Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya adalah agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang.
Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah : ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu". (QS. Al Anbiya : 45).
"Dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi) itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".(QS. An Najm :3-4)
"Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat." (QS. Saba' : 50)
Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkan pun lemah.
Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah : ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu". (QS. Al Anbiya : 45).
"Dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi) itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".(QS. An Najm :3-4)
"Katakanlah: "Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat." (QS. Saba' : 50)
Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkan pun lemah.
Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akal di hadapan keduanya.
Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata:
“Seandainya agama ini dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.”
[Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud di dalam Sunan-nya no. 162. Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah berkata di dalam kitab Al-Jami’us Shahih Mimma Laisa fish Shahihaini (1/61) Bab Ma Ja’a Fi Dzammi Ra’yi (Bab Tercelanya Mengutamakan Akal Pikiran): “Riwayat ini shahih.” Para perawinya adalah perawi kitab Shahih kecuali Abdu Khair, namun dia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in sebagaimana dinukilkan di dalam kitab Tahdzibut Tahdzib, juga di riwayatkan oleh Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162].
Hujjah yang paling baik tentang bolehnya mengusap di atas khuf ialah riwayat Imam Muslim, dari Al-A'Masy dari Ibrahim dari Hammam berkata, "Jarir kencing kemudian berwudhu' dan mengusap di atas kedua khufnya. Lalu ia ditanya, 'Kamu melakukan ini?' Jawabnya, 'Ya,' (karena) saya pernah melihat Rasulullah saw. kencing lalu berwudhu' dengan mengusap di atas kedua khufnya."?
Al-A'masy bertutur bahwa Ibrahim menegaskan, "Adalah para ulama terkagum oleh hadits ini, karena Jarir masuk Islam setelah turunnya surah al-Maaidah." (Shahih: Mukhtashar Muslim no:136, Muslim I:227 no:272 dan Tirmidzi I:63 no:93).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf atau kaos kaki atau sepatu ketika berwudhu dan tidak perlu mencopot jika terpenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atas bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawah karena itulah yang kotor.
Ucapan shahabat yang mulia di atas mengisyaratkan kepada kita tentang kedudukan akal di dalam agama, dan bahwa agama ini tidaklah diukur dengan akal pikiran namun kembalinya kepada nash, yaitu apa kata Allah Subhanahu wa Ta'ala dan apa kata Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Namun kita dapati ada sebagian manusia yang sangat mengagungkan akal sehingga mereka memposisikan akal tersebut di atas Al Qur’an dan As-Sunnah. Bila sesuai dengan akal, mereka terima, dan bila bertentangan dengan akal –menurut mereka– mereka tolak atau simpangkan maknanya.
Namun kita dapati ada sebagian manusia yang sangat mengagungkan akal sehingga mereka memposisikan akal tersebut di atas Al Qur’an dan As-Sunnah. Bila sesuai dengan akal, mereka terima, dan bila bertentangan dengan akal –menurut mereka– mereka tolak atau simpangkan maknanya.
Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalah terkadang akal tidak memahami hikmah seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.
Jangan sampai ketidak mengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendak kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.
Ada ungkapan yang sering dikatakan oleh masyarakat kita;
Yang pentingkan niatnya baik.........
Ucapan ini sangat populer dan sudah sangat familiar, sebenarnya ucapan inilah yang bertendensi kepada akal semata.
Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan kedua mereka meninggalkan dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.”
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ Allah sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Akal mengikuti wahyu, bukan wahyu yang mengikuti akal.
SEANDAINYA AGAMA DIBANGUN BERDASARKAN AKAL, MAKA MASING-MASING ORANG BEBAS MEMBUAT ATURAN AGAMANYA. BEBAS MEMBUAT ATURAN, MANA YANG SESUAI AKAL DAN SELERANYA.
Adapun Hadits yang mengatakan bahwa Agama itu akal;
"Agama adalah akal. Siapa yang tidak beragama, berarti dia tidak berakal."
Imam Nasa'i mengatakan bahwa hadits ini bathil, mungkar, karena di dalam sanadnya ada yang bernama Bisyr bin Ghalib, dia adalah seorang yang majhul [tidak diketahui biografinya]. Syaikh Al Albani menyatakan hal senada. Demikian juga Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani berkata : Seluruh hadits yang menyatakan tentang keutamaan akal adalah maudhu' [palsu]
Wallahu a'lam
Sumber : Catatan Al Akh Anwar Baru Belajar
http://www.facebook.com/note.php?note_id=116166531759864
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.