Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



KESYIRIKAN DALAM BURDAH AL-BUSHIRI

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori :

Sudah di lihat :



Studi Kritis Burdah Al-Bushiri
oleh : Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Pengantar
Bagi sebagian kalangan warga Indonesia, “Burdah Al-Bushiri” bukanlah hal yang asing, lantaran buku itu kerap dibaca dalam acara-acara tertentu secara bersama dan bergilir dari rumah ke rumah pada setiap bulan, minggu, bahkan oleh sebagian orang dibaca setiap hari di rumahnya bersifat individual.


Di kampung Arab Bondowoso diceritakan, bahwa acara pembacaan Burdah bersama tersebut merupakan warisan turun-temurun dari masyarakat kampung Arab, dan telah mengalami regenerasi yang cukup panjang yaitu sebelum tahun 1970-an, artinya sudah berlangsung kurang lebih selama 34 tahun. (Majalah Cahaya Nabawi No. 33 Th. III Sya’ban 1426 H hal. 56)
Memang, “Burdah Al-Bushiri” ini sangat populer sekali, dibaca dan dikaji di rumah dan masjid seperti halnya Al-Qur’an, kalam ilahi. Lebih dari itu, banyak sekali buku yang mensyarahnya (menjelaskan makna kandungannya), sehingga terhitung lebih dari lima puluh jumlahnya, bahkan sebagiannya ada yang ditulis dengan tinta emas!!

Siapakah Al-Bushiri?
Dia bernama Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin Abdillah ash-Shanhaji al-Bushiri, nisbah kepada kotanya Abu Shir di Mesir, tetapi asalnya dari Maghrib. Dia lahir pada tahun 608 H, dia termasuk ahli di bidang syair tetapi sayangnya dia sangat miskin ilmu, buktinya dia menasabkan diri dan menjadi pembela salah satu tarikat  Sufi yang sesat, yaitu tarikat Syadziliyah[1]. Dia wafat pada tahun 695 H. (Lihat Fawat Al-Wafayat 3/362 al-Kutbi, Al-A’lam 6/139 az-Zirakli, Mu’jam Muallifin 10/26 Kahhalah, Syadzarat Dzahab 5/432)


Judul Bukunya
Secara harfiyah “Burdah” memang bermakna selendang. Al-Bushiri membubuhkan judul antologinya dengan nama tersebut bukan berarti tanpa alasan. Sebab, alkisah di zaman nabi dulu ada seorang tokoh yang bernama Ka’ab bin Zuhair. Semula dia adalah seorang penyair non muslim yang tergolong paling radikal menentang dakwah Rasulullah, kemudian dia masuk Islam, lantas menggubah sajak buat Nabi yang isinya kala itu tergolong estetik. Intro puisi itu: 

Kudengar kabar
Rasulullah berjanji padaku
Dan ampunan itu
Sungguh jadi tumpuan harapanku. 

Untuk itu konon Nabi memberikan selendang beliau kepadanya.
Berdasar mirip dengan cerita di muka, Al-Bushiri mengaku bahwa dirinya juga bermimpi bahwa Nabi memberinya selendang tatkala dia melantunkan gubahan sajak-sajaknya!! (Dikutip dari buku “Burdah, Madah Rasul Dan Pesan Moral” yang dipuitisikan oleh Muhammad Baharun, Majalah Cahaya Nabawi hal. 55)
Pengingkaran Para Ulama
Para ulama telah bangkit menunaikan tugas mereka dalam menyingkap penyimpangan yang ada dalam Burdah Bushiri, termasuk diantara mereka yang menjelaskan penyimpangannya adalah:
1. Asy-Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadzid hal. 26,
2. Abdur Rahman bin Hasan dalam Rasail wa Masail Najdiyyah 2/33,
3. Sulaiman bin Abdillah dalam Taisir Aziz hamid hal. 221-223,
4. Abdullah Abu Buthain dalam Naqd Burdah dan Ta’sis Taqdis,
5. Mahmud Syukri al-Alusi dalam Ghoyatul Amani 2/350, al-Ustadz Abdul Badi’ Saqr dalam kitab Naqd  Burdah,
6. dan masih banyak lagi lainnya.
    Beberapa Contoh Penyimpangan
    Sebenarnya banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam Burdah tersebut, namun sekedar contoh kita nukilkan sebagiannya saja. Hanya kepada Allah saja, kita bertawakkal:
    1. Al-Bushiri mengatakan:
    وَكَيْفَ تَدْعُوْ إِلَى الدُّنْيَا ضَرُوْرَة مَنْ      لَوْلاَهُ لَمْ تُخْرَجِ الدُّنْيَا مِنَ الْعَدَمِ
    Bagaimana engkau menyeru kepada dunia
    Padahal kalau bukan karenanya (Nabi) dia tiada tercipta
    Tidak ragu lagi bahwa bait ini mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi, dimana al-Bushiri menganggap bahwa dunia ini tidaklah diciptakan kecuali karena Nabi, padahal Allah berfirman: 

