragu lagi bahwa ini semua jauh dari metode yang adil sebagaimana yang telah Allah karuniakan kepada Ahli Sunnah dan para juru da'wah kepada tauhid."[5]
Marilah kita menyimak nasehat yang sangat berharga dari seorang ulama rabbani, yaitu Syaikh Muhammad Nahiruddin Al-Albani rahimahullah setelah beliau menjelaskan tentang keharusan berpegang teguh dengan manhaj salaf, kemudian beliau menjelaskan tafsir Ibnu Abas radliyallahu'anhuma sampai beliau memberi kesimpulan.
"Bahwasanya kekufuran, kefasikan dan kezaliman dibagi menjadi 2 macam.
[a]. Yang mengeluarkan seseorang dari Islam, yang demikiandisebabkan adanya penghalalan dari hati.
[b]. Dan selain itu, kembalinya kepada penghalalan secara amaliah, maka seluruh pelaku maksiat dan khususnya maksiat yang tersebar luas di zaman ini adalah berupa penghalalan secara amaliah seperti riba, zina, minuman keras dan lain-lainnya, semuanya itu adalah kufur amali, maka tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan pelaku maksiat semata-mata dikarenakan perbuatan maksiat mereka dan penghalalan kepada maksiat secara amali, kecuali apabila jelas bagi kita dari mereka bukti-bukti yang menyingkapkan tabir bagi kita tentang apa yang ada di hati-hati mereka bahwasanya mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya secara aqidah, apabila kita tahu bahwa penyimpangan mereka itu adalah penyimpangan hati, baru saat itu kita dapat menghukumi bahwa mereka telah kafir, kufur murtad. Sedangkan apabila kita belum mengetahui yang demikian, maka tidak ada jalan bagi kita untuk menghukumi mereka dengan kekafiran (murtad, pent), karena kita takut terjerumus ke dalam ancaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, yang artinya.
"Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya, 'Wahai kafir,' maka ucapan tersebut kembali kepada salah seorang dari keduanya."
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali."
Sampai beliau (Syaikh Al-Albani) berkata.
"Kemudian saya selalu mengatakan kepada mereka yang selalu menggembar-gemborkan pengkafiran para penguasa kaum muslimin: Taruh bahwa mereka itu orang-orang kafir, kufur murtad, dan bahwasanya mereka kalau seandainya terdapat hakim tertinggi (khalifah) di antara mereka dan dia mendapatkan bukti bahwa para penguasa negeri-negeri Islam telah kafir kufur murtad, maka wajib atas hakim tertinggi untuk melaksanakan hukum had dengan membunuh mereka. Maka sekarang faedah apa yang kalian dapati dari segi tindakan, seandainya kami menerima bahwa semua para penguasa mereka adalah orang-orang kafir kufur murtad? Apa yang mungkin kalian lakukan? Mereka, oang-orang kafir, telah menguasai negeri-negeri Islam, dan kami di sini dengan sangat memilukan mendapatkan musibah berupa penjajahan Yahudi terhadap Palestina. Maka, apa yang bisa kami lakukan, kami dan kalian menghadapi orang-orang Yahudi, bahkan apa yang bisa kalian lakukan menghadapi para penguasa yang kalian sangka bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir?
Bukankah seharusnya kalian mengesampingkan masalah ini terlebih dahulu dan kalian memulai membuat fondasi yang di atasnya tegak tonggak-tonggak pemerintahan Islam, dan yang demikian itu dengan cara mengikuti jejak Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang telah berhasil mendidik para shahabat berdasarkan petunjuk beliau tersebut, dan beliau telah menumbuhkan mereka atas peraturan dan asas dari sunnah beliau, dan yang demikian itu seperti apa yang sering kami sampaikan dalam banyak kesempatan bahwasanya harus bagi setiap jama'ah muslimah yang bekerja dengan benar untuk mengembalikan hukum Islam, bukan saja di dunia Islam bahkan harus diterapkan di seluruh dunia sebagai realisasi firman Allah Subhana wa Ta'ala.
"Dialah Yang telah mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk (Al-Qur'an) dan dien yang benar agar Dia memenangkannya atas segala dien, walaupun orang-orang musyrik benci." [At-Taubah 33]
Dan terdapat dalam beberapa hadits yang shahih menyatakan bahwa ayat di atas akan terealisasi di masa yang akan datang, maka agar kaum muslimin mendapatkan realisasi dari nash Al-Qur'an ini, apakah dengan jalan mengumumkan revolusi terhadap para penguasa yang mereka sangka bahwa kekufuran mereka adalah kufur murtad, kemudian bersama persangkaan mereka yang salah ini mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Kalau begitu dengan menggunakan metode apa? Mana jalannya? Tidak ragu lagi bahwa jalan yang harus ditempuh adalah apa yang selalu dikumandangkan oleh beliau shalallahu 'alaihi wasallam dalam setiap mengingatkan para shahabatnya di setiap khutbah "Dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam," maka kepada seluruh kaum muslimin dan khususnya di antara mereka yang mempunyai perhatian untuk mengembalikan hukum Islam agar tegak di muka bumi, agar memulai sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memulainya, yaitu apa yang biasa kami sebutkan dengan dua kata yang ringan: Tashfiyyah dan Tarbiyyah (yang artinya "pemurnian dan pendidikan", pent), yang demikian itu dikarenakan kami mengetahui hakekat yang dilalaikan oleh mereka orang-orang ekstrem tersebut atau lebih tepat mereka yang pura-pura lalai, mereka tersebut tidak memiliki apa-apa, kecuali mengumumkan pengkafiran kepada para penguasa, kemudian setelah itu tidak ada apa-apanya, dan mereka akan tetap mengumumkan pengkafiran kepada para penguasa, kemudian yang keluar dari mereka hanyalah kekacauan-kekacauan, dan kenyataannya dalam tahun-tahun belakangan ini sebagaimana kalian mengetahui semuanya, dimulai dari fitnah di Masjidil Haram Makkah, kemudian fitnah Mesir dan pembunuhan terhadap (Anwar) Sadat dan melayangnya nyawa dari kebanyakan kaum muslimin yang tidak bersalah disebabkan fitnah ini, kemudian di Suriah, kemudian di Mesir lagi dan Aljazair, sangat menyedihkan sekali... dan seterusnya. Semuanya itu disebabkan mereka telah banyak menyimpang dari nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan yang terpenting adalah firman Allah :
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan ) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah." [Al-Ahzab : 21]
Apabila kita hendak menegakkan hukum Allah di muka bumi ini, apakah kita memulainya dengan memerangi para penguasa padahal kita tidak dapat memerangi mereka? Ataukah kita memulai dengan apa-apa yang dimulai oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam? Tidak ragu lagi bahwa jawabannya adalah ayat yang baru saja kami sebutkan. Dengan apa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memulai? Kalian tahu bahwasanya beliau memulai da'wahnya dengan mengajak individu-individu yang beliau perkirakan bahwa mereka siap untuk menerima kebenaran, kemudian dipenuhilah da'wahnya oleh orang-orang yang menerima sebagaimana hal ini ma'ruf dalam sirah nabawiyah. Kemudian siksaan dan kesukaran yang dialami oleh kaum muslimin di Makkah, kemudian perintah untuk berhijrah yang pertama dan yang kedua, sampai akhirnya Allah mengokohkan Islam di Madinah Nabawiyyah, dan mulailah terjadi pergulatan serta pertempuraan antara kaum muslimin dan orang-orang musyrikin di satu sisi, kemudian antara kaum muslimin dan orang-orang Yahudi di sisi yang lain dan begitu seterusnya.
Kalau begitu kita harus memulai dengan mengajarkan kepada manusia ajaran Islam sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memulai, tetapi kita sekarang tidak terbatas kepada pengajaran, karena telah masuk kepada Islam ajaran yang bukan dari Islam datangnya dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, ajaran-ajaran bid'ah ini merupakan penyebab runtuhnya bangunan Islam, maka dari itu merupakan kewajiban di atas pundak para juru da'wah agar mereka memulai dengan tashfiyyah, memurnikan ajaran Islam dari apa-apa yang bercampur kedalamnya.