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
    Mungkin saja ucapan di atas bersandar pada hadits palsu:
    لَوْلاَكَ لَمَا خَلَقْتُ الأَفْلاَكَ
    Seandainya bukan karenamu, Aku tidak akan menciptakan makhluk.
    (Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah al-Albani no. 282)
    2. Al-Bushiri berkata:
    دَعْ مَا ادَّعَتْهُ النَّصَارَى فِيْ نَبِيِّهِمْ          وَ احْكُمْ بِمَا شِئْتَ فِيْهِ وَاحْتَكِمْ
    Tinggalkanlah ucapan kaum Nashara terhadap nabi mereka
    Adapun terhadapnya (Nabi Muhammad), ucaplah sesuka anda
    Dalam bait ini, dia menganggap bahwa yang terlarang adalah kalau umat Islam mengatakan seperti ucapan orang-orang Nashara terhadap Nabi Isa bahwa beliau adalah Tuhan, anak tuhan dan salah satu tuhan dari yang tiga. Adapun selain itu maka hukumnya boleh-boleh saja.
    Ucapan ini jelas sekali kebatilannya, sebab ghuluw itu sangat beraneka macam bentuknya dan kesyirikan itu ibarat laut tak bertepi, artinya dia tidak terbatas hanya pada ucapan kaum nashara saja, sebab umat-umat jahiliyyah dahulu yang berbuat syirik, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berucap seperti ucapan Nashara. Jadi ucapan di atas merupakan pintu kesyirikan, sebab menurutnya ghuluw itu hanya terbatas pada ucapan kaum nashara saja.

    4. Al-Bushiri berkata:
    لاَطِيْبَ يَعْدِلُ تُرْبًا ضَمَّ أَعْظُمَهُ           طُوْبَى لِمُنْتَشِقٍ مِنْهُ وَمُلْتَثِمِ

    Tiada kebaikan yang melebihi tanah yang menimbun tulangnya
    Kebahagiaan (surga) bagi orang yang dapat menciumnya

    Dalam bait ini, al-Bushiri menyatakan bahwa tanah yang menimbun tulang-tulang Nabi adalah tempat yang paling utama dan mulia. Tidak hanya itu, tetapi bagi mereka yang menciumnya maka balasannya adalah surga dan kedudukan mulia. Tidak ragu lagi bahwa semua ini adalah termasuk ghuluw yang menjurus ke pintu kebid’ahan dan kesyirikan.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

    “Para imam telah bersepakat bahwa tidak boleh mengusap-ngusap kuburan nabi ataupun menciumnya, semua ini untuk menjaga kemurnian tauhid”. (Ar-Radd Ala Akhna’I hal. 41)

    5. Al-Bushiri berkata:
    أَقْسَمْتُ بِالْقَمَرِ الْمُنْشَقِّ إِنَّ لَهُ            مِنْ قَلْبِهِ نِسْبَةً مَبْرُوْرَةَ الْقَسَمِ

    Aku bersumpah dengan bulan yang terbelah bahwa
    Ada sumpah yang terkabulkan pada dirinya

    Dalam bait inipun terdapat penyimpangan yang amat nyata, sebab bersumpah dengan selain Allah termasuk bentuk kesyirikan.
    عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَِ

    Dari Umar bin Khaththab bahwasanya Rasulullah bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kufur atau berbuat syirik”. (HR. Ahmad 4509 dan Tirmidzi 1534)
    Ibnu Abdil Barr berkata :
    "Tidak boleh bersumpah dengan selain Allah untuk apapun dan bagaimanapun keadaannya, hal ini merupakan kesepakatan ulama”. Katanya juga: “Para ulama telah bersepakat bahwa bersumpah dengan selain Allah adalah terlarang, tidak boleh bersumpah dengan apapun dan siapapun”. (At-Tamhid 14/366-367)

    6. Al-Bushiri berkata:
    يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ         سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ

    Aku tidak memiliki pelindung Wahai rasul termulia
    Selain dirimu di kala  datangnya petaka
    Perhatikanlah wahai saudaraku bagaimana bait ini mengandung unsur kesyirikan:
    a. Dia meniadakan pelindung di saat datangnya petaka selain Nabi, padahal hal itu hanya khusus bagi Allah semata, tiada pelindung kecuali hanya Dia saja.
    b. Dia berdoa dan memohon permohonan ini dengan penuh rendah diri, padahal hal itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah saja. (Taisir Aziz Al-Hamid hal. 219-220).
    Al-Allamah asy-Syaukani berkomentar tentang bait ini:
    “Perhatikanlah bagaimana dia meniadakan semua pelindung kecuali hamba dan rasul Allah, Muhammad saja, dia lalai terhadap Rabbnya dan Rabb rasulnya. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un”. (Ad-Durr An-Nadhid hal. 26)

    7. Al-Bushiri berkata:
    فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا            وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

    Dan termasuk ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudh) dan pena.
    Diantara pemberianmu adalah dunia dan akheratnya
    Dalam bait ini, dia menjadikan dunia dan akherat termasuk pemberian dan milik Nabi Muhammad, padahal Allah berfirman : 

    Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akherat dan dunia. (QS. Al-Lail: 13)

    Adapun ucapannya “Dan termasuk ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudh) dan pena”. Maka ini adalah ucapan yang sangat batil sekali, karena hal itu berarti bahwa Nabi mengetahui ilmu ghaib, padahal Allah berfirman: 

    Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah. (QS. An-Naml: 65) 

    Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. (QS. Al-An’am: 59)
    Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

    PENUTUP
    Demikianlah sekelumit contoh penyimpangan yang terdapat dalam “Burdah” dan komentar seperlunya. Semoga saja hal itu cukup untuk mewakili penyimpangan-penyimpangan lainnya.
    Akhirnya kami menghimbau kepada setiap muslim yang terikat dengan qasidah ini hendaknya dia meninggalkannya dan menyibukkan diri dengan kitab-kitab lainnya yang bermanfaat. Dan hendaknya diketahui bahwa hak Nabi Muhammad adalah dengan membenarkan seluruh ucapannya, mengikuti syari’atnya dan mencintainya tanpa kurang atau berlebih-lebihan.
    Ya Allah! Saksikanlah bahwa kami sangat mencintai NabiMu dan membenci orang-orang yang tidak mencintai beliau!!. Ya Allah! Tetapkanlah hati kami di atas jalanMu yang lurus sehingga bertemu denganMu.

    (Disadur dari Qawaidih Aqdiyyah fi Burdah Bushiri oleh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad dan Muqaddimah Dr. Ali bin Muhammad al-Ajlan terhadap kitab Ar-Radd Ala Burdah karya Abdullah Abu Buthain).

    [1] Syadziliyyah: Salah satu tarikat Sufi sesat yang populer di sebrbagai negara Islam, dan telah terpecah menjadi beberap keping. Disebut Syadziliyyah karena nisbah kepada pencetusnya Abul Hasan Ali bin Abdillah asy-Syadzili al-Maghribi yang lahir tahun 591 H di kota Aghmat (Maghrib), tumbuh di Syadzilah, sebuah kota dekat Tunis, kepadanyalah dia dinisbatkan, kemudian setelah itu dia pindah ke Mesir dan mempunyai beberapa pengikut di sana. Wafat tahun 656 H. (Lihat Al-Asrar Al-Aliyyah fi Saadah Syadziliyyah hal. 100-141 oleh Ahmad Syarif asy-Syadzili, Al-Al’lam 4/305 az-Zirakli, Mu’jam Muallifin 7/137 Kahhalah).

    Sumber : http://abiubaidah.com/studikritis-burdah.html/


    Share

    Comments (4)

    ASSALAMU'alaikum



    kalau menurut saya pendapat anda tentang burdah menyimpang itu salah.....

    kan Allah pernah berfirman dalam hadits qudsi-Nya.

    LAULAAKA LAULAAKA LAMMAA KHOLAQTUL AFLAK

    artinya

    kalau saja tidak aku ciptakan engkau (MUHAMMAD) Aku tidak akan menciptakan dunia dan alam semesta


    rasulullah tercipta dari nuurnya Allah


    Kholaqo qoblal asyaa.i nuuro nabiyyika Muhammadan shollallahu 'alaihi wasallama min nuurihi

    artinya

    Allah SWT menciptakan sebelum Ia menciptakan sesuatu apapun nuurnya Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wasallam dari nuurnya Allah..


    sudah jelas kan?

    kalau tidak ada Rasulullah sang revolusioner maka alam semesta tidak akan pernah tercipta..



    ibu imam

    @ Ibu Imam :
    Bag 1

    Wa 'alaykumus salam wa rohmatullahi wa barokatuh.