Yang kedua, tashfiyyah ini harus dibarengi dengan tarbiyyah, mendidik para pemuda muslim yang tumbuh atas ajaran Islam yang murni. Dan apabila kita pelajari jama'ah-jama'ah Islam yang ada sekarang ini sejak sekitar hampir satu abad, maka kita dapatkan kebanyakan dari mereka belum mengambil faedah sama sekali, meskipun mereka berteriak dan membuat gaduh bahwa mereka menginginkan pemerintahan Islam dan telah menelan korban kebanyakan orang-orang yang tak bersalah dengan alasan tadi, tanpa mereka mengambil faedah sedikit pun, masih saja kita mendengar dari mereka yang memiliki aqidah menyalahi Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan amalan-amalan yang bertolak belakang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan dalam kesempatan ini kami mengatakan: Ada sebuah ucapan yang telah dilontarkan oleh salah seorang da'i, saya tadinya berharap agar para pengikutnya berpegang teguh dan merealisasikannya, yaitu ucapan yang berbunyi, "Tegakkanlah daulah Islam di hati-hati kalian, niscaya akan tegak di bumi kalian," karena seorang muslim apabila ia memperbaiki aqidahnya sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka tidak ragu lagi hasilnya adalah akan baik pula ibadah, akhlak, dan budi pekertinya, ... dan seterusnya. Tetapi ucapan yang baik ini sangat disayangkan sekali tidak diamalkan oleh mereka, tetap saja mereka berteriak-teriak menginginkan daulah Islam tanpa hasil apa-apa. Maka benarlah ucapan seorang penyair tentang mereka:
"Engkau berharap keselamatan akan tetapi engkau tidak berjalan dijalurnya Sesungguhnya kapal itu tidak bisa berjalan di atas tanah yang kering."[6]
ARTI NASEHAT KEPADA KAUM MUSLIMIN PADA UMUMNYA
Al-Imam Ibnu Nashr Al-Marwazi rahimahullah berkata.
"Sedangkan nasehat kepada kaum muslimin, maka ia mencintai untuk mereka apa-apa yang ia cintai untuk diri sendiri, dan membenci sesuatu agar tidak menimpa mereka apa-apa yang ia benci untuk dirinya, memikirkan urusan-urusan mereka, sayang kepada yang lebih muda di antara mereka serta menghormati orang yang lebih tua darinya, ia sedih apabila mereka sedih dan bergembira apabila mereka bergembira, meskipun hal tersebut sampai merugikan dia dalam urusan dunia, seperti menjual barang kepada mereka dengan harga yang relatif murah sehingga ia mendapat keuntungan yang tidak banyak dalam perdagangannya, dan begitu pula ia selalu berupaya agar mereka tidak mendapatkan kerugian dalam bentuk apapun, dan ia sangat mengharapkan kebaikan mereka, kelembutan mereka, dan kelanggengan nikmat atas mereka, dan menolong mereka melawan musuh mereka, serta membela mereka dari setiap gangguan dan kesulitan".[7]
Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah berkata.
"Dan nasehat kepada kaum muslimin pada umumnya dengan menolong mereka dalam hal kebaikan, dan melarang mereka berbuat keburukan, dan membimbing mereka kepada petunjuk dan mencegah mereka dengan sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri, dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Allah, maka haruslah bagi seorang hamba untuk memandang mereka dengan kacamata yang satu yaitu kacamata kebenaran."[8]
__________
Foote Note
[1]. Ta'dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2 hal. 693-694
[2]. Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, "Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam hal maksiat kepada Allah." [H.R. Ahmad, 5/66, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 179, juga hadits lain yang semakna disebutkan oleh Syaikh Al-Albani, no. 180. Riwayat Ahmad 4/426, 427, 436 dan At-Toyalisi, 850 dan no. 181 (Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya)]
[3]. Syarah Al-Arbain, hal. 41
[4]. Syarah Shahih Muslim. Juz 2 hal. 33-34
[5]. Dinukil dari buku Al-Qaulul Ma'mun fi Takhrij Ma' Warada 'an Ibni Abbas fi Tafsir Waman Lam Yahkum Bima Anzalallah Faulaaika Humul Kafirun, hal. 7-8
[6]. Disarikan dari buku At-Tahdzir min Fitnati At-Takfir, hal.70-84
[7]. Ta'dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2 hal. 694
[8]. Syarah Al-Arbain, hal. 48
[2]. Berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, "Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam hal maksiat kepada Allah." [H.R. Ahmad, 5/66, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 179, juga hadits lain yang semakna disebutkan oleh Syaikh Al-Albani, no. 180. Riwayat Ahmad 4/426, 427, 436 dan At-Toyalisi, 850 dan no. 181 (Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya)]
[3]. Syarah Al-Arbain, hal. 41
[4]. Syarah Shahih Muslim. Juz 2 hal. 33-34
[5]. Dinukil dari buku Al-Qaulul Ma'mun fi Takhrij Ma' Warada 'an Ibni Abbas fi Tafsir Waman Lam Yahkum Bima Anzalallah Faulaaika Humul Kafirun, hal. 7-8
[6]. Disarikan dari buku At-Tahdzir min Fitnati At-Takfir, hal.70-84
[7]. Ta'dzimu Qadri As-Shalat, Juz 2 hal. 694
[8]. Syarah Al-Arbain, hal. 48
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1833/slash/0
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.