    Memang ada hadits yang mirip seperti itu, yaitu

    "Datang kepadaku Jibril seraya berkata (menyampaikan ucapan Allah), "Wahai Muhammad, kalau bukan karena engkau, tidak Aku ciptakan surga. Dan kalau bukan karena engkau, tidak aku ciptakan neraka"-dalam riwayat Ibnu Syakir "Kalau bukan karena engkau tidak aku ciptakan dunia""

    Namun hadits ini adalah hadits yang palsu (Maudhu’). Syaikh Al Albany menyebutkannya dalam As Silsilah Al Hadits Ad Dhaifah, hadits 282.

    Ini kalau ditinjau dari sisi matan (isinya) jelas-jelas bertentangan dengan Al Qur’an yang menyatakan tentang hikmahnya penciptaan langit dan bumi adalah untuk beribadah kepada Allah dan menguji manusia:

    "Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan Dia adalah Arsy-nya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kalian yang lebih baik amalnya…." (Huud:7)

    Dan firman-Nya (yang artinya)

    "Dan aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu" (Ad Dzariyat:56)

    Adapun Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan untuk menyatakan bahwa dirinya tidak bisa menentukan manfaat dan mudharat.

    @ Ibu Imam

    Bag 2

    Atau hadits ini :


    قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
    فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
    وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
    مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
    صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.

    “Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.

    Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.

    Bantahan :

    Hadits tersebut memang dishahihkan oleh al-Haakim, namun Imam Adz-Dzahabi menyatakan bahwa hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.
    Perawi ini dikatakan oleh Imam al-Bukhari sebagai munkarul hadits. Perawi ini juga dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, Abu Haatim, An-Nasaa-i, Ad-Daaruquthni, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ibnul Jauzy (lebih lengkap bisa disimak dalam kitab Ad-Dlu-afaa’ wal matrukiin karya Imam AnNasaai (1/66) dan Ibnul Jauzy (2/95), Miizaanul I’tidal fii Naqdir Rijaal karya AdzDzahabi (3/155)). Ternyata, Imam al-Haakim dalam kitab al-Mustadrak itu sendiri ketika menyebutkan hadits yang lain dan di dalamnya ada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tidak menshahihkannya, bahkan menyatakan : “Dua syaikh (alBukhari dan Muslim ) tidak pernah menggunakan hadits sebagai hujjah jika di dalamnya ada perawi Abdurrahman bin Zaid”( Lihat Mustadrak (3/332)). Di dalamnya juga ada perawi Abdullah bin Aslam al-Fihry yang tidak dikenal di kalangan ahlul hadits.

    @ Ibu Imam :
    bag 3

    Hal yang semakin menguatkan hujjah bahwa hadits itu palsu (bukan sabda Rasulullah) adalah ketidaksesuaiannya dengan ayat AlQuran dan tafsir ayat tersebut dari Sahabat Nabi yang mulya.

    Dalam AlQuran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Baqoroh: 37).

    Ibnu Abbas – sahabat Nabi yang mulya – menafsirkan ayat ini dalam atsar yang diriwayatkan oleh al-Haakim (3/545): (Nabi Adam berkata) : “ Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan aku dengan TanganMu? Allah berfirman : Ya, benar. Adam menyatakan : ‘Bukankah Engkau tiupkan ruh kepadaku (yang termasuk ciptaanMu)?Allah berfirman : Ya, benar. Adam mengatakan : ‘Wahai Tuhanku, bukankah Engkau (sebelumnya) telah menjadikan aku menghuni surga?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Bukankah RahmatMu mendahului kemurkaanMu ?’. Allah berfirman : Ya, benar. Adam berkata : ‘Apakah kalau aku bertaubat dan memperbaiki perbuatanku aku akan kembali ke surga?’ Allah. Allah menyatakan : ‘Ya, benar’ “. (Ibnu Abbas berkata ) : (Ucapan-ucapan tersebut) adalah sebagaimana yang Allah firmankan : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya…”(Q.S AlBaqoroh : 37).

    Al-Haakim menyatakan : “sanad riwayat ini shohih, dan disepakati keshahihannya oleh Adz-Dzahabi. Maka dengan penjelasan tafsir dari Sahabat Nabi Ibnu Abbas tersebut, tertolak pulalah riwayat-riwayat lemah maupun maudlu’ lainnya tentang bertawassulnya Nabi Adam dengan Nabi Muhammad ketika bertaubat atas kesalahannya. Para Ulama’ ahlut tafsir yang lain menjelaskan bahwa yang diucapkan oleh Nabi Adam ketika bertaubat adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang lain (yang artinya): “Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”(Q.S Al-A’raaf:23).

    Para Ahlut Tafsir yang berpendapat demikian di antaranya adalah : Mujaahid, Sai’id bin Jubair, Abul ‘A-aliyah, ar-Rabi’ bin Anas, al-Hasan al-Bashri, Qotaadah.

    Wallahu a'lam.

    Post a Comment

    Note: Only a member of this blog may post a comment.